Kamis, 30 April 2009

BENAR SENDIRI

Ada tiga model kebenaran yang bisa kita temukan. Pertama, model kebenaran yang dipakai sendiri: benarnya sendiri (benere dhewe). Kedua, kebenaran yang diakui banyak orang (benere wong akeh), dan, ketiga kebenaran hakiki (bener kang sejati).

Sejak mendidik bayi sampai menjalankan penyelenggaraan negara, manusia harus sangat peka dan waspada terhadap sangat berbahayanya jenis kebenaran yang pertama. Artinya, orang yang berlaku berdasarkan benarnya sendiri, pasti mengganggu orang lain, menyiksa lingkungannya, merusak tatanan hidup bersama, dan pada akhirnya pasti akan menghancurkan diri si pelakunya sendiri.

Benarnya sendiri ini berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di kampung, di pasar, kantor, sampai ke manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial yang lebih luas berupa otoritarianisme, diktatorisme, anarkisme, bahkan pada banyak hal juga berlaku pada monarkisme atau teokrasi.
Benarnya sendiri melahirkan firaun-firaun besar dalam skala negara dan dunia, serta memproduk firaun-firaun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di organisasi, bahkan di warung dan gardu.

Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi di kalangan yang yakin bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi.
Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan pandangan benarnya sendiri. Para pelaku demokrasi banyak menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya sendiri tentang arti demokrasi itu. Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini sebagai seorang demokrat sejati, ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di forum-forum nasional maupun internasional sebagai seorang demokrat teladan --ternyata pandangan-pandangan kolektif itu khilaf."
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNet)

Rabu, 29 April 2009

Manusia dan Pemimpin Sepertiga

Dimensi ketercerahan jiwa manusia yang dimaksud oleh la yamassuhu illal muthahharun itu, kita misalkan ada tiga.
Pertama, ketercerahan spiritual. Kedua, ketercerahan mental.
Ketiga ketercerahan intelektual. Produknya adalah ketercerahan yang keempat, yakni ketercerahan moral.

Kita coba langsung saja ke empirisme sosial. Ada manusia atau pemimpin yang memperoleh pencerahan intelektual, pengetahuan dan ilmunya mumpuni, gelarnya sampai berderet-deret, aksesnya besar dan luas sebagai pelaku birokrasi sejarah kehidupan modern, maupun sekurang-kurangnya sebagai narasumber pengamatan. Akan tetapi effektivitas fungsinya bisa mandul, ternyata karena kecerahan intelektualnya tidak didukung oleh kecerahan spiritual dan mental.

Pintar, tapi mentalnya bobrok dan spiritualitasnya tak bercakrawala. Sehingga ilmunya berdiri sendiri. Perilakunya, habitatnya, keputusan-keputusan yang dibuatnya, tidak mencerminkan ketinggian dan kecanggihan ilmunya. Khalayak ramai akhirnya berkesimpulan bahwa semakin banyaknya orang pinter bukan hanya tidak kondusif untuk perbaikan negara dan bangsa, tetapi ada gejala malah memperburuknya. Dengan kata lain: produknya bukan moralitas kehidupan berbangsa yang baik.
Wallahua'lam.

Ada juga manusia atau pemimpin yang mentalnya bagus, teguh pendirian dan memiliki keberanian kejuangan. Kalau bicara tidak bohong, kalau janji ditepati, kalau dipercaya tidak berkhianat. Tetapi ia juga tidak banyak mampu berbuat apa-apa untuk menyembuhkan keadaan, ternyata sebab pengetahuannya terlalu elementer untuk meladeni kompleksitas keadaan.
Langkahnya keliru-keliru, sering naif, dan pada tingkat ketegasan tertentu ia malah tampak sebagai orang brutal, radikal, fundamentalis, ekstremis - justru karena terbiasa berpikir linier dan hitam-putih dalam memahami sesuatu.
Keadaan ini tidak ditolong pula oleh potensialitas keterbimbingan spiritual di dalam dirinya. Maka ia juga tidak banyak bisa menolong perbaikan moral bangsa.

Potensi yang ketiga adalah manusia atau pemimpin yang bisa dijamin kejujuran pribadinya, bisa diandalkan kesalihannya, kekhusyukan hidupnya, intensitas ibadatnya. Tetapi ia tidak bisa banyak berbuat untuk pertarungan-pertarungan sejarah yang luas. Ia seperti seorang eskapis yang duduk bersila dan berdzikir di gua persembunyiannya. Sebab ia tidak memiliki ketercerahan intelektual untuk memahami dunia yang dihadapinya, sehingga tidak pula bisa menerapkan kehebatan mentalitasnya, karena tidak ada agenda untuk menyalurkannya.
Hasil akhirnya, ia mandul terhadap perjuangan moral sosial.
Masing-masing dari yang saya uraikan di atas itulah manusia-sepertiga atau pemimpin-sepertiga. Cerah intelektual thok, cerah mental doang, cerah spiritual melulu. Bangsa kita memerlukan manusia pemimpin yang tidak sepertiga, tetapi utuh satu, meskipun mungkin saja kita harus melewati 'arisan kepemimpinan nasional', melewati satu dua pemimpin sepertiga lagi, yang harus dituruti karena masyarakat kita sedang shakao, dengan tagihan jenis narkoba kelompoknya masing-masing.

Yang pasti, dari manusia-sepertiga atau pemimpin-sepertiga, kita tidak bisa mengharapkan watak kearifan kemanusiaan, kenegarawanan, kematangan sosial, kecerdasan futurologis, serta kepekaan terhadap komprehensi kasih sayang dalam multi-dimensi kehidupan berbangsa.
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)

Manusia-Data, Pemimpin-Data

Manusia belum tentu konstan berlaku sebagai manusia, bisa juga pada momentum tertentu, pada kondisi psikologis tertentu, pada situasi perhubungan sosial tertentu, pada peristiwa tertentu-- berlaku sebagai monster, kanibal, hewan, setan atau iblis.

Pemimpin belum tentu pemimpin, ia bisa seorang pemberang yang culas. Tokoh belum tentu tokoh, bisa juga ia seorang eksploitator yang penuh napsu. Panutan belum tentu panutan, ia bisa juga menjadi seorang penunggang dan kita kudanya.

Cendekiawan belum tentu cendekiawan, bisa juga ia manipulator logika dan kebenaran ilmu. Ulama belum tentu ulama, bisa juga ia tidak berbeda dengan blantik atau preman. Orang hidup musti sangat berhati-hati, penuh kewaspadaan pikiran dan kerendahan hati, supaya tidak terlalu sengsara dan luka parah.

