Minggu, 31 Mei 2009

MEMECAH MENGUTUHKAN

Kerja dan fungsi memecah manusia
Sujud sembahyang mengutuhkannya
Ego dan nafsu menumpas kehidupan
Oleh cinta nyawa dikembalikan

Lengan tanganmu tanggal sebelah
Karena siang hari politik yang gerah
Deru mesin ekonomi membekukan tubuhmu
Cambuk impian membuat jiwamu jadi hantu

Suami dan istri tak saling mengabdi
Tak mengalahkan atau memenangi
Keduanya adalah sahabat bergandeng tangan
Bersama-sama mengarungi jejak Tuhan

Kalau berpacu mempersaingkan hari esok
Jangan lupakan cinta di kandungan cakrawala
Kalau cemas karena diiming-imingi tetangga
Berkacalah pada sunyi di gua garba rahasia

1997
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 28 Mei 2009

KITA MASUKI PASAR RIBA

Kita pasar riba
Medan perang keserakahan
Seperti ikan dalam air tenggelam

Tak bisa ambil jarak
Tak tahu langit
Ke kiri dosa ke kanan dusta

Bernapas air
Makan minum air
Darah riba mengalir

Kita masuki pasar riba
Menjual diri dan Tuhan
Untuk membeli hidup yang picisan

Telanjur jadi uang recehan
Dari putaran riba politik dan ekonomi
Sistem yang membunuh sebelum mati

Siapakah kita ?
Wajah tak menentu jenisnya
Tiap saat berganti nama

Tegantung kepentingannya apa
Tergantung rugi atu laba
Kita pilih kepada siapa tertawa


(Emha Ainun Najib/1987/PadhangmBulanNetDok)

Kang Karto dan Daeng Kahar

Bagaimana seandainya tanggal 19 Mei 1998 pagi itu Jakarta menjadi jamur api raksasa? Umpamanya di 16 pom bensin di titik-titik strategis Jakarta dipasangi bom yang akan diledakkan atau tidak tergantung kepada gejala perilaku Pak Harto di Istana, yang sedang berunding dengan sembilan orang, antara lain Nurkhalis Madjid, Yusril, Gus Dur dan tokoh-tokoh lain yang diminta Pak Harto untuk hadir atas kesepakatan dengan Cak Nur.
Bagaimana kalau berbagai titik tertentu pada posisi jalan tol juga sudah dipasangi bom. Belum lagi umpamanya gedung Graha Purna Yudha yang peletakan bomnya diperhitungkan sedemikian rupa sehingga begitu ia roboh maka jalan Gatot Subroto akan terpotong dan mungkin gedung Polda Metro Jaya tertimpa. Bagaimana kalau umpamanya sekitar 6 kg supersalatin dijadikan bahan dasar untuk penyebaran sumber api dan ledakan itu, umpamanya?
Seandainya pagi hari 19 Mei 1998 pukul 10.00 pagi itu terjadi komposisi ledakan di Jakarta, tentu kasihan banyak orang yang menjadi korban, semua simpul kekuatan ibukota - politik, ekonomi, apa saja - menjadi lumpuh. Dan satu-satunya yang memiliki kekuatan dan maintenance untuk berkuasa adalah organisasi tentara.
Mungkin hari ini Republik Indonesia tidak berwajah seperti yang sekarang kita alami bersama. Reformasi pasti gagal dan kita tentu tidak bisa sebahagia seperti ketika alhamduluillah kita lantas dipresideni oleh Habibie, tidak bisa senikmat ketika dipresideni oleh Gus Dur, serta tidak semakmur dan seadil sebagaimana ketika sekarang kita dipresideni oleh Mbak Mega.
Saking senangnya saya pada kepemimpinan reformasi ini sehingga seandainya dulu saya dimintai oleh Gus Dur duit 6 trulyun dann sekarang oleh Mbak Mega uang sebesar 30 trilyunpun - untuk memungkinkan beliau tetap berkuasa - tentu saya akan usahakan meskipun pasti saya tidak mampu.

***
Kita kembali ke 19 Mei 1998. Jendral Hartono sekilas ikut menemui sembilan orang itu. Wiranto berwajah sangat tegang. Prabowo mondar-mandir tak menentu - menurut saya - tapi mungkin san gat tertentu menurut Prabowo sendiri.
Bagi siapapun dan bagi pihak manapun, sipil atau militer - tidak jelas apa yang mungkin terjadi sesudah pertemuan Pak Harto untuk merundingkan kelengserannya itu. Apakah akan ada ledakan lagi seperti tanggl 12, 13, 14 dan 15 Mei sebelumnya? Kekuasaan Pak Harto itu mutlak dan tidak seorangpun manusia Indonesia, termasuk jendral-jendral, yang waktu itu sanggup memikirkan atau membayangkan bahwa Indonesia ini akan berlangsung kehidupannya tanpa Pak Harto.
Jadi tema lengsernya Suharto adalah awan gelap, shock sangat berat bagi semua yang ikut berkuasa. Dan seandainya Anda adalah Panglima Angkatan Bersenjata, Anda harus berpikir keras untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Bukan hanya memikirkan, tapi juga saat juga mewujudkan. Negara tidak boleh ada vacuum kepemimpinan satu detikpun. Lyndon B. Johnson dilantik di pesawat hanya beberapa menit sesudah John F Kennedy ditembak. Maka apapun yang terjadi dengan Pak Hartro pagi itu, Anda sebagai senopati kekuatan militer negara - harus menyiapkan segala sesuatunya untuk memastikan kekuasaan negara tetap tergenggam di tangan. Atau kalau organisasi militer Anda terpecah menjadi faksi-faksi, makna semua kelompok itu mau tidak mau pasti juga menyiapkan hal yang sama meski dalam bentukm yang berbeda.
Bagaimana seandainya berpuluh kamera sudah siap menyorot segala sudut tempat yang dipakai pertemuan Pak Harto dengan 9 orang serta sekitarnya. Bagaimana seandainya pandangan seluruh kamera itu dimonitor dari dalam sebuah Tank, yang misalnya di dalamnya ada seorang perwira komando dan seorang operator yang memegang remooth sebaran bom-bom yan saya sebut di atas.
Bagaimana seandainya perwira komando itu terus berkoordinasi dengan pimpinan yang juga ada di Istana untuk siap kapan saja meledakkan bom atau membatalkan ledakan. Kalau Pak Harto mengalami ketegangan psikologis karena dituntut turun dari kursi kepresidenannya sehingga beliau gagap atau membisu, kalau lebih dari dua menit kegagapan atau kebisuan itu berlangsung - dan itu be rarti otoritas puncak kekuasaan negara menjadi relatif dan bias disambar oleh kekuatan-kekuatan tertentu - maka remooth harus segera dipencet untuk menjamur-apikan Jakarta terutama wilayah yang mengelilingi Istana.
Kalau Pak Harto pingsan, tentu remote harus lebih cepat lagi dipencet. Apalagi kalau Pak Harto sendiri mengindikasikan perintah atau kode untuk meledakkan・Bagaimana seandainya itu semua benar-benar terjadi? Atau kapan-kapan dibikin benar-benar terjadi?
Siapa tidak tegang. Jangan-jangan Pak Harto ngamuk dalam pertemuan itu. Cak Nur dan teman-teman sudah merundingkan dengan Pak Amin Rais dan sepakat Pak Amin tidak ikut menemui Pak Harto. Sebab Pak Amin hebat dan sering tegas keras, ibarat macan yang sakti. Kalau macan sakti menemui Pak Harto, dikawatirkan Pak Harto yang mulai jadi manusia itu malah berubah menjadi macannya macan.
Tapi ternyata pertemuan Pak Harto dengan 9 orang itu tidak ada tegang-tegangnya sama sekali. Makin lama makin cair, penuh senyum dan akhirnya bahkan penuh gelak tawa・.Seandainya Anda adalah perwira komando atau operator bom yang dari dalam monitor tank menyaksikan situasi rileks di istana itu - pasti Anda jengkel dan sekaligus gembira. Jengkel karena situasi siaga puncak ternyata dihapus oleh gelak tawa. Gembira karena Jakarta tidak harus menjadi jamur api.
Ah, itu semua hanya seandainya.
Apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa reformasi 1998 itu belum terungkap secara jujur dan memang tidak ada kecenderungan dari pihak manapun untuk meneliti secara obyektif fakta-fakta yang sesungguhnya. Bahkan kaum intelektual di universitas-universitas juga tidak menunjukkan gejala bahwa mereka merasa perlu meneliti kenyataan sejarah itu.
Dulu Nambi dan Ronggolawe marah dan memisahkan diri dari kekuasaan Raden Wijaya di Majapahit karena setelah kekuasaan ditegakkan - pelaku perjuangan yang sesungguhnya justru dikhianati. Demikianlah juga lahirnya Kartosuwiryo atau Kahar Muzakkar yang naik gunung masuk hutan karena dikhianati - meskipun kita tidak sepakat pada metoda pemberontakan yang Daeng Kahar dan Kang Karto pilih.
Tapi memang 'manusiawi' kalau pejuang-pejuang sejati disingkirkan oleh teman-temannya sendiri yang di jaman penjajahan sebenarnya bersikap hipokrit. Maka reformasi sekarang sebenarnya juga sudah melahirkan Karto dan Kahar・.***
(Emha Ainun Nadjib/2002/PadhangmBulanNetDok)

