Kamis, 29 Januari 2009

Pesta Pemimpin 2009

Puji Tuhan aku ditakdirkan jadi rakyat Indonesia. Sedap nian dipresideni Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega, dan Pak Sus. Aku syukuri dan nikmati sedap yang itu ataupun sedap yang lain dari Ratna Sarumpaet, Rizal Mallarangeng, Sultan HB X, Fajrul Rahman, Wiranto, Marwah Daud, Prabowo, Sutiyoso, dan sekian lagi… wahai Tuhan, panjangkan umurku agar kualami sedapnya menjadi rakyat beliau-beliau secara bergiliran.

Kita memiliki stok pemimpin yang berlimpah-limpah. Jumlah di atas 30 kontestan Pemilu 2009 mencerminkan betapa banyak dan canggih mesin kepemimpinan yang kita miliki. Sudah enam presiden memberiku kenikmatan, dengan keistimewaan, kewibawaan, dan keunikannya masing-masing. Tentu saja juga dengan satu-dua kekurangan, tapi tidak terlalu signifikan.

Dan rasanya, 2009 mempersembahkan kepada kita sedap yang lain lagi dari pemimpin baru. Kalaupun umpama tetap yang lama, pasti terasa baru: bagaikan Idul Fitri, baju boleh yang itu-itu juga, tapi pandangan kita terhadap baju itu "refreshed".

Kita pernah punya pemimpin yang sejak masa kanak-kanak mengalami pengasingan di sebuah dusun pelosok di dekat perbukitan. Ia menggembalakan kambing, tanpa teman-temannya sesama penyabit rumput pernah mengerti siapa dia dan dari mana asal usulnya, sampai kelak ia tampil sebagai orang nomor satu. Dengan sabit (arit, celurit) di tangannya, sudah tampak bakatnya sebagai strategi ulung. Hampir tak pernah ia menyabit rumput, karena tiap hari ia nantang teman temannya untuk lempar tepat sabit di batang pohon. Siapa yang lemparannya paling akurat mendekati titik sasaran mendapat bagian seperempat rumput hasil ngarit setiap peserta kontes. Dan ia tak pernah kalah. Selalu pulang ke kambingnya membawa rumput tanpa capek-capek menyabit.

Menjelang usia remaja, ia pindah wilayah dan kerja di kantor semacam bank pengkreditan untuk rakyat. Kemudian ia belajar berbaris dan menembak. Tetapi ilmu utamanya untuk menjadi pemimpin bukan dari sekolah dan pengalaman kerja, melainkan dari pencerapan ilmu nenek moyangnya. Yakni "Ilmu Katuranggan", metode untuk mengenali, mengidentifikasi, menyelami, memetakan, dan memolakan watak-watak manusia. Digabung dengan “Ilmu Pranotomongso”, pandangan dan analisis tentang musim, segala macam musim yang berlaku dalam kehidupan alam dan manusia. Ia memimpin negara seperti pawang pengendali hujan, pengatur kemarau, penjinak angin, dingin, dan panas, siang dan malam.

Itu sekadar snapshot kebesaran salah satu pemimpin kita. Enam buku emas tebal untuk enam pemimpin tertinggi. Aku mencintai mereka semua. Semua rakyat pun mencintai mereka, dengan macam-macam cara. Ada yang memakai idiom gelas. Ada pemimpin gelasnya tak pernah kosong, meskipun selalu dituang-tuangkan menjadi gagasan besar, mimpi besar, dan pernyataan besar yang membahana ke seantero bumi. Ada pemimpin yang gelasnya juga penuh, tapi dijaga jangan sampai tumpah: gelas itu kalau ditambahi air akan tumpah, kalau diambil bisa mengurangi citra kepenuhannya.

Ada lainnya yang gelasnya baru diminum sedikit: mendadak hilang gelas itu. Lainnya lagi gelasnya bolong, saking jujur dan ikhlasnya, sehingga minuman apa pun dan seberapa pun saja dituangkan ke dalamnya akan langsung habis karena bolong bawahnya. Sementara itu, ada yang sampai akhir kepemimpinannya tak ketahuan gelasnya: bukan karena beliau tak mengerti gelas itu apa, melainkan karena sangat ketat menyembunyikan gelasnya.

Mahakaya Tuhan dengan ragam rupa ciptaannya. Ada sebagian rakyat yang mencari watak pemimpinnya melalui cara mengidentifikasi mereka dengan para pemimpin lama: Majapahit, Demak, Khalifah Empat, para rasul dan nabi, atau mengambil simbolisme dari dunia pewayangan dengan menyebut tokoh macam-macam: Bima, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, raksasa Kumbokarno, dan sebagainya.

Semuanya itu figur baik. Bima jujur gagah perkasa. Arjuna sakti pendiam, Gareng filsuf guru bangsa, Limbuk pengabdi yang setia tapi kritis, Kumbokarno raksasa besar pencinta dan pembela tanah air. Ada yang melalui jurusan Joyoboyo Syekh Ali Syamsu Zen hingga Ronggowarsito: pemimpin 2009 ini mesti dihitung berdasarkan parameter kualitas “satrio pinandhito sinisihan wahyu”.