Di dalam budaya Islam, bahkan orang yang menguasai ilmu agama Islam belum tentu seorang Muslim. Orang yang pintar mengaji belum tentu berkelakuan baik. Orang yang sedikit-sedikit beristighatsah dan bershalawat belum tentu gerakannya itu ada kaitan murni dan substansial dengan makna istighatsah dan shalawat. Orang pakai peci, surban, jilbab dan tasbih, belum tentu orang yang salih.

Ada yang namanya Islam-data. Khasanah ilmu dan wacana pengetahuan Islam dimasukkan ke dalam 'hard-disk' di otak seseorang sebagai directories of data. Seluruh isi Al-Qur'an, dengan software program yang sederhana, tidak memerlukan lebih dari 1-MB. Atau katakanlah bahwa seluruh ilmu dan pengetahuan yang menyangkut Islam - dari kandungan teologi, filosofi, ushulul-fiqh dan fiqh, semua hasil ijtihad dan apa saja --hanya memerlukan tidak lebih dari, sebutlah, 1 Giga-Byte.

Sedangkan otak manusia memiliki kelapangan memori dan kecanggihan operasional yang beratus-ratus atau bahkan beribu-ribu persen melebihi kapasitas komputer yang paling mutakhir dengan segala jenis software-nya.

Seluruh data Islam di dalam diri seseorang bisa tersimpan begitu saja, dan tidak pasti loading pada operasional hati, batin, psikologi, kepribadian dan perilaku sosialnya. Singkat kata, orang yang sudah membaca syahadat belum tentu sudah 'bersyahadat'. Orang yang sudah mengucapkan sesuatu, tidak dijamin sudah melakukannya.

Kalau kita mengukur keislaman seseorang berdasarkan peta data simboliknya -katakanlah setiap data Islam di otak seseorang kita kasih extension " .isl " (dot isl), maka bisa saja pakaian sosial dan budaya seseorang penuh dengan dot isl, dot isl: tetapi itu tidak otomatis berarti ia seorang Muslim yang memberlakukan pada dirinya kesalihan atau kepemelukan empiris yang teguh di dalam kehidupan nyatanya.

Apalagi 'wajah' seorang tokoh bisa kita masukkan ke PhotoShop atau CorelPaint, kita manipulir melalui berbagai macam menu yang tersedia, maka nanti - melalui lalulintas pengolahan di RGV, Indexed Colour, CMYK, kita ciptakan layers, di mana wajahnya yang cacat bisa kita hapus, teksture-nya yang kasar bisa kita perhalus, ketersentuhannya dengan gambar kiri kanan yang 'tidak kondusif' bisa kita cropping. Kita bisa bikin image scenario dengan blur, distort, pengubahan pixel dsb.

Lantas kita print-out dan kita sebar ke masyarakat luas dan membuat khalayak terkagum-kagum.

Kalau yang kita sosialisasikan sekedar gambar, masih bisa diinvestigasi: apakah yang memangku dan dipangku itu orisinal ataukah animasi komputer. Tetapi kalau gambar yang kita maksud adalah citra sosial, dan software programnya adalah media opinion making, yang perekayasaannya canggih sedemikian rupa --maka duaratus juta rakyat suatu negeri bisa puluhan tahun tertipu olehnya.

Kemudian kita ribut dan bunuh-bunuhan. Dan tetap memelihara kebodohan untuk tidak belajar dari kebodohan.
(Emha Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 26 April 2009

JUARA ITU TAK ADA

Sesungguhnya yang disebut juara, atau eksistensi sebuah kemenangan -- itu hakekatnya tidak berlaku begitu sebuah pertandingan berakhir dan tanda kejuaraan disematkan kepada sang juara.
Sebuah tim olah raga atau seorang atlet memenangkan pertarungan melawan tim lainnya sehingga sesudah pertandingan ia dijunjung sebagai juara. Kalau sesusah penobatan gelar juara diselenggarakan lagi pertandingan antara kedua tim itu, maka tidak seorangpun bisa memastikan bahwa sang juara akan pasti menang lagi.
Di Manila tahun 1974 Joe Fraizer tidak sanggup bangkit dari kursinya untuk memasuki ronde ke-15 pertarungannya melawan Muhammad Ali, sehingga petinju Philadelphia ini dinyatakan kalah TKO dari Ali.
Yang terjadi sesungguhnya adalah bahwa Muhammad Ali memiliki siasat dan kecerdasan yang Frazier tak punya. Keduanya sudah bertarung habis-habisan selama 14 ronde. Besoknya Frazier memuji – “Saya sudah timpakan kepada Ali ratusan pukulan saya yang biasanya merobohkan dinding, tetapi Ali tetap tegak…” – sehingga secara fisik maupun mental Frazier tidak lagi sanggup berdiri pada ronde ke-15.
Tetapi Ali masih punya sisa ruang berpikir. Secara fisik ia juga sudah lungkrah, bahkan mungkin lebih kecapekan dibanding Frazier. Tapi Ali punya kenakalan intelektual sehingga ia berkata kepada Tuhan : “Wahai Tuhan, tolong pinjamkan kepadaku sedikit saja tenaga yang Engkau jatahkan kepadaku untuk besok pagi, supaya aku bisa tampil di ronde terakhir ini dan besok aku tidur sepanjang hari…”
Maka ketika bel ronde ke-15 berdentang, Ali menggagah-gagahkan diri untuk berdiri dan berlagak seakan-akan ia fit dan siap berkelahi lagi – sementara Frazier terduduk lunglai dan tidak sanggup berdiri. Ali menang, tapi sesuai dengan janjinya pinjam tenaga kepada Allah – maka sesudah duel itu Ali terbaring di rumah sakit, sementara Frazier nyanyi-nyanyi dan berjoget di diskotek.
Jadi, kemenangan Ali itu relatif. Kalau sepuluh menit sesudah kemenangan Ali itu mereka diduelkan lagi, belum tentu Ali bisa menang. Kalau di piala dunia empat tahun lalu sepuluh menit sesudah Perancis menjadi juara lantas mereka dipertandingkan lagi, maka tak ada jaminan bahwa Perancis akan menang.
Lebih tidak bisa dijamin lagi jika waktu kemudian berlalu ke bulan dan tahun. Kemarin Anda menyaksikan meskipun Zidan dipaksakan main padahal masih belum OK benar keadaannya – terbukti kesebelasan Perancis hanya mampu tampil di ronde awal dan itupun secara sangat memalukan.
Jadi, sesungguhnya juara itu tidak ada.
Coa Anda pikirkan, apa logika kualitatifnya kalau kesebelasan produser total football Belanda tidak bisa ikut piala dunia sementara Arab Saudi saja bisa masuk meskipun dihajar Jerman dengan gol seperti pertandingan sepakbola kampung. Terus kesebelasan Italia? Betapa tidak konsistennya kekuatan dan kekuasan dalam kehidupan manusia di muka bumi ini.
Maka ketika kaya, sadarilah miskinmu. Tatkala menang, sadarilah kalahmu. Di waktu jaya, renungilah keterpurukanmu. Pada saat engkau hebat, ingat-ingatlah kemungkinan konyolmu….***
(Emha Ainun Nadjib/Jawa Pos/2002/PadhangmBulanNetDok)

KRITERIA KEPEMIMPINAN

Dalam terminologi yang sederhana, wacana utama kriteria kepemimpinan sekurang-kurangnya harus melingkupi tiga dimensi: kebersihan hati, kecerdasan pikiran, serta keberanian mental.

