Minggu, 26 Juli 2009

Rakyat Sebagai Kekasih Sejati

Beberapa bulan sebelum Indonesia masuk 2009, orang saling bertanya: ”Siapa ya, sebaiknya presiden kita nanti?” Kemudian mereka menyebut sejumlah nama, membandingkannya, memperdebatkannya, atau membiarkan nama- nama itu berlalu dalam dialog yang tak selesai.

Atmosfer dialog tentang calon presiden diwarnai oleh berjenis-jenis nuansa, latar belakang ilmu dan pengetahuan, kecenderungan budaya, fanatisme golongan, pandangan kebatinan, juga berbagai wawasan yang resmi maupun serabutan. Namun, semuanya memiliki kesamaan: perhatian yang mendalam kepada kepemimpinan nasional dan cinta kasih yang tak pernah luntur terhadap bangsa, tanah air, dan negara.

Itu berlangsung ya di warung-warung, bengkel-bengkel motor, serambi masjid, gardu ronda, juga di semua lapisan: kantor-kantor profesional, ruangan-ruangan kaum cendekiawan, istana-istana kaum pengusaha, termasuk di sekitar meja- meja pemerintahan sendiri. Ketika saatnya tiba, mereka memilih: ada yang berdiam diri bergeming dari posisinya sekarang bersama pemerintahan presiden yang sedang berkuasa. Ada yang menoleh ke kemungkinan mendulang harapan ke pemimpin tradisional. Ada yang merapat ke pemimpin yang pernah memimpin dan kembali mencalonkan diri. Atau kepada kemungkinan lain: pergerakan terjadi ke berbagai arah, lama maupun baru. Dan, semuanya selalu sangat menggairahkan.

Memiliki pola kearifan

Rakyat Indonesia, entah apa asal-usul genealogis dan peradabannya dahulu kala, memiliki pola kearifan, empati dan toleransi, serta semacam sopan santun yang khas dan luar biasa. Bagi rakyat, Ibu Pertiwi itu semacam Ibunya, Negara (KRI) itu semacam Bapaknya, dan pemerintah itu kekasihnya. Kekasih yang selalu disayang, dimaklumi, dimaafkan. Suatu saat rakyat bisa sangat marah kepada pemerintah, tetapi cintanya tetap lebih besar dari kemarahannya sehingga ujung kemarahannya tetap saja menyayangi kembali, memaklumi, dan memaafkan.

Rakyat Indonesia sangat tangguh sehingga posisinya bukan menuntut, menyalahkan, dan menghukum pemerintahnya, melainkan menerima, memafhumi kekurangan, dan sangat mudah memaafkan kesalahan pemerintahnya. Bahkan, rakyat begitu sabar, tahan dan arifnya tatkala sering kali mereka yang dituntut, dipersalahkan, dan dihukum oleh pemerintahnya. Itulah kekasih sejati.

Kekasih sejati memiliki keluasan jiwa, kelonggaran mental, dan kecerdasan pikiran untuk selalu melihat sisi baik dari kepribadian dan perilaku kekasihnya. Prasangka baik dan kesiagaan bersyukur selalu menjadi kuda-kuda utama penyikapannya terhadap pihak yang dikasihinya. Kekasih sejati tidak memelihara kesenangan untuk menemukan kesalahan kekasihnya, apalagi memperkatakannya. Kegagalan kekasihnya selalu dimafhuminya, kesalahan kekasihnya selalu pada akhirnya ia maafkan.

Puncak kekuatan dan cinta rakyat Indonesia, si kekasih sejati, kepada pemerintahnya, adalah menumbuhkan rasa percaya diri kekasihnya, menjaga jangan sampai kekasihnya merasa tak dibutuhkan. Rakyat Indonesia selalu memelihara suasana hubungan yang membuat pemerintah merasa mantap bahwa ia sungguh-sungguh diperlukan oleh rakyatnya. Rakyat Indonesia selalu bersikap seolah-olah ia membutuhkan pemerintahnya, presidennya, beserta seluruh jajaran birokrasi tugas dan kewajibannya. Bahkan, rakyat mampu menyembunyikan rasa sakit hatinya agar si pemerintah kekasihnya tidak terpuruk hatinya dan merasa gagal.

Lebih dari itu, meski sering kali rakyat merasa bahwa keberadaan pemerintahnya sebenarnya lebih banyak mengganggu daripada membantu, lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, atau lebih banyak mengisruhkan daripada menenangkan, rakyat tak akan pernah mengungkapkan kandungan hatinya itu, demi kelanggengan percintaannya dengan pemerintah si kekasih.

Rakyat sangat menjaga diri untuk tidak mengungkapkan bahwa siapa pun presiden yang terpilih nanti tak akan benar-benar mampu menyelesaikan komplikasi masalah yang mengerikan yang mereka derita. Rakyat tidak akan pernah secara transparan menyatakan bahwa seorang presiden saja, siapa pun dia, takkan sanggup berbuat setingkat dengan tuntutan dan kebutuhan obyektif rakyatnya meski disertai kabinet yang dipilih tanpa beban pembagian kekuasaan dan berbagai macam bentuk kolusi, resmi maupun tak resmi.

Begitu banyak yang mencalonkan diri jadi presiden dan situasi itu ditelan oleh rakyat dengan keluasan cinta. Rakyat melakukan dua hal yang sangat mulia. Pertama, menyimpan rahasia pengetahuan bahwa di dalam nurani dan estetika peradaban mereka: pemimpin yang tidak menonjolkan diri dan tidak merasa dirinya adalah pemimpin sehingga ia tidak mencalonkan diri menjadi pemimpin, sesungguhnya lebih memberi rasa aman dan lebih menumbuhkan kepercayaan dibandingkan pemimpin lain yang merasa dirinya layak jadi pemimpin sehingga mencalonkan diri jadi pemimpin.

Kemuliaan kedua yang dilakukan rakyat adalah jika pemilu tiba, mereka tetap memilih salah seorang calon pemimpin karena berani menanggung risiko hidup yang tidak aman. Keberaniannya menanggung risiko itu mencerminkan kekuatan hidupnya, yang sudah terbukti berpuluh-puluh tahun di rumah negaranya.
(Emha Ainun Nadjib/Kompas, 6 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)

MAIYAH PERAMPOK

Mau ke mana kamu
Kiri kanan tembok
Ke belakang ada jurang
Ke depan dikejar hutang

Pergi ke masa depan yang mana kamu
Perjalananmu dipimpin perampok
Di depan sana kamu ditunggu berbagai kelompok
Yang masing-masing siap menjadi perampok

Kamu dihadang oleh daftar kesengsaraan baru
Orang yang mewakilimu menjualmu
Orang yang kamu percaya mengkhianati cintamu
Karena kamu tak mau belajar apa yang sebenarnya kamu tunggu

Perampok-perampok bergilir memperkosamu
Janji mereka kamu bayar dengan darah bahkan mautmu
Kemudian tetap kamu junjung-junjung di pundakmu
Bahkan terus saja kamu bersujud bersimpuh dengan dungu

Perampok-perampok berbaju malaikat
Perampok-perampok berludah ayat-ayat
Perampok-perampok mencuri jubah kebesaran Tuhan
Yang lain berbaris jadi pengemis dan pekatik

Perampok-perampok berwajah demokrasi
Berkaki kepentingan, bertangan keserakahan
Perampok-perampok mengelus rambutmu dengan cinta
Kemudian menikam punggungmu dengan dengki dan santet

Delapan tahun silam kubilang perahu sudah retak
Lima tahun kemudian kelasi diganti
Perahu retak perahu oleng perahu bocor
Dan setiap kelasi yang baru berlomba menambah bocoran-bocoran

Politik hanya kepentingan
Demokrasi adalah persepsi atas dasar kebencian
Pemilu adalah perebutan buah kuldi
Yang memelorotkan derajat Adam dari sorga ke kehinaan dunia

Mau ke mana kamu
Berpikir untuk juga menjadi perampok
Mengacau negeri ini agar secepatnya membusuk
Atau menguasainya, atau meninggalkannya

Mau ke mana kamu
Di mana gerangan harapan kini bersemayam
Kalau yang sesungguhnya engkau lawan
Adalah kotoran di dalam dirimu sendiri

Tokoh-tokoh yang kau benci
Sebenarnya mainstream dari arus napsumu sendiri
Sementara tokoh-tokoh yang engkau cintai
Kamu perbudak agar membukakan lapangan kerakusanmu

Jadi, berhati-hatilah, jangan percaya kepadaku
Waspadalah kepada setiap yang kukatakan kepadamu
Tak semua diriku bisa kuperkenalkan melalui kata-kata
Sebab beo, komputer dan tape recorder pun gampang membohongimu

Kuajak kamu melingkar, bernyanyi,
Menata hati, menjernihkan pikiran
Belajar dewasa dalam perbedaan
Belajar arif dalam lingkaran keberagaman

