Senin, 23 November 2009

Hujan Al Mukarram

Terkadang saya ingin mengajak teman-teman untuk sedikit gila, dengan tujuan supaya agak sedikit waras.
Misalnya, kalau lagi jalan-jalan mendadak hujan. Mbok tak usah berteduh. Ya terus saja berjalan. Biasa,berjalan biasa.
Hujan itu baik. Apalagi hujan musim sekarang ini: sekian lama kita menanti-nantinya seperti menunggu kedatangan seorang kekasih yang berbulan-bulan jadi TKW di Arab Saudi.
Hujan kita dambakan, bahkan pakai sembahyang istisqa' segala. Sekarang, kalau hujan datang, kita berhamburan lari ke trotoar toko.
Padahal kita ini makhluk waterproof. Tahan hujan, seperti plastik. Kehujanan bukan hanya tak apa-apa, malahan segar. Sejak kecil hobi kita berhujan-hujan. Sebenarnya yang kita lindungi dari hujan itu pakaian kita, atau make-up di wajah kita. Entah kenapa pakaian kik tidak bela-bela. Kita sampai membeli mantel segala.
Kalau hujan tiba-tiba menghambur, kitapun lari berhamburan seolah pasukan Israel datang.
Sedangkan tubuh kita ini senang kepada hujan. Di samping tak membuat kita mati, sakit lepra atau bisul, hujan itu rakhmat Tuhan, meskipun terkadang menyimpan bebeberapa rahasia. Tak bisa kita bayangkan kehidupan tanpa hujan.
Seperti juga tak bisa bayangkan kehidupan tanpa matahari. Kalau terjadi banjir, mungkin karena manusia tolol mengelola tatanan alam, mungkin karena konstruksi kota kita kacau, atau mungkin karena maksud-maksud tertentu dari Tuhan untuk menyindir manusia yang pintar berkhianat.
Jadi ayolah jalan-jalan dalam hujan.
O, takut buku-buku Anda jadi basah? KTP?
Surat-surat ini-itu? Itu bisa dibungkus plaastik rapat-rapat, seperti pakaian nanti bisa dicuci.
Atau takut masuk angin? Kok bisa kehujanan saja lantas masuk angin? Salahnya badan tak dilatih. Badan dimanja seperti bayi. Beli pakaian terus menerus hanya untuk mengurangi daya tahan tubuh dari angin dan hujan. Padahal angin dan hujan itu sahabat darah daging kita. Sama-sama anggota alam.
Ayolah, jalan-jalan dalam hujan. Kalau pergi buka baju, kecuali wanita. Wanita musti menempuh 'metode' lain untuk memelihara kekuatan tubuhnya.
Tapi, astaga, saya lupa. Ada yang namanya kebudayaan!
Kebudayaan ialah memakai sandal, celana dan baju. Kebudayaan tinggi ialah memakai sepatu, jas dan dasi. Astaga, anehnya. Kalau keluar rumah tanpa alas kaki, itu tak berbudaya. Kalau diatas celana tak ada kaos, masuk supermarket, itu primitif. Kalau hanya pakai celana pendek saja, pergi ke perjamuan, itu saraf. Aneh sekali nilai-nilai kita ini!
Tapi percayalah, kalau di tengah hujan, kita berjalan terus saja dan biasa saja, masih dianggap belum terlalu gila.
Hujan al mukarram kekasihku! Kau kurindukan dan diperlukan untuuk beberapa kepentingan. Tapi. kami, manusia, sesungguhnya sudah tak lagi akrab denganmu secara pribadi.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996)

LISTRIK MAJAPAHIT

Apakah satu dua malam akhir-akhir ini listrik di tempat Anda suka ngaso*) juga seperti di kampung saya?
Derita dan keterpepetan membuat orang sewot, marah, jengkel, atau justru kreatif. Paling tidak, kita jadinya bisa menyelenggarakan diskusi gratis, tanpa budget macam-macam termasuk "uang tak terduga" yang sudah kita duga secara persis.
Begitu sang listrik 'tidur', teman-teman di rumah kontrakan saya mengomel. "Terasa sekali betapa kita ini tergantung kepada alat-alat yang kita ciptakan sendiri," kata seseorang.
"O, ya! yang lain nyeletuk, "Di zaman Maapahit sudah ada minyak tanah atau belum ya?"
Kemudian diskusi menjadi riuh, dan saya bersyukur tidak sedang ada tamu seorang sejarawan. Sebab dia bisa dijawabnya secara persis.
Kita tahu Gajah Mada bersumpah, Ranggalawe cemburu sosial, Raden Wijaya menjebak pasukan Cina, Suhita didongengkan sebagai Kencanawungu, Perang Bubat membawa dampak psikologis berabad-abad.

Tapi kita tak tahu, dan tak berminat tahu, bagaimana persisnya kostum harian orang Majapahlt, apakah mereka pakai jarum untuk dondom,**) atau bagaimana orang dusun misuh"*) waktu itu, atau apa saja kek.

Kita hanya tahu hal-hal mengenai kekuasaan. Kita membikin buku pelajaran dan mengisi jiwa siswa-siswa sekolah dengan hal-hal mengenai kekuasaan. Kekuasaan.
Kita mengerti Gajah Mada, karena diejek, cancut tali wanda, rnenggenggami kerajaan-kerajaan di sekitarnya, nglurug****) sampai Muangthai segala. Termasuk Ekspedisi Pamalayu yang berkepanjangan.
Lepas dari kita setuju atau tidak, tapi jarang awak berpikir bahwa Gadjah Mada melakukan itu tanpa walky talky, tanpa teknologi militer yang kini bisa memusnahkan bumi dengan sejentikan jari, tanpa kapal berapi, tanpa pesawat tempur, tanpa satelit yang bisa mendeteksi dari angkasa - apakah di Kecamatan Wonokromo ada pabrik senjata atau tidak.
Lha sekarang ini listrik mati seperti kehilangan Tuhan rasanya. Kalau motor macet, kita sudah hampir tak punya mentalitas untuk pakai sepeda. Kalau baju robek, malu pakai - seolah sama dengan dosa tak sembahyang Jumat. Kita juga tak berani jalan-jalan di Malioboro tanpa sepatu atau sandal.