Yang memimpin sekarang adalah Satrio Pambuko Gerbang, pembuka paradigma perubahan ke arah zaman baru. Sesudah itu, pemimpin sejati muncul dengan tiga syarat berkualitas tinggi. Ia harus "satrio": cakap, ulet, pejuang, prigel, profesional, menguasai multi-masalah, manajer pembangunan, dan panglima solusi. Tapi sekaligus harus lebih tinggi dari itu: "pinandhito", tak terpesona oleh harta dan kedudukan, filosofi hidupnya matang mendalam, punya "wisdom", arif dan adil dalam kehidupan nyata, "spiritually grounded", berkadar pemimpin rohani, kaliber "begawan" atau "panembahan".

Itu belum cukup. Ia harus "sinisihan wahyu". Harus tampak indikator bahwa Tuhan turut aktif dalam Pemilu 2009, terlibat mempengaruhi aspirasi konstituen, ikut memilih presiden sehingga tak mungkin pilihan Tuhan dikalahkan. Dalam pandanganku, semua yang tampil dalam kontes pemimpin 2009 memenuhi syarat Pak Ronggo itu, tinggal Tuhan mempergilirkan siapa duluan. Syukur-syukur Tuhan kali ini tidak membiarkan rakyat Indonesia memilih pemimpinnya tanpa "informasi" dari-Nya.
(Emha Ainun Nadjib/GATRA/1 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)

Senin, 26 Januari 2009

CAHAYA AURAT

Ribuan jilbab berwajah cinta
Membungkus rambut, tubuh sampai ujung kakinya
karena hakekat cahaya Allah
Ialah terbungkus di selubung rahasia

Siapa bisa menemukan cahaya?
Ialah suami, bukan asal manusia
JIka aurat dipamerkan di koran dan di jalanan
Allah mengambil kembali cahayaNya

Tinggal paha mulus dan leher jenjang
Tinggal bentuk pinggul dan warna buah dada
Para lelaki yang memelototkan mata
Hanya menemukan benda

JIka wanita bangga sebagai benda
Turun ke tingkat batu derajat kemakhlukannya
Jika lelaki terbius oleh keayuan dunia
Luntur manusianya, tinggal syahwatnya

(Emha Ainun Najib/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 22 Januari 2009

IBUNDA

Kalau ibunda membelai rambutmu
Kalau ibunda mengusap keningmu, memijiti kakimu
Nikmatilah dengan syukur dan bathin yang bersujud
Karena sesungguhnya Allah sendiri yang hadir dan maujud

Kalau dari tempat yang jauh engkau kangen kepada ibunda
Kalau dari tempat yang jauh ibunda kangen kepada engkau,
Dendangkanlah nyanyian puji-puji tuk Tuhanmu Karena setiap bunyi
Kerinduan hatimu adalah
Sebaris lagu cinta Allah kepada segala ciptaanNya

Kalau engkau menangis
Ibundamu yang meneteskan airmata
Dan Tuhan yang akan mengusapnya
Kalau engkau bersedih Ibundamu yang kesakitan
Dan Tuhan yang menyiapkan hiburan-hiburan

Menangislah banyak-banyak untuk ibundamu
Dan jangan bikin satu kalipun ibumumenangis karenamu
Kecuali engkau punya keberanian
Untuk membuat Tuhan naik pitam kepada hidupmu
Kalau ibundamu menangis,
Para malaikat menjelma jadi butiran-butiran air matanya
Dan cahaya yang memancar dari airmata ibunda
membuat para malaikat itu silau dan marah kepadamu

Dan kemarahan para malaikat adalah kemarahan suci
sehingga Allah tidak melarang mereka tatkala
menutup pintu sorga bagimu
Ibu kandungmu adalah ibunda kehidupanmu

Jangan sakiti hatinya, karena
Ibundamu akan senantiasa memaafkanmu.
Tetapi setiap permaafan ibundamu atas setiap kesalahanmu
akan digenggam erat-erat oleh para malaikat
untuk mereka usulkan kepada Tuhan
agar dijadikan kayu bakar nerakamu

(Emha Ainun Nadjib/"Ibu Tamparlah Mulut Anakmu"/PadhangmbulanNetDok)

Rabu, 21 Januari 2009

Makhluk Dari Planet Mana Israel Ini

Makhluk dari mana Israel ini, adigang adigung adiguna, boleh melakukan apa saja, pembunuhan massal, penggusuran besar-besaran, pemberangusan dan pemusnahan atas umat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan, kapan saja dia mau, tanpa sanksi yang memadai dari pihak manapun di muka bumi.

Nama kelompok kebangsaannya disebut paling banyak di Alquran, bahkan dipakai sebagai nama Surah. Beberapa identifikator sejarah penciptaan oleh Tuhan menyimpulkan yang disebut ‘’Dajjal’’, perusak dunia kelas wahid, berasal dari suku Yahudi ini dan berambut keriting. Tapi orang tidak benar-benar berani mengutuknya karena mereka keturunan Nabi Besar yang amat kita takdzimi, yakni Ibrahim AS, entah dari beliau Ismail atau Ishaq. Dan kemah ajaran beliau, millah Ibrahim, adalah induk segala ajaran, teologi monotheisme, nama beliau kita sebut pada rakaat salat kita semulia kekasih Allah, Muhammad SAW junjungan kita semua.