Berlatih memohon agar Tuhan menjadi penghuni utama hati
Menjadikan seluruh rakyat sebagai subyek utama dari fungsi akal
Latihan bergembira, latihan tenteram, latihan tak berputus asa
Kita bangun negeri akal, negeri orang dewasa, negeri nurani

Menemukan Indonesia yang sejati
Dan jika yang bernama Indonesia ini tak menerimanya
Tetap cintailah ia. Buka hati dan kesabaranmu
Untuk memaafkannya dan mendengarkan keluhannya

Jogja 17 Juli 2002
(Emha Ainun Nadjib/"Mocopat Syafaat 17 Juli 2002"/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 22 Juli 2009

Bukan Kesesatan Benar Menusuk Kalbu

Jangankan menjadi Nabi: jadi manusia saja, siapa yang benar-benar lulus? Alangkah mengagumkan sahabat-sahabat yang gagah menyertakan kata Ulama, Kiai, Ustadz, Syekh, Maulana, di depan namanya. Yang tanpa hati ragu memakai surban di kepalanya,

mengenakan jubah semampir pundaknya, terlebih lagi rangkaian butir tasbih di jari-jemarinya. Apakah beliau sangat meyakini diri, ataukah setiap kali perlu meyakin-yakinkan diri.

Adapun ilmuwan, cendekiawan, seniman, budayawan, Begawan, Undagi, Ulil Abshar, Ulil Albab, Ulin Nuha, terlebih lagi wadag-wadag seperti Profesor, Doktor, Profesional, Pejabat, Presiden: di satu sisi itu adalah perjalanan kebenaran dan kemuliaan, di sisi lain itu adalah "mata'ul ghurur", perhiasan dunia, serta "la'ibun wa lahwun", permainan dan senda gurau.

Pakai common sense saja: adakah kaki telah melangkah sebagaimana yang dimaksudkan dulu oleh Peciptanya. Adakah tangan telah mengerjakan mendekati gagasan Pembikinnya. Adakah mata telah melihat, telinga telah mendengar, akal telah mengolah ilmu dan wacana, mulut telah memakan segala sesuatu yang dulu merupakan visi missi Pihak yang merancangnya. Kata Islam, seseorang adalah Nabi karena nubuwah. Adalah Rasul karena risalah. Adalah Wali karena walayah. Dan adalah manusia karena khilafah. Keempat 'ah' itu milik Allah, dilimpahkan alias diamanahkan kepada makhluk dengan strata dan kualitas yang Ia bikin berbeda, dengan Ia siapkan tingkat 'human and social penetration'yang juga bertingkat-tingkat.

Khilafah itu titipan atau pelimpahan bagi semua dan setiap manusia: tidak relevan, tidak rasional dan tidak realistis dan a-historis untuk diambil sebagai 'icon' suatu golongan. Begitu engkau bukan dimaksudkan Tuhan sebagai Malaikat, Iblis, Jin, hewan atau alam, maka engkaulah Khalifah yang menyandang khilafah. Secara simbolik-dinamik sering saya memakai idiom persuami-istrian. Sebagaimana Allah 'memperistri' makhluk-makhlukNya, lelaki 'memperistri' perempuan dan Pemerintah 'dipersuamikan' oleh rakyat -- maka ummat manusia dinobatkan menjadi 'suami' bagi alam semesta. Tugasnya adalah menghimpun ilmu, melakukan pemetaan, menyusun disain dan methodologi, menggambar dan mensimulasikan sistem dan managemen untuk memproduksi "rahmatan lil'alamin".

Sejarah ummat manusia di muka bumi telah mencatat peradaban-peradaban para suami istri itu dengan penumpahan darah yang terlalu banyak, dusta dan peperangan yang selalu berlebihan, hipokrisi dan kepalsuan yang bertele-tele, kebodohan ilmu dan kemandegan akal yang amat memalukan, serta kekerdilan mental dan kebutaan spiritual yang senantiasa ditutup-tutupi dengan berbagai mode kesombangan yang mewah namun menggelikan dan menjijikkan. Manusia tidak bisa disebut pernah sungguh-sungguh, konstan dan konsisten mempelajari Tuhan, setan, demokrasi, nafsu, kebenaran, kemuliaan, dan terutama mempelajari dirinya sendiri. Manusia melangkah serabutan, berpikir sepenggal, bertindak instan, menimbang dengan menipu timbangan, tetapi Tuhan sendiri memang 'terlibat' dalam hal ini: "Inna khalaqnal insana fil'ajal": sesungguhnya Aku ciptakan manusia cenderung bersikap tergesa-gesa....

Sejarah sekolah dan universitas tidak pernah benar-benar menyiapkan perjalanan tafakkur dan ijtihad ummat manusia melalui tahap-tahap pola berpikir linier, zigzag, spiral hingga thawaf siklikal. Universitas hanya mewisuda Sarjana Fakultatif meskipun kampusnya bernama universitas. Belum tuntas kaum muda menjadi murid (murid: orang yang menghendaki ilmu), dipaksakan naik ke bangku keangkuhan dengan menggelari diri maha-siswa. Para pembelajar dan pencari ilmu bersemayam di 'koma' -- begitu dia maha, finallah dan titiklah sudah perjalanan ilmiahnya.

Di manakah pintu ilmu, babul 'ilmi? Di manakah kota raya ilmu, madinatul 'ilmi? Siapa kaum terpelajar yang tertarik pada idiom itu, apalagi menjelajahinya? Bagi kaum muda Indonesia, cukuplah Thukul bagi mereka. Sambil tiba-tiba menaiki 'maha'-kendaraan yang bernama demokrasi, world class society, pilkada pemilu pildacil, public figure, album 'religi', Majlis Ulama, clean government, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang semakin tak pantas menyandang nama itu, di tengah lautan meluap, gunung meletus, bumi bergoyang-goyang sampai ke urat syaraf otak manusianya.

Padahal kapasitas sistem syaraf otak manusia itu takkan pernah sanggup dirumuskan atau dikuasai oleh si manusia sendiri. Padahal pendaran-pendaran elektromagnetik 'nur' Allah yang bertebaran bertaburan keseluruh permukaan bumi, memusat menggumpal di seputar bagian atas ubun-ubun kepala setiap manusia.

Abracadabra! Siapakah yang tak sesat di antara kita? Makan saja sesat sampai ke propinsi kolesterol, asam urat, jantungan, gagal ginjal, ganti hati dan stroke. Kehidupan berbangsa dan bernegara kita adalah festival demi festival kesesatan nasional. Pemilu salah pilih wakil dan pemimpin. 220 juta manusia tersesat ke satu lorong cita-cita: mau kaya, eksis dan berkuasa.

Jalannya beribu-ribu, profesinya berbagai-bagai, icon-nya berjenis-jenis, namun menuju satu lorong itu juga.

Kesesatan sistem. Kesesatan moral. Kesesatan budaya. Kesesatan ilmu. Kesesatan bermacam-macam kesesatan, dengan kadar yang juga berbeda-beda. Sesat moral atau akhlak. Sesat fiqih atau hukum. Sesat sosial. Setiap keputusan ekonomi yang menjerumuskan orang banyak, policy politik yang kontraproduktif terhadap keharusan kemajuan dan pembangunan, adalah - pinjam bahasa Tuhan - "dhulmun 'adhim", kesesatan yang nyata.

Sesat di segala wilayah: perda, perpres, perdes, di rumah tangga, perusahaan, di jalanan. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menangis membentur-benturkan kepala ke lantai, bersujud mohon ampun kepada Allah, 'hanya' karena seekor onta terpeleset di jalan di wilayah pemerintahannya. Sementara dalam kehidupan kita jumlah penganggur bertambah puluhan juta tak ada yang merasa bersalah, dilemma kesengsaraan ribuan penduduk bawah jalan tol belum beres, pemimpinnya tega nampang mencalonkan diri akan jadi Presiden.

Dan sama sekali tak bisa kita simpulkan bahwa berbagai macam kesesatan yang sedang kita alami atau sedang menimpa mayoritas bangsa kita kalah berbahaya dibanding yang kita ributkan dengan kesesatan AlQiyadah.

Hanya saja AlQiyadah menyentuh wilayah 'pamali', 'sirik', 'wadi', 'jimat' hatinya ratusan ribu orang. Yakni aqidah. Teologi. Wacana sangat privat yang sudah lebih mendalam di lubuk jiwa -- meskipun mungkin karena saking mendalamnya maka susah diaplikasikan keluar diri manusia untuk menjadi kebaikan sosial bersama. Andaikan AlQiyadah mengajak korupsi, ia pasti terpuji dan ke mana-mana pasti banyak kawan. Andaikan AlQiyadah memakai tabir Parpol, segera para pencoleng akan berkumpul mengerumuninya. Sebab bagi cara berpikir keagamaan umum: parpol, uang, korupsi, keculasan -- itu tidak sealamat dengan Allah dan Nabi Muhammad.