Jika pemimpin hanya memiliki kebersihan hati saja, misalnya, tanpa didukung kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinannya bisa gampang stagnan. Begitu pula sebaliknya.
Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati dan keberanian, maka jadinya seperti di 'menara gading' alias monumen yang bukan hanya tanpa makna, tapi juga nggangguin kehidupan rakyatnya. Apalagi, jika pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa kebersihan hati dan kecerdasan, maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.

Sebenarnya, kriteria kepemimpinan sama persis dengan kriteria manusia biasa atau orang kebanyakan, Kalau omong tentang pemimpin, sebaiknya jangan muluk-muluk. Berpikir sederhana saja. Misalnya. syarat menjadi suami. Pertama, harus manusia.
Kedua, harus laki-laki. Baru yang ketiga, keempat, dan seterusnya.

Syarat suami harus manusia itu banyak tak diperhatikan orang, padahal jelas banyak suami berlaku seperti ia bukan manusia.
Bertindak hewaniah kepada istrinya, juga kepada orang lain.
Bukankah menjadi manusia itu sendiri saja sudah sedemikian sukarnya? Kenapa kita punya spontanitas untuk mentertawakan dan meremehkan bahwa syarat menjadi suami itu harus manusia?

Jadi, syarat menjadi Presiden atau Lurah itu ya sedehana saja: harus manusia. Sebab ratusan juta rakyat di muka bumi sengsara dalam berbagai era sejarahnya, gara-gara pemimpin negaranya berlaku tidak sebagaimana manusia, padahal semua orang sudah menyepakati bahwa ia manusia. Bukankah perilaku kebinatangan itu sebenarnya peristiwa jamak dan 'rutin' dalam konstelasi perpolitikan dan kekuasaan? Juga persaingan ekonomi?

Dulu saya bangga hanya ada istilah political animal dan economic animal, tidak ada cultural animal. Saya bersombong yang punya kecenderungan kebinatangan hanya pelaku politik dan ekonomi, kebudayaan tidak. Tapi ternyata itu salah. Cultural animal juga bukan main banyaknya. Termasuk di bidang kesenian, hiburan, informatika dll. Mungkin sekali termasuk saya sendiri.

Kemudian syarat menjadi suami yang kedua adalah harus laki-laki. Ternyata banyak suami berlaku tidak laki-laki. Ia jantan ketika di ranjang, tapi tidak dalam mekanisme politik rumah tangga, tidak di dalam pergaulan. Betapa banyaknya lelaki yang ternyata betina, yang berlaku tidak fair, curang, culas, suka mengincar, menyuruh bikin kerusuhan supaya nanti dia yang jadi pahlawan, merancang membakar gedung parlemen supaya bisa bikin dekrit, dan lain sebagainya.

Meskipun, dari sudut ideologi pembelaan kaum perempuan, saya tidak mantap dengan etimologi dan filosofi kebahasaan kita.
Kenapa orang yang jujur kita sebut jantan, yang pengecut kita sebut betina atau perempuan. Bukankah kejantanan yang dimaksud di situ bisa juga dilakukan oleh wanita? Bisa saja ada lelaki betina dan perempuan jantan. Jadi yang dimaksud pemimpin harus laki-laki bukan dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian kepribadian. Tolonglah ada gugatan kepada Pusat Bahasa.
(EMHA Ainun Nadjib/Republika/2001/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 22 April 2009

MENANGIS

Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif rnengajak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat "iyyaka na'budu..." Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan.

Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka nasta'in..."
Banyak di antara jamah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.

"Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar", berkata Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu"'.
"Astaghfimllah, astaghfirullah", geremang turut menangis mulut parasantri.
"Jadi, anak-anakku", beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam mengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?"
"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Allah itu sendiri, Abah?", bertanya seorang santri.
"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan".
"Belum jelas benar bagiku, Abah".
"Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan". "Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri terhenti ucapannya, Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka a'budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami menyembah, na'budu".
"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai umatan wahidah. Ketika sampai di kalimat na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah, yakni khalifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?"
"Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri.
"Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya melawan Allah".
"Astaghfirullah, astaghfirullah", gemeremang para santri.
"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya".!

(Emha Ainun Nadjib/Panji Masyarakat/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 21 April 2009

TAK ADA AIR YANG TAK BENING

Negara menghendaki stabilitas.Masyarakat menghendaki ketertiban.
Sejarah menghendaki keamanan. Jiwa menghendaki ketenangan. Hati menghendaki keheningan. Mental menghendaki endapan. Dan seluruh kehidupan ini, di ujungnya nanti, menghendaki ketentraman, keheningnan, kemurnian.
Karena itu, agama menganjurkan kembali ke fithri.
Kita berdagang, berpolitik, berperang, bergulat, bekerja banting tulang,
bikin rumah, bersaing dengan tetangga. Yang tertinggi dari itu semua dan yang paling dirindukan olh jiwa, adalah "air bening hidup".
Hidup bagai gelombang samudera. Hidup bergolak. Segala pengalaman perjalanan Anda adalah arus air sungai yang mencari muaranya.
Masa muda melonjak-lonjak. Tapi masa muda berjalan menuju masa senja. Dan masa senja bukanlah lonjakan-lonjakan, melainkan ketenangnan dan kebeningan.
Maka, lewat naluri ataupun kesadaran, setiap manusia mengarungi waktu untuk pada akhirnya menemukan "air bening".
Ada orang yang dipilihkan oleh Tuhan atau memilih sendiri untuk mengembara langsung ke gunung-gunung dan menemukan sumber air murni. Orang lain menunggu saja saudaranya pulang dari gunung untuk dikasih secangkir kebeningan. Orang yang lain lagi menjumpai dunia adalah kotoran, maka ia ciptakan teknologi untuk menyaring kembali air itu dan menemukan kebeningannya.
Sementara ada orang yang hidupnya menyusur sungai, parit-parit kumuh, got-got, kubangan-kubangan. Sampai akhir hayatnya tak mungkin ia memilih sesuatu yang lain, karena mungkin tak punya kendaraan, tak punya kapal, bahkan tak punya sendal untuk melindungi kakinya dari kotoran-kotoran. Ketidakmungkinan itu mungkin karena
memang 'dipilihkan' oleh Yang Empunya Nasib, tapi mungkin juga didesak oleh kekuatan-keuatan zamn yang membuatnya senantiasa terdesak, terpinggir dan tercampak ke got-got.
Bagaimana cara orang terakhir ini menemukan air bening?
Di dalam sembahyangnya, permenungannya, penghayatannya, kecerdasannya serta kepekaan hatinya. Ia tahu tidak ada air yang tak bening.
Semua air itu bening. Tidak ada "air kotor", melainkan air bening yang dicampuri oleh kotoran.
Dengan menemukan jarak antara kotoran dengan air bening, tahulah ia dan ketemulah ia dengan sumber kebeningannya. Ia terus hidup di got-got, dan justru kotoran-kotoran itu makin menyadarkannya pada keberadaan air bening dalam got-got.
Adakah makna hal itu dalam kehidupan Anda?