Mayoritas aset moneter global dan segala jenis modal perekonomian, bank dunia dan institusi-institusi keuangan primer dunia dipegang oleh turunan beliau dan strategi pengelolaannya sampai ke Kongres Amerika Serikat berada di genggaman turunan yang lain dari beliau juga. Sejumlah futurolog ekonomi menganjurkan anak-anak kecil sekarang mulailah diajari berbahasa Arab karena akan menjadi bahasa utama dunia: pergilah cari kerja ke Negeri koalisi 16 Pangeran di Jazirah Arab. Bahasa Ibrani tak perlu dipelajari, karena para fungsionaris dari Israel mungkin lebih pandai berbahasa Arab dibanding Raja Saudi dan lebih mlipis berbahasa Indonesia dibanding orang Indonesia.

***

Anda tidak akan paham menemukan peta Indonesia Raya dijadikan center display di sebuah web Israel dan Amerika Serikat. Juga agak miris melihat tanda warna merah pada daerah tertentu dari Nusantara. Di Belanda, November 2008 saya ngobrol panjang dengan pemimpin Yahudi internasional Rabi Awraham Suttendorp yang sangat mengenal Indonesia lebih detail dari kebanyakan orang Indonesia sendiri, sebagaimana di kantor Perdana Menteri Israel Anda bisa dolan ke sana dan melirik ruangan khusus yang berisi segala macam data tentang Indonesia segala bidang yang di-update setiap pekan.

Israel juga punya situs berbahasa Indonesia. Kepada Rabi saya tanyakan kenapa disain tengah atas atau puncak mahkota keagamaan yang beliau pakai memimpin peribadatan di Synagoge sama dengan disain bagian atas rumah-rumah Pulau Jawa bagian utara. Kenapa ibukota Israel tidak Tel Aviv saja tapi Java Tel Aviv. Kenapa kantor-kantor Yahudi di berbagai negara pakai kata Java. Apa pula hubungan dua konsonan yang sama itu: J dan W. Jewish dan Jawa. Mana yang lebih tua: Jewish atau Jawa. Kalau Sampeyan keturunan Nabi Ibrahim, apakah nenek moyang kami manusia Nusantara yang seluruhnya berpuluh abad yang lalu disebut Jawa atau Jawi adalah ‘’keponakan’’-nya Ibrahim ataukah lebih tua dari Ibrahim.

Dari dunia Jawa dimunculkan sedikit informasi bahwa beberapa waktu yang akan datang akan terjadi hasil ‘’taruhan’’ antara Yahudi (Jewish) dengan Jawa (bukan Jawa non-Sunda non-Batak dalam pengertian 100 tahun terakhir): Kalau Yahudi yang memenangkan persaingan memimpin dunia, maka mereka akan ajak Jawa menjadi rekanan kerja. Kalau Jawa yang ‘’juara’’ mereka akan berguru kepada Jawa.

***

Apa-apaan itu? Dari bidang ilmu dan teknologi diberitakan bahwa revolusi invensi atau penemuan-penemuan baru akan mengubah geo-ekonomi, geo-politik dan kebudayaan dunia dari Cina, Brazil, Jepang dan Indonesia.

Bangsa Indonesia memasuki 2009 sebagai ‘’orang lugu’’ dan tidak perduli pada dirinya sendiri karena habis waktu dan enerjinya untuk urusan kotak suara. Padahal sejumlah makhluk Tuhan di luar manusia yang ditugasi menemani pertumbuhan peradaban ummat manusia sudah menyiapkan dibukanya sejumlah penemuan di bidang telekomunikasi, energi dan pertanian.

Sengaja saya tuturkan kepada sidang pembaca hal-hal yang ‘’tidak-tidak’’. Nanti kita akan sampai ke yang lebih ‘’tidak-tidak’’ lagi: Lemorian, banjir Nuh, Parikesit, terciptanya pulau-pulau Kalimantan, Sumatra, Sulawesi dst. Dan akan saya sambung pada tulisan berikutnya pekan depan.

Tapi kita jangan bilang tidak masuk akal dulu sebelum kita bisa menjawab seberapa masuk akal kelakuan Israel sekarang ini: Dengan lancar dan mulus-mulus saja menghajar Palestina di depan rumah saudara-saudaranya sendiri sesama bangsa Arab, di depan hidung PBB.

