Selasa, 31 Maret 2009

DEVOLUSI PERANGKAT VITAL

Selalu ada waktu untuk melakukan pekerjaan yang "benar" dan "baik".
Selalu tersedia waktu untuk melakukan "pekerjaan benar" dan "baik"
dengan cara yang benar dan baik pula.
Dan selalu disediakan kesempatan untuk membuat "kebijakan" bagi "kebajikan" untuk sesama makhluk dunia.

Kebijakan yang tidak membuahkan kebajikan adalah proses "disfungsi perangkat organik" dari "harkat kemuliaan" manusia.
Harkat adalah derajad sedang kemuliaan adalah potensi.
Potensi yang ditaburkan Tuhan ke dalam `hati´ manusia.
Manusia bukanlah `sosok makhluk mulia´, namun ia diberikan potensi kemuliaan. Ia akan menjadi makhluk mulia ketika potensi kemuliaannya difungsikan, sebaliknya ia dapat menjadi makhluk yang hina ketika potensi kemuliaannya diabaikan.

Hati adalah "perangkat -vital" organ kemanusiaan-manusia, dimana terdapat potensi kemuliaan yang tersimpan di dalamnya. Di dalam potensi kemuliaan terdapat kemampuan untuk berlaku `bijak (wise)´. Dan ketika perlakuan bijak dilaksanakan, maka `bajik (goodness)´ dapat dirasakan oleh orang-orang yang tersentuh oleh taburan kebijakan yang dibuatnya.

Kebijakan bukanlah policy, karena kebijakan dilaksanakan oleh perangkat vital manusia yang bernama hati, dimana ketulusan dan keikhlasan bersemayam. Policy adalah produk dari serangkaian olah pikir yang digerakkan oleh energi `ambisi´ dan dikemas dalam bentuk strategi.
Seperti yang pernah diajarkan, bahwa dalam kemasan "strategi (strategy)" terdapat siasat, yang di dalamnya juga ada kandungan "taktik (tactic)" dan di dalam taktik terkandung elemen "trik (trick)" atau bahasa awamnya pengelabuan.

Stategy orang yang berusaha tulus dan ikhlas adalah "Strategi untuk tidak berstrategi", karena dalam vibrasi keikhlasan tidak terkontaminasi oleh nada sumbang pengelabuan (tricky). Bagi pendidik yang ikhlas tidak perlu ada `strategi pendidikan´, karena mendidik adalah pekerjaan mulia yang memerlukan kelapangan dada. Bagi pemimpin yang ikhlas tidak perlu ada `strategi pembangunan´, kerena mensejahterakan rakyat adalah konsekwensi tanggung-jawab pengabdian diri sang pemimpin kepada TuhanNya.

Devolusi (devolution) adalah serangkaian proses degenerasi yang berlaku secara massal yang diawali oleh perubahan `kebiasaan mata (what I see)´, `kebiasaan mulut (what I say, what I eat and what I drink)´ dan `penerimaan telinga (what I hear)´ yang matang menjadi `persepsi (perception)´ hingga mampu merubah `perilaku (behavior)´ yang menyimpang dari hakekat, maksud dan fungsi penciptaan dirinya.

Jika burung beo, mampu mengucapkan selamat pagi atau good morning sebagaimana yang diajarkan tuannya itu namanya Evolusi..
Perilakunya berubah ketika menyapa siapa saja yang ada dihadapannya. Ketika masyarakat harimau tidak berebut daging yang diberikan tuannya dan tidak berebut wilayah serta bertarung untuk memperebutkan siapa yang berhak menjadi raja rimba, maka ia mampu berlaku `mirip´ sebagaimana hakekat penciptaan manusia. Kedua binatang ini lebih beradab daripada generasi sebelumnya.

Ketika dalam masyarakat manusia, ada tatanan yang mengatur perebutan kekuasaan dan kekuatan maka fenomena ini disebut devolusi. Hakekat peradaban masyarakat manusia bukanlah siapa yang berhak menjadi penguasa, melainkan siapa yang "layak" menjadi "pemimpin (leader)". Dalam tata nilai masyarakat manusia beradab, seseorang tidaklah perlu mengikuti ukuran siapa yang "kuat (powerful)", melainkan siapa yang mampu memberikan "manfaat (usefulness)"

Devolusi menghasilkan generasi yang derajatnya lebih rendah (down-grade generation) dari induknya. Devolution is not only biological fallacy, but is the process of the tenancy of humanimalization! Demikian kata Gregory R. Mendoza

Bijak, bajik, tulus, ikhlas, pemimpin dan manfaat atau policy, strategi, kekuasaan dan kekuatan serta ambisi semuanya benar. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang perlu disalahkan. Bukan saya benar, anda salah atau anda benar dan saya salah. Urusannya bukan terletak pada kecerdasan manusia atau kreatifitas dalam berbuat, melainkan pada tingkat kepekaan hati untuk merasakan koordinat posisi diri dan memahami ke-arah mana ia sedang menempuh jalan.

Tak layak melarang se-ekor katak untuk berhenti meloncat, karena sesungguhnya ia sedang berjalan. Tak layak melarang ayam untuk berkokok, karena sesungguhnya ia sedang menyapa dunia. Namun anda boleh tertawa ketika ada se-ekor Monyet yang sudah menggenggam pisang lalu dibuang karena menginginkan `banana´ yang dimakan se-ekor Monkey.

"Laku lampah tumapak ing sadengahing titah. Sitinggil tan keno rinekodoyo (perjalanan selalu berlaku pada setiap makhluk. Harkat-martabat tak dapat di rekayasa)"

Identitas Adalah Klenik yang Sangat Temporer(i)

"Kasus" Pancasila dan lubuk sikap budaya kemanusiaan menunjukkan bahwa sejarah kebudayaan selalu merupakan proses berbagi. Tema orisinalitas dan tanda identitas menjadi amat relatif. Dalam keadaan ini kita temukan seolah `yang paling kebudayaan' ialah dimensi-dimensi kedalaman. Tetapi `roh dalam' itu sendiri universal, bahkan berdimensi (dari dan menuju) transendental.

Kita mungkin akan menyebut masyarakat Baduwi atau Amish Society untuk `pemihakan' kepada keaslian kebudayaan. Padahal itu bukan `kasus kebudayaan' seperti yang dimaksud oleh standar pengertian kebudayaan yang biasa kita maksudkan, melainkan kasus dunia dalam: sikap rohani, prinsip religousitas, pola tertentu dari ketakwaan dan keimanan.

Kalau umpamanya kita ambil sudut pandang bahwa kebudayaan ialah `kepribadian masyarakat':
kita mengerti keduanya tidak lahir dan tumbuh secara ekslusif dan `otonom'. Kebudayaan selalu berupa hasil pergaulan, saling memberi dan meminta, antar individu, antar kelompok masyarakat. Kita tidak akan pernah bisa `menghentikan' individu sebagai individu itu sendiri sepenuhnya-apalagi kalau kita percaya `seseorang lahir dari dan karena orang lain', `engkau ada karena yang lain karena ada'. Demikian pula kedudukan setiap masyarakat-apabila kita bayangkan ia-sebagai individu. Kepribadian `individu masyarakat' terbentuk ketika dan karena pernah meminta dan memberi.

Proses saling berbagi itu berlangsung dalam berbagai konstelasi: masyarakat-masyarakat, individu-masyarakat, bahkan Tuhan-individu-masyarakat, dst. Di Indonesia struktur kekuasaan yang jelas berupa negara-masyarakat-individu. Urutan itu menunjukkan tingkat besarnya kekuasaan. Kekuasaan negara yang besar atas masyarakat dan individu mencerminkan-misalnya-sistem dan kultur politik di mana daya tawar-menawar masyarakat dan individu rendah. Meningkatnya daya tawar-menawar itu hanya dimungkinkan jika sebuah individu merangkak naik bergabung ke dalam `individu negara'. Meningkatnya daya kekuasaan masyarakat paralel dengan berlaku tidaknya mekanisme demokrasi.