Diam-diam saya pribadi menemukan bahwa alhamdulillah kesesatan-kesesatan hidup saya tidak diketahui umum atau pihak yang berwajib. Saya mohon dengan sangat bagi teman-teman yang tahu bahwa selama ini saya mendayung perahu hidup saya di aliran-aliran sesat karena tidak umum dan bukan mainstream: hendaklah tak usah melaporkan kepada MUI dan Pemerintah.

Itu semua karena sampai usia menjelang 60 th Allah memperkenankan saya menjadi penduduk yang tak diperhatikan, tak didengarkan, tak dianggep, selalu diletakkan di luar garis-garis pemetaan dlam hal apapun saja. Segala yang saya dan kami lakukan, rekor apapun yang pernah kami capai, ke benua dan kota-kota besar dunia belahan manapun kami mengibarkan Merah Putih, dengan berapa ribu dan puluh ribu massapun saya bercengkerama, prestasi dan kualitas apapun yang kami gapai: saya dan kami tetap di luar peta.

Bahkan rasa syukur tertinggi saya adalah jika kelak saya masuk sorga - sesudah lewat neraka: orang tetap tidak percaya bahwa saya masuk sorga. Itulah sebabnya pembicaraan di setiap forum selalu saya awali dengan kalimat "Jangan percaya pada saya, percayalah sama Allah dan Muhammad". Saya merasa bodoh kalau saya membaiat orang, karena dengan begitu aku yang melegitimasi kedudukanny, sehingga aku akan harus turut bertanggujng jawab atas apa yang dilakukan oleh orang yang saya baiat. Sedangkan di hadapan peradilan Tuhan, tidak logis kalau aku bisa menolong anakku atau aku bisa ditolong istriku. Tidak ada orang disumpah atau disyahadati, yang ada adalah orang bersumpah atau bersyahadat dengan dirinya sendiri.

Saya tidak pernah mengakui diri saya sendiri, karena yang substansial adalah pengakuan Allah atasku, jika hal itu sekarang atau kelak mungkin terjadi. Saya tidak tega dan geli kalau orang menjadikan saya sebagai panutan, menyebut saya Ustadz, Kiai, bahkan ada spanduk berbunyi "Selamat Datang KH Emha Ainun Nadjib". Ya Allah lucunya.

Maka tak pernah ada keberanian pada diri saya untuk mengajak orang lain, apalagi untuk meyakini apa yang saya yakini, untuk berpikir seperti saya berpikir, untuk menganut apa yang saya anut. Setiap orang jangan memandang saya. Pandanglah Allah, Muhammad, Yesus, Budha, Sang Hyang Widhi: take it or leave it. Atau tak usah memandang siapapun kecuali dirimu sendiri, kepentinganmu sendiri, sebagaimana Firaun. Engkau merdeka bahkan untuk menjadi Firaun. Itu urusanmu dengan Tuhan dan dirimu sendiri, bukan dengan saya.

Semua Nabi dan Rasul, umpamanya Adam atau Yunus, hanya berani menyebut dirinya dholim, "Robbana dholamna anfusana", "Inni kuntu minadh-dholimin". Maka siapakah aku, sehingga mantap untuk tak melihat diriku tersesat? Kesesatan adalah milikku sehari-hari. Oleh karena itu mengaku diri manusiapun rasa belum pantas. Andaikanpun aku ini Ahlul Bait keturunan Rasulullah SAW gabung dengan darah Brawijaya, pasti kututupi sebagaimana kurahasiakan auratku.

Akan tetapi apakah saya menolak keseyogyaan dakwah? O tidak. Saya seorang Da'i pelaku dakwah. Da'wah artinya panggilan, yad'u artinya memanggil, pelakunya Da'i. Menyapa. Memanusiakan. Meneguhkan bahwa yang selain saya itu benar-benar ada. Da'wah itu panggilan pada skala horisontal dengan sesama makhluk. Kalau vertikal, dari kata yang sama menjadi du'a, bahasa Indonesianya: doa, kata kerjanya juga yad'u, subyeknya juga Da'i. Berdoa adalah menyapa Allah.

Kalau kita tiap saat minta-minta terus kepada Tuhan, menurut suatu logika berpikir: tak akan lebih dikasihi oleh Allah dibanding kalau kita rajin menyapaNya, rajin 'gaul' sama Dia, 'mentuhankan' Tuhan sebagaimana memanusiakan manusia. Tetangga lebih simpatik kepada kita yang suka menyapanya dibanding yang sering meminta-minta -- meskipun menurut pemahaman lain Tuhan tidaklah sama dengan tetangga.

Pinjam puisinya Chairil Anwar: bukan kesesatan benar menusuk kalbu, keridhaanmu menerima segala tiba, tak setinggi itu atas debu, dan duka maha tuan bertahta....

Allah sendiri, Masya Allah memang Maha Menyesatkan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah tak ada yang bisa menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan olehNya tak seorangpun bisa memberinya petunjuk.

Aku yang kedua, Insya Allah Anda yang pertama. ***
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)

Senin, 20 Juli 2009

Penyairpun Bukan

Penyairpun bukan
Aku hanya tukang
Mengembarai hutan
Menggergaji kayu
Bikin ragangan
Mainan pesanan Tuhan

Penyairpun bukan
Aku hanya pelayan
Meladeni cara
Meracik kata
Mengais rahasia
Agar tak mati fana

Penyairpun bukan
Aku hanya penyelam
Menukiki samudera
Pulang ke permukaan
Membawa batu purba
Untuk melempari cakrawala

1986

(Emha Ainun Nadjib/"Cahaya Maha Cahaya"/Pustaka Firdaus/Jakarta/1993/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 16 Juli 2009

Hancurkan Kebinatanganku

Pada setiap raka'at sembahyang yang tanpa duduk tahiyat, Anda memerlukan tahap transisi ruku' dari qiyam menuju posisi sujud. Tapi kemudian dari posisi sujud ke qiyam, Anda melakukannya langsung tanpa ruku'.

Ini acuan pertama.
Acuan kedua adalah pertemuan Anda dalam shalat dengan beberapa karakter atau sifat Allah swt. Ini berdasarkan kalimat-kalimat yang Anda ucapkan selama melakukan shalat.
Pertama, tentu saja Allah yang akbar. Lantas ia bagai rabbun. Selanjutnya, rahmân dan rahîm. Kemudian hakekat kedudukannya sebagai mâlik. Dan akhirnya Allah yang `adhîm dan a`lâ.
***
Kedudukan Allah sebagai akbar atau Yang Maha Lebih besar (Ia senantiasa terasa lebih besar, dinamika, tak terhingga, seiring dengan pemuaian kesadaran dan penemuan kita)—kita ucapkan untuk mengawali shalat serta untuk menandai pergantian tahap ke tahap berikutnya dalam shalat.
Artinya, setiap langkah kesadaran dan laku kita letakkan di dalam penghayatan tentang ketidakterhinggaan kebesaran-Nya, melainkan mengasah kita melalui fungsi-Nya sebagai rabbun.
Sebagai Yang maha Mengasuh, Ia bersifat penuh kasih dan penuh sayang, Rahmân dan Rahîm. Penuh cinta dalam konteks hubungan individual Ia dengan Anda, maupun dalam hubungan yang lebih `heterogen' antara ia dengan komprehensi kebersamaan kemanusiaan dan alam semesta.
***
Tapi jangan lupa Ia adalah Raja Diraja, Ia Mâlik, hakim agung di hari perhitungan. Ia sekaligus Maha Legislatif, Maha Eksekutif dan Maha Yudikatif.
Dan memang hanya Ia yang berhak penuh merangkum seluruh kehidupan itu hanya dengan diri-Nya yang sendiri, tanpa kita khawatirkan terjadi ketidakadilan dan ketidakjujuran—yang pada budaya kekuasaan antara manusia dua faktor itu membuat mereka menciptakan perimbangan sistem trias politica.
Kemudian karakter dan kedudukan-Nya sebagai `Adhîm dan A`lâ, Yang Maha besar (horisontal) dan Maha tinggi (vertikal).
***
Yang ingin saya kemukakan kepada Anda adalah bahwa kita menyadari-Nya sebagai A`lâ, Yang Maha Tinggi itu tatkala dalam shalat kita berposisi dan bersikap sebagai binatang. Artinya, ketika kita menyadari kebinatangan kita, yakni dalam keadaan bersujud: badan kita menelungkup bak binatang berkaki empat.
Ketika kita beroperasi setengah binatang, waktu ruku' bagaikan monyet yang seolah berdiri penuh seperti manusia namun tangannya berposisi sekaligus sebagai kaki—yang kita sadari adalah Allah sebagai `Adhîm.
Dan ketika kita berdiri (qiyâm), Allah yang kita hadapi adalah Allah Rahmân, Rahîm, dan Mâlik. Binatang yang ruku' dan sujud' tidak memiliki tradisi intelek dan kesadaran ontologis, sehingga tidak terlibat dalam urusan dengan mâliki yaumiddîn. Raja Hakim hari perhitungan. Kadal dan monyet, termasuk juga virus HIV, tidak diadili, tidak masuk sorga atau neraka.
Ketika kita menjadi binatang atau menyadari potensi kebinatangan diri saat sujud dan ruku', kedudukan subyek kita waktu itu adalah aku. Maka kita ucapkan subhâna rabbiya...., bukan subhâna rabbinâ....
Subyek `aku', dengan aksentuasi egoisme, individualisme, egosentrisme, dst. lebih dekat ke kebintangan, dan itu yang harus kita sujudkan kehadapan Allah swt.
Adapun ketika kita berdiri `qiyâm', kita menjadi manusia kembali. Dan subyek kita ketika itu bukan lagi menjadi `aku' melainkan `kami'. Artinya, tanda-tanda eksistensi kemanusiaan adalah pada kadar sosialitasnya, kebersamaannya, integritas kiri-kanannya. Kalau binatang, secara naluriyah ia bermasyarakat, tapi oleh Allah tidak dituntut atau ditagih tanggung jawab kemasyarakatannya. Tuntutan dan tagihan itulah yang membedakan antara binatang dan manusia, itu pulalah yang menghinakan manusia, atau justru memuliakannya.
***
Mungkin itulah sebabnya maka sesudah kita ber-takbiratul ikhram dan berdiri `sebagai manusia', Allah menyuruh kita untuk terlebih dahulu menyadari potensi kebinatangan kita dalam sujud, melalui transisi ruku'. Nanti sesudah sujudnya penuh, silakan langsung berdiri kembali sebagai manusia.
Nanti menjelang Pemilu, pesta demokrasi yang urusannya bergelimang kekuatan dan kekuasaan di antara sesama manusia—ada baiknya semua pihak memperbanyak sujud. Agar supaya kebinatangan diminimalisir.
Dan semoga jangan banyak-banyak yang bersikap sebagaimana iblis, yang menolak bersujud, karena merasa lebih tinggi, lebih benar, lebih takabur.
Ah, nanti panjang sekali kalau saya teruskan....[]
(Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 15 Juli 2009