(Emha Ainin Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 19 April 2009

AL WALIY

Siapakah yang memerintah jantungmu
Hingga berdenyut,
Atau tiba-tiba membeku
Di suatu sore yang kelabu ?

Siapakah yang sampai hari ini
Tak membiarkan darahmu berhenti
Atau mripatmu kelam dan telingamu tuli ?

Siapakah yang menghembuskan nafasmu
Memberi gerak bagi persendianmu
Untuk memungkinkanmu menapaki waktu ?

Siapakah yang menidurkanmu di malam sunyi
Sementara tak meneruskannya ke kekekalan abadi
Melainkan dibangunkannya engkau di fajar hari
Dan menyodorkan di hadapanmu
Rejeki yang tiada kunjung selesai
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)

Syair Mahasiswa Menjambret

Sebab tergoda oleh betapa seru berita di koran serta oleh pengujian para tetangga, bertanyalah aku kepada penyairku, “Akir-akhir ini orang makin ribut tentang pelajaran dan mahasiswa kriminal. Aku bertanya benarkah puisimu tak membutuhkan tema semacam itu, atau tidakkah soal-soal seperti itu memerlukan puisi?”

“Aku tak paham apa yang aneh”, berkata penyairku, “Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret, kalau pelajar sudah berani mencuri odol, dan sikat gigi, kalau para calon pemimpin bangsa telah memiliki nyali untuk mencopet jam tangan dan mengutil sepatu: tak kumengerti apa yang perlu diherankan?”

Bukan. Bukan soal heran dan tak heran. Kami orang-orang awam terlalu sering dikagetkan oleh perkawinan antara dua hal yang semestinya jangan pernah bersentuhan.
Antara dunia penjambretan dengan dunia dunia keterpelajaran terbentang jarak yang bukan saja amat jauh, tapi juga bersungguh-sungguh. Kalau ada dua nilai yang saling bertentangan, namun berhasil dikawinkan secara damai oleh sejarah dan perilaku manusia: hanya penyair tuli yang tak tergoda untuk menuangkannya.

“Demi apa sehingga engkau menganjurkan puisi bergaul dengan hal-hal picisan?”, penyairku tertawa, “Para kaum terpelajar yang baru belajar menapakkan kaki, yang keterampilannya tanggung ? menggeledah tas teman kostnya, melarikan motor tetangganya, merencanakan penodongan,
perampokan, pembunuhan ? belum pantas dipuisikan.
Dunia kepenyairan tidak sedemikian rendah derajatnya.

Jagat kesenian memerlukan soal-soal besar, umpamanya kesepian hati atau kembang dan kupu-kupu di pagi hari.
Tapi baiklah. Kalau kaum terpelajar bersedia tak sedemikian tergesa-gesa. Kalau para pioneer sejarah
sanggup menahan emosi dan sedikit bersabar. Kalau para pemilik utama masa depan mau belajar baik-baik dan tunggu momentum yang tepat untuk kelak menjadi penjambret yang canggih tersenbunyi, tanpa orang tahu bahwa mereka adalah penjambret ? puisiku masih akan membukakan
pintunya untuk suatu tawar-menawar.”

Apa yang sesungguhnya hendak engkau ucapkan, penyairku?
Penyair amat berbakat merusak kehidupan karena begitu gampang menemukan kata-kata, bahkan pun untuk keadaan yang samar-samar baginya.

Malah mengeras tertawanya, “Samar-samar, katamu?”, ia mendongak, “Kalau mahasiswa mulai sanggup bertindak kriminal, apakah ia diajari oleh dirinya sendiri?
Ataukah ia dituntun oleh para pejambret yang mampu Melakukan penjambretan sedemikain rupa sehingga beribu-ribu orang tak merasa bahwa isi kantong kehidupan mereka terus dijambret dari hari ke hari?”

Kupikir itu bukan hanya sombong dan tergesa-gesa. Namun juga berangkat dari sangka buruk. Adakah kemampuan yang dahsyat dalam memotret sesuatu yang dimiliki penyair membuatnya tak membiasakan diri untuk bersabar, menyaring atau mengendapkan?

“Dengarlah”, ia mendongak lebih tinggi, “Kalau para kaum terpelajar mulai belajar mengerjakan kejahatan-kejahatan yang wantah, adakah engkau menyangka Tuhan memang mentakdirkan mereka demikian? Ataukah itu hasil godogan dari tata hubungan kehidupan yang menyediakan amat banyak lintah-lintah?
Dengarlah air mengalir tidak tiba-tiba sampai di muara.
Dan jika matamu memandang awan berarak, hendaklah engkau tatap juga samudera yang menghampar dan panas matahari yang memanggangnya. Mendung tidaklah mengepulkan dirinya sendiri dan kemudian hadir menyaput hari-harimu sebagai hantu yang tanpa asal-usul?”

“Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret di muka orang banyak,” ia tak memberiku kesempatan untuk menang-gapi, “Siapakah gurunya? Tangan siapakah yang melontarkan mata tombak kejahatan? Petani manakah yang menanamkan benihnya dan merabuki kesuburan tetumbuhan-nya? Kalau kaum terpelajar mulai sanggup melakukan tingkat kejahatan yang paling dangkal dan remeh,
Apakah karena mereka memang orang jahat?”

“Kebaikan dan keluhuran tidak diterjemahkan ke dalam buku-buku pelajaran. Gedung-gedun sekolah menyediakan laboratorium bagi anak-anak untuk menjadi pandai, dan tidak terutama untuk menjadi baik.
Mendaftarlah ke antrian kesempatan sekolah, tinggalkan anak-anak lain yang tolol dan tak punya biaya. Reguklah Tujuh samudera pengetahuan. Tapi untuk soal-soal bagaimana membangun kebajikan, sepenuhnya diserahkan kepadamu masing-masing ? apakah akan mencarinya di
balik tikar-tikar kumuh robek rumah-rumah ibadah, atau di pinggiran kaki lima-kaki lima kehidupan?”