*) Ngaso: istirahat.
**) Dondom: menjahit tidak dengan mesin.
***) Misuh: mengomel.
****) Nglurug: bertandang.

PRIHATIN DULU, PRIHATIN KEMUDIAN

Tiap hari Anda naik biskota ya? Memang terkadang susah bukan main. Panas, berjejal-jejal. Apalagi kaiau pada jam orang pergi atau pulang kerja, sekolah, kuliah. Kita bergelantungan. Padahal babi, sapi atau kuda, diangkut di atas truk dengan diatur balk-balk. Memang kita tidak ditali seperti binatang-binatang itu, tapi yakin haqqulyaqin, jelas ada tali yang terasa keras menjerat leher nasib kehidupan kita. Dan itu amat terasa
tatkala tubuh kita terhimpit-himpit.
Bahkan wanita-wanita merelakan bagian-bagian tubuhnya bertempelan dengan laki-laki. Ada semacam moralitas khusus dalam budaya naik bis. Moralitas itu tak berlaku begitu kita turun bis. Kalau kita terus menempel di tubuh wanita sekeluarnya dari bis, akan terjadi dua kemungkinan. Kita didamprat dan dikeroyok oleh banyak lelaki lain yang dijamin pasti membela sang wanita. Atau kemungkinan kedua kita justru dapat jodoh.
Pokoknya naik biskota itu perlambang dari marginalitas. Keterpinggiran, keterpojokan.
Pusat sosial ekonorni adalah kalau Anda naik kendaraan pribadi. Nukleolusnya adalah kalau kendaraan pribadi Anda berganti sesuai dengan tawaran mimpi baru dari produser kendaraan.
Kita bertegur sapa, dalam bas itu, dengan beberapa orang yang berdiri mernbungkuk karena tipe biskota ini sebenarnya dirancang khusus buat orang Suku Kerdil.
"Capek membungkuk, Mas?"
"Yaa, kalau tidak salah memang capek...
"Prihatin dulu, Mas"
Lelaki itu tersenyun masam.
Tapi kita mungkin didera oleh pertanyaan kita sendiri: Prihatin dulu, apa maksudnya? Sekarang menderita dulu, kelak tidak, begitu? Kelak kita bisa punya kendaraan pribadi? Bagaimana kalau sarnpai tua tak juga bisa bell? Apakah ada di aritara kita yang ngobyek entah bagaimana--terrnasuk korupsi di kantor--agar terbebas dari keprihatinan?
Sebenarnya keprihatinan itu apa? Keprihatinan ialah naik biskota? Naik biskota itu mewah. Bahkan naik sepeda atau jalan kaki itu juga bukan penderitaan. Keprihatinan ialah makan-minum dan berpakaian bertempat tinggal pas-pasan? Pas: itu yang ideal menurut semua agarna. Artinya, keadaan pas-lah yang paling menjamin kebahagiaan.
Tetapi memang, keprihatinan atau penderitaan ialah kalau sebagian manusia punya lima mobil serumah sementara lainnya harus ngonthel sepeda atau berdesakan di kendaraan umum. Penderitaan ialah apabila ketidakadilan diciptakan dan disistemi sendiri oleh sebagian manusia atas banyak manusia lain.
Maka, tuan-tuan, belilah mobil dengan harga kerja objektif Anda. Kasih itu mobil untuk keperluan siapa saja sekitar Anda yang memerlukan, sementara Anda silakan tetap naik biskota tanpa merasakan bahwa itu adalah keprihatinan.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkor Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 17 November 2009