Bukan Sembarang Presiden

Presiden Reformasi Indonesia bukan sembarang Presiden. Sejak bangkitnya bangsa Indonesia melalui Reformasi 1998, kalau ada seorang Presiden terpilih, jangan dipikir itu sekedar hasil Pilpres satu hari hari, melainkan ujung dari sebuah proses panjang. Itu puncak eskalasi struktural dari tingkat masyarakat RT hingga ke puncak kursi kenegaraan.

Bangsa Indonesia sudah memiliki pengalaman peradaban selama berpuluh-puluh abad untuk memilih pemimpinnya. Pemilihan Presiden di abad 21 ini jauh lebih sederhana karena sekedar melibatkan penduduk atau warganegara. Sedangkan pengalaman sejarah bangsa Indonesia pernah membawa mereka memilih pemimpin tertingginya dengan melibatkan Nyi Roro Kidul, Walisongo, ruh-ruh leluhur, pasukan lebah, lembu atau kerbau, bahkan untuk sebagian secara sembunyi-sembunyi juga melibatkan masyarakat rekanan hidup manusia yang dikenal dengan nama Jin.

Sejak Reformasi di akhir abad 20, bangsa Indonesia sudah benar-benar menjadi dewasa. Maka skala demokrasi modern mereka cukup hanya mengakomodasi hak warganegara yang berjenis makhluk manusia, sehingga mekanismenya jauh lebih simpel. Sedangkan makhluk-makhluk lain yang bukan manusia, dari Malaikat sampai hewan, tidak memiliki hak gugat terhadap keputusan demokrasi modern ummat manusia, karena Tuhan sudah memberi mandat penuh – ibarat Duta Besar Berkuasa Penuh – kepada manusia untuk menjadi khalifatullah fil-ardl, mandataris Tuhan di seluruh bumi.

Bahkan Iblis, makhluk sangat ganas dan sakti mandraguna yang bertugas menjadi antagonis moralnya ummat manusia, semacam ‘sandhi-yudha’ yang memiliki ketahanan luar biasa dalam tugasnya sebagai partner dialektika kehidupan manusia – juga tidak melakukan protes apa-apa terhadap demokrasi modern, terutama yang diselenggarakan di Indonesia.

***

Iblis pasti bukan tidak tahu bahwa Indonesia adalah negeri yang penduduknya paling memiliki kedekatan dengan Allah swt. Jumlah Hajinya terbanyak seluruh dunia. Sangat rajin bikin pengajian massal, majlis ta’lim, istighotsah, yasinan dan tahlilan, kursus shalat khusyu, biro pengelolaan kalbu, tafsir-tafsir aplikatif dari surah dan ayat-ayat quosi emosi dan spirit, dan berbagai aktivitas keagamaan lainnya yang Iblis ampun-ampun untuk berani menerobosnya.

Maka mekanisme demokrasi modern dijalankan di Indonesia jauh lebih mulus dibanding Negara manapun di dunia. Ditambah faktor plus yang mendasari kekokohannya sebagai sebuah sistem bernegara yang hampir bisa dikatakan tak mungkin bisa digoyahkan oleh apapun saja. Faktor plus itu misalnya tingkat kependidikan masyarakat Indonesia yang sudah jauh memadai sebagai prasyarat tumbuhnya kedewasaan demokrasi.

Matangnya kebudayaan bangsa Indonesia, sebagai individu manusia maupun sebagai kumpulan komunitas, menjadikan pelaksanaan demokrasi sedemikian gagahnya, penuh kemerdekaan dan kreativitas, penuh kelincahan dan keterampilan, namun tetap berada dalam kontrol bersama yang komprehensif di antara semua kelompok, segmen, strata dan kantung-kantung lain bangsa Indonesia.

***

Demokrasi di tangan bangsa Indonesia bagaikan bola di kaki Maradona, tongkat ganda di tangan Bruce Lee, bola basket di tangan Kareem Abdul Jabbar atau Michael Jordan, mobil Formula-1 di kendali Schumacher, Ayrton Senna atau Fernando Alonso. Kalau mau agak puitis, demokrasi bagi bangsa Indonesia itu bak gelombang di pangkuan samudera, bak panas di ujung lidah api, bak kokok di tenggorokan ayam, atau auman di mulut harimau.

Bangsa Indonesia memiliki susunan dan tata sosial yang solid namun dinamis sejak dari lingkar terkecil. Di dalam setiap keluarga selalu terdapat pembelajaran dialog-dialog alamiah tentang kepemimpinan dan siapa pemimpin. Aspirasi dari keluarga-keluarga kemudian dengan sendirinya menjadi muatan interaksi masyarakat se Rukun Tetangga. Kemudian fondasi aspirasi itu meningkat dan meluas hingga ke skala desa atau kelurahan. Demikian seterusnya sampai ke babak ‘semifinal’ dan ‘final’ di panggung puncak kepemimpinan Nasional.