“Kalau anakmu berangkat sekolah di pagi hari, mulutnya menganga untuk disuapi pengetahuan tentang kepandaian dan kemenangan, bukan kebijakan dan kebersamaan.
Anak-anakmu diajari berlari maju, melampaui dan meninggalkan anak-anak lain yang bersemayam di kesempitan-kesempitan hidup.
Anak-anakmu diajari untuk terampil memanjat melewati pundak teman-teman bermain mereka, beribu-ribu, berjuta-juta teman bermain mereka yang perjalanan hidupnya tercengkal.
Meninggalkan mereka semua yang mandeg di masa silam.
Pergi berlari, meniti daerah impian, menapaki tangga-tangga kehidupan yang lebih tinggi dan menjanjikan kemewahan.

Anak-anakmu diajari untuk mengalahkan yang lain.
Untuk melampaui dan meninggalkan sumber-sumber kesejarahan mereka sendiri, untuk meraih apa yang disebut derajat, kamukten dan kemenangan.
Anak-anakmu berbaris di halaman sekolah, berjajar di bangku-bangku kelas, punggung mereka dicambuk untuk berlatih menang ? dan jika kemenangan amat sukar diperoleh secara wajar ? sebab peluang untuk itu menjadi semakin sempit dan semakin sempit ? maka wajarlah jika mereka lantas menjegal siapa saja di sekitar mereka yang bisa dijegal: mencopet, menjambret, merampok,
di kampung, dijalanan”

“Adapun hal-hal yang menyangkut nasib orang lain, tenggang hati terhadap sesama, kesadaran utnuk meruwat keadilan dan kemuliaan ? tidak merupakan urusan utama di dalam butir-butir pelajaran dan baris-baris pengetahuan.

Adapun soal-soal yang berkenaan dengan tubuh besar kemanusiaan, keinsafan untuk nggemateni nilai dan keilahian ? hanyalah unsur pinggiran bagi pusat-pusat mimpi dan perjuangan untuk berlomba menang, kontes kemakmuran dan rekor-rekor kesejahteraan serta kemegahan”

“Anak-anakmu diajari untuk tidak mengerti apa-apa kecuali kepentingan diri sendiri. Tangan dan kaki anak-anakmu dilatih tidak untuk apa-apa kecuali untuk beringas memompa perut dan gengsinya sendiri.
Naluri anak-anak dididik untuk menindak dan memakan orang lain untuk cita-cita pribadi. Anak-anakmu dipacu untuk berpikir sebagai ego, di mana segala sesuatu di luar itu hanyalah amat bagi ego-ego.

Anak-anakmu dibikin tak paham kebersamaan. Anak-anakmu dididik untuk menjadi segumpal keasingan, tidak untuk menjadi seseorang di tengah berbagai orang.
Anak-anakmu dididik untuk menjadi pusat-pusat penghisap”

“Anak-anakmu diletakkan di dalam proses salah kaprah untuk berkembang menjadi penjambret-penjambret yang halus dan sophisticated Maka apabila ada di antara mereka yang kebelet melakukan
ketololan dengan menjambret di jalanan, itu hanyalah pertanda bahwa daerah-daerah untuk proyek penjambretan-penjambretan canggih sudah semakin menciut.
Anak-anakmu tidak terlalu siap untuk ragu-ragu terhadap kesempatan, untuk terlampau berjudi dengan hari depan yang samara-samar; sehingga hari ini juga mereka merasa harus memperoleh sesuatu, mendapatkan benda-benda, gengsi dan kenkmatan seperti yang dipunyai orang-orang lain”

“Gerbong-gerbong sekolah dengan sendirinya mengangkut mereka ke hari depan penjambretan struktural meskipun guru-guru mereka tak mengetahui hal itu.
Guru-guru mereka ? yang toh manusia sehingga tetap tersisa kemanusiaannya ? di luar paparan kurikulum, memberi nasihat bahwa penjambretan itu tidak baik. Tapi hendaklah kita catat bahwa di dalam negara dan perusahaan sekolah: penjambretan diajarkan, sedangkan kejujuran dan kebajikan hanya dianjurkan sesekali”

“Dan di manakah sejarah ini memiliki tempat bagi anak-anakmu dalam kehidupan?
Jika anak-anakmu berdiri memandang tanah menghampar, mereka membayangkan akan mendirikan rumah, garasi dan kolam renang. Jika di depan matanya tegak sebatang pohon, mereka berpikir untuk menebangnya. Anak-anakmu tidak dididik untuk menanam dan menumbuhkan, melainkan untuk
menguasai dan duduk di singgasana”

“Anak-anakmu bertengger di bawah batang timbangan yang timpang antara modal dan daya tawar menawar yang rendah dengan iming-iming hidup enak yang meneror mereka dari hari ke hari
Anak-anakmu dikepung oleh gegap gempita orang berebut kejayaan. Orang jegal-menjegal. Orang menyerimpung dan diserimpung. Anak-anakmu dikepung oleh uang dan kekuasaan yang menjadi bahasa utama dari yang mereka sangka kemajuan. Oleh pasal-pasal hokum yang diperjual belikan. Oleh ayat-ayat agama yang dijual eceran. Oleh tradisi penafsiran yang sepihak. Oleh pemaksaan yang damai, kemunafikan yang harmonis, manipulasi yang berwajah ramah, kepalsuan yang cerah dan penghisapan yang nikmat. Anak-anakmu makin tidak menemukan tempat untuk meneladani kejujuran. Anak-anakmu digiring memasuki komune tempat perzinaan missal dari sejarah yang
auratnya telanjang tapi wajahnya bertopeng”

Kutinggalkan penyairku. Tampaknya aku mulai memahami kepenyairan bukanlah sejenis bakat di mana kata-kata amat gampang ia temukan dan pilih. Kepenyairan adalah - hampir - ketidakmampuan menemukan kata. Sebab kata lebih sanggup mengaburkan kenyataan dibanding mewakilinya.
Dan penyairku, dengan ratusan kata-katanya itu, kukira telah berbuat curang terhadap realitas.

Tapi ia justru tertawa keras dan berkepanjangan ketika melepasku pergi, “Bagaimana engkau bias menjadi sedemikian tolol untuk menyangka bahwa urusan utama para penyair adalah kata-kata? Dengan kata-kataku itu aku tidaklah berkata-kata. Ini kehidupan”

1988.
(Emha Ainun Nadjib/"Sesobek Buku Harian Indonesia"/1993/Bentang Intervisi Utama/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 16 April 2009

DILARANG MACET!