MENANGIS

Sehabis sesiangan beker­ja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif rnenga­jak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat "iyyaka na'budu..." Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak perpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat un­tuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan "wa iyyaka nasta'in..."
Banyak di antara jamah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.
"Hidup manusia harus ber­pijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar", ber­kata Abah Latif seusai wirid bersama, "Mengucapkan kata-kata itu dalam al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. 'Harus' di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu"'.
"Astaghfimllah, astaghfirullah", geremang turut menangis mulut para­santri.
"Jadi, anak-anakku", beliau melanjutkan, "apa akar dan pijakan kita dalam mengucapkan kepada Allah iyyaka na'budu?"
"Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Allah itu sendiri, Abah?", bertanya seorang santri.
"Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan".
"Belum jelas benar bagiku, Abah".
"Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan". "Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri terhenti ucapannya, Dan Abah Latif meneruskan, "Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka a'budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami menyembah, na'budu".
"Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita seba­gai umatan wahidah. Ketika sampai di kalimat na'budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari 'abdullah, yakni khalifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na'budu dalam shalat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?"
"Astaghfirullah, astaghfirullah", geremang mulut para santri.
"Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak berpeng­habisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta'in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya melawan Allah".
"Astaghfirullah, astaghfirullah", gemeremang para santri.
"Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesang­gupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya".!

(Emha Ainun Nadjib/Panji Masyarakat/2005/PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 12 Juli 2009

AIR ZAMZAM DI NEGERI COMBERAN

Untuk Dr. HC-nya Gus Mus

Di usia sepuhnya, Gus Mus makin gantheng wajahnya dan makin bening cahaya yang memancar dari wajah itu. Bahkan kulit beliau yang aslinya coklat kini menjadi cenderung kuning-putih. Itu bukan wajah Gus Mus yang kita kenal dalam kebudayaan di bumi. Itu langit.

Sungguh bikin cemburu. Bagaimana hamba Allah satu ini, semua manusia dari Sabang hingga Merauke diam-diam pada bingung, ambruk, kuyu, frustrasi dan putus asa, meskipun ditutup-tutupi ? dia malah makin sumringah hidupnya, wajahnya tersenyum, seluruh wajahnya tersenyum, bukan hanya bibir beliau: benar-benar seluruh wajah beliau, lagak-laku dan output karakter beliau adalah senyuman.

Tiba-tiba muncul makhluk yang bernama Doctor Honoris Causa. Menghampirinya. ‘Ngenger’ kepadanya. Melamarnya untuk menjadi sandangannya. Sudah pasti beliau tersenyum, mengulurkan tangan dan dengan penuh kasih sayang. Menunjukkan sikap menerima, menampungnya, mengakomodasikannya, menggendongnya, mengelus-elusnya.

Jauh di dalam kalbunya Gus Mus mengerti betapa inginnya si Doctor Honoris Causa itu diperkenankan untuk menjadi bagian dari kehidupan Gus Mus. Dan ‘Ma abasa wa ma tawalla, an ja-ahul a’ma…. tak mungkin beliau berpaling, meremehkan dan mengabaikan pengemis yang hina dina sekalipun.

Padahal di dalam doa-doanya, Gus Mus selalu meletakkan semua makhluk lemah itu di shaf terdepan dari aspirasinya. Bahkan jenis hati beliau tidak puas untuk memohon “Ya Allah, sayangilah para pengemis, mudahkanlah kehidupan mereka, limpahilah dengan rizqi-Mu yang luasnya tak terhingga kali seluruh jagat raya”. Bunyi perasaan terdalam beliau agak lebih radikal: “Alangkah mudahnya bagi-Mu ya Allah untuk sejak awal menciptakan pagar-pagar qadla dan qadar agar dalam peradaban ummat manusia tak usah ada pengemis, tak usah ada hamba-hamba yang selemah itu, apalagi sampai dilemahkan, di-pengemis-kan”.

Memang di dalam salah satu cara berpikir tasawuf para pemberi membutuhkan mereka yang diberi. Orang kaya membutuhkan orang miskin, sebab orang miskin adalah jalan memperbanyak pemberian, infaq dan shadaqah. Orang miskin adalah lahan subur untuk menanam kasih sayang. Gus Mus setahu saya tidak turut menikmati bermain logika dan simulasi sosial sufisme. Beliau transenden dari pola-pola adegan itu dengan mempertapakan dambaan cinta alangkah indahnya kehidupan tanpa orang-orang miskin yang meruntuhkan hati dan memeras airmata.

Bahasa gamblangnya: Gus Mus pada dasarnya tidak merasa krasan juga Doctor Honoris Causa melamar-lamar dirinya. Dan lebih sangat “haram mu’aqqad” lagi kalau sampai ada bagian dari kehidupan ini di mana Gus Mus yang melamar gelar Doktor, mendambakannya, mengambisiinya, merakusinya, merindukannya, apalagi sampai menyiapkan uang dalam jumlah sangat besar dalam rangka memperhinakan dirinya.

Lho, apakah gelar Doktor itu hina? O tidak lah yaoo… Ini hanya pernyataan ta’aqqud dan tafaqquh bahwa yang selain Tuhan selalu menjadi jatuh hina jika diperlakukan sebagaimana Tuhan. Hanya Allah yang memiliki maqam untuk didambakan untuk diraih, diserakahi untuk ‘dimiliki’, digadang-gadang serta dicita-citakan untuk bersanding. Selain Allah, bahkanpun Rasulullah, juga seluruh manusia dan alam semesta, cocoknya dicintai, disayang.

Gus Mus menyayangi gelar Doktor beliau, tapi insyaallah tak sampai mencintai. Disayang karena mereka yang memberinya gelar itu juga sangat sayang kepada Gus Mus. Namun tidak sampai mencintai, karena beliau bukan orang bodoh.

Gelar Doktor mencerminkan pencapaian ilmu maksimal pada ukuran mesin berpikir manusia. Tidak sempurna dan belum puncak, dalam arti potensialitas yang dianugerahkan Allah atas daya akal manusia masih menyediakan cakrawala luas dan langit tinggi yang masih amat jauh di luar jangkauan pencapaian peradaban berpikir ummat manusia sampai sekian puluh abad. Sedangkan gelar Proffesor menggambarkan kelulusan komitmen terhadap dunia ilmu dan kesetiaan terhadap tradisi kemuliaan pemeliharan dan penyebaran ilmu. Tafaqquh ‘ilmi wan-tisyaruh.