Jadi kalau ada seseorang akhirnya terpilih menjadi Presiden, sesungguhnya itu hanya ujung dari suatu proses yang sangat panjang. Bangsa Indonesia sudah ‘memiliki’ Presiden sejak di rumahnya masing-masing. Kalau seorang Presiden sudah duduk di kursi kepresidenan, hari itu juga setiap warganegara sebenarnya sudah mengantongi nama presiden berikutnya. Seorang Presiden dalam peradaban bangsa Indonesia adalah seseorang yang sudah diuji oleh seluruh dan setiap rakyatnya sejak jauh-jauh hari sebelumnya, minimal sepuluh tahun. Sistem budaya masyarakat Indonesia sudah memiliki infrastruktur kualitatif dan mekanisme identifikasi yang berlangsung mendasar, permanen dan dinamis.

***

Hal yang sama juga berlangsung pada wakil-wakil mereka di Dewan Perwakilan Rakyat. Siapa saja yang mengambil keputusan menjadi Caleg dan gambar wajah-wajah mereka bisa dijumpai di sepanjang jalan, adalah tokoh-tokoh yang bukan hanya sudah sangat dikenal oleh masyarakat infrastrukturalnya, lebih dari itu mereka sudah diuji moralnya, integritas sosialnya, kesungguhan pengabdiannya, keterampilan kerja dan profesionalismenya, termasuk luasnya wawasan dan tingginya keilmuannya.

Bahkan tatkala seorang Presiden memilih Menteri-Menterinya, dan para Menteri memilih bawahan-bawahannya, itu sama sekali bukan soal selera, bukan berdasarkan power-share atau pembagian kekuasaan, bukan berlatar belakang kepentingan golongan atau penyeimbangan perolehan antar kelompok. Pemilihan atasan ke bawahan itu juga diselenggarakan dengan terlebih dulu mempelajari data-data dan fakta-fakta dari lapangan paling bawah, yakni siapa yang benar-benar sudah lulus dari penyaringan sosial masyarakat.

Kadar keterujian pemimpin nasional dan wakil rakyat yang sedemikan ketat dan kualitatif oleh sistem sosial masyarakat Indonesia, membuat mustahil muncul pemimpin-pemimpin yang nyasar dan a-historis. Kepemimpinan nasional dan perwakilan rakyat di Indonesia tidak bisa sekedar ditentukan oleh eksistensi dan mekanisme partai-partai politik. Parpol hanyalah kendaraan di ujung jalan, hanya alat terakhir untuk secara formal meresmikan apa yang sudah diproses sangat matang dalam waktu yang juga sangat panjang. Semua aktivis parpol juga sangat memahami hal itu, sehingga mereka sangat bersikap rendah hati dan tidak merasa dirinya penentu utama kepemimpinan nasional.

***

Presiden Indonesia dan Wakil-wakil Rakyat adalah orang-orang yang memang harus mereka yang menjadi Presiden dan Wakil-wakil rakyat.

Vox populi vox dei. Demikianlah ‘sabda rakyat’ melalui mekanisme sistem yang mereka selenggarakan secara konsisten dan istiqamah dari tahun ke tahun, dari era ke era, bahkan dari zaman ke zaman. Presiden dan Wakil-wakil rakyat adalah tokoh-tokoh yang muncul ke singgasana berdasarkan ujian sejarah masyarakatnya sendiri. Dengan demikian bisa dipastikan merekalah memang yang paling layak kepribadiannya, paling bermutu kepemimpinannya, paling unggul ilmu dan wawasannya, paling kredibel kinerjanya, paling luas wawasannya, paling terampil kerjanya, bahkan paling diridhoi Tuhan dan direstui oleh semua makhluk-makhluk Allah non-manusia.

Sistem budaya dan mekanisme sosial bangsa Indonesia yang sudah matang sejak puluhan abad yang lalu, memastikan bahwa pemimpin-pemimpin nasional mereka yang lahir dari demokrasi Indonesia adalah putra-putri terbaik bangsanya. Harus mereka yang memimpin. Tak terbantahkan. Bisa jadi Tuhan sendiripun tak mungkin mengganti mereka, karena Ia mengikatkan diri pada kegembiraan dan kebanggaan menyaksikan tingkat kematangan budaya demokrasi bangsa dan Negara Indonesia.*****
(Emha Ainun Nadjib/Kompas/22 Mei 2009/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 21 Mei 2009

Membaca dan Selimut

Kiai Sudrun berkata kepada cucunya, seorang sarjana yang tadi siang diwisuda.

"Di zaman dahulu kala terdapatlah makhluk yang bernama Kebudayaan Barat.
Pada masa itu tak ada barang di muka bumi ini yang dikutuk orang melebihi kebudayaan barat sehingga ia dianggap sedikit saja lebih baik dari anjing kurap. Pada masa itu pula tak ada sesuatu pun dalam kehidupan yang dipuja orang melebihi kebudayaan barat sehingga terkadang ia melebihi Tuhan."

"Ini kisah aneh apa lagi?" bertanya sang cucu.

"Kaum Muslim pada waktu itu sedang mencapai puncak semangatnya untuk memperjuangkan agamanya, menemukan identitas dan bentukan kebudayaannya sendiri," si kakek melanjutkan, "Maka dipandanglah kebudayaan barat itu oleh mereka dengan penuh rasa najis, serta dipakailah barang-barang kebudayaan barat itu dengan penuh rasa sayang dan kebanggan."

"Lagi-lagi soal kemunafikan!"

"Tak penting benar soal kemunafikan itu dalam kisah ini," jawab Kiai Sudrun, "setidak-tidaknya engkah sudah paham persis masalah itu, dan lagi yang hendak aku ceritakan kepadamu adalah soal lain."

Sang cucu diam mendengarkan.

"Kaum Muslim pada waktu itu mempertentangkan Islam dengan kebudayaan barat seperti mempertentangkan cahaya dengan kegelapan atau malaikat dengan setan.
Padahal sampai batas tertentu, para pelaku kebudayaan barat itu sendirilah yang dengan ketekunan amat tinggi melaksanakan ajaran Islam."

"Kakek sembrono, ah."

"Tak ada yang melebihi mereka dalam melaksanakan kewajiban iqra', meskipun kemudian disusul oleh sebagian bangsa-bangsa tetangganya. Tak ada yang melebihi mereka dalam kesungguhan menggali rahasia ilmu dan mengungkap kemampuan-kemampuan alam. Mereka telah membawa seluruh umat manusia memasuki keajaiban demi keajaiban. Mereka mengantarkan manusia untuk mencapai jarak tertentu dalam waktu satu jam sesudah pada abad sebelumnya mereka memerlukan
perjalanan berbulan-bulan lamanya. Mereka mempersembahkan kepada telinga dan mata manusia berita dan pemandangan dari balik dunia yang berlangsung saat itu juga. Mereka telah memberi suluh kepada pengetahuan manusia untuk mengetahui yang lebih besar dari galaksi serta yang sejuta kali lebih lembut dari debu."

"Dimuliakan Allahlah mereka," sahut sang cucu.

"Benar," jawab kakeknya, "kalau saja mereka meletakkan hasil iqra' itu di dalam kerangka bismi rabbika-lladzi khalaq. Seandainya saja mereka mempersembahkan ilmu dan teknologi itu untuk menciptakan tata hidup yang menyembah Allah. Seandainya saja ereka merekayasa kedahsyatan itu tidak untuk penekanan dalam politik, pemerasan dalam ekonomi, sakit jiwa dalam kebudayaan, serta kemudian kebuntuan dan keterpencilan dalam peradaban."