Kekuasaan masyarakat atas individu muncul dalam kuatnya kontrol masyarakat atas individu. Batas antara lingkar urusan sosial dan urusan pribadi tak jelas. `Pribadi masyarakat' sangat ikut campur pada `individu pribadi'. Ketika kita pacaran dengan mahasiswi kost di kampung itu, kita berlaku sebagai `pribadi individu' yang melawan `pribadi masyarakat' yang mewajibkan kita pulang sebelum jam sepuluh malam dalam keadaan utuh. Ketika kita menjadi petugas Siskamling dan menangkap basah muda-mudi yang hampir berzina di paviliun sebelah itu, kita berlaku sebagai `pribadi masyarakat'. Atau bisa juga ketika menangkap itu sebenarnya kita berlaku sebagai `pribadi individu', ialah karena cewek itu sesungguhnya kita senangi tapi diambil pemuda yang lebih terpelajar dan dibekali Bapaknya, Jimmy yang masih kincling-kincling.

Individu dan masyarakat kita masih sedang belajar untuk berbagi. Individu menawarkan demokrasi dan mungkin liberalisme, masyarakat menyodorkan hukum moral, kesehatan akhlak, atau bukti kebutuhan individu terhadap pendidikan dan kontrol masyarakat.

Lha Baduwi dan Amish berbagi dengan siapa?

Mungkin dengan penghayatan mereka terhadap alam, Tuhan, individu dan masyarakat lingkar mereka sendiri. Mungkin mereka berkata: "Tuhan tidak bertanya kamu pakai baju apa, pernah bikin musik eksperimen atau tidak, tetapi apakah kami mendorong kehidupanmu kepada-Nya". Atau, "Tuhan bisa saja peduli kepada pesawat Columbiamu atau rekor-rekor internasionalmu, tetapi yang ditanyakan bukanlah kecanggihan teknologi dan prestasimu, melainkan nilai apa yang kau berikan kepada pekerjaan itu". Artinya, tak penting apapun saja model `kebudayaan' yang dibangun, tapi ia bermakna apa bagi kehidupan.

Yang manakah yang lebih kebudayaan: bangunan budayanya ataukah pemberian maknanya? Seorang Kiai akan bilang, "Terserah engkau akan berperilaku budaya seperti apapun atau berkarya budaya sedakik apapun, tetapi yang menjadi pokok kebudayaan manusia sebenarnya ialah apakah karya dan perilaku tersebut bisa menjadi perangkat dan penyemangat ketakwaanmu. Kalau engkau memandang karya sebagai karya itu sendiri, sebenarnya itu adalah kapasitas penyembahan berhala."

Jadi untunglah kita sudah senantiasa memaparkan bahwa syarat pertama untuk menjadi menteri, anggota DPR, padagang, tukang bakso, sinden maupun petinju, ialah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kalau pembicaraan mengenai kebudayaan pada akhirnya tak bisa mengelakkan diri dari dimensi-dimensi kedalaman, yang universal dan mungkin transendental, maka tampak betapa relatifnya standar-standar yang selalu kita pakai dalam membincangkan kebudayaan. Dengan penuh kekhusukan kita selalu merindukan `Film yang Indonesia', Kritik sastra yang Indonesia', Sistem ekonomi yang Indonesia', Ilmu Sosial yang Indonesia', bahkan `Sepakbola yang Indonesia'.
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 26 Maret 2009

Persoalan-persoalan Kebudayaan Konkret Sekaligus Abstrak(ii)

Lubuk Sikap Budaya Kemanusiaan

Dengan ringan sering kita kemukakan Pancasila adalah endapan rumusan asli kebudayaan bangsa Indonesia—meskipun yang diambil ialah lapis filsafatnya. Kalau itu kita sepakati, berarti kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan kemanusiaan seluruh penduduk di muka bumi.
Pancasila bersifat universal dan kita bisa jumpai Pancasila di alam fikir dan alam rasa masyarakat manapun di dunia—termasuk kalangan masyarakat yang mungkin merasa tidak ber-'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Sebab apa yang disebut keadilan sosial, demokrasi, kebijaksanaan atau peradaban, sesungguhnya tak lain dari dimensi ketuhanan.

Seluruh penduduk bumi berkeberatan Pancasila dihilangkan. Tapi Pancasila bukan kebudayaan melainkan sebagian butir ayat Tuhan yang ditemukan oleh kreativitas manusia. Dengan keterbukaan Pancasila terhadap berbagai kemungkinan penerjemahan makna dan sistemisasi nilai-nilainya, kita bukan saja tidak akan memusnahkan `kebudayaan Indonesia', melainkan justru sedang mencarinya. Ini lepas dari kemungkinan bahwa Pancasila dimanipulir, diredusir atau dimonopoli oleh salah sebuah kekuasaan politik dan pemikiran—sehingga menjadi ekslusif dan menjadi alat kekuasaan.

Dengan demikian Pancasila tidak menyediakan jawaban bagi pertanyaan kebudayaan Indonesia. Ia justru menunggu jawaban itu: ia adalah ruh yang menunggu badannya tiba. Bahkan dengan jujur bisa kita kemukakan bahwa dari sejarah pra-Indonesia kita hampir tidak memiliki—substansial dan sistemik—pengalaman yang terkandung di dalamnya, seperti, kerakyatan, keadilan sosial, hikmat kebijaksanaan dan musyawarah dalam arti sebenar-benarnya. Kita lebih banyak punya kerajaan, kesepakatan semu, atau kebijaksanaan yang diungkapkan mewakili realitas yang bermakna sebaliknya.

Dengan fenomena Pancasila yang berposisi mirip `roh terbengkalai' kita justru dengan sadar sedang membuangi banyak hal yang selama ini kita kenali sebagai kebudayaan bangsa Indonesia. Dengan Pancasila seolah kita sedang berusaha berdoa semoga terjadi kehilangan-kehilangan tertentu dalam yang kita sebut kebudayaan Indonesia.

Ambil `perilaku sosial' umpamanya. Feodalisme adalah realitas kenegaraan dan kemasyarakatan yang—pasti—termasuk di antara yang kita maksudkan sebagai kebudayaan asli Indonesia. Feodalisme, pada masyarakat kita, sudah tidak harus langsung berkaitan dengan penguasaan tanah atau pola kekuatan lain: ia sudah bisa terjadi sebagai kebiasaan yang seolah tanpa `sebab'. Ia sudah suatu keniscayaan soial budaya. Semoga hilang, kan?

Kalau Camat makin cenderung menjadi Raja kecil, kalau seorang dosen makin malas dan gengsi untuk membawa tasnya sehingga menyuruh pegawai kantor fakultas untuk mengambilnya di mobil, kalau rumah-rumah menjadi potret kecil kerajaan kerucut-feodal, kalau sebuah perusahaan stagnan `profesionalisme'-nya berdasar hirarki usia sehingga untuk bisa maju musti nunggu Boss `modar mampus', kalau dosen-dosen agen modernitas berperilaku seperti Ibu-ibu kampung cari kutu sambil ngrasani dan nggosipkan urusan pribadi orang lain, kalau duren itu enak apa tidak terserah keputusan Bapak, kalau pelajar dan mahasiswa harus mengemis dan melayani para pegawai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kalau sang mahasiswi musti bersedia dipacari oleh Pak Dosen supaya lulus, kalau pemimpin agama dan tokoh partai boleh pesan cepat dapat ijazah sarjana dengan hanya kuliah setahun dua kali di universitas petualang, kalau dan kalau—maka tentulah semoga kebudayaan macam itu segera musnah.

Kalau hal-hal macam itu yang kita sebut kebudayaan Indonesia, maka benarlah kita yang terus berfikir untuk menemukan `kebudayaan lain.

Atau identitas materiil? Kita bisa melihat soal yang sederhana: mungkin kita bermaksud tidak mengganti batik dengan jeans atau bertahan pada tikar pandan dan menolak tikar plastik. Di mana kita berdiri? Lebih pada memandang pengusaha batik sebagai produser identitas budaya pribumi, atau pengusaha batik sebagai kelas ekonomi yang makin lemah? Memandang industriawan kecil tikar pandan sebagai pengabdi kebudayaan nasional atau sebagai teri yang ditindih oleh modal besar? Apakah kita akan berkata: "Biar saja dimelaratkan asal entah bagaimana bertahan pada pola budaya tradisi," ataukah: "Yang penting ialah meningkatkan daya negosiasi ekonomi, dan bukan mempertahankan sentimen budaya yang toh akan punah tergusur." Sesungguhnya pilihan aksentuasi perhatian kita berangkat dari lubuk sikap budaya kemanusiaan kita. Lubuk sikap itu lebih merupakan indikator kebudayaan dibanding apa yang telah muncul sebagai `fisik kebudayaan'.

Akan tetapi pandangan terakhir ini terelativisir apabila kita mengejarnya lebih dalam. Lubuk sikap budaya kemanusiaan itu disumberi mungkin oleh naluri nurani, mungkin juga oleh prinsip-prinsip agama. Sehingga di sini indikator identitas kebudayaan itu gugur.