Itu idiomatik dan simbol dari dunia persekolahan di mana pencarian ilmu di-institusionalisasi-kan, dengan ‘syubhan’ politik dan perdagangan ? tetapi yang terakhir ini tidak menjadi perhatian dalam tulisan ini. Di luar sekolah, masyarakat (Indonesia, Jawa) membangun sendiri idiomatic dan simbol-simbolnya untuk mengukuhkan pencapaian manusia di antara mereka: Kiai, Panembahan, Ki, Begawan, Pendekar, Pandito. Pada tataran yang lebih popular dan sehari-hari muncul symbol: Mbah, Lurah, Danyang, mBahurekso, dst, yang semuanya menggambarkan pengakuan umum atas pencapaian tertentu dari seseorang.

Kalau memang ‘terpaksa’, KH. Mustafa Bisri kita lengkapi saja atributnya: Mbah Lurah Danyang mBahurekso Pandito Begawan Panembahan Ki Kiai Profesor Doktor Mustafa Bisri, dan saya urun nambahi satu tapi tanpa upacara: Karromallohu wajhah…. Karena insyaallah beliau karib dan sehabitat dengan Sayyidina Ali ibn Abi Thalib dalam sejumlah konteks, utamanya ta’aqqudul iman, tafaqquhul ‘ilmi wa ni’matul ma’rifah serta thariqat ‘suwung’, fana’.

Doktor itu kedewasaan ilmu, namun tidak menjamin kematangan mentalitas dan spiritualitas. Bahkan tidak menjanjikan kedewasaan sosial dan kultural. Sedangkan Gus Mus mohon maaf: memiliki semua itu.

Tak akan didengarkan orang kalau ada seorang Doktor berfatwa, sebagaimana kalau KH Mustafa Bisri (andaikan beliau mau) berfatwa. Sebab ‘fatwa’ arti telanjang epistemologisnya adalah kedewasaan yang ‘jangkep’. Doktor masih kedewasaan parsial dan ‘githang’.

Fatwa bukan produk dari rapat sekian ratus Ulama yang naik pesawat dari berbagai propinsi untuk mengacungkan tangan dan meneriakkan “Setuju!” dalam sebuah rapat yang berprosedur demokrasi, penjajagan pendapat untuk mencapai kesepakatan. Atau lebih rendah lagi: pendapat sudah disediakan, dan ratusan Ulama bersegera menyetujuinya karena hal itu merupakan ujung dari suatu eskalasi politik, mobilisasi berpikir dan honorarium. Untuk Indonesia, tradisi semacam itu sudah ma’ruf wa mafhum, dan semua tinggal meng-amin-i.

Sesungguhnya Gus Mus adalah seorang Al-Mufti. Hanya saja beliau terlalu rendah hati. Sekurang-kurangnya Al-Mufti adalah kwalitas dan maqam beliau. Dan kalau beliau hampir tidak pernah menduduki kursi itu dan tidak ‘nyuwuk’ fatwa apa-apa kepada bangsa dan ummat yang tidak mengerti kegelapan (apalagi cahaya) ini, kita orang dusun tahunya barangkali memang beliau tidak memperoleh ‘wangsit’ untuk berfatwa. Allah sendiri menerapkan sifat As-Shobur kepada bangsa Indonesia, Gus Mus nginthil di belakang-Nya.

Dan sungguh saya selalu merasa gatal untuk menggoda Gus Mus, di tengah perjalanan hidup ‘asyik ma’syuk di tengah hutan belantara penuh comberan ini.

Maka sengaja tulisan menyambut penggelaran Doctor Honoris Causa untuk Gus Mus ini saya bikin berlama-lama dan terlambat-lambat. Memang sih ada sejumlah kesibukan, tapi alasan utama saya bukan itu. Motif saya yang sesungguhnya adalah: saya sangat bernafsu menyiksa Gus Mus, saya sangat cemburu pada beliau, dan saya berkhayal berlari kencang mendahului Gus Mus.

Saya buka rahasia pribadi: saya ini seorang penakut bin pengecut. Hidup saya tanpa kekuasaan, baik sebagai warga masyarakat, sebagai suami, sebagai bapak, sebagai lelaki atau sebagai apapun. Itu gara-gara saya tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menyentuh orang lain dengan kehendak saya. Tidak sedikitpun saya berani menyiksa siapapun, baik menyiksa dengan kejahatan maupun dengan kemuliaan, dengan keburukan atau kebaikan, dengan kesalahan maupun kebenaran.

Jangankan menjadi pemimpin Negara atau wakil rakyat, sedangkan menjadi kepala rumahtangga saja saya memilih untuk tidak berkuasa. Saya hanya bagian dari keluarga, bagian dari masyarakat dan Negara. Padahal aslinya di dalam diri saya terdapat nafsu kekuasaan yang meluap-luap, bahkan ada semacam potensi kekejaman yang selama ini saya sembunyikan dengan sangat rapi. Nah, terhadap Gus Mus: saya menemukan peluang sangat besar dan melimpah untuk berkhayal punya kekuasaan dan menyelenggarakan penyiksaan-penyiksaan semaksimal mungkin.

Sebab saya tahu dan yakin bahwa beliau tak akan marah. Gus Mus tidak memiliki hubungan genetik, kefamilian atau keterkaitan sosial dengan kemarahan. Satu point ini saja sungguh seribu kali lebih penting dan lebih tinggi mencapaian mental maupun ilmiahnya -- dibanding seribu gelar doktor kepada beliau. Kalau ada orang marah, itu pasti bukan Gus Mus. Dan kalau para saintis tidak mampu menemukan keterkaitan dialektis antara fenomena marah dengan kosmos ilmu, maka tidak perlu ada Sekolahan, Universitas ataupun Pesantren.

Tapi ya siksaan saya kepada Gus Mus sekedar terbatas pada ulur-ulur waktu jadinya tulisan ini. Celakanya beliau sama sekali tidak marah. Tersiksa sedikitpun tidak. Padahal kalau sampai beliau tersiksa, betapa indah puisi-puisi yang terungkap dari ketersiksaan itu. Gus Mus adalah pendekar kehidupan yang bukan sekedar sanggup menemukan ketenteraman dalam kecemasan, menggali kebahagiaan dari jurang derita, atau menikmati kekayaan di dalam kemiskinan. Lebih dari itu Gus Mus bahkan mampu membuat kegelapan itu tak ada, karena yang ada pada beliau, dan bahkan beliaunya itu sendiri: adalah cahaya.

Kemudian hal cemburu: beliau ini dikejar-kejar dilamar-lamar oleh Doctor Honoris Causa. Sementara saya orang tua sampai hampir batas jatah usia hari ini tak pernah dinantikan orang, apalagi dikejar. Tak menggembirakan orang hadirku dan tak ditangisi orang hilangku. Tak dirindukan oleh siapapun saja kecuali oleh istri dan anak-anakku.

Maka saya dendam kepada Gus Mus. Dan dengan melambat-lambatkan tulisan ini saya bisa membangun khayalan bahwa saya bukan hanya juga berposisi dikejar-kejar, tapi juga ‘GR’ bahwa yang mengejar-ngejar saya adalah orang besar bernama KH Mustafa Bisri. Dan karena saya dikejar oleh Gus Mus, sedangkan Doctor Honoris Causa mengejar Gus Mus, maka saya berada dua langkah di depan Doctor Honoris Causa. Dengan demikian tak mungkin Doctor Honoris Causa akan pernah mampu mencapai lari kencang saya.

Bagi siapapun yang kebetulan membaca tulisan ini, mudah-mudahan menjadi paham kenapa sampai setua ini saya tidak pernah “dadi wong”, tak pernah mencapai apa-apa dan tak pernah menjadi siapa-siapa. Jawabannya sangat gamblang dengan alinea-alinea di atas: saya sudah sangat bergembira cukup bermodalkan khayalan-khayalan semacam itu. Puji Tuhan ada kesempatan untuk membuka rahasia itu, karena hanya Gus Mus yang memiliki keluasan untuk men-senyum-i khayalan-khayalan saya, sementara lainnya selama ini hanya mencibir dan meremehkan saya.

Maka di luar itu semua tentulah saya turut mengucapkan ‘mabruk’ atas penganugerahan gelar Dr. HC kepada Gus Mus, tanpa mempersoalan bahwa - ibarat baju, gelar itu terlalu kecil atau ‘cekak’ untuk Gus Mus. Atau dengan kata lain beliau ? dengan segala kwalitas dan bukti-bukti kesalehan dan kreativitas puluhan tahun hidupnya ? terlalu besar untuk hanya digelari Dr. HC.