"Apa rupanya yang mereka lakukan?"

"Memelihara peperangan, mendirikan berhala yang tak mereka ketahui sebagai berhala, menumpuk barang-barang yang sesungguhnya tak mereka perlukan, pura-pura menyembah tuhan dan bersenggama dengan binatang."

"Anjing kurap!" teriak sang cucu.

"Memang demikian sebagian dari Kaum Muslim, memaki-maki, tapi kebanyakan dari mereka bergabung menjadi pelaku dari pembangunan yang mengarah kepada kebudayaan yang semacam itu."

"Munafik!" sang cucu berteriak lagi.

"Menjadi seperti kau inilah sebagian dari Kaum Muslim di masa itu. Dari sekian cakrawala ilmu anugerah Allah mereka mengembangkan satu saja, yakni kemampuan untuk mengutuk dan menghardik. Tetapi kemudian karena tak ada sesuatu pun yang berubah oleh kutukan dan hardikan, maka mereka pun pergi memencilkan diri: melarikan diri ke dalam hutan sunyi, mendirikan
kampung-kampung sendiri - di pelosok belantara atau di dalam relung kejiwaan mereka sendiri. Mereka menjadi bala tentara yang lari terbirit-birit meninggalkan medan untuk menciptakan dunianya sendiri. Mereka ini mungkin kau sebut kerdil, tetapi sesungguhnya itu masih lebih baik dibandingkan
kebanyakan orang lain yang selalu berteriak sinis 'Kalian sok suci!' atau 'Kami tak mau munafik!' sementara yang mereka lakukan sungguh-sungguh adalah kekufuran perilaku dan pilihan. Namun demikian tetaplah Allah Mahabesar dan Mahaadil, karena tetap pula di antara kedua kaum itu dikehendakiNya hamba-hamba yang mencoba merintis perlawanan di tengah medan perang. Mereka
menatap ketertinggalan mereka dengan mata jernih. Mereka ber-iqra', membaca keadaan, menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesanggupan mengolah sejarah, sambil diletakkannya semua itu dalam bismi rabbi. Ilmu ditimba dengan kesadaran dan ketakjuban Ilahiah. Teknologi ditaruh sebagai batu-bata kebudayaan yang bersujud kepada Allah."

"Maka lahirlah makhluk baru di dalam diri Kaum Muslim," berkata Kiai Sudrun selanjutnya, "Gerakan intelektual. Orang dari luar menyebutnya intelektualisme-transendental atau intelektualisme-religius, meskipun Kaum Muslim sendiri menyebutnya gerakan intelektual - itu saja - sebab intelektualitas dan intelektualisme Islam pastilah religius dan transendental."

"Dongeng kakek menjadi kering ...," sahut sang cucu.

"Itu iqra' namanya. Gerakan iqra', yang ketiga sesudah yang dilakukan oleh Muhammad dan kemudian para ilmuwan Islam yang kau ketahui menjadi sumber pengembangan kebudayaan barat."

Sang cucu tak memrotes lagi.

"Akan tetapi mereka, Kaum Muslim itu, adalah - kata Tuhan - orang-orang yang berselimut. Mudatstsirun. Orang-orang yang hidupnya diselimuti oleh berbagai kekuatan tak bismi rabbi dari luar dan dari dalam diri mereka sendiri.
Selimut itu membuat tubuh mereka terbungkus dan tak leluasa, membuat kaki dan tangan mereka sukar bergerak, serta membuat hidung mereka tak bisa bernafas dengan lega."

Sang cucu tersenyum.

"Kepada manusia dalam keadaan terselimut itulah Allah berfirman qum!
Berdirilah. Tegaklah. Mandirilah. Lepaskan diri dari ketergantungan dan ketertindihan. Untuk tiba ke tahap mandiri, seseorang harus keluar terlebih dahulu dari selimut. Ia tak akan bisa berdiri sendiri bila terus saja membiarkan diri terbungkus kaki tangannya serta terbungkam mulutnya."

Sang cucu tersenyum lebih lebar.

"Firman berikutnya adalah fa-andzir! Berilah peringatan. Lontarkan kritik, teguran, saran, anjuran. Ciptakan kekuatan untuk mengontrol segala sesuatu yang wajib dikontrol." - Sampai di sini Kiai Sudrun tiba-tiba tertawa cekikikan - "Syarat untuk sanggup memberi peringatan ialah kemampuan untuk mandiri. Syarat untuk mandiri ialah terlebih dahulu keluar dari selimut.
Namun pada masa itu, cucuku, betapa banyak nenek moyangmu yang tak memperhatikan syarat ini. Mereka melawan kekuasaan padahal belum bisa berdiri tegak. Mereka mencoba berdiri padahal masih terbungkus dalam selimut... " - tertawa Kiai Sudrun makin menjadi-jadi.

Disusul kemudian oleh suara tertawa cucunya, "Kakek luar biasa!" katanya, "Kakek memang cerdas luar biasa!"

"Apa maksudmu?" bertanya Kiai Sudrun di tengah derai tawanya.

"Kakek menirukan hampir persis segala yang kuceritakan kepada kakek tadi malam dari buku-buku kuliahku."

Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal.
1987
(Emha Ainun Nadjib/"Kiai Sudrun Gugat"/GraffitiPresss/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 19 Mei 2009

BOO KEBO!

Lawakan sahabat kita itu sebenarnya amat serius. Dengan gaya amat santai dia mengungkapkan secara jitu soal - soal politik dan kepemimpinan. Itu terjadi di sebuah acara di kota Bandung.
"Saudara - saudara sebangsa setanah air!" ucapnya, "kumpul kebo sungguh baik dan merupakan pilihan saya dalam pengelolaan tugas - tugas saya. Marilah kita selalu kumpul dengan kebo, baik kebodohan, kebohongan maupun kebobrokan..."

Acara itu menjadi amat semarak. Namun, pada hari - hari sesudah acara, saudara kita itu tidak nampak batang hidung maupun ekornya. Orang- orang mencari ke sana kemari, bahkan sampai ke kandang - kandang kebo, tak ketemu.

Saya sendiri menjadi sangat khawatir. Jangan jangan ia disruduk oleh seekor atau beberapa ekor kebo, atau setidaknya hidungnya dicocok seperti kebanyakan kebo.

Tak bisa saya berbuat apa - apa atas hilangnya sahabat kita itu. Akhirnya saya hanya berdoa semoga ia selamat dari kebonyokan- kebonyokan tertentu di wajahnya, semoga Allah melindunginya dari kebocoran - kebocoran di kepalanya, serta jangan sampai perut atau anggota - anggota tubuh yg lain menderita kebolongan kebolongan.

Sebab, 45 tahun yang lalu, Cak Durasim di Jombang, gara - gara berpantun, "Bekupon omahe doro, melok Nipon urip sengsoro..."-segera mengalami kebongkoan alias 'dut' alaias 'koid' oleh 'keboanjingan' serdadu Jepang.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan)

Senin, 18 Mei 2009

Sang Maha Penganugerah

Apa alasanku untuk durhaka kepada-Mu, Allahku
Di malam dan siang telingaku mendengar desir lembut suara malaikat-Mu
yang mendendangkan nyanyian-Mu yang melezatkan jiwaku
Di siang dan malam mripatku menyaksikan rahmat-Mu
bertaburan dari langit beribu penjuru.