Berdasarkan sejumlah ‘’khayalan’’ saya di atas, ucapkan: ‘’Ayo, Israel! Kalau berani jangan hanya berantem sama anak kemarin sore. Datang ke Indonesia, sini kamu, carok kita!’’.
(Emha Ainun Nadjib/Riau Pos/09 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 20 Januari 2009

Kemandirian

Kereta Purbaya mbludag penumpangnya. Ketika itu 'bau' lebaran memang belum usai. Orang tumpah-ruah sampai ke daerah pintu masuk. Namun Tuhan Maha Baik. Saya dapat tempat duduk.
Ada toilet yang tak beres. Air luber sampai keluar sehingga tempat sekitar sebuah pintu masuk jadi becek dan menjijikkan. Belum lagi 'aromannya'
Disitulah saya berdiri sambil berpegangan daun pintu. Sendirian. sebab orang lain memilih berdesakan ditempat lain dari pada 'berdomosili' di tempat seperti itu.
Tetapi pada dasarnya saya tak bersedia untuk terpaksa berdiri selama '6 jam' dari Yogja ke Jombang. Saya mau berdiri sepanjang perjalanan, tetapi tak mau terpaksa. Maka saya harus mencari semacam makna atau alasan kenapa 'perjuangan berdiri' ini mesti saya lakukan. Dengan demikian 'kalu saya lelah' itu bukanlah kelelahan oleh keterpepetan keadaan, melaikan karena perjuangan.
Tapi apa makna ? Melatih otot dan ketahanan kaki ? Belajar sabar ?
Menguji stamina ? Memakai keadaan itu untuk mengolah pemikiran tentang sesuatu hal, misalkan kenapa khalayak ramai jarang yang ingat bahwa negara kita punya utang yang luar biasa banyaknya.
Nah, sampai Prambanan, perjuangan saya adalah menentukan apa tema perjuangan yang sebaiknya saya lakukan.
Kemudian Klatenpun menjelang. Dan saya diperintah oleh seorang Ibu tua untuk pindah tempat agak ke dalam menjauhi pintu. Kaget saya, tentu saja. Sedang Bupati Jombang pun belum tentu memerintahkan sesuatu pada saya.
Rupanya Ibu itu mempersiapkan sesuatu. Ia, tampaknya, seorang bakul. Mungkin ia 'mracang', dan kulakan macam-macam di pasar Beringharjo atau entah dimana. Ada tiga paruh karung entah berisi apa disandingnya. Beberapa onggok kayu bakar.
Dua tumpukan kardus. Belum lagi semacam tenggok yang, saya lihat, segera di gendongnya dengan jarit di punggung.
Tentulah ia akan turun di Klaten.
Saya bilang saya tak usah pindah, nanti saya bantu menurunkan itu semua dari kereta. Tapi sang Ibu, atau lebih tepat Nenek, begitu acuh tak acuh terhadap tawaran saya. Ia bersikeras agar meminta saya bergeser ke tengah. Dan sebelum kereta berhenti, ia lemparkan karung itu satu persatu, juga kardus dan kayu.
Sedemikian rupa sehingga satu karung sudah ertinggal di sebuah gerbong terakhir, karung kedua di gerbong tengah dan seterusnya. Baru ketika kemudian kereta berhenti, ia turun dengan tenggoknya, lantas berjalan menyusuri rel sebelah menghampiri barang-barangnnya yang tertinggal.
Jelaslah bagi saya, nenek itu sedang menerapkan kemandirian, disetiap detik dan jengkal ruang kehidupannnya. Mripatnya yang acuh kepada saya tentulah sebenarnya berkata, " Kalau memang mau membantu, kenapa cuma menurunkan barang-barang ini dari kereta ?"
Nenek udik itu memang lebih rasional dan independen dibanding seorang dekan yang ketika pagi-pagi ia sampai di kantor kerjanya berkata kepada bawahannya: " ambil kan tas saya di mobil, ini kuncinya !"
Ia juga lebih tinggi derajatnya dibanding sementara pejuang rakyat yang canggih membikin proposal tentang orang-orang semacam Nenek ini, untuk diajukan dan ditukar dengan dana milyaran rupiah, dan untuk itu ia peroleh persentase untuk beli mobil atau peralatan rumah dengan segala kenikmatannya.
Tapi nenek itu tak akan pernah berkata, " Tak usah menolong saya,. Mulailah saja selenggarakan keadilan ekonomi sehingga di negeri kaya raya ini tak usah ada seorang nenek bekerja seperti saya .."
Nenek itu tak akan pernah berkata demikian, meskipun para cendekiawan atau para pejuang yang mewakili nasibnya juga belum tentu akan berkata demikian.

(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 14 Januari 2009

ANTARA MASJIDIL HARAM DAN MASJIDIL AQSA

Pangkal Dan Ujung Segala Peradaban

Mengapa Tuhan menurunkan hampir semua agama itu di sekitar jazirah Arab? Mungkin tuhan punya alasan, bahwa budaya Arab itu menakutkan, sehingga disana itu merupakan letak setan yang paling ganas dan juga malaikat yang paling suci. Maka acuan pertama adalah Subhaanalladzii asyroo bi 'abdihii laillamminal masjidil haraami ilal masjidil aqshalladzii baaraknaa haulahu linuriyahu min aayaatina innahu huwassamii'ul bashiiru, atas dasar ini bisa dikaji secara antropologi kosmologis, bahwa antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha ada satu lingkaran geografis yang oleh Allah dikhususkan untuk menurunkan segala macam puncak-puncak atau sumber-sumber barokah-Nya. Maka segala macam ilmu, eksak dan macam-macam tingkat yang paling arif dari ilmu sosial berasal dari sekitar lingkaran antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha. Bahkan kalau kita mencari sumber-sumber dan cakrawala musik, juga akan ditemukan juga.