Sebenarnya saya sudah menantikan penganugerahan ini 30-40 tahun silam. Atau mungkin malah diperlukan ijtihad untuk mendirikan lembaga gelar yang lebih tinggi derajat mutunya, lebih meluas cerminan jangkauan manfaatnya serta lebih mendalam kasunyatan kekhusyukan komitmennya. Terserah apapun saja nama gelar khusus itu yang kita gunakan untuk menunjukkan kesadaran kita dalam mengapresiasi “Manusia Thawaf” dari Rembang ini.

Tetapi omong-omong qulil haqqa walau kana murran KH Mustafa Bisri sebenarnya juga sama sekali tidak cocok hidup di zaman di mana beliau hidup sekarang ini, di Negeri ajaib yang Gus Mus menangisinya berurai-urai airmata di hadapan Allah sambil hati beliau geli setengah mati dan tertawa terpingkal-pingkal.

Minimal ada satu syarat mendasar yang Gus Mus tidak miliki secuilpun untuk ‘relevan’ hidup di zamannya: tidak punya ambisi, tidak memiliki ‘ananiyah’, tidak punya kesanggupan mental untuk membuang rasa malu, serta terlalu rewel terhadap martabat dan harga diri ke-insan-an beliau. Sistem nilai yang berlaku komprehensif dewasa ini akan tiba pada suatu perkenan sosial dan permisivisme budaya terhadap siapapun untuk bukan hanya memasang gambar wajahnya di jalanan-jalanan atas niat dan inisiatifnya sendiri, melainkan pelan-pelan kelaminnya juga sudah siap untuk diiklankan.

Cocoknya Gus Mus ada di antara para sahabat Rasulullah Muhammad SAW: dolan mengobrol ke kampung-kampung bersama Abu Dzar Al-Ghifari, malamnya majlisan dengan Babul-‘Ilmi, pintu ilmu pngetahuan: Sayyidina Gagah Ganteng Brillian Ali ibn Abi Thalib karromallohu wajhah.

Maka atmosfir peristiwa penggelaran Dr.HC untuk Gus Mus ini saya masuki dengan kegembiraan sebagaimana memasuki pesta setengah “majdzub”. Saya ikut minum anggur rasa syukur yang menggelegak tanpa alasan apapun kecuali menikmati kekayaan “qudroh”nya Allah SWT. Saya melintas ke sana kemari menyapa semua sahabat keindahan dan mengobrol dengan para “mab’utsin” kebenaran dan kebajikan.

Siapa saja yang tak tahan bersegeralah pergi menjauh dari saya. Sebab saya melayang-layang surving diving sampai terkadang terpikir di benak saya NU itu sebaiknya dibagi dua: ada firqoh Nahdloh dan firqoh Ulama. Ketua golongan Nahdloh bolehlah KH Hasyim Muzadi, tapi Ketua Ulamanya harus KH Mustafa Bisri.

Gus Mus memimpin gairah ta’limul ardl wa ma’rifatussama, yang lain silahkan memanfaatkan pengetahuan dan legitimasi langit untuk pengetahuan dan kepentingan di bumi. Harus Gus Mus yang memimpin. Kok harus? Siapa yang mengharuskan? Ya saya sendiri, lha wong ini tulisan saya sendiri. Terwujud dan terjadinya Gus Mus jadi Ketua NU ya cukup dalam diri saya sendiri, karena kalau di kasunyatan NU saya bukan sekedar tidak punya hak apa, tapi juga tidak ada.

Ini tulisan-tulisan saya sendiri, dan yang saya tulis adalah jenis orang yang tidak akan marah atau berbuat apapun meskipun saya tulis bagaimanapun. Jadi saya Ketua-NU-kan dia, kalau perlu seumur hidup. SEUMUR HIDUP.

Dan ini sama sekali bukan soal ambisi atau kerakusan, melainkan berdasar feeling saya dalam hal niteni tradisi sunnah-nya Allah. Manusia dengan kaliber dan kwalitas macam Rasulullah Muhammad SAW oleh Tuhan diselenggarakan atau dilahirkan hanya satu kali selama ada kehidupan. Kalau taruhan tidak haram, saya berani taruhan soal ini.

Jenis Ibrahim AS dan Musa AS bolehlah lima abad sekali. Atau kalaupun saya sebut 10-20 abad juga tak akan pernah ada kemampuan penelitian ilmu manusia untuk membenarkannya atau menyalahkannya. Salahnya sendiri banyak sekolahan ummat manusia berlagak-lagak pinter tapi tidak ada peneliti hal-hal beginian, mana mungkin akan pernah mengenal clue ‘perilaku’ Allah ini.

Lha makhluk yang berperan sebagai Mustafa sesudah Bisri sesudah Mustafa sesudah Bisri entah yang keberapa ini, yang khalayak umum, kelas menengah intelektual sampai institusi Negara menyangka ia adalah Ulama dan Seniman ? tinggal Anda perkirakan maqamnya, keistimewaannya, spesifikasinya, genekologinya, koordinat kosmologisnya. Dilahirkan 75 tahun sekali? 102 tahun sekali? 309 tahun sekali?

Saya tidak mau terjebak oleh adagium “La ya’riful Waly illal Waly”: tak ngerti Wali kecuali Wali. Anda jangan percaya pada rumus yang membuat Anda tersesat menyangka saya mengerti Gus Mus karena saya sekwalitas dan semaqam dengan beliau. Jangan coba-coba memompa kepala saya menjadi besar, sebab saya sudah sangat pusing oleh besar kepala saya.

Rumus lebih tepat untuk ini adalah “hanya kekecilan semut yang mampu mengagumi kebesaran gajah”.
(Muhammad Ainun Nadjib/2009/PadhangmBulanNetDok)

Jumat, 03 Juli 2009

Sepak Bola Tekno-Birokratik

Sepakbola, sebagai olahraga utama rakyat Indonesia, tergolong komponen garda depan pembangunan yang – mestinya – merupakan pelopor globalisasi. Saya tidak main-main. Sepakbola melibatkan uang milyaran rupiah, jutaan konsumen, fasilitas teknologi tinggi, halaman-halaman khusus media massa, lapangan kerja, pola kreasi dan rekreasi khas masyarakat industrial, bahkan inherent dengan faktor-faktor industrial lainnya seperti transportasi stage and lighting system, dokter dan psikolog, hizib para kiai, jopa-japi para dukun, dan seribu satu faktor lagi yang tidak bisa disebut satu per satu.

Kalau anda bicara globalisasi berarti memperbincangkan peralihan budaya masyarakat dari pola budaya tradisional–agraris menuju pola modern–industrial. Itulah substansi utama globalisasi. Apakah anda menemukan perbedaan antara sepakbola agraris dengan sepakbola industrial?
Kita selalu menyebut bahwa sepakbola adalah olahraga rakyat. Itu artinya bahwa sepakbola adalah bagian integral dari kebudayaan masyarakat. Dalam sepakbola tradisional–agraris, para pemain mengandalkan bakat alam, intuisi, instink dalam dimensinya yang paling natural. Cara pengelolaan persepakbolaan juga lebih berupa paguyuban, kurang mengenal managemen keorganisasian modern–profesional, tak ada division of labour yang ketat, belum bussiness oriented. Target-target persepakbolaannya juga tidak nomer satu prestasi, melainkan fungsi partisipatorisnya dalam kehidupan masyarakat: persahabatan, keakraban, meskipun terkadang diungkapkan dalam bentuk tawuran.
Kita sebut saja ia sepakbola cultural. Seolah-olah “kesenian hidup” yang diasyiki seperti ludruk, ketoprak, terbangan, hadrah, dan – pada sebagian masyarakat – juga teplek dan dadu.