(selesai)
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)

Persoalan-persoalan Kebudayaan Konkret Sekaligus Abstrak (i)

Alangkah `kekal' persoalan kebudayaan! Alangkah kongkret ia: menguras cinta, harga diri, tapi juga kecemasan. Dan, pada saat yang sama, alangkah abstrak! Teramat luas dan rumit pengertiannya, dengan ratusan definisi dan ribuan pemahaman.Tiap hari kita menggunakan kata kebudayaan, seolah-olah ia sedemikian jelas. Tiap hari pula kita memperdebatkannya, seolah-olah tak satu kalipun pernah kita genggam kejelasannya. Bagai sungai deras airnya, mengalir dan bergerak. Kita terpesona atau cemas. Kita ciduk segelas air darinya: air itu tetap air sungai itu, tapi juga sudah bukan air sungai itu, melainkan air gelas. Keduanya sangat berbeda. Seolah-olah kita harus menciduk bukan saja airnya, tapi juga geraknya, alirannya!
Kita bisa membedakan antara dua skala pengertian: seni-budaya dan kebudayaan. Seni-budaya itu sempit saja artinya. Yakni ekspresi estetis. Terserah apakah yang diekspresikan itu bersumber dari keseluruhan dimensi kehidupan manusia, ataukah bagian tertentu saja. Terserah apakah ia dibagi menjadi yang tradisional dan yang modern, ataukah dibagi berdasar pendekatan lain yang bermacam-macam. Juga terserah apakah ekspresi itu dirahimi oleh semangat estetika saja ataukah dibayitabungkan oleh ideologi, politik dan agama. Yang penting batasnya sebagai ekspresi estetika.

Adapun kebudayaan itu sedemikian luasnya sehingga mungkin saja tak pernah sungguh-sungguh bisa dimengerti. Disebut bahwa segala kecenderungan yang terjadi dalam politik, ekonomi, hukum, birokrasi atau ritus, adalah cermin dari bagaimana kebudayaan manusia mengolah sejarahnya. Agama, yang `tercampak' dari langit, di-'budaya'-kan oleh manusia. Dalam jumlah rentang waktu tertentu dari proses kreatif sejarah, kebudayaan disebut peradaban. Tetapi tradisi kebudayaan tertentu yang terjumpai secara `mikro' lewat perilaku-kecil seorang dusun, juga disebut peradaban. Yang jelas sikap dan gaya manusia dalam menghadapi kehidupan, persoalan, lombok, logam, cinta, langit, Tuhan dan gejala-gejala alam, mencerminkan apa yang disebut kebudayaan.

Misalnya Anda mungkin terlibat organisasi yang mengelola dan menyantuni kepentingan beberapa pihak: buruh, petani, nelayan, wanita, dan seniman-budayawan. Seni-budaya adalah bagian seperti wanita adalah juga bagian. Tapi kebudayaan, ialah inisiatif, landasan, iman atau apapun yang mendasar bagi kemanusiaan yang `mengilhami' dan memberi ruh kepada semua segi tersebut. Kalau kata `ruh' segera kita konotasikan kepada Agama, maka yang dimaksud tentulah Agama yang telah di-kebudayaan-kan.

Tetapi apakah sesungguhnya yang paling kebudayaan dari seluruh pengertian di atas?

Apa tanda-tanda yang dipersyaratkan bagi sebuah kebudayaan suatu kelompok masyarakat? Dengan logika bahwa jika tanda-tanda itu lenyap berarti lenyap pula kebudayaan masyarakat tersebut? Atau kebudayaan bukanlah tanda-tanda yang tampil, melainkan `rohani' di belakang tanda apapun?

Kalau orang Aceh nanti mengganti Randai dengan teater modern dan orang Jawa memproses Ketoprak menjadi bukan lagi ketoprak, apakah Aceh dan Jawa kehilangan kebudayaannya? Kalau anak Obahorok tak lagi pakai koteka, cucu Kromoembuh tak lagi pakai blangkon, apakah mereka meninggalkan kebudayaannya? Kalau Mukini dari Sumenep tak lagi memandang bahwa pohon di sudut desa itu angker, kalau penduduk Sulawesi Selatan menjadi anti-sirik, apakah mereka berubah kebudayaan? Kalau Jaka Kendhil kini tak lagi berklenik-klenik dan mengubah namanya menjadi Jack Kendall sambil suka memegang-megang jidatnya tanda sudah menjadi intelektual canggih, apakah ia Malin Kundang dari Ibu kebudayaannya? Kalau lingkungan yang semula penuh dupa menyan kini bersajadah, yang dulu pecandu tahayul berat kini rasional, dulu primitif kini pascaprimitif, dulu khusuk mengabdi ke atas kini kenal demokrasi—telah meninggalkan kebudayaannya?

Adakah modernisasi berjalan bertentangan dengan apa yang kita maksud dengan kebudayaan? Bagaimana menjelaskan bahwa sesungguhnya kita sedang mengkerjasamakan inisiatif modernisasi dengan pemeliharaan orisinalitas kebudayaan?

Alhasil, pada lapis dimensi mana tanda-tanda kebudayaan itu kita temukan? Perilaku sosial? Kecenderungan umum? Sikap kealamsemestaan? Warna sejarah? Karya seni? Ketakwaan dan kepercayaan? Cara memasak sayur? Gaya hidup? Atribut identitas material? Bahasa?

Secara khusus kita juga bertanya bagaimana bisa sekaligus kita berbincang tentang kebudayaan Indonesia yang belum jelas, `baru dicari' dan `belum ketemu', dengan tentang `kebudayaan Indonesia yang dikhawatirkan akan punah'? Apa saja yang sebenarnya kita khawatirkan akan punah?

(bersambung)------>
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 22 Maret 2009

Kesedihan Sosial

Beragam tema dalam sedikit banyak tulisan saya seringkali merupakan `tangan panjang' dari sesambatan [pengaduan, keluh kesah] banyak orang yang disampaikan melalui saya. Baik yang datang langsung menemui saya maupun yang menumpahkannya secara tertulis di dalam surat-surat yang `pilu'. Keluhan dari—kebanyakan—wong cilik. Yang menderita karena nasib-nasib personalnya maupun karena `musibah' strukturalnya.

Tapi saya memperkirakan bahwa sisa usia saya di dunia ini akan lebih banyak diisi oleh kesedihan dibanding kegembiraan. Karena kebanyakan problem yang sampai pada saya itu tidak mampu saya carikan penyelesaiannya. Sebab saya sendiri juga tidak lebih dari wong cilik [rakyat kecil] juga, yang lemah dan tidak berdaya.

Saya selalu sangat sedih karena betapa banyak saudara-saudara saya yang saya tidak sanggup menolongnya, tidak mampu mengeluarkannya dari problem yang menimpa mereka. Jadi, kesedihan hati saya ini kesedihan sosial, bukan kesedihan pribadi. Kalau pribadi, saya sudah terlanjur mengusahakan diri untuk tidak sedih dan tidak gembira. Biasa-biasa saja. Meskipun saya diperlakukan seperti seorang pencopet yang diawasi setiap gerak-gerik saya. meskipun saya (pernah) diisukan pindah Agama, dituduh mengacau oleh para pengacau, meskipun ada selebaran gelap menyebut saya iblis atau dajjal, bahkan dengan begitu saya memperoleh tawaran kemuliaan, yakni dengan mendoakan ampunan Tuhan bagi mereka.

Dan saya jamin di dalam seluruh tabung kesedihan dan kegembiraan itu hanya saya muatkan rasa syukur yang mutlak kepada Tuhan. Ada juga sih rasa jengkel, mengkel [marah], gedeg, dan lain sebagainya, tapi selalu saya upayakan untuk saya tepis. Yakni pasti, harus tidak ada amarah atau rasa dendam, meskipun kepada orang yang menikam punggung saya ataupun menusuk hati saya.
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)

Kadar Kesetiaan

Sedemikian tinggi dan mendalamkah seorang hamba Allah mesti terbang dan melayang ke semesta ilmu dan kemuliaan? Tidakkah manusia bisa bersikap wajar dan biasa-biasa saja? Ataukah itu alibi untuk memaafkan kelemahan diri, keterbatasan, dan kekurangannya dalam melakukan sesuatu?

Jangan dengarkan suaraku, karena suaraku buruk. Dengarkanlah suara Tuhan...