Budaya Arab kalau dilihat di dalam Al-Qur'an, memperlihatkan adanya dua kutub yang luar biasa, dari api sampai salju, dari yanag paling panas sampai yang paling sejuk, dari yang paling buruk sampai yang paling baik. Bahkan peristiwa Musa AS, dengan Dzun-Nun yang sekarang terjadi di Indonesia yakni majmual bahraini, dimana ketika Nabi Musa lewat di pertemuan antara dua arus laut itu ikan yang mati tiba-tiba melompat menjadi hidup. Maka kalau ini diletakkan dalam konteks ke-Indonesiaan, bahwa peristiwa World Trade Center dan Pentagon di AS itu adalah saat-saat yang paling kreatif bagi bangsa Indonesia, pada saat inilah kalau bangsa Indonesia murni, yakin, dan tawakal, bersungguh-sungguh, akan mendapat hidayah lebih dari sebelum dan sesudahnya.

Sekarang ini tanah genting atau majmual bahraini, "laut sedang bertemu", di Indonesia dan tidak ada jalan keluar, tapi pada saat itu ikan yang sudah mati akan hidup kembali. Bangsa Indonesia justru mengalami hidupnya sekarang ini, masalahnya banyak orang yang tidak tahu mana yang sebenarnya hidup dan mana yang sebenarnya sudah mati.
Anda menyangka Gus Dur hidup padahal ia sebenarnya sudah mati.
Anda menyangka Amien Rais hidup, padahal ia juga sudah mati, dan orang seluruh dunia menyangka peristiwa di AS itu teroris padahal sesungguhnya itu adalah gerilyawan, bisa jadi sebuah perjuangan untuk melepas dari ketidakberdayaannya menjadi berdaya. Mati yang dimaksud , adalah mati dalam kriteria Allah, bukan mati di dalam kriteria manusia (materialisme), sebab kalau kita orang Islam, tentu tidak akan memakai cara pandang materialisme, sehingga banyaknya korban dalam tragedi di AS, dan pembajaknya itu kita hargai sebagai mujahid, dan setiap mujahid tidak ada yang mati menurut Allah.

Dan majmual bahraini itu juga terjadi, di antara Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha, maka titik antara keduanya kita lingkari, karena di situlah letak segala sesuatu dan Allah tidak memberi barokah ke tempat lain. Maka tidak ada nabi lahir di Jombang, Jogja, atau Ngawi, dll.
Tidak ada musik dahsyat yang tingkat kecanggihannya melebihi bainal masjidil haram minal masjidil aqsha. Anda boleh lihat musik Queen, Led zeplin, atau Edy Van de Bergh, bahkan Bethoven, sebenarnya ia tinggal masuk Islam, karena dipuncak eksplorasi musiknya ia harus lari ke Timur Tengah untuk menemukan puncak-puncak estetika, hal ini disebabkan oleh "alladzii baarokna haulahu linuriyahu min aayaatina", walaupun di antara dua kutub ini ada iblis yang paling ganas dan malaikat yang paling suci.
Sehingga mengapa nabi-nabi diturunkan di tempat itu? Karena kalau nabi diturunkan di tanah Jawa, uji cobanya terus bagaimana? Padahal uji coba sebuah agama itu harus di antara kedua kutub itu, harus dalam budaya Arab, dalam arti Timur Tengah. Maka Rasululullah, Nabi Adam, Musa, dll,lahir di Arab, dan tidak mungkin lahir di Ja-tim, Ja-Teng, sebab orang Jawa itu sesungguhnya kalau mau memakai hatinya, pikirannya sudah sangat Islam, tidak perlu ada firman sudah cukup. Cuma agar lebih sempurna dibutuhkan sholat, puasa, dll.
Tetapi sesungguhnya hatinya sudah cukup ber-sholat, dan berpuasa.