Kelugasan Madura vs CV Politik Pribadi

Orang Madura, juga serius dan lugu dengan kata-katanya. Kalau ia menyatakan sesuatu, biasanya karena memang demikian isi hati atau pikirannya.
Kalau ia megungkapkan suatu bentuk sikap tertentu, biasanya karena memang begitulah muatan yang ada dalam bathinnya. Dan itulah perbedaan utama dengan misalnya, orang Jawa dan politisi.
Kalau orang Jawa dalam situasi hubungan yang seringkali feodalistik --mengatakan "Ya", jangan langsung beranggapan bahwa ia memang menyetujui apa yang ia dengarkan atau apa yang anda mintakan persetujuannya. Ada kemungkinan ia masih menyimpan "tidak" di ruang dalam bathin mereka atau minimal dalam gumpalan mondolan blangkon kepala mereka ; tidak usah terkejut, apabila ia tetap menyimpan 'tidak' itu sampai bertahun-tahun lamanya. Ketidakmenentuan "ya" dan "tidak" mereka bisa disebabkan oleh kekuatan hirarkis, atau justru politik kekuasaan atas Anda.
Politisi bisanya kan juga begitu. "Ya" dan "tidak"-nya politisi bergantung kepada titik proyeksi yang diarahkannya, atau kepada tingkat konsesi yang diam-diam ditergetkan. Politisi yang saya maksud bukanlah pejuang nilai atau pejuang demokrasi atau pejuang harkat kerakyatan di jalur politik, melainkan ia yang memperjuangkan keperluan pribadinya di dalam struktur kekuasaan politik, di mana demokrasi dan kedaulatan rakyat adalah alat produksi atau komoditas dari CV Politik Pribadi yang didirikannya.
Sedangkan orang Madura, meskipun pasti tidak semua, relatif berbeda.
Kalau ia mengucapkan sesuatu, biasanya karena memang demikianlah isi hati pikirannya. Kalau ia mengungkapkan sikap tertentu kepada Anda, biasanya karena memang begitulah muatan batinnya. Memang mungkin juga sih, kita bisa menemukan orang Madura yang bisa kita kasih uang sekedar sepuluh ribu rupiah untuk ikut unjuk rasa yang kita rekayasa buat mempertahankan bupati dari jabatannya, meskipun kesalahan Pak Bupati sudah sangat ironis, memalukan dan menyangkut nyawa sejumlah rakyatnya sendiri.
Namun juga tidak sukar Anda menemukan seorang Kyai lokal Madura umpamanya, berkata di depan bupati :
"Anno, Pak Bagus, tolong Pak Bupati jelaskan semua rencana pembangunan maupun proyek yang sedang berlangsung, rancangan dan konsepnya bagaimana, biayanya berapa, pengeluarannya untuk apa saja, ada kecelakaan atau tidak, dan lain sebagainya. Soalnya uang itu, kalau 'dak salah 'kan uang rakyat.
Jadi Pak Bupati harus mempertanggungjawabkannya kepada rakyat. Kalau tidak, kasihan arakyat, Pak.
Moso' sudah PJPT kedua begini, rakyat dibiarkan buta huruf terhadap pembangunan. Jangankan terhadap makna pembangunan, lha wong terhadap angka-angka dan manajemennya saja, buata huruf..."
Pak Kyai itu, saya saksikan dengan kepala sendiri, mengucapkan itu dengan wajah polos dan hampir tanpa ekspresi. Ia begitu bersungguh-sungguh dengan ucapannya, dan saya sampai detik ini belum sanggup membayangkan bahwa hal seperti itu, mungkin terjadi di Jombang, Klaten atau atmosfir budaya kekuasaan Jawa lainnya. Jawa juga "menguasai" Madura, tetapi di Madura, kebanyakan bupati atau tokoh-tokoh berwenang lainnya sangat sukar untuk berlaku sebagai "rakyat kecil" sebagaimana Pak Camat bisa dengan gampang berbuat demikian di Jawa.
Pada kesempatan lain, saya pernah diundang untuk menghadiri dan sedikit urun bicara dalam acara khaul seorang kyai besar masa silam yang diperingati hari kewafatannya dengan pengajian dan tahlilan besar.
Terus-terang, biasanya saya sambat dan jengkel oleh bertele-telenya ritus acara-acara yang diselenggarakan oleh komunitas Muslim Indonesia.
Bahkan pun jika yang menyelenggarakan adalah "kaum modernis" seperti PMII, HMI dan lain sebagainya. Biasanya, pembawa acara ngomongnya menggunakan bahasa Indonesia sinetron, urutan acara dijejali oleh sangat banyak sambutan yang isinya 90% pura-pura, dan keseluruhannya ditaburi oleh formalisme dan ritualisme yang membosankan.
Lha, di Madura ini, tiba-tiba saja ada santri naik podium, kasih salam, kemudian langsung membacakan ayat-ayat suci Qur'an. Sesudahnya, pembawa acara, yang tidak naik podium, berkata: "Sekarang langsung saja kita persilahkan kepada Cak Nun..."
Sambil naik mimbar, saya mikir-mikir. Alangkah efektif dan efisiennya kawan-kawan Madura ini.
Tapi memang semua yang hadir sejak sebelum berangkat sudah tahu ini acara apa, dalam rangka apa, maknanya kira-kira apa, dan lain sebagainya, sehingga sama sekali tak diperlukan orang-orang harus manggung untuk menjelaskan itu semua.
Maka sayapun langsung "nyanyi" dua jam penuh.
Namun, di tengah-tengahnya, tampakmoleh saya sejumlah pejabat, berpakaian Safari dan lainnya baju batik panjang. Mereka turut mendengarkan dengan serius, tetapi juga saya mereasakan bahwa ada yang tidak sreg dalam batin mereka. Dan itu saya ketahui sesudah acara, yakni ketika kami ramai-ramai makan siang.
Tampaknya ada semacam protes dari wilayah birokrasi, kenapa sambutan yang sudah dipersiapkan capek-capek, tidak diberi kesempatan. Maka saya dengarlah suara keras dan lugu salah seorang kyai: Lho Pak. Kalau kami diundang ke kantor Kabupaten, kami disuguhi teh botol, dan snack, lantas kami disuruh mendengarkan pengarahan. Lha sekarang Bapak-bapak ke sini kami sembelihkan kambing-kambing dan ayam. Jadi silahkan menikmati keikhlasan kami dan silahkan mendengarkan!"
Hendaknya Anda ketahui juga, bahwa hanya di Madura saya menjumpai adegan di mana ketika saya sedang berapi-api bagaikan Nabi Sulaiman yang sedang berpidato di depan massa jin, mendadak seseorang berdiri dan mengacungkan tangan sambil berteriak: "Cak! Ucapan ayat Sampeyan itu, keliru!"
(Emha Ainun Nadjib/"Demokrasi Tolol Saridin" (Folklore Madura)/Zaituna (Progress)/1998/PadhangmBulanNetDok)