Kalau suaraku buruk, orang justru akan sangat mengingatnya karena tersiksa. Kalau suaraku agak bagus, orang mengingatnya, tapi dengan kadar yang lebih rendah dibanding ingatan terhadap suara buruk -- sebab kecengengan manusia terhadap penderitaan cenderung lebih besar dibanding rasa syukurnya terhadap kegembiraan.

Dengan ungkapan dan jawaban saya itu kenapa kau terpaku pada suaraku? Di situlah letak ketidakberhasilan yang saya maksud.
Orang menikmati terangnya lampu tanpa mengingat kabel listrik.
Orang menikmati makanan enak di warung dan tidak bertanya siapa nama orang yang memasaknya di dapur. Penyanyi, pembaca puisi, qari, pelukis, muballigh, penyampai ilmu, pembawa hikmah, atau fungsi-sungsi nilai apa pun, hanyalah 'kabel listrik'.

Tidaklah senonoh kita menuntut orang untuk mengagumi kita sebagai kabel listrik, sebab yang sampai ke mereka adalah cahaya. Tukang listrik jangan kasih dan taruh lilitan kabel-kabel ke wajah orang. Kita para seniman, ulama, pengurus negara, pekerja sosial, fungsionaris-fungsionaris sejarah, di wilayah mana pun dari kehidupan umat manusia -- wilayah mana pun dari kehidupan umat manusia -- hanyalah pengantar cahaya, bukan cahaya itu sendiri. Seperti rembulan, kita hanya memantulkan cahaya matahari agar menimpa bumi. Terkadang kita malah merekayasa berlangsungnya gerhana matahari untuk mengantarkan kegelapan, tetapi sambil memobilisasi orang untuk mengagumi kita.

Seandainya pun sebagai rembulan kita setia memantulkan rahmat Tuhan ke bumi kehidupan manusia, yang kita andalkan untuk mendapatkan nilai bukanlah cahaya itu sendiri, melainkan kadar
kesetiaan.
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)

HIDUP: MEREM ATAU MELEK

Kearifan atau kedalaman penghayatan atas hidup tidak hanya bisa datang dari para filsuf atau perenung yang "sudah terakreditasi" dari Socrates hingga Damardjati Supadjar, tapi bisa juga lahir dari orang-orang "biasa" yang seringkali tak terduga. Alur berpikirnya mungkin tak sesistematis para filsuf kondang, tapi ungkapannya boleh jadi tak kalah berbobot dengan mereka. Kadangkala apa yang dikatakannya tampak begitu sederhana meski bukan berarti bersifat menyederhanakan atau bahkan nggampangke.
Contoh tentang hal itu datang dari seseorang yang pernah saya temui di suatu sore di sebuah kampung di Yogyakarta yang dengan sangat dalam mengatakan pada saya bahwa sebenarnya
hidup itu isinya kan cuma dua hal. Apa itu? " Merem atau melek!" , jawabnya. "Ya, kalau pas melek kalau bisa ya berbuat baik!", tambahnya. Hidup yang begini silang sengkarut, ramai, riuh rendah dan penuh tetek bengek di matanya cukup berintikan dua fenomena saja: merem atau melek.
Dalam merem -tidur- tak banyak hal yang terjadi, paling jauh mimpi (baik basah maupun kering) atau molet alias menggeliat.
Intinya: hilangnya kesadaran dan tidak bekerjanya sebagian besar indra dan organ tubuh kita, sehingga sangat sedikit aktivitas yang bisa kita lakukan. Tapi dalam melek , banyak peristiwa kita saksikan, banyak suara-suara kita dengarkan, banyak makanan minuman kita telan, banyak kegiatan kita kerjakan. Sebab, dalam melek , tidak sebagaimana pada waktu merem , sebagian besar indra kita berada dalam keadaan aktif.
Nah, pencetus "merem atau melek" itu mewanti-wantikan agar dalam situasi melek kalau bisa kita berbuat baik. Dan, di situlah masalahnya: di tengah banyak indra kita yang aktif kita dituntut untuk mempunyai kontrol yang kuat untuk bisa mengendalikan organ dan indra dalam diri kita. Padahal, sadar atau tidak, dalam keadaan melek banyak hal yang bernilai kurang baik, entah haram atau syubhat, yang kita kerjakan.
Mungkin mata kita memandang apa yang seharusnya tidak kita pandang. Mungkin telinga kita mendengarkan apa yang sebaiknya tidak kita dengarkan. Mungkin pikiran ita habis untuk ngrasani
kejelekan orang lain atau merencanakan hal-hal yang makar kepada Allah. Dan seterusnya dan seterusnya.
Dalam konteks merem dan melek itulah, Maiyah -sebagai konsep maupun acara- pada hemat saya bisa kita pandang sebagai sejenis cara yang secara sadar ditujukan agar kita memiliki kemampuan dalam mengendalikan indra-indra kita pada saat melek. Maiyah bisa kita hayati sebagai sebuah pengkondisian yang memungkinkan kita untuk senantiasa terlibat dalam proses kebaikan sehingga melek yang kita alami benar-benar efektif dan tidak mubadzir dengan terserap kepada hal-hal yang
tidak-tidak. Ya, meskipun ketika bunyi-bunyian musik dan shalawat itu mengalun kita mengikutinya dengan merem. Atau, ketika menghadiri acara maiyah, mungkin kita mengikutinya dengan terkantuk-kantuk alias "merem" seraya, meminjam ungkapan Ustadz Wijayanto, memproduksi aqua alias ngeces. Wallahu a'lam.
(Emha Ainun Nadjib/2003/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 12 Maret 2009

Dermawan Umar

Teman kita satu ini sering kami juluki sebagai Umar bin Khattob. Bukan saja karena perangainya yang keras dan sikapnya yang tegas dalam menggenggam nilai kebenaran dan keadilan. Tapi terutama karena ia 'membuang' hampir 75% kekayaannya untuk orang banyak yang membutuhkan, sebagaimana Sayyidina Umar.

Macam-macam cara dia `beramal'. Misalnya ia menjadi "Bank Tanpa Bunga", meskipun omset kecil-kecilan, untuk para tetangga yang betul-betul membutuhkan. Terserah para tetangga sendiri mau janji gimana, mau nyicil per-berapa dan berapa bulan sekali. Sebenarnya sih uang itu mau dia kasihkan saja, tapi kalau metodenya demikian, akan tidak menguntungkan bagi pendidikan dan etos tanggungjawab bagi para peminjam.

Macam-macam pula orang datang kepadanya untuk minta bantuan. Uang untuk mengurangi keterjeratan dari rentenir. Uang untuk membeli tiket menemui Ibu jauh di seberang pulau. Uang untuk kepanitiaan ini itu. Uang untuk lara-lapa [bersusah payah, berusaha] mengembara mencari ilmu. Uang untuk menggali tokoh tersembunyi di daerah sana untuk diwawancari dan dijadikan buku. Uang untuk biaya rumah sakit. Uang untuk bikin master rekaman musik. Uang untuk tambahan biaya mau jadi sarjana utama. Uang untuk baca puisi keliling. Dan lain sebagainya.

Dan Umar kita ini tidak bisa tahu sebenarnya siapa saja yang datang kepadanya. Dia tidak mungkin ngetes [menguji] apakah ia jujur. Uang yang diterimanya nanti akan digunakan untuk apa. Juga dia tidak menyelidiki apakah orang yang minta bantuan itu sungguh-sungguh kepepet ataukah ngarang [merekayasa, fiktif] saja.

Sebab bagaimana akan tahu? Betapa tersiksanya untuk tidak percaya kepada sesama manusia? Untuk menanyakan punya KTP atau tidak, untuk menguji apakah benar ia sedang menderita. Begitu banyak orang yang datang, dan ia hanya bisa melakukan satu hal: mempercayai mereka dan mengungkapkan kasih sayang sosial sejauh yang ia mampu.

Suatu hari sesudah seorang Ibu datang kepadanya nangis-nangis menceritakan penderitaan hidupnya, lantas ia kasih uang—kawan-kawannya berkomentar, "He! Kau ditipu. Orang itu acting saja. Biasa modus operandi macam itu!"