Kemudian Anda tidak bisa mempertahankan pola itu ketika secara serentak kita bersepakat untuk berangkat modern. Tatanan masyarakat telah berubah. Perhatian manusia juga lebih ekonomistik. Ketrampilan kaki seorang pemain bola adalah faktor produtif dan dunia sepakbola itu sendiri adalah pasar dan lahan konglomerasi. Jutaan pecandu sepakbola harus juga menyadari – dan membeli tiket – bahwa sepakbola itu posisi industrialnya paralel dengan musik rock dan dangdut atau bentuk showbiz yang lain.
Dengan kata lain, pada masyarakat tradisional–agraris substansi persepakbolaan adalah nilai budaya. Sedangkan pada masyarakat modern–industrial substansinya adalah nilai ekonomi.
Akan tetapi masyarakat kontemporer Indonesia adalah masyarakat transisional. Masyarakat yang sedang beralih: sebelah kakinya mulai berpijak di “masa kini” sementara kakinya yang lain masih mengasyiki “masa silam”. Dan berhubung proses transformasi persepakbolaan kita tampaknya tidak sungguh-sungguh disadari, maka konsep berpijaknya juga masih rancu. Overlap disana-sini.
Modernisasi dan profesionalisasi sepakbola Indonesia tidak sejak semula diberangkatkan dari konsepsi yang ilmiah dan matang. Itu menyangkut faktor internal dari kegamangan ilmu persepakbolaannya itu sendiri, managemen dan organisasi globalnya, sampai puritanisme dan ketertutupan kita dari – misalnya – tansfer pemain asing. Itu, sebenarnya, tindakan anti-globalisasi.
Juga faktor eksternalnya. Anda tahu Galatama, pola persepakbolaan profesional-industrial sudah lama berlangsung. Tetapi secara kualitatif ia tak mampu menunjukkan kelebihan kualitatifnya dibanding perserikatan. Bukankah perserikatan sesungguhnya puncak bentuk dari sepakbola paguyuban atau sepakbola kultural, yang sangat mengandalkan primordialisme kedaerahan? Bahkan kita mengalami bersama bahwa landasan eksistensi klub-klub Galatama masih juga berkutat pada unsur emosi kultural. ‘Mobilisasi massa’ yang dilakukan untuk mendukung klub Galatama selama ini masih sangat mengandalkan faktor-faktor primordialisme yang sebenarnya bukan merupakan ciri-ciri mekanisme industrial.
Coba anda potret lebih close-up: industrialisasi di Indonesia secara resmi digerakkan oleh kekuatan-kekuatan politik negara. Kepemimpinan kultural yang terdapat pada masyarakat tradisional digantikan oleh kepemimpinan institusional dan birokratik. Faktor “negara” ini menggenggam dan merasuk ke dalam hampir seluruh urusan masyarakat, termasuk sepakbola. Indikator utamanya: pimpinan tertinggi organisasi olahraga adalah para menteri atau setidaknya tokoh dari lingkaran birokrasi.
Indikator lainnya terdapat pada makin merambahnya gejala deswastanisasi atau dekulturalisasi mekanisme berolahraga. Olahraga mungkin masih ‘milik masyarakat’, tapi sudah sangat diurus oleh kepentingan ekonomi dan oleh tangan birokrasi. Sekarang ini mungkin Anda tidak gampang lagi menyelenggarakan kompetisi sepakbola antar-dusun: panitia Anda harus anggota PSSI, harus minta ijin aparat keamanan, harus ini harus itu.
Kultur sepakbola pada kehidupan rakyat makin menipis karena dua hal. Pertama, rakyat makin terserap oleh hiburan yang diproduk oleh ‘pusat-pusat globalisasi’. Kedua, setiap aktivitas rakyat, juga sepakbola, didekati oleh birokrasi dengan security approach, pendekatan keamanan. Sepakbola kita, dalam kehidupan rakyat umum, berjalan hanya sejauh memenuhi konsep tekno-birokratik.

Dengan kata lain sepakbola makin tidak lagi merupakan olahraga rakyat. Di desa saya anak-nak muda hampir sama sekali berhenti mempergaulkan sepakbola dengan desa-desa lain karena kesulitan birokratis. Tidak bisa lagi dengan santai mengundang teman-teman dari desa lain untuk memperebutkan kambing cup, karena jika terpeleset ke lorong birokrasi bisa membuat kita tiba-tiba dapat gelar ‘merongrong keamanan’.
Apalagi Jombang, daerah saya, dewasa ini tampaknya dianggap bukan lahan bibit sepakbola yang subur, melainkan tenis. Lapangan tenis dibangun di banyak tempat. Stadion sepakbola kabupatenpun kini dibagi dua sehingga fungsinya untuk sepakbola berkurang. “Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat”, untuk Jombang, agaknya diaksentuasikan ke cabang tenis – entah ada hubungannya dengan sukses Yayuk Basuki atau tidak. Kami di desa-desa sedang menunggu keputusan Pak Bupati untuk mendirikan lapangan tenis di setiap desa. Tenis, untuk Jombang, sudah dan akan tidak merupakan olahraga mahal: semua rakyat bisa menikmatinya. Jadi kalau untuk sepakbola, kami dari Jombang mohon maaf tidak merintis infra-struktur teknokratis untuk menyumbangkan pemain-pemain nasional yang andal.

Sebenarnya di negara-negara industri maju seperti Jerman dan Belandapun sepakbola bukan lagi olahraga rakyat. Sepakbola adalah urusan sejumlah pekerja bola yang menjalankan urusan sepakbola dalam konteks profesional: ia sebuah perusahaan. Hanya saja bedanya, pengolahan sepakbolanya ilmiah dan profesionalisme mereka prima, sementara yang kita jalani masih tanggung. Kepemimpinan nasional sepakbola kita seringkali masih belum berpikir modern, ilmiah, obyektif dan dengan sasaran-sasaran profesional-industrial yang akurat. Mereka bahkan masih kental dengan kecenderungan ‘kulturalistik’ dan agraris.

Pada tingkat lokal, regional dan apalagi nasional, sungguh kita memerlukan perundingan menyeluruh tentang rasionalisasi dunia persepakbolaan. Kita butuh menterjemahkan konteks globalisasi, pengilmiahan, industrialisasi dan profesionalisasi sepakbola. Kita sudah terlanjur meninggalkan fase ‘sepakbola kultural’. Kalau tak kita capai fase ‘sepakbola industrial’ secara ilmiah dan mendasar, mungkin keadaan kita akan seperti ‘melepas ayam di tangan, tak tergapai burung di angkasa’.****

(Emha Ainun Nadjib/2004/PadhangmbulanNetDok)

Kamis, 02 Juli 2009

Sedang Tuhanpun Berbagi (iv)

Sejauh saya mengerti, yang menjadi pokok soal dalam Islam ialah bagaimana kekayaan diperoleh dan bagaimana derita kemiskinan sampai diperoleh. Yang diajarkan oleh Islam bukanlah 'kaya' atau 'miskin', melainkan sikap terhadap kekayaan dan kemiskinan.
Termasuk juga sikap terhadap kemunkaran sistem yang mengatur adil tidaknya harta a-lam ini dibagi kepada manusia.
Sikap tersebut tak lain adalah bagian dari spiritualitas. Bagian lain dari spiritualitas ialah panggraita, meraba lebih dalam terhadap ada tidaknya nasib.
Lihatlah kartu domino. Kartu-kartu sudah tertentu. Berbagai kernungkinan permainan juga bisa dipelajari. Namun persoalan pembagian kartu, kapasitas manusia hanya mengocoknya. Silahkan lakukan seratus atau seribu kocokan, tapi Anda tidak bisa menentukan apa dan bagaimana kartu Anda. Anda tidak bisa menjamin bahwa Anda akan bebas clan balak-6.
Ada faktor X, peranan lain di Mar diri manusia yang dikandung oleh permainan domino.
Atau sepakbola. Silahkan bikin coaching yang canggili. Dad ketrampilan individu sampai pola permaman. Namun coba gambarlah garis larinya bola selama 90 menit. Anda sama sekali tidak akan pemah bisa merancang bagaimana gambar itu. Di saat lain Anda hanya
bilang 'bola itu bundar".
Ada faktor X, peranan lain di luar diri manusia yang dikandung oleh permainan sepakbola.
Tentu saja tidak analog bahwa sistem perekonomian yang kita anut dewasa ini sama dengan kocokan domino. Namun yang penting peranan manusia itu terbatas sampai titik tertentu.
Kita tidak bisa menjamin 100% bahwa besok pagi kita masih hidup. Sekian persen jaminan itu tidak berada ditangan kita. Kita hanya bisa mengusahakan kesehatan dan ketertiban hidup, namun bukan penolakan atas maut seperti yang kita rindukan setiap hari.
Di sisi kita, Allah berbagi. Allah menentukan batas fungsiNya sendiri dalam kehidupan manusia. Kehidupan jangan diserahkan 100% kepadaNya, jangan pula 100% pada diri kita sendiri. Namun itu persoalannya yang bikin hidup kita mudah karib dengan tuyul.

(selesai)

Yogya. 28 Oktober 1989
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)

SEPAK BOLA SEBAGAI GEJALA SEJARAH

Saya tidak sungguh-sungguh mengenal – apalagi menguasai seluk beiuk – dunia sepakbola. Saya sekedar menyukainya.
Pengetahuan saya mengenai tehnik persepakbolaan, sejarahnya, petanya di negeri ini dan di dunia, siapa saja nama pemain-pemainnya – amat sangat terbatas dan sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan pengetahuan Anda. Indikator bahwa di dalam hidup saya ada sepakbola hanyalah bahwa di kedua kaki saya terdapat banyak bekas luka karena main sepakbola ndeso di masa kanak-kanak dan masa muda saya. Selebihnya, saya juga bukan penonton setia pertandingan-pertandingan sepakbola di level manapun. Bukan pula pemerhati perkembangan dunia sepakbola. Bahasa jelasnya: dalam soal persepakbolaan, saya sama sekali seorang awam. Seorang penggembira yang mensyukuri bahwa pernah ada seseorang, suatu kelompok atau sebuah masyarakat yang kreatif menemukan kenikmatan ‘budaya’ yanq disebut sepakbola.