Jika Engkau bukan Sang Maha Tanpa Pamrih
pastilah bangkrut aku
Jika atas segala anugerah-Mu harus kupersembahkan balasan,
maka tiadalah yang akan mampu aku persiapkan.

Segala yang tergenggam di tanganku adalah milik-Mu,
bahkan tak juga kumiliki diriku sendiri,
karena Engkaulah Maha Empunya semuanya ini.

Maka jika kupasrahkan seluruh jiwa ragaku
bukanlah aku memberikan sesuatu kepada-Mu,
melainkan sekedar menyampaikan hak-Mu.
Dan jika aku memberikan sesuatu kepada keluargaku,
kepada para tetangga dan sekalian orang di dalam jangkauanku,
tak lain itu hanyalah menyalurkan milik-Mu,
agar sampai pada akhirnya ke haribaan-Mu.

Apa alasanku untuk durhaka kepada-Mu, Allahku
Engkau Maha Memberi, tanpa meminta:
aku lah yang membutuhkan penyerahan segala sesuatu ke hadapan-Mu.
(Emha Ainun Nadjib/"Syair-syair Asmaul Husna"/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 14 Mei 2009

Trotoar Buat Manusia

Aku melihatmu berdiri di tepi jalan raya
Tapi aku tahu sebenarnya engkau tak berdiri, engkau
adalah sehelai daun tua yang melayang-lauang
oleh hembusan angin besar
Engkau tercampak dari sudut ke sudut, dari parit
ke parit, dari kegalauan ke ketidakmenentuan
Caramu berdiri gamang, kerut merut wajahmu tak kuasa
menahan desakan-desakan jiwa tersembunyi, dan
sorot matamu memandang tak ke mana-mana selain
ke balik rahasia sajak dukamu sendiri
Dimanakah engkau bisa temukan hamparan tanah untuk
mendirikan rumah buat hati puisimu yang lunglai?
Pembangunan tak mendukung manusia, kantor dan toko-
toko tak menghendakinya, kendaran di jalanan
tak menghampirinya
Kekuasaan di tengkukmu tidak menyangga janji-janjinya
sendiri, kertas-kertas birokrasi memeras alam dan
darah berjuta saudara-saudarimu, untuk secara
sejarah menyelenggarakan bunuh diri
Aku melihatmu berdiri di tempat yang tak menghendakimu
berdiri, aku melihatmu berdiri di tempat yang
akan mengusirmu pergi
Aku melihatmu berdiri di tepi jalan raya, tetapi siapakah
engkau dan apakah jalan raya, lajur-
lajur, highway, derap pembangunan, mobilitas,
dan gegap gempita?
Adakah trotoar buat manusia, angkring kakilima untuk
puisi dan suara jiwa yang sejati?
Sajakmu tak kunjung lahir, sebab penggusuran kemanusiaan
tidaklah ke pulau seberang, melainkah jauh
ke ruang hampa batin rakyat yang kebingungan

18 Mei 1991
(Emha Ainun Najib/1991/PadhangmBulaNetDok)

Rabu, 13 Mei 2009

Anak-anak yang Diyatimkan

Dzu Walayah lenyap dari rumah kediamannya tanpa seorang pun mengerti ke mana ia pergi, terkadang bahkan dalam waktu yang lama sekali.

Ia selalu berpamit kepada istrinya dengan kata-kata yang sukar dipahami, "Aku wajib meluangkan waktu untuk menemui saudara-saudaraku dalam sunyi!"

Orang-orang, karena amat sibuk oleh kerja, uang dan gengsi, tak pernah punya kesempatan untuk mengenali siapa sebenarnya ia.

Sebagian menyimpulkan ia gila, sebagian lain menyebutnya sebagai orang yang gemar mencari perkara, lainnya lagi beranggapan bahwa ia adalah lelaki yang suka berkhalwat dan bergaul dengan rasa derita.

Aku membuntuti Dzu Walayah di suatu siang yang amat terik, berjalan menyusuri jalanan, berpakaian kumuh, tak memakai alas kaki dan wajahnya bagai orang kesakitan.

Ini adalah zaman modern yang efisien dan efektif di mana setiap orang memusatkan diri pada pencarian kejayaan dan kemegahan: oleh karena itu terhadap perangai lelaki itu aku sungguh penasaran.

Di suatu lorong yang sepi tiba-tiba saja ia membalikkan badan dan memergokiku.

Tapi sebelum sempurna kuurus rasa kagetnya, terdengar ia berkata, "Mari, nak, berjalan saja bersamaku. Kalau dibuntuti, aku selalu merasa seperti seekor binatang berbuntut."

Hampir aku tertawa oleh kata-katanya, tapi karena aku salah tingkah, spontan kuikuti saja ia melangkah.

"Aku selalu mencari kesempatan untuk bertemu dengan anak-anak yatim," katanya tanpa kuminta.

"Kenapa tidak langsung ke rumah-rumah panti asuhan anak-anak yatim?" aku bertanya.

"Ke sanalah memang sebagian dari perjalananku. Kasihan anak-anak itu.
Tinggal di rumah yatim. Rumah yang selalu mengumumkan kepada orang banyak bahwa ia adalah tempat anak-anak yatim."

"Kenapa kasihan, wahai Dzu Walayah?"

"Karena dengan begitu anak-anak asuh itu tiap hari disuruh merasa yatim.
Disuruh merasa tak punya orangtua. Padahal tujuan panti asuhan adalah mengembangkan perasaan aman pada anak-anak itu agar mereka sama dengan anak-anak lain yang punya orangtua."

Ternyata apa yang terjadi pada lelaki ini adalah sesuatu yang sederhana saja.

"Jadi," kataku, "kalau soalnya hanya demikian saja, untuk apa Anda lara lapa berjalan kaki, berpakaian kumuh dan berlaku seperti ini?'

"Pertama karena aku ingin memasuki jiwa anak-anak itu. Kedua aku ingin merasakan keyatiman yang dahsyat: dengan penampilan seperti ini, bahkan anak-anak yatim pun tak menerimaku. Aku tak sanggup berbuat apa pun untuk menyantuni atau mengurangi jumlah anak-anak yatim. Oleh karena itu aku memohon kepada Allah hendaknya diperkenankan setidaknya menemani situasi
jiwa mereka."

"Di dunia ini," ia meneruskan, "Allah memuliakan sebagian dari hamba-hambanya dengan menakdirkan mereka menjadi anak-anak yatim. Setiap Muslim wajib menyantuni anak-anak yatim, baru kemudian orang miskin. Itulah tanda kemuliaan anak-anak yatim. Merekalah unsur penguji apakah kita mendustakan agama atau tidak."

"Anak-anak yatim adalah kendaraan utama yang bisa kita naiki untuk mencari keluhuran. Tetapi hanya Allah yang berhak meyatimkan seseorang, sebab tindakan peyatiman oleh Allah itu disertai dengan akal budi dan fasilitas yang diberikan kepada orang-orang lain untuk menyantuni anak-anak yatim."