Nyenyak sekali tidur si calon Presiden kita itu. Markesot tersenyum-senyum sambil duduk menjagainya.
"Teruskan saja omong-omong kalian tadi", katanya.
Tetapi ndak bisa. Sudah terlanjur terpotong. Dan lagi mereka takut kalau si tamu nanti jadi terbangun oleh suara mereka. Sehingga akhirnya Markesot sendiri yang meneruskan omong. "Saya kebetulan tahu siapa dia", katanya.
"Orang gila dari mana?", tanya Markenyut.
"Bukan orang gila. Dia orang baik. Hatinya lembut. Selalu memikirkan keadaan masyarakat. Hatinya suka menangis menyaksikan orang yang menderita. Oleh karena itu tiap saat ia merasa dituntut untuk mengubah keadaan. Dan akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa cara yang paling praktis untuk mengubah keadaan adalah kalau dia menjadi Presiden..."
"Lho kok enak?", celonong Markembloh.
"Lho, jadi presiden kok enak gimana! ", jawab Markesot.
"Ya enak dong!"
"Enak dengkulmu! Jadi presiden itu susah. Ndak bisa hidup mbambung seperti kita. Mau tidur mlungker di trotoar depan toko seperti kita, ya mana mungkin. Dan lagi tanggungjawabnya terlalu besar, kalau salah sedikit saja dosanya bisa tak tertanggungkan. Lha wong mempertanggungjawabkan kepemimpinan atas diri sendiri saja susahnya kayak gini... Kalian merasakan sendiri betapa susahnya memimpin kepala, memimpin tangan, kaki, perut, syahwat...lha wong rambut saja sudah dipangkas-pangkas terus masih tidak kapok-kapok untuk tumbuh dan tumbuh lagl...”
"Tapi terus gimana cerita tentang Calpres Sunardi ini! ", desak Markedet.
"Ya pokoknya dia berkeinginan serius jadi presiden. Tujuannya untuk memperbaiki keadaan, menolong orang melarat, membela penduduk yang disalahi, pokoknya untuk mengerjakan segala sesuatu yang baik. Niat orang ini sangat murni. Tapi sayang sekali tidak diimbangi oleh pemahaman yang mencukupi tentang keadaan. Dia kan tahunya Presiden itu tertinggi pangkatnya, jadi dia yang paling pegang segala komando. Pokoknya kalau presiden bilang merah ya merah, biru ya biru. Dia tidak cukup waktu barangkali untuk mempelajari bahwa kehidupan ini tidak sederhana. Bahwa ada peta nilai yang ruwet. Ada konstelasi warna dan aliran. Ada pergulatan kekuasaan antara kelompok-kelompok yang tampak maupun yang siluman. Sebuah masyarakat, sebuah negara dan pergulatan-pergulatannya tidak sama dengan angon bebek di mana seorang penggembala cukup membutuhkan satu tongkat. Kesimpulannya, tamu kita ini terlalu simplifikatif dan pragmatis dalam melihat persoalan. Saya termasuk orang yang
tidak setuju kalau dia ini jadi Presiden..."
"Lho, kenapa?", tanya Markenyut.
"Karena caranya mengatasi keadaan, aneh..." "Aneh gimana?"
"Misalnya kalau lalulintas di Jakarta sangat macet di semakin banyak area, maka dia tinggal pasang papan pengumuman di setiap perempatan jalan yang bunyinya: 'Dilarang Macet!' Tertanda : Su...Presiden RI..."
"Apa ya setolol itu?"
"Mungkin tidak, tapi memang dia ini membayangkan bahwa segala sesuatu dalam kehidupan bangsa dan negara ini berlangsung hanya dalam mekanisme instruksional. Maka dia …..
(Emha Ainun Nadjib/"Markesot Bertutur"/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 14 April 2009

Slamet Pusarbumi

Siapakah orang Jawa pertama yang mendarat di bulan?
Slamet.
Lho?!
Iya. Bahkan Edwin Aldrin disebut belakangan dan Michell Collin tak seberuntung Slamet.
Dengarkan berita itu kembali dengan seksama:
"Niels Armstrong telah mendarat di bulan dengan Selamat..."
Tentulah ucapan bahasa Indonesia yang baik dan benar menyebut Slamet dengan selamat.
Makanya, aja dumeh. Jangan pernah remehkan kami orang Jawa. Bahkan, dulu, Nabi Nuh itu aslinya orang Jawa. Kalau tidak, bagaimana mungkin beliau bisa bikin perahu raksasa. Di Timur Tengah hanya ada padang pasir dan kegersangan.
Kemudian dari banjir bandang itu bangsa Jawa belajar bijak dan mengerti segala filsafat hidup yang baik. Maka Muhammad saw. diturunkan di Arab -- tempat kumpulan manusia paling berangasan.

Bangsa Jawa sendiri membangun aliran kepercayaannya sendiri diam-dian, kecuali yang tidak. Orang Jawa menjadi Raja di dalam dirinya sendiri. Mereka selalu unggul. Raja mereka mampu memangku jagat di pahanya, memaku bumi, bahkan Gunung Tidar itu tak hanya merupakan pusat pulau Jawa, melainkan pusat bumi ini.
Jangan lupa Prabu Puntadewa dikuburkan di Demak dan Pendeta Anoman hidup kekal di Pulau Jawa menjaga pasungan Rahwana.
Kami selalu menang. Setidaknya merasa menang. Kami selalu unggul dan tinggal landas.
Setidaknya merasa begitu.

Kami bisa kaya tanpa harta. Kami bisa mangan tanpa sega. Puasa tanpa puasa. Beramal tanpa amal....
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/Padhang-mBulanNetDok)

Jumat, 03 April 2009

Berdzikir Hamba-Ku, Berdzikir!

Kalian berdzikir "Subhanallah"
Maha Suci Allah, Maha Suci Allah
Apa benar kalian mensucikan Aku?
Apa benar kehidupan kalian mensucikan Aku?
Apa benar watak dan perilaku kalian, kebudayaan dan kemajuan bangsa kalian - mensucikan Aku?

Kalian berdzikir "Alhamdulillah"
Segala puji bagi Allah, Segala puji bagi Allah
Apa benar perekonomian kalian memuji Aku?
Apa benar gedung-gedung kalian, kantor-kantor kalian, pertimbangan dan keputusan kalian, kasih dan sepak terjang kalian - memuji Aku?

Kalian berdzikir "Wa lailaha illallah",
Tiada tuhan selain Allah
Hai hamba-Ku, apa benar Akulah yang kalian tuhankan?
Apa benar Aku faktor primer dalam bagan strategi sejarah kalian?
Apa benar Aku yang nomor satu di dalam kerangka akal dan susunan pikiran kalian
Apa benar cinta kalian mendasar kepadaKu?
Apa benar Aku sedang menarik hati kalian, dibanding uang, keuntungan dan kekuasaan dunia?