Umar kita menjawab, "Kayaknya sejak awal saya sudah tahu bahwa Ibu itu menipu. Tapi keadaannya memang kongkret memerlukan bantuan. Bahwa untuk mendapatkan bantuan ia menggunakan cara menipu, itu urusan dia. Saya tidak punya posisi untuk menuding atau membuktikan bahwa ia menipu, tapi saya juga tidak bisa sekedar menganggapnya menipu sehingga tidak saya kasih bantuan. Jadi, biarlah dia menipu, biarlah dia puas bahwa saya seakan-akan percaya pada tangisnya. Kalau tidak salah, Tuhan sendiri tahu persis bahwa sangat banyak hamba-hamba-Nya menipu-Nya tiap hari. Mengingkari janji untuk patuh kepada-Nya, padahal ngapusi [bohong/dusta]. Tapi apakah dengan itu lantas Tuhan menghentikan terbitnya matahari, gara-gara Dia mangkel [sakit hati] ditipu manusia?"

Namun akhir-akhir ini si Umar tidak bisa lagi gemagah [merasa paling gagah] dan mbagusi [merasa paling bagus] dengan memamerkan kebesaran jiwa seperti itu. Karena perlahan-lahan muncul isyu dan bahkan selebaran gelap yang mendiskreditkan namanya. Misalnya, dikatakan bahwa amal-amal yang dilakukan itu sebenarnya sekedar untuk menutupi kenyataan bahwa ia mendapatkan biaya besar dari suatu pihak yang rahasia untuk menciptakan gerakan-gerakan subversif. Selebaran dan telepon-telepon gelap lainnya menyatakan bahwa ia membiayai X dan Y untuk pergi ke suatu tempat membeli sejumlah bahan peledak.

Ketika saya konfirmasikan kepadanya ia menjawab, "Saya hanya didatangi macam-macam orang yang minta tolong kepada saya. Kalau saya tidak ngasih, nanti mereka marah. Kalau saya kasih, mungkin saja pemberian saya itu mereka pakai untuk sesuatu yang tidak saya tahu.

Sekarang saya jadi ingat, terkadang satu dua orang datang mengatasnamakan kelompok yang memerlukan dana: sesudah saya kasih tahu bahwa tidak semua yang saya berikan itu disampaikan kepada kelompok. Diunthit [dikorupsi] sebagian untuk pribadi mereka..."

"Lantas bagaimana?" tanya saya lebih lanjut.

"Saya jusru ingin minta bantuan nasihat kepada Ente," katanya, "Mungkin kalau orang datang minta sesuatu kepada saya, hanya saya kasih bantuan kalau ia membawa surat dari pihak yang berwajib yang melegitimasikan permainannya itu. Juga dalam serah terima bantuan itu harus melalui surat hitam di atas putih yang jelas. Lucu ya?"
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 11 Maret 2009

Indonesia Tak Butuh Iblis

Dalam kehidupan politik dan kebudayaan di Indonesia sering disebut-nyebut kata iblis, sebagaimana sering juga disebut-sebut kata setan, malaikat, tuhan atau Tuhan, fir’aun, dajjal, atau hantu, monster, gendruwo, dlsb.
Orang menyebut iblis atau setan biasanya tidak untuk menuding iblis atau setan itu sendiri, melainkan untuk memberi gelar kepada sesama manusia.
Misalnya ada lima kategori manusia. Kategorisasi ini memakai idiom fiqih Agama, tapi tidak dimaksudkan debagai prinsip hukum, melainkan budaya.
Ada ‘manusia wajib’, artinya orang yang orang lain tak mau kehilangan dia, karena dia baik dan dicintai. Ada ‘manusia sunat’, di mana orang merasa eman kalau nggak ada dia, meskipun tidak menggebu-gebu mempertahankannya. Ada ‘manusia mubah’ atau ‘manusia halal’, yakni yang wujuduhu ka’adamihi, ada dia kita nggak untung, nggak ada dia kita nggak rugi. Ada ‘manusia makruh’, di mana orang merasa lebih baik nggak ada dia daripada direpoti olehnya.
Terakhir yang paling gawat: ‘manusia haram’. Orang bersikeras agar dia tak ada, agar dia dijatuhkan dari kursinya, agar ia diadili dan dihukum, bahkan didoakan agar segera mati. Bahkan kalau ada orang mati, lainnya menyesal: “Kok bukan si Anu itu yang dipanggil Tuhan...”
Namun harus dicatat, ‘manusia wajib’ di mata manusia, belum tentu sama di mata Allah. ‘Manusia haram’ di pandangan manusia, belum pasti Tuhan berpandangan demikian.