"Adapun di dunia yang disebut maju dan modern ini, sebagian pekerjaan penting dari manusia adalah meyatimkan anak-anak, bahkan anak-anak mereka sendiri. Orang-orang modern di kota-kota amat sibuk bekerja sehingga anak-anak mereka teryatimkan. Kapan saja seorang anak tidak memperoleh
perhatian, cinta kasih dan santunan dari orangtuanya, pada jam-jam itu ia menjadi yatimm. Kalau bapaknya sibuk rapat dan ibunya sibuk arisan, kau bisa hitung sendiri berapa jam sehari anak itu menjadi yatim piatu. Anak-anak yang diyatimkan oleh orang-orangtuanya itu lantas mencari orangtua di dunia abstrak, mencari cinta kasih di tempat-tempat yang mmereka tak tahu bagaimana mencarinya. Mereka menjadi berandal di jalanan, tidak peka terhadap batas baik buruk, tidak terlatih bagaimana berlaku baik. Mereka tidak terdidik menghargai sesama manusia, karena bahkan oleh orangtua mereka sendiri mereka kurang dihargai sebagai manusia. Anak-anak yatim seperti itu,
yang kalau bertemu denganku selalu merasa jijik, memandang rendah, bahkan mungkin meludah. Tetapi ketahuilah bahwa tak ada orang yang lebih menanggung dosa perilaku dan sikap anak-anak itu selain orang-orangtua mereka sendiri."

Telah amat jauh kami berjalan, dan perutku sudah amat terasa kelaparan, tetapi Dzu Walayah terus menyerbuku dengan pernyataan-pernyataan -

"Adapun engkau pastilah anak yang berpikiran cerdas untuk mengetahui betapa banyak jenis keyatiman di dunia maju yang gegap gempita ini."

"Jika anak-anak tak memperoleh pendidikan seperti yang Allah memberinya hak dan kewajiban, yatimlah ia. Jika orangtua terlalu mendikte anaknya dan menjadikan anak itu hanya sebagai alat dari kemauannya, yatimlah ia. Jika suatu tata perekonomian memberi kemudahan yang berlebih kepada sebagian orang dan memberi kesulitan yang berlebih kepada sebagian lainnya, maka yatimlah orang yang disukarkan. Jika suatu tata politik tak menyediakan ruang bagi anak-anak negerinya untuk mengembangkan pikiran dan sumbangan jujur bagi kemajuan negerinya, maka yatimlah pura-putri negeri yang mulutnya dibungkam itu."

"Betapa melimpah anak-anak yatim di sekitarmu, Nak. Jika kau bisa ubah, ubahlah. Tapi setidaknya berdzikirlah untuk mengingat mereka, seperti yang kulakukan dengan caraku sendiri ini."
(Emha Ainun Nadjib/1987/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 12 Mei 2009

Nyata dan Tidak Aneh

Kalau Anda menggenggam sebutir telor, dan beberapa puluh detik kemudian telor itu menjadi matang...
Kalau Anda mengikat roda kereta api, dan tali pengikat itu Anda gigit kemudian roda itupun terangkat dan Anda ayun-ayunkan...
Kalau ayam Anda dicuri oleh maling, dan Anda nge-sot : "Kalau dalam waktu sehari semalam ayam tak dikembalikan, si maling akan lumpuh!" -- sehingga ia lumpuh benar-benar...
Kalau Anda mengisikan jarum, pisau atau keranjang ke dalam perut seseorang yang Anda benci atau cemburu...
Kalau Anda letakkan telapak tangan dua sentimeter di atas meja dan Anda angkat meja itu tanpa menyentuhnya...
Kalau anda memangkas nyala api dan membelah air...
Kalau Anda memimpin rapat penting semalam suntuk, dan pada saat yang sama Anda beredar bersama kelompok siskamling...
Kalau Anda mengucapkan Assalamu'alaikum kepada seekor anjing dan anjing itu menjawab dengan gerak tubuhnya, atau Anda ,menatap mata harimau sehingga ia berlari tunggang langgang...
Kalau anda tahu persis siapa tamu yang sejam lagi datang ke rumah Anda dan mengerti maksud buruk atau baik yang dibawanya...
Kalau Anda mengobrol dengan Ibunda yang bertempat tinggal 300 km dari rumah domisili Anda...
Kalau Anda menggerakkan pasukan lebah untuk menyerbu musuh yang hendak memasuki wilayah Anda...
Kalau Anda mengembara semalaman dengan Khidir penggembala utama para wali Allah yang selalu hidup tersembunyi...
Itu tidak aneh. Itu nyata dan tidak aneh.
Itu wajar dan rasional. Itu lumrah dan ilmiah, meskipun ilmu yang kita ketahui belum tentu mampu menerangkannya, meskipun pengetahuan yang kita kuasai belum tentu sanggup membeberkannya.

Manusia itu lebih tinggi kemampuannya dibanding alam. Manusia memiliki rahasia kemampuanyang mengatasi alam. Apabila hijab rahasia itu terbuka, maka manusia bukan saja menjadi transendental atau bebas dari kungkungan alam, tapi juga sekaligus berarti ia menapak ke maqam lebih tinggi yang semestinya memang ia tempuh.
Manusia bahkan adalah mahluk Allah yang lebih tinggi derajat kemakhlukannya dibanding para malaikat yang kita kenali sebahai gaib.

Tetapi, kalau kemampuan dan rahasia, difestivalkan, dilombakan: itulah yang aneh. Apa haknya untuk memamerkan barang yang bukan miliknya? di mana muka manusia ditaruh dihadapan Tuhannya ketika ia memamerkan dan mantakaurkan anuugrahNya?
Hanya siswa-siswi Taman Kanak-kanak yang masih pantas untuk pamer gaya dan suara.
Sesudah bernyanyi, semua teman-teman bertepuk tangan. Tetapi ketika berangkat dewasa, anak-anak itu belajar tahu bahwa suara itu bukan miliknya. Tak seorang manusia pun bisa menentukan atau memilih warna suaranya, bentuk tubuhnya, cakep-tidak wajahnya, dimana ia lahir, menjadi anak siapa atau putra daerah mana.
Allah yagn menentukan dan memilihkan.

Tetapi kita memang tanpa malu-malu, di dunia ini, menjual milik-milik Allah itu untuk kepentingan pribadi, dengan anggapan seolah-olah diri kita ini seluruhnya adalah hak milik kita.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 10 Mei 2009

Doa Kubangan

Di dalam tasbihnya, para Malaikat Allah senantiasa mendendangkan rasa iba mereka kepada manusia:

"Ya Allah, jika mereka menjahati sesamanya karena kejahatan, perintahkanlah kami untuk mencuci jiwa mereka, karena untuk hati jahat kami tidak berani memohonkan ampunan bagi mereka kepada-Mu. Namun jika mereka mengingkari-Mu karena kebutaan dan kebodohan, turunkanlah ampunan-Mu yang berupa cambuk yang membangunkan akal mereka"
"Ya Allah selamatkanlah manusia dari ketidakmengertian mereka atas diri mereka sendiri serta dari ketidakpahaman pergaulan di antara sesama mereka, sehingga mereka saling menghisap dan menghardik, memukul serta menginjak satu sama lain"
Namun seringkali para Malaikat itu tersenyum sendiri dan bergumam:
"Ya Allah, apakah Engkau pernah memberi wewenang kepada sejumlah manusia untuk berperan sebagai Engkau, sehingga semua manusia lainnya hanya Engkau perkenankan untuk patuh kepada sejumlah orang itu, tidak Engkau izinkan untuk bertanya dan Engkau larang untuk membantah?"