Kalau Aku ikut Kontes Idola, apakah kalian kirim sms untuk memenangkan Aku?
Kalian berdzikir "Allahu Akbar"
Allah Maha Besar, Allah Maha Besar
Wahai hamba-Ku, apa tanda kebesaranKu di negeri penyembah berhala yang kalian bangga-banggakan ini?
Di bagian mana dari kebudayaanmu,
Di sebelah mana dari langkah politikmu
Di sudut mana dari gedung-gedung megah industrimu
Yang mencerminkan keunggulanKu?

Kau lakukan kedhaliman di sana-sini
Merata di seantero negeri
Kedhaliman yang samar sampai yang transparan
Kedhaliman struktural, sistemik
Bahkan kedhaliman yang telanjang dan kasat mata
Kedhaliman bahkan kepada dzatKu
Kepada hakekat dan syariat eksistensiKu
Kemudian kalian ucapkan "Allahu Akbar"
Tanpa sedikitpun rasa malu

Bahkan masjid-masjidmu, yakni rumah-rumah suciKu
Kalian pakai untuk menendangku
Sebagian dari kalian membangun rumahKu dengan sisa-sisa uang perampokan struktural
Sebagian dari kalian menegakkan rumahKu dengan biaya hasil mengemis-ngemis di tengah jalan

Kalian mengemis atas namaKu,
Kalian melantikku sebagai Sang Maha Pengemis
Di masjid-masjid kalian tertulis : Allah yang Maha Fakir Miskin.
Oleh karena itu setiap orang perlu menaruh rasa belas kasihan kepadaKu
Dan jika datang seorang koruptor membereskan semua pembiayaan masjid itu,
dialah yang kau puji-puji dan kau sanjung-sanjung.

(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 02 April 2009

Tiap Kecenderungan Budaya Bergerak ke `Titik Pusat'

Kita mungkin tidak hidup langsung di `titik pusat', setiap kecenderungan akan menuju ke sana. Ke manapun pergi, akan kembali ke titik itu-tergantung kesabaran kita dalam memahaminya. Setiap penyakit akan mencari sendiri obatnya, lewat kita. Indonesia di tahun 60-70 an pernah mengalami kesenian yang melambung ke langit-absurd, penuh fatamorgana dan romantisme-romantisme abstrak, tapi dengan tenggang waktu ia kembali mencari `akar'-nya, mencenderungkan diri ke `titik pusat'.

Yang disebut `titik pusat' itu mengejawantahkan dirinya mungkin pada ekspresi verbal seni religius, atau tahap-tahap ketuhanan seperti seni dengan komitmen sosial. Gejala itu muncul dalam sastra, teater, seni rupa, bahkan juga tari dan musik.

Para pekerja seni itu seolah-olah menjalani proses pencarian akan Tuhan: semula mereka sangka Ia adalah sebuah materi. Tuhan yang nun jauh di sana, baru kemudian mereka mengembalikan diri ke `titik pusat' tempat persemayamannya. Gejala pengembaraan semacam ini juga paralel dengan apa yang dialami oleh peradaban masyarakat modern di Eropa Barat atau Amerika. Tanaman di kamar Anda mengarahkan tubuhnya ke jendela di mana cahaya matahari masuk.

Pernah saya mencemaskan anak-anak dusun saya yang perlahan-lahan menanggalkan mainan-mainan tradisi budaya desanya dan menggantinya dengan konsumerisme budaya kota. Tapi kemudian saya jumpai dua hal. Pertama, gejala itu temporer, dengan tak terlalu sukar mereka kembali ke mainan semula. Kedua, yang penting bukan apa bentuk permainan mereka, melainkan apakah mainan di tangan anak-anak dinilai oleh naluri mereka sebagai bisa `membudayakan' mereka atau tidak. Ditanggalkannya kembali mainan-mainan model kota bukan mencerminkan kemunduran atau konservatisme atau pembelaan budaya pribumi. Melainkan, setiap masyarakat manusia memiliki daya saring, daya nilai dan resistensi untuk mengahayati apakah suatu bentukan produk budaya tertentu berhasil memuaskan `rasa kebudayaan' mereka atau tidak. Setiap manusia dan masyarakat memiliki alam rasa dan kesadaran naluriah terhadap `titik pusat'.

Pernah juga saya melihat bahwa untuk masyarakat Indonesia, kebudayaan berfungsi ganda: sebagai alat pertahanan, sekaligus sebagai penghambat perkembangan.

Maksud yang pertama ialah dimilikinya suatu pola perilaku budaya oleh masyarakat kita, yang memungkinkan mereka memiliki ketahanan daya hidup dan `kebal'' terhadap berbagai kondisi. Yang kedua, sudah kita ketahui bersama, banyak sekali faktor-faktor kultural yang menjadi kendala kemajuan dalam birokrasi negara, profesionalisme, komunikasi, pengorganisasian masalah, pembinaan olah raga serta pengamalan ajaran agama.

Karena problem yang muncul pada setiap inisiatif perubahan ialah bagaimana dimensi-dimensi kebudayaan tertentu yang hendak `diberantas' demi `kemajuan', tidak `disembuhkan' dengan sekaligus melenyapkan fungsinya sebagai perangkat pertahanan, sebagai penumbuh daya survive-betapapun ia mungkin naif seperti yang selama ini kita mengerti dari etos pasrah, nrimo dan seterusnya.

Kemudian saya melihat fungsi pertahanan di atas dimungkinkan oleh suatu sikap budaya yang memakai pandangan bersahaja terhadap kesejahteraan, kebahagiaan atau kemakmuran-yang merupakan indikator dari `titik pusat'. Masyarakat `tradisional' kita menempuh jalan praktis yang menerobos secara lebih langsung ke `titik pusat'.

Berbeda dengan sikap budaya dunia modern yang lebih cenderung mementingkan keindahan `permukaan bumi', yang membeli kesejahteraan, kebahagiaan dan kemakmuran dengan harga ekonomi yang jauh lebih mahal. Kebudayaan modern bahkan dengan sadar menyelenggarakan `perceraian' dengan orientasi `titik pusat'. Oleh karena itu sikap budaya tradisi yang lebih `telanjang titik pusat' merupakan penghambat bagi dinamika kesibukan `permukaan bumi'. Dan karena kebudayaan modern merupakan pemimpin dan penguasa zaman, maka sikap budaya tradisi `dipaksa' untuk menanggalkan beberapa pokok sikap budayanya sambil belajar mengintegrasikan diri ke dalam cara-cara kontemporer untuk mengolah kesejahteraan dan mendatangi `titik pusat'. Seseorang tak bisa lagi bernikmat-nikmat dalam situasi kebudayaan santai, yang selama ini ia hidupi baik dengan alasan kelayakan ekonomi maupun tidak. Kini, untuk leha-leha, ia musti menjadi seorang yang produktif, merambahi karir sampai jenjang
tertentu-baru memperoleh keabsahan ekonomis dan sosial budaya untuk berleha-leha.