Adapun kalau sesekali saya menulis di media massa tentang sepakbola, ada sejumlah sebab. Menulis di koran hanyalah perpanjangan tangan dari obrolan sehari-­hari. Puluhan juta orang mernperbincangkan sepakbola: beda antara saya dengan mereka hanyalah bahwa obrolan saya terkadang memakai modus ekspresi yang lain serta dengan daya jangkau yang agak lebih luas. Sebagaimana berpuluh-puluh juta orang tersebut berhak membicarakan apa saja – dari presiden, Tuhan, sambal, hingga sepakbola – maka sayapun merasa tidak ada salahnya omong sepakbola. Negara, menteri-menteri, harga lombok, adalah 'milik' kami yang berhak kami perbincangkan kapanpun saja.
Sebab yang kedua, teman-teman media massa sukanya minta sih agar terkadang saya menulis olahraga, terutama kalau pas ada peristiwa-peristiwa olahraga penting. Saya orangnya amat susah menolak. Permintaan itu terkadang saya penuhi, dengan persyaratan hendaknya mereka memahami dan mengizinkan bahwa posisi saya bukanlah sebagai – semacam – kolumnis olahraga. Melainkan sekedar sebagai seseorang biasa yang kebetulan mencoba menuliskan hal-hal yang sebenarnya memang merupakan bahan obrolan sehari-hari siapa saja. Termasuk dengan tingkat – mutu obrolan sehari-hari pula.
***
Akan tetapi di luar itu, mungkin memang ada hal-hal yang agak sedikit lebih penting. Misalnya, bahwa gejala – sebagaimana segumpal batu, se-uleg-an sambal atau sebuah revolusi sosial – sepakbola adalah cermin sejarah. Di dalam sepakbola saya bisa menemukan hampir apa saja yang juga saya temukan di luar lapangan bola, bahkan di wilayah-wilayah yang lebih serius dibanding sepakbola.
Di dalam sepakbola saya berjumpa dengan gejala sosial. Dengan manusia. Dengan wataknya. Kualitas kepribadiannya. Kecerdasan atau kedunguan otaknya. Kepekaan dan spontanitasnya. Refleksi-refleksi dari dunia pendidikan, kebudayaan, keluarga, nilai-nilai, bahkan juga tercermin akibat-akibat kesekian dari mekanisme politik, industrialisasi, modernisme, atau apa saja. Lebih dari itu saya bisa yakinkan bahwa dengan Tuhan, filsafat dan imanpun saya bertegur sapa di dalam sepakbola.
***
Pada suatu hari Anda menyaksikan pertandingan sepakbola nasional kita, atau pertandingan-pertandingan elite dunia yang bagaikan 'magic’. Lantas barangkali Anda teringat dahulu kala tatkala Anda bermain sepakbola di kampung: memakai buah jeruk sebagai bola. Atau kulit luar pohon pisang kering yang Anda bikin sampai menjadi bulatan bola. Atau bola-bola karet dan plastik biasa yang Anda dapatkan di Pasar Kecamatan. Sesekali, mungkin bersama Santri-santri dari Pesantren sebelah Anda mencoba bermain dengan bola api.
Ingatan masa silam Anda itu bukan hanya bermakna sebagai nostalgia yang romantik. Lebih dari itu, Anda mungkin memperoleh pelajaran tentang mekanisme transformasi. Transformasi budaya. Transformasi sejarah. Transformasi manusia. Outline-nya: transformasi budaya manusia dalarn sejarah.

Menjadi pemain sepakbola di tahun 1960an sangat berbeda dengan menjadi pemain sepakbola tahun 1990an. Menjadi pemain sepakbola di kampung yang bersenang-senang pada kompetisi 17-an sambil sesekali pukul-pukulan, berbeda dengan ketika ikut Pelatnas atau berlaga melawan klub-klub sepakbola profesional­-industrial. Menjadi pemain sepakbola dengan kaki telanjang atau saat mulai belajar pakai sepatu sehingga rasa berlari kita seperti bandit yang kakinya dirantai dan digandholi beban bulatan besi, berbeda dengan menjadi pemain sepakbola sebagai suatu pekerjaan dari 'ideologi' modernisme. Menjadi pemain sepakbola nostatgia bersama para Jago Kapuk alias veteran berbeda dengan tatkala kaki kita siap patah menyangga misi nasionalisme olahraga, nama baik bangsa atau memperjuangkan nafkah anak istri melalui tentangan bola.
Anda nyeletuk: "Ya mesti saja! Wak Jan juga tahu kalau itu berbeda!"
Saya memaksudkan perbedaan itu lebih – atau sekurang-kurangnya berbeda – dengan yang barangkali Anda bayangkan.
Perbedaan pertama mungkin sederhana saja, ialah pada perasaan yang bergolak. Di kampung, selama main bola hati kita berbunga-bunga menikmati sepakbola as a fun and enjoyment. Tapi tatkala Anda berdiri di lapangan dan di seberang Anda adalah Fandy Achmad dari tim nasional Singapura atau apalagi (hiii) Franco Baressi pendekar AC­ Milan: gelombang perasaan kita pasti lebih komplit. Bermain tetap sebagai hiburan dan kenikmatan juga barangkali, tetapi kuda-kuda mental kita harus lebih dari itu.
Di dalam nasionalisme sepakbola, di dalam profesionalisme sepakbola, di dalam industrialisme sepakbola: kita haruslah merupakan seorang manusia modern. Seorang pemain 'sepakbola modern’. Seorang modernis dalam sepakbola. Cara berpikir kita, sikap mental kita, wawasan dan pengetahuan kita, pola determinasi budaya kita, setiap kuda-kuda kita, segala sepakterjang kita, haruslah merupakan endapan atau perasan dari kuda-kuda modernisme.
Bagi kebudayaan sepakbola modern internasional saja antara sepakbola sebagai kenikmatan (baca: sebagai kesenian, estetika) masih relatif berpolarisasi dengan sepakbola sebagai 'mesin' profesi (baca: teknologi). Bukankah polarisasi itu pula yang selama dua dekada terakhir ini menjadi substansi nuansa antara persepakbolaan Eropa dengan Amerika Latin? Bukankah tim raksasa seperti Brazil saja selama putaran piala dunia tiga kali berturut-turut masih dihinggapi splits atau semacam kegamangan antara estetika dengan teknologi sepakbola?

Dalam bahasa populer, polarisasi itu terungkap misalnya lewat perdebatan para pelatih. Yang satu bilang: "Ini sepakbola manusia, bukan onderdil mesin. Sepakbola manusia adalah keindahan". Lainnya menyindir: "Indah atau tidak indah itu memang penting. Tapi yang lebih penting adalah terciptanya gol". Sementara lainnya lagi berkomentar: "Keindahan dan terciptanya gol sama pentingnya".
Atau dalam bahasa sehari-hari, kita membedakan antara sepakbola tradisional dengan sepakbola modern dengan istilah sepakbola alamiah yang mengandalkan naluri dengan sepakbola rasional yang mengandalkan ilmu dan kecerdasan akal.
Bahasa jelasnya: manusia sepakbola di jaman kontemporer ini belum selesai dengan proses transformasinya. Masih terus berjuang memproses instalasi yang yang terbaik bagi budaya sepakbolanya. Masih belum menemukan keutuhan antara 'alam'nya dengan 'modernisme'nya. Sejarah sepakbola masih terus bergolak secara amat dinamis. la masih akan tiba pada inovasi-inovasi, bahkan mungkin juga invensi.

Bagi kita-kita di Negara Berkembang, seringkali terjumpai: seorang pemain yang tampak amat berbakat secara alam, namun menjadi bengong ketika memasuki arena modern persepakbolaan. Tiba-tiba kakinya gagu, tampak tidak memiliki kecerdasan, sejumlah ketrampilannya mendadak lenyap entah ditelah oleh apa. Kesimpulannya, di dalam budaya sepakbolapun ternyata harus ditemukan metoda transformasi yang tepat, yang mempeluangi setiap pemain untuk mengubah dirinya menuju pemenuhan tuntutan-tuntutan sepakbola modern tanpa kehilangan potensi alamiahnya. Kalau tidak, Galatama menjadi tidak laris, PSSI kalah terus, dan kita capek menangis. Apalagi kalau organisasi PSSI lebih merupakan ajang dari persaingan dan perbenturan kepentingan yang sebenarnya bersifat non-sepakbola. Mampuslah kita para penggembira sepakbola nasional.
(Emha Ainun Nadjib/2004/PadhangmBulanNetDok)