Kemudian senyumnya hilang dan ia meratap:
"Ya Allah, manusia tidak akan pernah sanggup memahami keadilan-Mu dan tak bakalan mampu memaknai kehendak-Mu. Ya Allah, mereka tiap hari merenung dengan hati sedih: kenapa orang yang bagi mereka harus Engkau angkat naik ke derajat nikmat-Mu malah Engkau biarkan terkapar di kubangan, dan kenapa orang yang menurut mereka seharusnya segera Engkau hukum dan Engkau jatuhkan, malah Engkau pelihara dan manjakan?"
Ada kalanya terdengar oleh para Malaikat itu suara Allah:
"Siapa bilang ia belum jatuh? Sudah lama ia terjerembab dan hampir terkeping-keping di jurang kerendahan!
Siapa yang membuatnya percaya bahwa kiniia sedang duduk di kursi kejayaan, sedangkan kemenangan yang ia nikmati itu membuatnya hina sebagai manusia
Hamba-hambaku berdoa agar Aku tidak terlalu mengacuhkannya dengan membiarkannya merasa takut dan menyangka akan dilindas kehancuran sesaat lagi, padahal kehancuran telah menjadi pakaian kebesaran sehari-hari orang itu
Hambaku yang tetap buta sampai hari tuanya itu percaya bahwa singgasana yang tak tergoyahkan adalah kekokohan, padahal itu adalah kekalahan yang amat memalukan dalam pertarungan melawan hakikat hidupnya sendiri
Ia yakin bahwa segala yang ia miliki serta caranya menghisap dan menimbunnya dari tanah yang bukan miliknya itu adalah kecanggihan, padahal itulah kedunguan yang bersarang di otak manusia sejak zaman purba
Ia menikmati jari-jemarinya memainkan seribu wayang, ia gerakkan ke kiri dan ke kanan, ia angkat dan campakkan, ia gebug dan lemparkan. Ia menyangka sedang berpesta kekuasaan, kepandaian dan harta, sedangkan yang ia lakukan sebenarnya adalah membuang habis jatah hari depannya sendiri di dalam kehidupan sejati yang Aku sediakan

Ia merasa sedang membangun menara-menara, monumen-monumen dan makam keistanaan, sedangkan yang ia tumpuk sesungguhnya adalah batu-bata kerendahan, yang ia gali sesungguhnya adalah kubangan sejarah bagi nama buruknya sendiri yang kelak disebut-sebut oleh jutaan anak cucu dengan hati mengutuk"
Kemudian para Malaikat itu seolah-olah meneruskan sendiri kalimat-kalimat-Nya:
"Maka sambil kau impikan agar ia memulai bangkit dari kehancuran di kubangan itu, dengarkanlah kembali suara ruh-ruh dari gundukan-gundukan tanah di kuburan ・bahwa jika seseorang tak bisa menghentikan dusta sampai di usia senjanya, ia akan kaget karena dibohongi oleh nasibnya sendiri
Bahwa kalau sekarang tak segera ia letakkan pisau penindasan itu, masa depan dan kematiannya akan berdarah-darah, kodrat dirinya akan diseret beribu orang di jalanan, dan namanya akan dijadikan tabung pembuangan ludah masa depan
Bahwa hari ini adalah hari puncak kegelapan
Bahwa gelap sedang menyempurnakan dirinya
Kemudian asap yang mengepul di depanmu itu akan segera menjelma api
Bahwa retak-retak gempa sejarah akan menggurat di wajahmu dan di bumi
Bahwa matahari akan segera selesai dipermandikan oleh putaran alam, untuk menghadirkan hari baru yang tak ia sangka-sangka"

1994
(Emha Ainun Nadjib/Doa Mohon Kutukan/Risalah Gusti/1995/PadhangmbulanNetDok)

Kamis, 07 Mei 2009

YANG DATANG

Yang datang dengan ketulusan akan
bertatapan dengan wajahku yang sejati

Yang datang dengan kecurigaan akan
tersesat ke dalam semak-semak

Yang datang dengan kekeruhan Baginda Khidir
akan memain-mainkan kegelapan di matanya

Yang datang dengan kebencian Kanjeng Sunan Bonang
akan menggigilkan sukmanya

Yang datang dengan kebodohan yang
dieman-eman Pangeran Ali akan menyembunyikannya
di balik tembok

Yang datang dengan permusuhan malaikat
Syakhlatus-Syams akan mengikat tangannya

Tetapi yang datang dengan kemesraan akan
terangkut oleh gelombang lagu Daud

1994
(Emha Ainun Nadjib/Doa Mohon Kutukan/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 06 Mei 2009