***
Seseorang, umpamanya Soeharto, yang dalam proses sejarah tiba pada posisi “diharamkan” oleh banyak orang, dalam berbagai ungkapan selalu digelari dengan idiom-idiom itu: iblis, setan, monster, dajjal, fir’aun. Bahkan tokoh Agama seperti Pak Amin Rais menyebutnya Fir’aun Jawa.
Pak Harto secara eksplisit mengeluh kepada saya tentang gelar dari Pak Amin itu. “Hati saya ngresulo”, katanya.
Saya coba menjawab seadil mungkin secara ilmu maupun empirik:
“Pak Amin tentu memiliki hujjah atau argumentasinya sendiri dengan penyebutan itu. Dan itu urusan Pak Amin dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhan. Pada hakekatnya hanya luthf (kelembutan pandangan) Allah yang paling mampu dengan detail menakar berapa prosentase kefir’aunan hambaNya. Adapun manusia, sejauh-jauh prestasinya hanyalah perjuangan untuk berendah hati di dalam kesadaran bahwa setiap hamba Allah yang bernama manusia memiliki potensi kefir’aunan dan potensi ke-Musa-an atau ke-Muhammad-an di dalam dirinya masing-masing. Dengan kata lain, Fir’aun, Musa, Muhammad, Malaikat dll. bisa kita pahami sebagai potensialitas kejiwaan pada diri manusia, dan tidak harus merupakan oknum atau pribadi. Ketika Musa diperintahkan oleh Allah agar mendatangi Fir’aun untuk menanyakan apakah RajaLela itu mau membersihkan diri atau tidak -- bisa kita maknai bahwa potensi Musa kita mendatangi potensi Fir’aun kita sendiri untuk menyampaikan tawaran
gratis dari Allah itu. Jadi sekarang masalahnya kembali kepada Pak Harto sendiri. Seberapa serius Pak Harto menggali potensi dirinya sendiri dan mencoba mengukur berapa kadar kefir’aunan Pak Harto, dan sudah lahirkan Musa yang akan melawan kefir’aunan itu, meskipun dulu bayi Musa (bayi lelaki, alias kejantanan dan kehormatan rakyat) Pak Harto kejar-kejar untuk dibunuh sehingga sang bayi dihanyutkan ke sungai....tapi kemudian mencengkeramkan tangan kebenarannya ke leher Pak Harto”.
***
Saya dan kita semua bisa ikut menakar Soeharto: berapa benarnya, berapa salahnya, mana baiknya, mana buruknya. Di level mana saja benar salah baik buruknya itu: level moral, level hukum formal, level ilmiah, level kultural, atau apapun. Sambil wanti-wanti kepada diri sendiri melalui firmah Allah: “Janganlah kebencianmu kepada seseorang membuatmu bersikap tidak adil”.
Akan tetapi bisa jadi hasil penilaian kita tidak seratus persen sama dengan al-lathif, Yang Maha Lembut itu. Yang kita ketahui hanya satu, yang tak kita ketahui tak terhingga jumlahnya. The real judge adalah Allah swt. Kita mungkin tidak pernah siap untuk melihat dan menerima kenyataan bahwa seseorang yang ‘kita nikmati dalam kebencian’ dan kita sebut iblis, ternyata bisa juga ingin memperbaiki diri. Lebih tidak siap lagi membayangkan bahwa ia bertobat. Kita memerlukan orang jahat tetap sebagai orang jahat, demi kelegaan hati kita. Kita katakan kepada diri kita sendiri: “Pak Harto itu pengiiin banget lho masuk neraka! Sehingga dia terus mengincar untuk berkuasa, terus menggalakkan kerusuhan....”
***
Pokoknya Pak Harto harus kita pertahankan sebagai satu-satunya simbol iblis di Indonesia, sehingga kita yang dulu ikut aktif dalam sistem iblis itu selama berpuluh-puluh tahun bisa terbebas dari tudingan. Kita langgar persepsi ilmiah bahwa keiblisan Orde Baru itu kolektif, mustahil individual: kita pertahankan cara pandang ini dengan segala cara.
Tetapi tidak saya persoalkan apakah pemakaian kata-kata iblis dlsb. itu berangkat dari hubungan-kesadaran, sampai ke etimologi dan teologi, ataukah sekedar pinjam istilah. Sebagaimana Pancasila dan UUD-45 menyebut kata ‘Tuhan’ dan ‘Allah’ bisa jadi sekedar oper idiom, karena kemudian di dalam praksis kehidupan bernegara kita tidak lagi penting apakah Tuhan dan Allah dijadikan rujukan utama atau tidak bagi kemungkinan makhraj (solusi) dari masalah-masalah yang menimpa.
Sesungguhnya sangat menarik untuk membicarakan iblis, lengkap dari perspektif ilmu fisika, biologi, teologi dan budaya. Misalnya bahwa suku cadang kemakhlukan kita ini sama dengan iblis, setan, malaikat, batu, dan apapun saja makhluk Tuhan. Hanya saja speed molekular-nya berbeda, komposisi dan aransemen keatomannya berbeda, sehingga karakter chromosome-nya juga lain, termasuk hak dan kewajiban yang diberikan oleh Penciptanya juga tak sama -- sehingga habitat dan perilaku, alias kebudayaan dan peradabannyapun berbeda.
Yang paling menarik kali ini adalah bahwa ternyata kita di Indonesia sama sekali tidak butuh iblis....
***
Cobalah kita kuliti sejumlah perbedaan antara kita dengan iblis, umpamanya. Sebagaimana beda kita dengan binatang sangat jelas: kalau macan sudah makan kambing dan kenyang, maka ia bisa tidur damai dengan ratusan kambing, sampai ia lapar kembali dan memakan hanya seekor lagi seperti di-sunnah-kan olehNya.
Sementara kita, meskipun sudah punya lima proyek besar, masih terus sanggup menyikat puluhan proyek lain -- sehingga hancurlah Orde Baru. Manusia dipinjami kemerdekaan dan demokrasi, dan ia mengerjakannya belum tentu dengan kedewasaan dan nurani kemanusiaan, malah kebanyakan dengan nafsu dan unbounded posessiveness: rasa ingin memiliki yang tak ada batasnya.
Semoga rencana-rencana kekuasaan, melalui sekian banyak partai-partai politik, tidak bermuatan hal semacam itu. Kalau orang bertanya: partai politik itu ingin kebaikan atau kemenangan? Ataukah ingin kemenangan untuk memperjuangkan kebaikan? Kalau yang terasa dominan adalah napsu untuk menang, maka adanya muatan semacam itu sangat kita kawatirkan.
Semoga kemenangan PKB adalah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Semoga kemenangan PDI Perjuangan, PAN, atau Golkar atau apapun, hanya punya satu arti: ialah kemenangan seluruh rakyat Indonesia. Kalau kemenangan parpol adalah hanya kemenangan parpol itu sendiri, akan tetap celakalah nasib rakyat.
Keserakahan, nafsu, rasa serba tak cukup, watak api -- itu jelas watak utama iblis yang diajarkan kepada manusia. Dan ajaran itu tidak hanya bisa merasuk ke jiwa Soeharto, tapi juga bisa ke Wagimin, Megawati, Tukijo, Amin Rais, organisasi dan kumpulan-kumpulan, atau apapun. Bahkan niat baikpun bisa menjelma jadi napsu.
Cukup banyak bukti bahwa di negeri ini kita tak memerlukan ajaran iblis lagi untuk ‘sekedar’ berlaku rakus kepada dunia. Sehingga, sebagaimana Adam melorot derajatnya dari sorga ke bumi, kitapun melorot izzah (kehormatan) kebangsaan kita dari kemewahan ke krismon dan kristal (krisis total). Kita kutuk penjarahan oleh rakyat sesudah sekian puluh tahun kita ajari mereka menjarah. Kita laknat kerusuhan oleh rakyat sementara terus menerus kita rusuhi hati mereka, pikiran mereka, telinga mereka, dengan kerusuhan mulut dan sistem budaya kita.
***
Iblis tidak pernah merasa dirinya benar, dirinya baik, dirinya suci. Sementara kita memiliki kecenderungan yang sangat besar untuk merasa benar, merasa baik dan merasa suci -- sehingga orang lain yang kita tuduh harus bertobat -- itupun kita larang ia bertobat. Padahal kita ketakutan setengah mati kalau ia tidak bertobat sehingga mengamuk.
Dalam hal melarang manusia bertobat, kita sama dengan iblis. Tapi dalam hal memahami konsep tobat, iblis unggul dari kita. Kita tidak tahu bahwa pertobatan kepada Allah dipersyarati oleh keberesan masalah dengan sesama manusia. Artinya kalau punya hutang, harus bayar dulu; kalau bersalah, dihukum dulu oleh manusia, baru Allah membuka pintu ampunannya. Kita tidak tahu itu, sedang iblis tahu persis.
Iblis, sesudah menggoda manusia dan menjerumuskannya agar dibakar oleh kobaran api dari dalam napsunya sendiri, berkata kepada Tuhan: “Wahai Tuhan, sesungguhnya aku sendiri takut kepadaMu...”. Sementara pada kita sangat sedikit indikator bahwa kita takut kepada Tuhan. Kita berani mengabaikan pembelaan Tuhan atas rakyat kecil. Kita bisa mendustai mereka berpuluh tahun.
Kita bahkan sanggup menyalurkan bantuan makanan kepada rakyat sambil mencopetnya. Kita tega mengumum-umumkan obsesi pribadi kita akan kekuasaan di depan rakyat yang sangat mengalami kesulitan hidup. Kita bisa dengan ringan menutup telinga bahwa bagi rakyat hanya tiga hal yang prinsip: hidup aman, sembako murah, bisa menyekolahkan anak.
Tentang presidennya siapa, silahkan mau Kirun mau Timbul. Dalam hatinya rakyat berpedoman: yang penting bukan ‘siapa’nya, melainkan apa produk positifnya untuk kesejahteraan rakyat. Mohon bikin metodologi riset atau jajag pendapat yang bertanggung jawab terhadap kandungan substansial kemauan rakyat banyak, bukan hanya omongan beberapa puluh orang di sekitar kantor kita.

***
Iblis dan setan, sesombong-sombongnya mereka, setakabur-takaburnya mereka, seratus persen sadar bahwa mereka melakukan kejahatan dan perusakan. Mungkin karena itu tidak kepada iblis dan setan, melainkan kepada manusia, Tuhan memberi peringatan: “Janganlah engkau membuat kerusakan di muka bumi”, dan manusia menjawab dengan congkak: “O, tidak, yang kami lakukan ini adalah perbaikan...”
Kalau Tuhan menyebut “orang-orang yang membangun”, kita merasa itu pasti kita. Kalau Tuhan bilang “orang-orang yang merusak”, kita yakin merekalah yang dimaksud oleh Tuhan itu. Yang buruk pasti mereka, yang baik pasti kita.
Padahal manusia dijadikan mandataris kehidupan alam semesta dengan argumentasi bahwa manusia itu dholuman jahula. Lalim dan bodoh. Artinya, manusia sanggup menjadi pemimpin karena modal utamanya adalah rasa bersalah telah berbuat lalim, belum bisa menolong orang lain, sehingga ia senantiasa mendorong diri untuk berbuat sebaik-baiknya. Modal utamanya adalah sanggup merasa bodoh, tidak pinter, tidak unggul dari siapapun -- sehingga ia selalu berendah hati untuk belajar.
Last but not least, tidak ada ceritanya masyarakat iblis dan setan bertengkar satu sama lain, sebagaimana kita manusia selalu dan terus menerus bertengkar memperebutkan khayal masing-masing, mempertahankan benernya sendiri (kefir’aunan) terus menerus, memerlukan kehinaan saudaranya sendiri untuk mendapatkan kejayaan, membutuhkan kehancuran sesama manusia untuk memperoleh yang ia sangka kehormatan.
Walhasil Indonesia benar-benar tidak butuh iblis atau setan, sebab potensialitas keiblisan, kesetanan dan kefir’aunan kita, pada sejumlah hal, sudah melebihi setan, iblis dan fir’aun yang asli. Mudah-mudahan saya keliru.
(Emha Ainun Nadjib/1999/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 05 Maret 2009