Buang Sial ke Singapura

Alkisah, bersepakatlah pengusaha yang muda tiga sekawan untuk ber-weekand ke singapura. Yang satu, Tigor, berasal dari Batak, lainnya, Sutrimo, asli Jawa, lainnya lagi, Abdul, dari Madura.
Sabtu sore ngumpul di Cengkareng, langsung bareng ke Singapura, dan paginya, atau setidaknya siang harinya, balik lagi ke Jakarta. Soal apa alasan kepergian mereka kepada istri masing-masing, Ente pasti cukup profesional untuk mengarang sendiri. Terserah saja apa, tergantung bagaimana Ente sendiri biasanya mengelabuhi istri Ente.
Memang ruginya orang punya istri adalah bahwa ia punya kemungkinan untuk menyeleweng. Kalau bujangan, pasti bersih dari penyelewengan. Kalau Ente seorang suami, begitu lirikan Ente ke seorang cewek mengandung sedikit saja virus napsu, berarti Ente menyeleweng dari istri dan salah-salah bisa dituduh berzina mata oleh sebuah sekte agama.
Tapi kalau Ente bujangan, biar melirik sampai melorok, biar melilit sampai melotot: kan tidak menyeleweng namanya. Jadi, lelaki yang kawin, ia bukan saja sendang menggantikan kemerdekaan dengan penjara, tapi juga memperangkap diri dalam kans penyelewengan. Kok mau-maunya!
Tetapi apakah tiga pengusaha muda kita ini sendang merancang penyelewengan di Singapura? Wallahu' alam. Tanyakan saja langusng kepada Tuhan yang tahu persis apa isi hati mereka, sebab kalau tiga suami muda itu yang Ente tanyai, pasti tidak ngaku.
Alhasil sampailah mereka di Singapura. Singkat kata, mereka langsung cari hotel bintang tujuh. Tapi rupanya semua orang se-Asean ini sedang mengincar Singapura untuk bermalam Minggu. Sehingga di mana-mana hotel penuh. Tiga pengusaha muda kita ini hanya mendapatkan satu kamar, itu pun tingkat 63. Sudah mepet sama lapisan ozon. Dan gampang diserempet oleh lalu-lalang makhluk angkasa luar.
"Tapi kenapa susah? Untung masih dapat kamar. Toh kita tidak ke sini untuk tidur. Toh semalaman nanti kita akan cari hiburan di luar!" kata Sutrimo, mengeluarkan kebiasaan etnisnya untuk selalu merasa untung dalam situasi macam apapun.
"Ah, kau ini!" sahut Tigor. "Tingkat 63! Jauhnya itu! Lebih jauh dibanding Jakarta-Singapura, bah!"
"Lho, masih untung kita dapat kamar!"
"Masih untung! Masih untung! Kalau ban mobil kau meledak, kau bilang 'Masih untung bukan as-nya yang patah!' Kalau as mobil kau patah, Kau bilang 'Masih untung bukan tulang punggung kita yang patah!"
"Lha maunya kamu dapat kamar di tingkat berapa?" Tiba-tiba Abdul nyeletuk.
"Ya 3 kek, 4 kek, atau 5 okelah!" jawab Tigor.
"Kalau begitu kita pindahkan saja kamar kita ke tingkat yang kamu senangi."
"Sialan kau!"
"Atau tingkat 63 ini kita sepakati saja sebagai tingkat 3."
Tapi memang tak ada pilihan lain. Dan karena itu kita singkat saja cerita ini: mereka OK di tingkat 63, menaruh koper kecil mereka masing-masing, pesan makanan kecil, dan telepon sana-sini untuk berorientasi menentukan ke klab malam mana yang paling manis untuk bermalam Minggu.
Kesepakatan dicapai. Usai makan mereka langsung turun ke lobi, ambil taksi, berangkat cari restoran yang harganya jangan sampai murah, sambil nunggu waktu sebelum ke klab malam.
Kemudian segala sesuatunya ditumpahkan. Keringat diperas. Gejolak-gejolak kelelakian dihempaskan. Minum-minum. Ajojing. Ganti Hostess beberapa kali. Pokoknya segala kemungkinan kehidupan malam di tempat itu mereka habiskan dan tuntaskan.
Sehingga ketika dinihari tiba, loyo beratlah mereka. Mereka balik ke hotel dengan badan Hollyfield di ronde 10 dan 11 pertarungannya dengan Bowe. Dan tatkala tiba di hotel, badan mereka menjadi lebih parah bagaikan tubuh Razor Ruddock dihancurkan oleh Lennox Lewwis.
"Lift-nya kebetulan macet," kata Sutrimo kalem.
"Mbahmu!" sahut Tigor menjawa-jawakan diri.
"Ya, jalan kaki. 'Kit-sedikit nanti 'lak sampai!" sambung Abdul.
Mereka terdudu di dekat lift. Runding. Mereka berpendapat bahwa harus diciptakan situasi bersama agar perjalanan menuju tingkat 63 tidak terlalu melelahkan. Akhirnya sepakat: setiap orang harus bercerita, mendongeng atau apa saja, sepanjang 21 tingkat. Jadi ti orang pas 63 tingkat.
Naiklah mereka. Lemes bukan main. Kaki bagai tanpa tulang dan tidak berotot. Langkah amat berat. Tangan mereka terus berpegangan di tanganan tangga atau tembok.
Pertama giliran Sutrimo berkisah tentang pertandingan sepakbola antara kesebelasan Keraton Solo melawan Yogya. Setiap kali striker Solo berhasil membawa bola ke depan kiper Yogya, sang priyayi Ngayoja ini justru minggir, membungkuk-kan badan, sebelah tangannya memegang burung sementara tangan lainnya mempersilahkan: "Monggo Mas, dimasukkan saja bolanya, ndak usah pakewuh!"
Si striker Solo berhenti dan menjawab: "Ah, nanti saja, gampang. Kami tidak tergesa-gesa, kok."
Kejadian yang sama berlangsung ketika striker Yogya berhadapan dengan kiper Solo. Monggo-monggoan dan nanti saja nanti saja. Akhirnya pertandingan berakhir draw, sehingga diselenggarakan sarasehan di tengah lapangan, dihairi oleh ofisial kedua kesebelasan, seluruh pengurus PSSI yang hadir, plus pak RW, Danramil, Penatar P4, dan Ketua Klompencapir. Keputusannya: Juara bersama! Sesuai dengan asaa yang ada.
Sejumlah kisah yang lain dituturkan oleh Sutrimo. Kemudian memasuki tingkat 22, giliran Tigor bercerita. Misalnya tentang pidato tokoh masyarakat Batak dalam suatu upacra sangat resmi memperingati wafatnya Sisingamangaraja sang pahlawan nasional.
"Hari ini," katanya dengan penuh kekhusukan, "Kita memperingati hari wafatnya pahlawan kita Sisingamangaraja yang dibunuh oleh Belanda sialan itu...!"
"Wah, payah dia itu!" komentar Sutrimo, "Wong pidato resmi kok pakai ngumpat segala!"
Demikianlah perjalanan pendakian mereka ke tingkat 63 menjadi tak terlalu melelahkan. Letih sih, letih, tapi dengan melempar-lemparkan konsentrasi ke macam-macam hal yang lucu-lucu, kesadaran bahwa mereka sedang letih menjadi terkurangi.
Apalagi ketika di atas tingkat 43, Abdul mengisahkan tentang pengendara motor di Sampang yang marah-marah kepada polisi yang menilangnya di jalan karena melanggar dan ternyata tidak punya SIM.
Memang dia menyodorkan SIM."Tapi ini bukan SIM saudara! Nama dan fotonya lain!" kata polisi.
Naik pitamlah pengendara motor itu: "Lho Bapak ini kok neh-aneh! Lha wong yang saya pinjami SIM saja 'dak marah kok malah Bapak yang marah!"
Asyiklah mereka mendengarkan kisah-kisah Abdul. Tapi Abdul ini sendiri malah keasyikan. Mereka sudah sampai di tingkat 63, sudah berdiri di depan pintu kamar, Abdul tidak juga berhenti bercerita. Terus saja nerocos.
"Sudah, bah! Bukalah pintu! Mau tidur aku!" protes Tigor tak sabar.
"Nanti dulu," jawab Abdul, "ceritaku belum selesai..."
"Ya, cepat selesaikan saja sekarang," kata Sutrimo.
"Begini..." kata Abdul pelan, "akhir cerita saya ini sungguh-sungguh Happy Ending..."
"Bagaimana itu!" desak Tigor.
Kunci kamar kita tertinggal di mobil..."
(Emha Ainun Nadjib/Folklore Madura (Demokrasi Tolol Saridin)/Progress/PadhangmBulanNetDok)