Tetapi saya tidak melihat bahwa kedua sikap budaya tersebut sedang bertentangan. Kalau mereka bertentangan, dan kita berpihak kepada yang `modern' saja, kita akan tak memperoleh pokok-pokok sikap budaya `tradisi' yang mustinya ditransformasikan: kita bisa kehilangan masa silam tanpa mendapatkan masa depan. Namun kalau kita juga hanya berpihak kepada yang `tradisi', itu tak lain adalah konservatisme yang lambat atau cepat akan terlindas.

Maka jalan yang paling rasional dari seluruh kenyataan dan kemungkinan di atas adalah bagaimana kita memproses modifikasi dengan modifikasi kebudayaan dalam standar kualitas yang memadai. Proses kebudayaan juga selalu merupakan irama kontinyuitas: segala yang a-historis akan lenyap dengan sendirinya. Modifikasi dan kontinyuitas itu merupakan keniscayaan sejarah yang semestinya kita terima dan selenggrakan tanpa kompleks-kompleks.

Romantisme salah kaprah tentang yang kita sangka orisinalitas, kepribumian, identitas dari dan apapun, bisa kita sembuhkan dengan menginsyafi bahwa di sekeliling kita dan di dalam diri kita ternyata justru begitu banyak lapis kebudayaan yang memang sebaiknya hilang. Ketakutan kita terhadap kemungkinan kepunahan apa yang kita sebut kebudayaan bangsa kita redam dengan penglihatan terhadap relativitas akar budaya, keharusan untuk kontinyu serta `kerelaan' modifikasi. Kita justru akan makin gagal untuk berbangga diri sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi ketika kita berjalan dengan dua wajah: gairah perubahan yang menggebu-gebu, dan sikap cemberut puritan dan konservatif.

Dan kalau kita kembali kepada awal tulisan ini kita bisa berkata: kenapa musti kita ciptakan Nyai Rara Kidul kalau bisa kita temukan samudera ilmu, kebenaran dan kebijakan dari `titik pusat' yang toh makin kita kenali gejala-gejalanya? Kenapa kita musti korupsi-kultural dengan men-Tera-kan Waitangkung?

Padahal tak ada dosa apapun dan tak ada kehilangan apapun. Kecuali kita kini masih seorang `purba' yang melarang anak-anak kita bermain sepak bola hanya karena permainan itu `milik' Belanda....
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 01 April 2009

Identitas Adalah Klenik yang Sangat Temporer(ii)

Akar, Kontinyuitas, Modifikasi

Sudah tentu bisa kita bilang kita punya pecel dan rendang sementara orang Taiwan dan Eskimo tak punya. Tentu saja kita suka gengsot ndangdut dan India sendiri tak. Tentu saja kita memang punya sepakbola Indonesia yang disiplin `kehidupan sepakbola'-nya—karena latar kultur—sedikit atau banyak lebih mandul dibanding yang dipunyai Muangthai. Tentu saja kita punya sastra Indonesia yang gamblang berbeda dengan sastra Nepal serta teori sastra ala Indonesia yang tidak mempertimbangkan tipologi kultural masyarakat Ukrania. Kita juga mencari ilmu sosial Indonesia bukan saja karena bangsa Indonesia itu obyek ilmu yang tak bisa diparalelkan begitu saja dengan manusia Kenya, tapi juga karena proses keindonesiaan itu sendiri mengembriokan kerangka metodologi keilmuan sosial yang entah bagaimana tapi mestinya ada. Kita juga punya film yang Indonesia, yang menjadi tuan rumah di negeri sendiri, atau apapun.

Tapi dengan kreasi dan konsumsi pecel kita tidak selalu dijadikan `kebudayaan Indonesia'. Dengan gengsot ndangdut seorang pemuda Madura tidak sedang menyalahi kemaduraannya. Untuk mempertahankan kebudayaan Indonesia kita tidak harus memelihara kemandulan sepakbola. Sastrawan suku Sumba yang menulis dengan bahasa Melayu bukan pengingkar kedaerahannya. Kalau turunan Empu Gandring kini bersekolah dan jadi pakar ilmu sosial, ia tidak sedang memproses suatu kebudayaan lain yang melemparkannya dari identitas dirinya. Dan kalau kita terus-terusan berdukalara memburu film yang Indonesia hendaknya sambil diingat bahwa media film itu sendiri sebagai fenomena komunikasi bukanlah milik `kita'.

Selalu yang berlangsung pada kita adalah proses modifikasi. Demikianlah sejak zaman gelap kerajaan-kerajaan entah apa saja di masa lalu, kita terima tamu demi tamu: malaikat, Hindu, Budha, Islam, Cina, Belanda, berita Kristus, titisan Marx-Lenin serta entah siapa dan apa lagi—untuk kita jadikan apa yang kita percaya sebagai `diri sendiri'. Bahkan Tuhan pun datang dan bertamu dan "kita jadikan diri sendiri". Bahkan akan ternyata bahwa kita sendiri adalah tamu. Atau, pada akhirnya tersingkap bahwa tamu-tamu itu adalah kita sendiri, sedemikian rupa sehingga `diri sendiri' itu tahyul, dan identitas itu klenik yang amat temporer.

Sebab pada kenyataan seperti itu yang disebut akar kebudayaan ialah ekor yang tak terpegang ujungnya. Yang kita sepakati sebagai akar kemudian adalah penggalan suatu garis yang menyilang sulur sejarah. Seperti juga akar pepohonan yang hanya menjangkau beberapa puluh sentimeter di bawah permukaan bumi. Akar bukanlah titik pusat bumi: kebudayaan hanyalah gejala-gejala temporer dan relatif di sekitar permukaan tanah kehidupan. Sedikit lebih masuk, kita akan ketemu dan `sama' dengan beberapa kelompok masyarakat lain. Lebih masuk lagi kita berjumpa dengan seluruh manusia. Lebih masuk lagi kita ketemu dengan alam dan makhluk-makhluk lain. Dan ketika sampai di titik pusat, kita tak menjumpai beda antara manusia, alam dan Tuhan.

Hal-hal di atas mendorong kita untuk tidak usah terlalu terdramatisir oleh kecemasan akan kehilangan kebudayaan. Urusan kehilangan itu substansial merujuk kepada `titik pusat' yang tersebut di atas.

(selesai)

(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)