Fatwa Tukang Becak

Perjalanan ulang alik Yoga-Jombang biasanya kami (saya dan saudara-saudari atau teman-teman) lakukan di paruh malam yang kedua.
Naik bis yang kecepatannya supir ngedap-ngedapi selama 4-5 jam, subuh menyongsong kami di tempat tujuan. Terkadang malah hanya tiga setengah jam, atau malah hanya beberapa kejapan saja - karena kami 'tewas' sepanjang perjalanan.
Tak pernah terlintas ide di benak saya unuk mencoba menerapkan mekanisme demokrasi di bis : misalnya, semua unsur merundingkan berapa kecepatan bis sebaiknya. Saya biasanya pasrah saja. Tak pernah melontarkan kritik kepada bagaimana sopir menjalankan roda pemerintahannya. Tak perlu mengonrol. Paling hanya evaluasi, yng toh saya 'peti-es' kan sendiri, tidak saya 'press release' kan.
demikianlah, malam itu, kami menunggu bis ke Solo atauYogya di perempatan njomplangan atau teteg sepur deka stasiun Jombang. Becak berderet di sana, menunggu semacam janji hari depan, tanpa batasan siang atau malam.
Kami menunggu bis favori kami. api karena malam, tak bisa langsung tampak bis apa yang akan lewat. Jadi satu-satunya jalan ialah menjalankan semacam taktik atau srategi atau penipuan.
Semua bis kami stop. Kalau bis ternyata ke Kediri atau Ponorogo, kami jujur bilang "Ke Yogya" Kalau yang lewat adalah bis ke Yogya tapi bukan favorit kami, kami berbohong "Ke Ponorogo!"
Demikian berlangsung berulang-ulang. Para tukang becak guyup membantu kesibukan kami "memilih masa depan".
Salah seorang tukang becak bahkan berlaku seperti saudara kami sendiri: aktif menolong menyetopbis dan mengobrol di setiap 'pause'. Dan ketika kemudian hujan mendadak turun, ia mempersilakan kami berlindung di becaknya, sementara ia numpang di becak sisinya.
Hujan berkepanjangan. Tiba-tiba tukang becak itu nyeletuk: "Ya inilah hukuman bagi orang yang berbohong!"
Kami terkesiap. Tak tahu mau berkata apa-apa.
"Tapi memang kalau meningkatkan taraf hidup memang harus pandai bohong" - ia melanjutkan - "Kalau jujur saja nanti hanya dapat bis yang jelek dan lambat."
Dan ia terus melanjutkan - "Tapi ya untunglah Cak, Tuhan menghukum langsung, jadi nanti di akhirat lebih ringan. Untung juga Tuhan masih mau menghukum, itu namanya Dia tresno, kita tidak di-ujo saja..."
Kami benar-benar meenjadi bisu.
Sambil akhirnya bis favorit itu tiba, si tukang becak mempersilakan kami dan berkata - "Selamat tidur Cak! Mudah-mudahan sudah lunas hukumnya!"
Saya malah tak bisa tidur. Apa benar sudah lunas? Apalagi keadaan hidup sekarang ini membuat dosa tak terasa sebagai dosa.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 04 Maret 2009

Sudah Kubuang-buang

Sudah kubuang-buang tuhan
Agar sampai ke yang tak terucapkan
Namun tak sekali ia sedia tak hadir
Terus mengada mengada bagai darah mengalir

Sajakku beranak-pinak
Dikungkung tuhan sendirian
Perih cintaku berteriak-teriak
Takut ditolak keabadian

Sudah kubuang-buang tuhan
Sudah kulupa-lupakan
Sampai ingat dan lupa
Lenyap jaraknya

Sampai tahu tak atau menjelma
Baginya tak beda
Sampai gugur mainan ada tiada
Yang menghimpitku di tengahnya

Sudah kubuang-buang
Sudah kubuang-buang
Ia makin saja tuhan
Makin saja Tuhan

1996

(Emha Ainun Nadjib/"Kumpulan Sajak Cahaya Maha Cahaya"/Salman/PadhangmBulanNetDok)

Para Ahli Kubur Dari Jombang

Tulisan ini saya bikin dengan asumsi dasar bahwa para pembaca percaya ada Allah dengan kekuasaan-Nya. Di salah satu tayangan televisi, muncul seorang kiai dengan nasihat sangat bijak, kurang-lebih begini: "Jangan minta kepada Ponari, Ponari itu makhluk. Jangan minta kepada batu, batu itu makhluk. Jangan berlaku syirik sehingga menjadi manusia musyrik. Mintalah Khaliq, Allah Swt...."

Sangat pendek tapi cespleng. Media massa sangat mengerti kecerdasan masyarakat, sehingga cukup pendek saja. Setiap yang mendengarkan fatwa itu meneruskan sendiri dalam hati dengan logikanya: "Jangan minta kesembuhan kepada dokter, dokter itu makhluk. Jangan minta kepada pil dan obat-obatan, pil dan obat-obatan itu makhluk. Jangan berlaku syirik, sehingga menjadi manusia musyrik."

Ya Allah ya Rabbi ya Karim, wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air. Kalau Nabi Musa pegang tongkat, bersama pasukannya dikejar tentara Firaun, mendapat perintah dari Allah, "Pukulkan tongkatmu ke air laut!" Lantas laut terbelah, pasukan memasuki belahannya, kemudian Firaun dan tentaranya mengejar ke belahan itu, namun tenggelam karena air menutup kembali, mohon dengan sangat jangan simpulkan bahwa yang dipegang Musa itu "tongkat sakti", sehingga Nabi Musa juga "Maha Dukun" yang sakti.

Mohon dengan sangat, jangan rumuskan bahwa tongkat Nabi Musa mampu membelah laut, mampu menerbitkan mata air dari batu kering, meskipun insya Allah bisa bikin pecah kepala kita. Apalagi lantas dengan metodologi ilmiah tertentu, para pakar meneliti tongkat itu mengandung zat dan energi apa sehingga air samudra terbelah olehnya. Kalau besok paginya Anda minta kepada Nabi Musa untuk membelah air laut lagi, percayalah air laut tak akan terbelah. Sebab, yang membuat laut terbelah bukanlah Musa atau tongkatnya, melainkan perintah atau perkenan Allah.

Lha Allah ini pemegang saham dan the only resources dari seluruh "alam semesta ini dengan segala ketentuan hukum dan perilakunya”. Hak absolut Allah untuk menyuruh orang membelah laut dengan tongkat atau dengan meludahinya. Kalau Musa pukulkan tongkat lagi ke laut tanpa perintah-Nya, dijamin tak terjadi apa-apa. Atau besoknya Tuhan suruh Musa "Berteriaklah keras-keras!", lantas tiba-tiba laut terbelah lagi ditambah gunung ambruk dan air sungai membalik arah arus airnya, itu sepenuhnya terserah-serah Tuhan.

Makhluk, juga dokter atau dukun, batasnya adalah mengobati atau menjadi sarana proses menuju kesembuhan. Tapi pengambil keputusan untuk sembuh atau hak dan kuasa untuk menyembuhkan ada pada Allah. Terserah Dia juga mau bikin sembuh orang sakit pakai cara bagaimana dan alat apa. Bisa tongkat, bisa batu, bisa air, bisa karena ditempeleng, bisa dengan apa pun saja semau-mau Tuhan. Yang diperintah oleh Tuhan untuk menjadi sarana penyembuhan terserah Dia juga. Mau kiai, pendeta, pastor, rabi, tukang sol sepatu, Ponijo, Rasul, Nabi, Markesot, atau siapa pun dan apa pun saja. Kalau Anda dan saya tidak setuju, Tuhan "tidak patheken" juga. Dia Maha Pemilik Saham segala sesuatu dalam kehidupan, Dia berhak ambil keputusan apa saja.

Kalau seorang suami pergi lama tugas ke kota yang jauh, sehingga bawa celana dalam istrinya, mohon jangan simpulkan bahwa dia penggemar celana dalam, kemudian Anda coba rebut celana dalam itu untuk Anda selidiki, bahwa dia mengandung zat-zat dan bebauan apa, sehingga seorang tokoh besar membawa-bawanya ke mana pun pergi. Kalau pas di kamar hotel sendirian suami itu mencium-ciumi celana dalam, mohon jangan dikonklusikan bahwa ternyata ia punya penyakit jiwa dan harus dibawa ke psikiater. Ya Allah ya Rabbi ya Karim, yang diciumi oleh suami itu bukan celana dalam, melainkan cintanya kepada sang istri dan komitmen kesetiaan di antara mereka.