Wawancara

SEMUA orang mempunyai pengetahuan tentang hidup. Tapi yang paling tahu hanya tiga, yakni Tuhan, malaikat dan wartawan.

Tuhan dan malaikat, mau apa saja biarkan. Tapi para wartawan, sesekali bolehlah kita perbincangkan. Supaya imbang. Jangan mereka saja yang tiap hari mempergunjingkan dan menggosipkan orang.

Tetapi perbincangan kita tentang wartawan akan saya bikin sedemikian rupa sehingga timbul kesan bahwa wartawan itu baik, jujur dan pekerja keras. Soalnya saya sendiri seorang wartawan. Kalau ditengah perbincangan nanti ada perkembangan yang bisa merugikan wartawan, tentu akan saya coba belokkan, atau bahkan saya stop sama sekali. Hanya orang tolol yang memamerkan boroknya sendiri. Hanya manusia dungu yang membuka-buka auratnya di depan orang lain.

Tuhan mengetahui apa saja,
malaikat mencatat segala peristiwa, dan wartawan bukan hanya sekedar tahu ada peristiwa pengguntingan pita. Wartawan bukan hanya sekedar mengerti teknik wawancara yang terencana. Lebih dari itu, wartawan tahu persis jumlah korupsi seorang pejabat. Wartawan tahu tanah yang dikosongkan penduduk itu akan dikapling untuk proyek apa. Wartawan tahu berapa korban yang sebenarnya dalam sebuah letusan peristiwa. Wartawan
tahu skenario-skenario apa saja yang disembunyikan dari mata masyarakat. Wartawan tahu berapa lama lagi akan terjadi devaluasi atau kapan persisnya seorang raja akan turun takhta. Dan yang terpenting dari semua itu, wartawan tahu secara mendetail setiap pori tubuh bintang-bintang film tertentu, saya ulangi --bintang-bintang film
tertentu-- dalam keadaan sangat jujur dan penuh keterbukaan. Foto-foto tubuh yang innocent, tanpa tedeng aling-aling. Baik yang diambil di lokasi alam, di ranjang kamar, di atas wastafel, atau sedang bercengkerama dengan kuda.

Saya
buka rahasia yang sebenarnya bukan rahasia ini dengan maksud agar para bintang film lain yang serius berpikir untuk membersihkan citra korps bintang film dari ideologi buka aurat yang makin merajalela.

Kalau
kelak tak ada lagi wanita yang bersedia difoto dengan pose penuh kejujuran tubuh, terus terang mata pencarian saya akan jauh berkurang. Tidak apa-apa. Demi masyarakat kita yang beradab, saya rela berkorban. Jer basuki mawa bea.Toh saya sudah punya banyak koleksi foto-foto jujur.

Dan
lagi aslinya saya bukanlah wartawan porno. Saya ini wartawan politik. Dulunya, waktu belajar, saya ini wartawan kesenian. Itu paling gampang. Kemudian saya beralih menjadi wartawan bidang kriminal dan hukum. Ada tahun-tahun saya mengkhususkan diri sebagai wartawan KB dan kelompencapir, namun kemudian saya memilih jadi wartawan politik saja.

Kenapa?
Karena dunia politik selalau amat penuh kesopanan dan tata krama.
Sangat menyenangkan. Sopan, artinya politik selalu berpakaian rapih, pakai parfum, dan segala macam kosmetik. Kalau mulut bau karena jarang sikatan bisa pakai alat tertentu sehingga mulut jadi harum. Kalau tubuh berpanu atau berkadas, bisa dilulur sedemikian rupa sehingga kulit menjadi semulus kulit Meryl Streep atau Ida Iasha. Pokoknya segala cacat bisa ditutupi. Bau mulut politik, bibir politik, telah
ditampilkan dengan berbagai macam parfum dan kosmetika politik sehingga lebih indah dari warna aslinya.