Dan orang Arab, ini bisa dilihat pada zaman Rasulullah : Ada seorang budak yang dibeli, dibebaskan oleh Rasulullah, dan sangking gembiranya ia naik ke atas bukit dan berteriak : "Allahu yarham Muhammad, Allahu yarhaamni, wala yarham ahad", bayangkan ia sudah dekat sekali dengan Rasulullah dan Allah, masih curang juga sifatnya, sebab ia berkata : " Ya Allah cintailah aku, cintailah Muhammad dan jangan cintai siapapun yang lain," inilah type orang Arab, di dalam doanyapun memproduk klaim soal Allah dan Rasulullah.
Produk seperti ini kemudian muncul di dalam kepedihaan-kepedihan sejarah pasca Rasulullah yang luar biasa kepedihannya. Bagaimana mungkin Rasulullah yang agung , yang badannya tidak tinggi, tidak rendah, yang alisnya melipis, yang kulitnya kemerah-merahan putih, yang hidungnya mancung,, yang selalu tersenyum, yang menambal sepatunya sendiri, yang tidur di atas pelepah daun kurma, ketika Aisyah tidak bangun untuk membukakan pintu pada tengah malam, orang yang begitu sederhana, tetapi ditaati oleh seluruh Jazirah Arab dan ditaati oleh begitu banyak manusia di dunia, sampai hari ini, sampai dinyanyi-nyanyikan dengan terbang, dan tidak seorangpun di dunia yang dicintai oleh umat manusia di dunia yang cara mencintai seperti itu, melebihi Muhammad Saw.
Seperti itu saja, ketika Rasulullah meninggal jenazahnya terbengkelai sampai tiga hari, tidak ada yang mengurusi, kecuali Siti Fatimah, Ali bin Abi Thalib, Aisyah, dan Fadhil bin Abas, dan ketika itu Sayidina Abu Bakar ,Umar, dan Utsman, tokoh-tokoh Anshor, tokoh-tokoh Muhajirin semua menyibukkan diri berkumpul di Saqifa, mereka bertarung dan berdebat untuk merundingkan dan menentukan, siapa khalifah sesudah Rasulullah. Orang yang begitu hebat, orang yang begitu membangun demokrasi kemanusiaan yang sangat tinggi nilainya, dan sangat dihormati oleh para sahabatnya, tetapi pada hari meninggalnya para sahabatnya melupakan jenazah beliau. Maka akhirnya hanya dikuburkan oleh lima orang, selesai menguburkan di tengah malam, pasukannya Umar datang ke rumah Ali bin Abi Thalib, agar menanda tangani pengangkatan Abu Bakar as Shidiq sebagai khalifah. Inilah budaya Arab, maka inilah alasan sehingga Islam diturunkan di tanah Arab.
Maka budaya Arab itu harus kita pahami betul, orang yang paling gagah berani dan patriotis adalah orang Arab, tetapi orang yang paling brutal juga orang Arab. Tetapi jangan lupa orang yang paling militan juga orang Arab. Sehingga budaya Arab ini, justru adalah suatu kutub yang ekstrim, supaya Islam muncul keindahannya, kalau Islam diturunkan di antropologi suku yang lain, pasti tidak begitu indah.

(13 oktober 2001)(Dari berbagai sumber : Paket Infak Karangkajen, Yk, Ceramah di Fak.
Sastra UGM, Yk)

(Emha AInun Nadjib/PadhangmBualnNetDok)

Syair Tukang Bakso

Sebuah pengajian yang amat khusyuk di sebuah masjid kaum terpelajar, malam itu, mendadak terganggu oleh suara dari seorang tukang bakso yang membunyikan piring dengan sendoknya.

Pak Ustad sedang menerangkan makna khauf, tapi bunyi ting-ting-ting-ting yang berulang-ulang itu sungguh mengganggu konsentrasi anak-anak muda calon ulil albab yang pikirannya sedang bekerja keras.

"Apakah ia berpikir bahwa kita berkumpul di masjid ini untuk berpesta bakso!" gerutu seseorang.

"Bukan sekali dua kali ini dia mengacau!" tambah lainnya, dan disambung - "Ya, ya, betul!"

"Jangan marah, ikhwan," seseorang berusaha meredakan kegelisahan, "ia sekedar mencari makan ..."

"Ia tak punya imajinasi terhadap apa yang kita lakukan!" potong seseorang yang lain lagi.

"Jangan-jangan sengaja ia berbuat begitu! Jangan-jangan ia minan-nashara!" sebuah suara keras.

Tapi sebelum takmir masjid bertindak sesuatu, terdengar suara Pak Ustadz juga mengeras: "Khauf, rasa takut, ada beribu-ribu maknanya. Manusia belum akan mencapai khauf ilallah selama ia masih takut kepada hal-hal kecil dalam hidupnya. Allah itu Mahabesar, maka barangsiapa takut hanya kepadaNya, yang lain-lain menjadi kecil adanya."

"Tak usah menghitung dulu ketakutan terhadap kekuasaan sebuah rezim atau peluru militerisme politik. Cobalah berhitung dulu dengan tukang bakso.
Beranikah Anda semua, kaum terpelajar yang tinggi derajatnya di mata masyarakat, beranikah Anda menjadi tukang bakso? Anda tidak takut menjadi sarjana, memperoleh pekerjaan dengan gaji besar, memasuki rumah tangga dengan rumah dan mobil yang bergengsi: tapi tidak takutkah Anda untuk
menjadi tukang bakso? Yakni kalau pada suatu saat kelak pada Anda tak ada jalan lain dalam hidup ini kecuali menjadi tukang bakso? Cobalah wawancarai hati Anda sekarang ini, takutkah atau tidak?"

"Ingatlah bahwa tak seorang tukang bakso pun pernah takut menjadi tukang bakso. Apakah Anda merasa lebih pemberani dibanding tukang bakso? Karena pasti para tukang bakso memiliki keberanian juga untuk menjadi sarjana dan orang besar seperti Anda semua."

Suasana menjadi senyap. Suara ting-ting-ting-ting dari jalan di sisi halaman masjid menusuk-nusuk hati para peserta pengajian.