ISLAM KOK NDAK EKSTREM

Yang bahaya dan ditakuti oleh penguasa bumi ini bukan Kaum Muslimin atau Ummat Islam. Yang kuat dan hebat juga bukan Ummat Islam. Tidak ada yang perlu ditakuti dari Ummat Islam. Biarpun Israel hanya sekabupaten yang bertetangga dengan sepropinsi negara-negara Islam, si kabupaten bisa berbuat apa saja.
Jangankan sekedar mengurung Yasser Arafat di dalam metoda Khondaq, jangankan sekedar mengancam dan mengebom Masjidil Aqsha, sedangkan kalaupun Ka’bah di Mekah dan Masjid Nabawi diduduki oleh kumpulan pasukan-pasukan penguasa dunia – akan tidak banyak yang bisa diperbuat oleh Ummat Islam.
Ummat Islam di timur tengah hidup dalam negara-negara suku yang secara ideologis dan sosiologis menyalahi prinsip universalisme-plural (rahmatan lil’alamin) yang merupakan inti ajaran Rasulullah Muhammad saaw. Ada kerajaan suku Arab Saudi, kerajaan suku Yordan, Kuwait, dlsb. Para khotib Jum’at selalu menyatakan rasa syukur “Kita panjatkan puja dan puji kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad saaw, yang telah membawa kita dari alam jahiliyah menuju alam nur yang terang benderang…”
Kalimat itu belum selesai, karena di ekornya masih ada anak kalimat “….kemudian sesudah Muhammad tiada, kita kembali ke dunia jahiliyah….”
Ummat Islam Indonesia yang jumlahnya terbesar di dunia juga terbagi dalam berbagai suku dengan fanatisme, kebanggaan dan egosentrismenya masing-masing. Ada suku NU, suku Muhammadiyah, suku darul Arqam, suku PKB dan sub-sukunya, suku PPP dan sub-sukunya, suku PBB, PK dan banyak lagi. Firman Allah “syu’ub wa qaba-il” itu bukan hanya bermakna genekologis atau antropologis – tetapi juga melebar ke berbagai segmentasi sosial yang jumlahnya tak terbilang. Bahkan di dalam suku-suku Ummat Islam terdapat pula sub-suku Yahudi, Nasrani, Sekuler, Kebatinan dan macam-macam lagi – sekurang-kurangnya dalam cara pandang dan pola sikap kesejarahannya.
Sungguh mengasyikkan isi dunia ini, dan Ummat Islam di muka bumi seluruhnya atau khusus di Indonesia, dengan modal dasar kebanggaan suku – tidaklah akan mampu berbuat banyak kepada kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Jika kekuatan di luar mereka memusuhinya, Ummat Islam akan kalah, dan jika kekuatan di luar dirinya itu bersahabat dengannya – Ummat Islam akan lebih kalah lagi.
Dan kalau terhadap persepsi saya ini Ummat Islam marah, maka menjadi terbukti bahwa ternyata keadaan mental dan budaya Ummat Islam jauh lebih parah disbanding yang tergambar dalam uraian ini.
***
Yang ditakuti oleh dunia, sekali lagi, bukanlah Ummat Islam, melainkan kebenaran nilai-nilai Islam. Oleh karena itu nanti zaman demi zaman akan berlalu, dan jika Ummat Islam dimusuhi, lantas mereka ada yang melawan, ada yang tidak melawan dan bahkan banyak yang justru menjadi alat untuk memusuhi Islam sendiri meskipun si alat ini naik haji 19 kali dan dikenal sebagai tokoh Islam – maka para penguasa dunia itu tidak akan bisa dikalahkan oleh Ummat Islam, melainkan akan dieliminir dan ditaklukkan secara ridho oleh nilai-nilai Islam sendiri yang tumbuh diam-diam dari dalam diri mereka sendiri.
Anda tidak perlu percaya pada kata-kata saya ini tetapi juga sebaiknya tak usah tidak percaya, daripada kelak Anda mundur isin untuk mengakuinya. Sebagaimana kepada sorga dan neraka Anda tidak saya tuntut untuk percaya, tetapi sebaiknya juga tak usah repot-repot tak percaya – supaya kelak kalau ada sorga beneran Anda tidak malu-malu kucing untuk mendaftar masuk ke dalamnya.
Sekarang para penguasa dunia silahkan berbuat semaunya kepada Ummat Islam. Ummat Islam bisa dibunuh, ditembaki, dimusnahkan dengan tidak terlalu sukar karena dari segala segi maintenance peperangan, Ummat Islam kalah mutlak. Tetapi yang tak bisa diapa-apakan adalah nilai Islam. Sebab kandungan nilai Islam tidak bisa ditembak atau dibom. Nilai Islam terletak di lubuk hati setiap orang yang memusuhinya.
Jadi kalau, umpamanya, Anda ingin menangkap saya, memenjarakan saya, membunuh saya, memberangus pekerjaan sosial saya, mengucilkan saya, menghancurkan eksistensi saya, membuang saya, membakar nama saya, menginjak-injak harga diri saya, menendang kepala saya, bahkan melabuh abu bakaran mayat saya di pantai selatan – sedikitpun Anda tidak akan mendapatkan kesulitan. Sebab saya sangat lemah. Tetapi yang tidak akan terbunuh adalah keyakinan yang saya jalani, sebab keyakinan itu juga berdomisili di dalam diri Anda sendiri.
***
Nilai Islam sangat ditakuti eksistensinya oleh para penguasa dunia, tetapi Ummat Islam atau Kaum Muslimin amat diperlukan oleh mereka.
Para penguasa dunia sangat membutuhkan Ummat Islam, tidak akan membiarkan Ummat Islam kelaparan, tidak membiarkan Ummat Islam kehilangan tokoh serta penampilan formalnya. NU, Muhammadiyah, MUI atau apa saja, harus terus ada, jangan sampai tidak ada.
Kalau Ummat Islam sampai mengalami busung lapar dan musnah, itu akan merugikan para penguasa dunia, karena dengan demikian mereka tidak punya partner untuk menjalankan dialektika kekuasaan. Ummat Islam harus tetap eksis di muka bumi, sebab penguasa dunia membutuhkan budak dan orang-orang jajahan. Budak jangan sampai ndak makan dan loyo, sebab kalau loyo ndak bisa diperintah-perintah. Kalau kelaparan tidak enak ditempelengi.
Ummat Islam dibutuhkan keberadaannya oleh penguasa dunia, dan manfaat keberadaan Ummat Islam adalah untuk proses penghancuran dan pelenyapan nilai-nilai Islam itu sendiri. Ummat Islam dipelihara, digurui, diajari, dididik untuk memiliki cara berpikir, cara bersikap dan cara hidup yang menghancurkan nilai-nilai Islam. Dan itu gampang dilaksanakan: kiai-kiai, ulama-ulama, cendekiawan muslim, mahasiswa islam, jurnalis, budayawan seniman, warga ormas keislaman, anak-anak muda Islam dll – sangat gampang digiring menjadi pegawai penghancur nilai-nilai Islam.
Ummat Islam harus dipelihara keberadaannya, sebab mereka yang sangat effektif untuk mempermalukan nilai-nilai Islam. Kalau ada kelompok Muslimin yang membangun kesejukan, kebersamaan, demokratisasi, egaliterisasi, defeodalisasi, menegakkan cinta kasih social – jangan diberi ruang di pemberitaan media massa dan peta opinion making – sebab mereka ini kontra-produktif untuk proses mempermalukan nilai-nilai Islam.
Yang dibutuhkan oleh penguasa dunia adalah Muslim Ekstrem, radikal, ngamukan, berkepala batu, bodoh, terbelakang, suka mengancam, hobi mengasah pedang. Rumus baku di kampus, media massa dan internet adalah “Islam harus ekstrem”. Mosok Islam ndak ekstrem. Islam ekstrem adalah Islam ideal bagi para penguasa dunia, sebab memang itulah senjata bumerang paling ampuh untuk mengeliminir ketakutan mereka terhadap kebenaran nilai Islam.
Untuk menciptakan muslim ekstrem, maka harus dilaksanakan sejumlah kecurangan opini dan ketidakadilan di bidang-bidang politik, hukum, ekonomi dan kebudayaan. Kalau orang disakiti terus menerus, pasti lama-lama ia akan menjadi keras dan gampang dipancing untuk mengamuk.
Di setiap segmen social, di tempat kerja, di lingkungan birokrasi, di kampus, di kampung dan di manapun saja – harus terus menerus diciptakan pencitraan bahwa orang Islam itu suka menindas. Orang Islam itu mayoritas yang kejam. Meskipun kalangan Islam yang ditindas tapi opini yang dibangun harus sebaliknya.
Kalau ternyata dipancing-pancing dan dijelek-jelekkan kok orang-orang Islam itu masih saja bersabar, bersikap lembut dan merangkulkan kemesraan pluralisme – maka harus pada momentum-momentum yang berkala dan berirama harus diciptakan skenario seakan-akan ada tokoh ekstremis teroris – umpamanya Abu Bakar Baasyir -- yang diupayakan untuk dihardik terus menerus di media massa, dicari-carikan pasal untuk menangkap dan menghukumnya.*****
(Emha Ainun Nadjib/Jawa Pos/2002/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 05 Mei 2009

Serasa Alloh

karena mandul
diri serasa rasul
karena lemah
diri serasa allah

kubangun setinggi-tinggi gedung
sekadar untuk tumbang
segala ilmu berakhir ngungun
manusia terkucil di pengasingan

terima sajalah, jujunganku
hamba yang bidih dan dungu
sebab jika pintu tak kau buka
hendak cari tuhan ke mana

1986
(Emha Ainun Nadjib/"Cahaya Maha Cahaya"/Pustaka Firdaus/1996/PadhangmBulanNetDok)