Kalau pada suatu hari ada bisul yang meletus, wartawan akan diberi tugas lewat telepon untuk menutupi bisul itu dengan blok tinta hitam. Kalau tidak, saya akan kehilangan eksistensi sebagai wartawan, dan sekian ribu karyawan perusahaan kami
juga kehilangan kekaryawanannya. Dan anehnya, kalau kita kehilangan pekerjaan, asap dapur kita jadi terancam. Mbok ya kalau tidak kerja itu tetap punya duit gitu lho…!

Ternyata saya ini pada haikatnya memang kurang sanggup menghargai kesopanan. Oleh semua itu saya tidak krasan. Saya ingin menjelalajahi dunia yang penuh dengan kejujuran, keterbukaan tanpa tabir, tanpa tedeng aling-aling. Dan itu saya jumpai
dalam dunia glamor sebagaian artis-artis. Sebagian lho, sebagaian. Dunia dimana kain menjadi sangat mahal, sehingga ada bintang yang hanya mampu membeli celana dalam dan bra atau bahkan ada yang tidak bisa membeli apa-apa sama sekali.

Memang di negeri yang ber-Ke Tuhanan Yang Maha Esa ini kita tak mungkin menerbitkan majalah macam Penthouse atau Playboy. Tapi dalang tak pernah kekurangan lakon. Kita
tahu bagaimana mem -playboy- kan media massa dengan cara yang lebih canggih. Cover tak usah telanjang betul, asal merangsang, langsung kita bikin judul yang mlayboy , bukan panjang pendeknya tapi teknik mainnya.

Ternyata,
masyarakat umum juga amat mendambakan keterbukaan. Masyarakat benci kemunafikan. Maka media massa yang penuh rahasia-rahasia, laku keras. Ditambah dengan makin bodohnya masyarakat modern, buku dan majalahpun harus mengajari mereka bagaimana cara bersenggama yang baik, bagaimana caranya supaya tidak kecelakaan, bagaimana melakukan penyelewengan secara canggih dan terjaga efek-efeknya, atau memberi keyakinan kepada pemuda-pemudi bahwa keperawanan bukanlah sesuatu yang mutlak. Dalam hal ini saya telah mewawancarai sejumlah dokter, psikiater, pedagogi, pastor dan kiai. Orang bahkan penasaran terhadap suatu teori yang menyarankan agar lelaki jangan tergantung pada orgasme. Seorang pakar memberi contoh ada seorang nabi yang sanggup melakukan dua belas kali persenggamaan secara runtut tanpa mengalami orgasme. Teori ini mengatakan bahwa lelaki harus menang melawan kebutuhan orgasme, lelaki bisa lebih besar dibandingkan dengan orgasme.

Akan tetapi di
hari-hari terakhir ini saya di bikin pusing oleh sesuatu hal.
Liputan-liputan gaya playboy melayu sudah hampir mencapai titik jenuh pasar. Maka pemimpin redaksi saya memberi instruksi agar saya melakukan wawancara langsung dengan makhluk yang bernama seks. Ya, seks itu sendiri. Bukan seorang lelaki bukan seorang wanita.

Kalau mewawancarai presiden atau gubernur, jelas birokrasinya. Tapi mewawancarai seks? Dimana gerangan seks berada?

Sudah
tiga bulan terus menerus saya melacaknya. Saya sudah capek, sehingga tinggal sisa tenaga sedikit saja untuk melaporkan kepada Anda.

Seks
itu makhluk ciptaan Tuhan. Sudah pasti, tapi apakah untuk mengetahui seks, saya mesti mempelajari filsafat seks atau seks filosofi? Saya tidak mau dibikin puyeng oleh agama seks atau seks yang religius. Tapi kata para wali dulu, seks itu memang religius, karena merupakan sendi utama regenerasi sejarah, merupakan manifestasi dari kerinduan Tuhan itu sendiri. Tuhan menciptakan manusia agar dipandang, didekati dan dicintai oleh manusia ciptaan-Nya. Seks yang tidak religius hanya terjadi pada manusia yang melakukan seks hanya demi dan untuk kepuasan hewaninya belaka.

Itu betul semua.Tapi mana ada koran bisa laku kalau isinya filsafat dan agama? tidak. Saya tak bakalan mewawancarai seorang filsuf atau pakar agama. Saya, dalam rangka melacak seks, langsung saja berangkat ke lokasi pelacuran. Bursa seks.

Namun,
ketika saya tanya tentang seks, pelacur itu menjawab, “Wah, saya tidak tahu Mas. Disini saya mencari makan." Dan para lelaki hidung belang itupun menjawab secara kurang memuaskan. "Saya memang mencarinya terus dengan jalan bersenggama disini hampir tiap hari. Tapi yang saya jumpai hanya orgasme. Hanya ekstase. Kalau saya ketemu sama seks, untuk apa saya terus-terusan ke pelacur begini..!!”

Kemudian di
losmen-losmen penyelewengan alias wisma skandal, dimana mahasiswa-mahasiswi atau pegawai pria dan wanita berseragam suka menyewa kamar satu dua jam, saya juga memperoleh jawaban yang mengecewakan,"Gini lho, Mas. Kalau saya sedang sendiri, saya begitu tergoda oleh seks. Tapi kalau sudah berdua di kamar, paling jauh yang saya jumpai adalah diri kami sendiri yang berubah menjelma menjadi kuda atau kera yang bergumul telanjang. Selebihnya, rasa dosa yang kami simpan diam-diam.“

Akhirnya saya pulang dengan putus asa. Saya katakan kepada pemred saya, "Pak, jawaban mereka sangat lucu. Mereka bersenggama, tapi mengaku tak tahu seks. Lha apa beda antara bersenggama dengan seks?"

"Lho sangat berbeda," kata pemred saya.
"Persenggamaan itu sekedar alat, atau cara, atau tarekat, untuk mencari dan menemukan
seks. Seks itu suci. Seks itu tinggi derajatnya. Dan derajat kesucian seks tidak mungkin kamu jumpai di kopel-kopel pelacuran, di losmen penyelewengan atau wisma skandal, juga tidak di kamar-kamar kost kumpul kebo."