"Kita memerlukan baca istighfar lebih dari seribu kali dalam sehari," Pak Ustadz melanjutkan, "karena kita masih tergolong orang-orang yang ditawan oleh rasa takut terhadap apa yang kita anggap derajat rendah, takut tak memperoleh pekerjaan di sebuah kantor, takut miskin, takut tak punya jabatan, takut tak bisa menghibur isri dan mertua, dan kelak takut dipecat, takut tak naik pangkat ... masya allah, sungguh kita masih termasuk golongan orang-orang yang belum sanggup menomorsatukan Allah!"

(Emha Ainun Nadjib/1987/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 08 Januari 2009

Fir'aun dan Tiga Kebenaran

Kalau disederhanakan ada tiga model kebenaran yang berlaku dan dialami manusia. Pertama, benarnya sendiri (benere dhewe).
Kedua, benarnya orang banyak (benere wong akeh). Dan, ketiga kebenaran hakiki (bener kang sejati).

Sejak mendidik bayi sampai menjalankan penyelenggaraan negara, manusia harus sangat peka dan waspada terhadap sangat berbahayanya jenis kebenaran yang pertama. Artinya. orang yang berlaku berdasarkan benarnya sendiri, pasti mengganggu orang lain, menyiksa lingkungannya, merusak tatanan hidup bersama, dan pada akhirnya pasti akan menghancurkan diri si pelakunya sendiri.

Benarnya sendiri ini bisa berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di kampung, di pasar, kantor, sampai ke manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial yang lebih luas berupa otoritarianisme, diktatorisme, anarkisme, bahkan pada banyak hal juga berlaku pada monarkhisme atau teokrasi.
Benarnya sendiri melahirkan Fir'aun-Fir'aun besar dalam skala negara dan dunia, serta memproduk Fir'aun-Fir'aun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di organisasi, bahkan di warung dan gardu.

Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi pada kalangan yang yakin bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi.
Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan di mana para pelaku demokrasi menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya sendiri mengenai demokrasi. Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini sebagai seorang demokrat sejati --ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di forum-forum nasional maupun internasional sebagai seorang demokrat teladan-- ternyata pandangan-pandangan kolektif itu khilaf.

Padahal demokrasi adalah tingkat kebenaran yang lebih tinggi, yakni benarnya orang banyak. Demokrasi adalah logo-nya kehidupan modern. Ia bahkan melebihi segala Agama, bahkan
diletakkan 'lebih tinggi' dari Tuhan.

Tapi, apakah orang banyak pasti benar? Meskipun kebenaran mayoritas itulah pencapaian tertinggi yang bisa dibayangkan oleh ilmu pengetahuan politik yang paling rasional? Bukankah sejarah ummat manusia juga mencatat kengerian terhadap diktatorisme mayoritas?
Bagaimana kalau kebanyakan orang dalam suatu bangsa tidak punya kemampuan untuk memilih mana yang benar, mana yang baik, mana tokoh, mana pemimpin, mana panutan, mana politisi, mana
negarawan, bahkan mana Ulama, mana Sufi dan lain sebagainya - sebagaimana tragedi besar besar panjang yang hari-hari ini sedang dialami oleh bangsa Indonesia?

Kita sangat mantap membangun proses demokratisasi, memfokuskan diri pada 'suara rakyat', atau dengan kata lain: benarnya orang banyak. Bukan kebanyakan warga suatu suku menganggap dan
meyakini bahwa membunuh, memenggal kepala, mencincang-cincang tubuh dan memusnahkan suku yang lain adalah kebenaran?
Belum lagi kerepotan kita dengan para pencoleng elite yang ke mana-mana mengatakan bahwa ia menggenggam kebenaran rakyat banyak, sehingga menyebut dirinya dan orang lain dengan tolol
ikut menyebutnya demokrat.

Benarnya orang banyak sangat penuh kelemahan dan sama sekali tidak mengandung jaminan keselamatan di antara para pelakunya, bahkanpun bagi pelaku diktatorisme mayoritas itu sendiri.
Benarnya orang banyak harus disangga oleh sangat banyak faktor lain: kematangan budaya, tegaknya akal dan kejujuran, pendidikan yang memadai, kedewasaan mental kolektif dan lain
sebagainya. Demokrasi tidak bisa berdiri sendiri. Demokrasi adalah ilmu yang belum dewasa dan pengetahuan yang masih timpang terhadap kenyataan manusia.
(EMHA Ainun Nadjib/Republlika/15 April 2001/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 07 Januari 2009

Peringatan dari Pembantu Rumahtangga

SEORANG pembantu rumahtangga dari Gang Bayi, RT-1/ RW-3 Desa Gogorantai - GPR - Kediri, Jawa Timur bersurat kepada saya "untuk mengurangi beban saya sebagai anak yang tersisih dari pergaulan dengan teman-teman seusia saya, karena rendahnya martabat saya sebagai pembantu rumahtangga", katanya.