Wahai saudara-saudaraku sebangsa dan setanah air, kalau saudara-saudaramu naik haji dan berebut mencium Hajar Aswad, itu bukan karena mereka stone-mania atau ngefans sama batu. Mereka sedang meneguhkan kesadaran bahwa mereka sangat butuh Allah dalam hidupnya, maka mereka mengukuhkan cinta kepada makhluk yang paling dicintai Allah, yakni Rasulullah Muhammad Saw. Dan karena dulu Muhammad juga mencium batu hitam itu, padahal jelas beliau tidak punya hobi makan batu, maka mereka menyatakan di hadapan Allah cinta mereka kepada Muhammad. Mudah-mudahan dengan itu mereka kecipratan cinta Allah kepada Muhammad, sehingga Allah memperlakukannya sebagai bagian dari yang paling Ia cintai.

Kabarnya Nabi Musa ketika memimpin pasukan kejaran Firaun itu mendadak sakit perut di tengah lari-lari. Musa mengeluh kepada Allah, dan Allah memerintahkan agar Musa naik bukit ambil daun dari sebatang pohon untuk menyembuhkan sakit perutnya. Musa naik dan, sebelum menyentuh daun, perutnya sudah sembuh. Tolong jangan ambil konklusi "Itu daun mujarab banget, belum disentuh, perut udah sembuh". Musa balik ke pasukannya, mendadak sakit perut lagi. Ia langsung naik ke bukit, tapi sesudah makan sekian lembar daun perutnya tak sembuh-sembuh juga. Musa protes kepada Allah. Dalam logika saya, Allah menjawab dengan penuh kegelian: "Hei, Sa. Emang siapa yang bilang bahwa daun bisa menyembuhkan perutmu? Meskipun daun itu mengandung unsur-unsur yang secara ilmiah memang rasional bisa menyembuhkan perutmu, Aku bisa bikin tetap tidak menyembuhkan. Tadi waktu sakit perut yang pertama kau mengeluh kepadaku, tapi pada yang kedua kau tak mengeluh dan langsung saja lari ke
bukit ambil daun. Karena kamu salah cara berpikirmu. Salah pandangan ilmu dan cintamu kepada segala sesuatu. Kamu salah peradaban. Kamu pikir daun bisa menyembuhkan. Itu tergantung mau-Ku. Aku menyembuhkanmu bisa pakai daun, air putih, batu, lewat Gaza, Tursina, Jombang, atau mana pun semau-mau-Ku.... Berapa lama sebuah anugerah Kuberikan, itu rahasia-Ku, bisa sesaat, sebulan, setahun, terserah Aku."

"Datanglah ke dokter, minta obat, sebagaimana ratusan juta orang telah melakukannya. Datanglah ke kiai, bawa air putih. Atau datanglah ke mana pun kepada siapa pun. Asalkan kau tak posisikan mereka semua pada maqam-Ku. Engkau berlaku musyrik atau tidak, terletak tidak pada pil dan dokternya, tongkat dan Musa, air dan kiai, atau batu dan siapa pun yang kutitipi batu sejenak. Letak syirik ialah pada pola pandangmu, pada cara berpikirmu. Jangan percaya kepada Ponari, Dukun, Ponari atau Kiai, tapi hormatilah mereka, karena siapa tahu mereka adalah hamba-hamba-Ku yang Kutitipi sarana untuk kesembuhanmu. Minumlah pil dokter dan air batu Ponari dengan kesadaran memohon kepada-Ku...."

Tiba-tiba aku dibentak oleh sebuah suara: "Ngurusi Ponari aja nggak becus! Mau sok-sok berlagak mengurusi NKRI!" Terperangah aku. Terpaksa kupotong di sini tulisanku ini, sebab aslinya panjang sekali. Kucari siapa berani-berani membentakku. Tak ada siapa-siapa. Tapi malam di Kendari menjelang aku tidur kelelahan usai bersalaman dengan ribuan undangan pengantin anakku, bentakan itu datang lagi: "He! Perhatikan itu para ahli kubur dari Jombang!" Ahli kubur? Aku tak ngerti.

"Kemarin pandangan-pandangan dan anggapan-anggapan dalam hidupmu dikubur habis oleh mutilasi-mutilasi dari tangan seorang yang tersisih secara sosial, yang menderita secara kejiwaan, yang terasing secara politik dan sejarah. Sekarang kalian sedang dikubur oleh sebongkah batu yang nenek itu menyebutnya Watu Gludug, yang dititipkan beberapa waktu kepada anak SLB yang kesepian dan menderita tatkala dipindahkan ke SD. Pelajarilah hari-hari besok dengan meluangkan waktu memperhatikan siapa saja dari tempat itu yang tingkat ketersisihan dan keteraniayaannya lebih dahsyat...." Mendadak ada suara lain yang membungkam suara itu: "Husysy! Shut up!"
( Emha Ainun Nadjib/Koran Tempo/21 Februari 2009/PadhangmBulanNetDok)

Memang lidah tak bertulang, tak terbatas kata-kata…

Saat kita mulai rajin ikut sebuah kelompok pengajian (majelis taklim), jangan kaget bila suatu saat ada suara “Silahkan ikut pengajian, tapi jangan membentuk kelompok sendiri”. Itulah suara yang sepintas terkesan bijaksana, namun kenyataannya sering meruntuhkan niat seseorang, suara seperti itu sering membuat orang yang mulai rajin ikut pengajian jadi mundur, tidak jadi menuntut ilmu dan malas menambah wawasan. Seharusnya kita tetap istiqomah, sebelum berangkat tetapkan niat, “Bismillah, Ya Allah, sesungguhnya saya berniat baik, saya ingin menuntut ilmu….”. Langkahkan kaki dengan mantap. Insya Allah, selama perjalanan saja sudah merupakan syiar, dakwah, mengajak pada kebaikan, mengingatkan yang lalai, maka kalau sampai ada yang bisa membuat langkah kita surut, pulang ke rumah dan berhenti mengaji, urung menuntut ilmu, dan mandeg total, maka pastikan itu adalah ajakan syetan !.
Syetan akan senantiasa berdendang untuk melalaikan saat kita berusaha mendekat kepada Allah SWT. Dimana saja, kapan saja, kepada siapa saja.
Saat kita mulai belajar menyimak lantunan ayat-ayat Al Qur’an di rumah, baik lewat kaset/CD/VCD atau apa saja, jangan heran bila suatu saat ada yang bilang “Ah, kayak di masjid saja pakai ‘nyetel’ ayat suci segala”.
Saat kita mulai membiasakan memutar lagu-lagu islami, nasyid, qasidah atau sholawat, untuk membantu tercipta suasana islami di rumah. Jangan kaget bila tiba-tiba muncul komentar “Wah, lagi ada hajatan, nih ?”.

Saat kita berusaha selalu menyisihkan dana untuk infaq dan sedekah, jangan gusar bila tiba-tiba ada yang menyanyi “Ah, sok sosial amat sih ?!”.
Saat kita terbata-bata karena masih taraf belajar membaca Al Qur’an, tetaplah istiqomah bila tiba-tiba saja ada yang menukas “Ah, baca Qur’an saja masih kayak gitu, sudah gitu nggak enak lagi suaranya”.

Saat hati kita terketuk melihat penderitaan saudara-saudara muslim kita di daerah lain, atau di negara lain, sehingga muncul niat untuk membantu, jangan bingung bila tiba-tiba ada yang memberi ‘petuah’, “Ah, daerah/negara sendiri saja masih begini keadaannya, mengapa mesti mikiran yang jauh disana ?”.
Saat kita mulai belajar mendalami islam, jangan patah semangat bila tiba-tiba ada wejangan, “Mbok jangan fanatik begitu, biasa-biasa sajalah”.
Begitu banyak dan mudah contoh sehari-hari bisa ditemukan. Suatu kegiatan atau bahkan amalan yang sudah nyata-nyata kita pahami nilai kebaikannya, dan berpahala bila dikerjakan, akhirnya kita gugurkan begitu saja karena suara-suara yang menghembus-hembuskan keraguan dalam hati kita.

“Kita tidak bisa sesuci malaikat, sebenar malaikat, sebaik malaikat, tapi kita juga tak punya cita-cita untuk selaknat syetan, sedurhaka syetan dan segelap syetan. Malaikat itu makhluk statis, meskipun dia hadir atau diletakkan di tempat pelacuran, tempat perjudian, tempat minum-minum, tetap baik yang dia lakukan. Syetan juga makhluk statis, meskipun dia hadir di masjid, di kuil, di gereja, tetap jelek yang dia lakukan. Sementara kita di tengah-tengahnya.
Kita memiliki pilihan, dua kemungkinan untuk kita pilih. Menuju kebaikan atau menuju kebrengsekan”.
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)