"Ruwet, Pak!” kata saya
"Karena kamu sukanya bersenggama, tapi salah paham terhadaps seks. Kamu menyamakan
persenggamaan dengan seks seperti menyamakan sembahyang dengan Tuhan, atau perkawinan dengan kebahagian, atau nasi dengan rasa kenyang. Kalau kamu sudah tiba di kebahagiaan, perkawinan tak dibutuhkan. Kalau kamu sudah tinggal di Tuhan, kendaraan sembahyang tak diperlukan. Kalau kamu sudah bersemayam di dalam seks, persenggamaan tak dibutuhkan.”
"Kalau begitu," kata saya jengkel,"biarlah saya tak pernah tiba pada seks...! []
(Emha Ainun Nadjib/PadhangmBulanNetDok)

Negeri Orang Tertawa

Berpengalaman Dijajah

Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh kehangatan hidup. Bakat utama negeri saya adalah bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang atau kalah, mendapatkan atau kehilangan, kenyang atau lapar, sehat atau sakit - semuanya potensial untuk membuat kami bergembira dan tertawa.

Bangsa saya sangat murah hati. Mengekspor ke berbagai negara bukan hanya barang dan makanan, tetapi manusia. Penduduk negeri saya bertebaran di berbagai negara. Ada yang menjadi kaya, ada yang mati tak ketahuan kuburnya. Ada yang sukses, ada yang diperkosa. Ada yang pulang membawa modal lumayan, ada yang dipukul, diseterika, dibenturkan kepalanya ke tembok..
Dua kali saya membawa pulang wanita muda gegar otak dan badannya luka-luka, dari Cairo dan Riyadh ke Jakarta.

Aliansi anti deportasi di Jakartta melaporkan hanpir 3 juta kasus penindasan atas tenaga kerja Indonesia diluar negeri, dan tak satupun yang diselesaikan, para pekerja yang sukses tidak ada yang bersikap egoistik: pulang ketanah air, di Terminal 3 Cengkareng airpport. Mereka menyediakan diri untuk ditodong oleh banyak yang memang menunggu di sana untuk mencari nafkah. Itu membuat mereka menangis sejenak tapi kemudian tertawa-tawa lagi. Karena penderitaan adalah memang sahabat yang paling akrab dengan mereka sejak kanak kanak.

Bangsa saya sangat berpengalaman dijajah. Sebagian mereka menunggu penjajah datang ke kampungnya, sebagian yang lain menyebrang keluar negeri untuk mencari penjajah.

Tuhan Menyesuaikan Diri Pada Aturan Manusia

Bangsa Indonesia tidak memerlukan pemerintahan yang baik untuk tetap bisa bergembira dan tertawa. Kami memerlukan perekoonmian yang stabil, politik yang bersih, kebudayaan yang berkualitas - untuk mampu bergembira dan tertawa. Kami bisa menjadi gelandangan, mendirikan rumah liar sangat sederhana di tepian sungai, dan kami hiasi dengan pot pot bunga serta burung perkutut.

Bangsa kami sangat berpengalaman dijajah, juga saling menjajah diantara kami. Dijajah atau menjajah, kami bergembira dan tertawa. Sayang sekali belum ada ilmuwan yang tertarik meneliti frekwensi tertawa bangsa kami - di rumah, di warung, di lapangan sepakabola, di ruang pertunjukan, di layar televisi, di tengah kerusuhan, di gedung parlemen, di rumah ibadah dan di manapun saja. Ada orang yang terjatuh dari motor, kami menudung nudingnya sambil tertawa. Orang bodoh ditertawakan. Apalagi orang pintar.

Kehidupan kami sangat longar, sangat permisif dan penuh kompromi. Segala sesuatu bisa dan gampang diatur. Hukum sangat fleksibel, asal menguntungkan. Kebenaran harus tunduk kepada kemauan kita. Bangsa saya bukan masyarakat kuno yang sombong dengan jargon: " MEMBELA YANG BENAR" Kami sudah menemukan suatu formula pragmatis untuk kenikmatan hidup, yakni " membela yang bayar".

Tuhan harus menyesuaikan aturan aturan-Nya dengan perkembangan dan kemajuan hidup kita. Orang orang yang memeluk agama sudah sangat lelah berabad abad
diancam oleh Tuhan yang maha menghukum, menyiksa, mencampkana ke api neraka. Tuhan yang boleh masuk kerumah kita sekarang adalah Tuhan yang penuh kasih
sayang yang suka memaafkan dan memaklumi kesalahan kesalahan kita.
Sebagaimana kata kata kata mutiara - " Manusia itu tempat salah dan maaf".
(Emha Ainun Nadjib/"Negeri Orang Tertawa"/2005/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 03 November 2009