Ia menulis bahwa kemanapun ia pergi, di manapun ia duduk, orang-orang di sekelilingnya memandang rendah, menganggap saya tak ada harga di mata mereka. "Orang-orang yang terhormat dan kaya itu hanya punya satu hal untuk saya, yaitu perintah. Mereka menindas dan memeras orang lemah, hanya mulutnya saja yang manis. Padahal kalau dilihat dari segi pengetahuan, tentu juragan lebih punya kasih sayang kepada sesama manusia dibanding yang dimiliki orang bodoh macam saya".

Kita memperoleh dua pelajaran ilmu sosial dan psikologi dari kalimatnya itu.

Pertama, bahwa masyarakat kita yang sudah modern dan maju, sudah melewati PJPT-1, masih menganggap rendah manusia hanya karena ia berstatus sebagai pembantu rumah-tangga.

Kedua, ternyata tingginya tingkat pendidikan dan luasnya ilmu seseorang, tidak membuat kasih sayang sosialnya meningkat.
Pada pandangan saya, yang pertama itu ironis, sedangkan yang kedua sesat.
Selanjutnya pembantu rumahtangga kita itu mengatakan, "Juragan saya jelas orang yang beragama, sehingga tentunya ia berkasih sayang dan suka menolong sesama manusia, terutama yang lemah dan miskin. Tapi kenyataannya juragan tidak demikian.
Orang miskin hanya dijadikan sarana untuk memenuhi kebutuhannya".
Ia menulis, juragannya tidak takut kepada Allah. Hidupnya hanya mengunggulkan harta, kecantikan dan kemewahan saja. Apakah di akherat nanti semua bisa menolongnya?
Kalau mereka tahu itu kenapa mereka melanggarnya?
"Pembantu tidak dapat tanda jasa, tanpa balasan kasih sayang, padahal jelas jam tiga pagipun ia selalu siap diperintah. Pembantu hanya wajib dimarahi, diperintah, diancam, dituduh semaunya, tidak boleh membantah, tidak boleh menjawab satu katapun meskipun dalam posisi yang benar.
Sangat sedih hati saya, kalau posisi benar tapi dituduh salah".
Kita peroleh lagi dua pelajaran. Pertama ilmu agama, terutama masalah akhlaq.
Dan kedua, ilmu politik dan kekuasaan.
Dan empat pelajaran itu lahir tidak dari perpustakaan, referensi atau buku-buku, melainkan bersumber dari pengalaman otentik, dari keringat dan airmata realitas, dari nurani yang jujur dan pikiran yang jernih.
Jadi, itu ilmu sejati. Mutu dan pahalanya sepuluh kali lipat dibanding dosen yang mentransfer kalimat-kalimat dari buku ke diktat para mahasiswanya.
Jadi, apakah ia bodoh? Apakah ia rendah? Apakah ia lebih bodoh, lebih rendah, lebih tidak punya harga dibanding kita serta juragannya?
Ia mengumpamakan pembantu rumahtangga itu seperti binatang yang tidak punya puser. "Kalau sudah begitu saya hanya bisa menangis. Ya Alloh, berilah aku pekerjaan, sehingga aku bisa meringankan beban Bapak dan Ibuku", katanya lagi.
Ia kemudian menuding saya. "Apakah Cak Nun juga akan berlaku demikian? Apakah Cak Nun juga akan memandang rendah saya? Apakah surat saya ini dibaca oleh sekretaris Cak Nun? Kalau begitu apa nanti tidak dibuang ke tong sampah? Cak Nun, kenapa saya tidak diberi kelebihan seperti Pak Habibie atau Susi Susanti sehingga saya harus menerima hal yang seperti ini? Tapi kalau saya melihat anak yang cacat, saya menangis.
Betapa adilnya Tuhan...".*****
Emha Ainun Nadjib/1993/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 06 Januari 2009

AMBIL SI PENARI UNTUKKU TARIANNYA

Dzu Walayah membawaku mengembara.

Telah berulangkali kukunjungi tempat-tempat itu, namun bersamanya menjadi berubah cara berjalanku serta menjelma baru mata-pandangku.
Kuajukan kepadanya beribu-ribu pertanyaan seperti Ibrahim menggalah beribu-ribu bintang, kureguk jawaban-jawabannya yang mesra bagai anak kambing menyusu putting induknya.

Namun tentang satu hal, Dzu Walayah selalu menghindar, ialah tentang wihdatul wujud, Allah dengan hamba-Nya manunggal.
Tatkala kami duduk-duduk istirah di tepian pantai, ia meminta – “Ambil seciduk dua ciduk air samudera untukmu, sisakan ombaknya berikan kepadaku.”
Ketika di malam hari aku merasa kedinginan oleh hembusan angin yang amat kencang, ia lepaskan kain sarungnya dan berkata – “Pakailah ini untuk selimutmu, tapi helai-helai benangnya biarlah untukku.”

Dan ketika di lapangan pojok dusun itu bersama-sama kami menyaksikan acara tayuban yang riuh rendah oleh musik, teriakan dan birahi, Dzu Walayah menggamit pundakku – “Pergilah ambil penari itu untukmu, tapi terlebih dahulu berikan kepadaku tariannya.”
(Emha Ainun Nadjib/Padhang mBulan NetDok)