Peringatan dan Amarah

Guru saya di dunia ini banyak. Tak terbatas. Bahkan tak terhingga. Jumlahnya bertambah terus. Soalnya tidak ada “mantan-Guru”. Yang ada adalah “yang sedang menjadi Guru” dan “yang akan menjadi Guru”. Tak ada seseorang atau sesuatupun yang pernah mengajari saya lantas tidak lagi menjadi Guru saya.
Tetapi di antara Guru-Guru itu, yang tergolong istimewa dan paling rajin mengajar saya adalah masyarakat dan atau ummat. Setiap saat saya berguru kepada mereka dengan penuh semangat, terutama karena mereka sangat telaten untuk marah kepada saya. Bukankah murid memang sebaiknya sering-sering diperingatkan atau dimarahi oleh Gurunya supaya tidak terlalu mblunat?
Mungkin bisa saya sebut contoh-contohnya sedikit, sebab tidak mungkin saya ceritakan semua. Betapa ragamnya saya dimarahi, diberi peringatan keras, dikecam, dikritik, dihardik, dimaki-maki, dituduh-tuduh, disalah-pahami, bahkan seringkali juga difitnah. Tapi karena saya selalu berusaha menjadi murid yang baik, semua itu senantiasa saya terima dengan rasa syukur.
Ketika saya msuk pesantren, saya diperingatkan supaya jangan masuk pesantren hanya karena ikut-ikut. Sehingga saya kemudian bercita-cita menamatkan pesantren, masuk ke Universitas Al-Azhar, lantas berusaha menjadi menantu seorang Kyai dan membantu pesantren beliau.
Tapi akhirnya saya diusir karena suatu perkara, sehingga saya pindah sekolah. Tentulah saya dimarah-marahi habis. Dan lebih marah lagi karena lantas saya coba-coba menjadi penulis cerita pendek dan puisi. “Kamu mau jadi penyair? Apa tidak baca surat As-Syu’ara yang berkisah tentang penyair-penyair pengingkar Allah?”
Saya lebih dihardik lagi karena dalam proses kepenyairan itu hidup saya tidak berirama seperti orang normal. Makan tidur tidak teratur sampai sekarang. Saya dianggap sinting dan tidak sinkron dengan peraturan mertua.
Beberapa tahun berikutnya saya dimarahi lagi: “Kenapa kamu hanya sibuk dengan sastra dan tidak memperhatikan syiar Agama? Tidak bisakah kamu mengabdikan sastra kamu kepada dakwah?”. Tetapi ketika kemudian saya mengawinkan sastra saya dengan dimensi-dimensi Islam, saya dimarahi lagi: “Jangan main-main dengan Islam! Jangan campur adukkan nilai sakral Agama dengan khayalan-khayalan sastra!”.
Tema kemarahan itu berkembang lebih lanjut: “Sastra Islami saja tidak cukup. Kamu harus memperjelas sikap akidahmu. Hidup ini luas. Kamu tidak bisa membutakan mata terhadap masalah-masalah penindasan politik, kemelaratan ummat dan lain sebagainya!”.
Maka sayapun memperluas kegiatan saya. Terkadang jadi tukang pijat. Jadi semacam bank. Memandu keperluan tolong menolong antara satu dengan lain orang. Menjadi tabib darurat. Bikin semacam LSM. Menemani anak-anak muda protes. Pokoknya memasuki segala macam konteks di mana idealisme nilai kemanusiaan dalam sastra dan idealisme nilai akidah dalam Islam bisa saya terapkan.
Saya mendapat teguran lagi: “Jangan sok jadi pahlawan! Semua sudah ada yang ngurus sendiri-sendiri. Kalau sastrawan ya sastrawan saja, jangan macam-macam!”.
Ketika saya membisu di sekitar Pemilu, saya dimarahi: “Golput ya? Itu tidak bertanggungjawab!”. Dan ketika besoknya saya tampil membantu salah satu OPP, saya diperingatkan: “Kamu kehilangan independensi!”.
Tatkala saya acuh terhadap lahirnya ICMI, saya dibentak: “Perjuangan itu memerlukan organisasi! Tidak bisa individual!”. Tatkala saya didaftar di pengurus pusat ICMI, saya ditatar: “Itu bukan maqam kamu! Tidak setiap anggota pasukan berada dalam barisan!”. Dan akhirnya tatkala karena suatu bentrokan saya mengundurkan diri dari ICMI, saya dipersalahkan: “Rupanya kamu memang bukan anggota pasukan!”.
Ketika saya mengungkapkan pemikiran dalam bahasa universal, saya diingatkan: “Kenapa kamu tidak mengacu pada Quran dan Hadits? Apakah kamu budak ilmuwan barat?”. Dan sesudah saya mengungkapkan segala tema – dari sastra, politik, sepakbola, tinju, psikologi, atau apapun saja – dengan acuan Quran dan Hadits, saya dikecam habis-habisan: “Kamu ini mufassir liar! Jangan seenaknya mengait-ngaitkan masalah dengan Quran dan Hadits! Berbahaya!”.
Ketika saya menulis tentag sesuatu yang makro dan suprastruktural, saya dijewer: “Kenapa kamu tidak memperhatikan orang kecil?”. Dan ketika saya mengusahakan segala sesuatu yang menyangkut nasib rakyat kecil saya ditabok: “Islam tidak mengajarkan mbalelo, Islam menganjurkan silaturrahmi dan musyawarah!”.
Ketika saya tidak memusingkan soal honor, saya disindir: “Kamu tidak rasional!”. Dan ketika saya bicara soal honor saya ditonjok: “Kamu komersial!”.
Ketika saya cuek kepada uang dan nafkah, saya dilempar: “Kulu wasyrabuu! Makan dan minumlah”. Ketika saya sesekali berpikir mencari rejeki, saya ditonyo: “Kamu menuhankan uang dan harta benda!”.
Ada beribu-ribu lagi. Tapi amarah yang terakhir, tanggal 25 Juni yang lalu saya sungguh-sungguh tidak paham: “Sungguh hebat perjuanganmu…. Sampai-sampai Al-Quran pun yang tanpa rupiah untuk mendapatkannya….kau tak punya!”.
Kapan kapokmu, Nun! Ciker bungker Mbahmu ae gak tahu kemendel ngomong ngunu!”. *****
(Emha Ainun Nadjib/Harian SURYA/2004/PadhangmBulanNetDok)

Konsep Teologi Sepeda Hilang

Pada suatu pagi, sekitar 15 tahun yang lalu, sepeda pancal alias sepeda onthel saya hilang dari rumah kontrakan saya. Tentu diambil oleh salah seorang dari anak-anak muda sekitar sini. Banyak dari mereka pengangguran, dan lagi rumah ini memang dekat dengan pasar.
Sebagai manusia normal, saya marah. Tapi terus terang ini tidak konsisten dan tidak rasional. Rumah ini memang tak pernah dikunci. Setiap orang gampang sekali membuka pintu yang sebelah manapun dan mengambil apapun. Jadi, kalau sepeda hilang, itu logis dan realistis.
Tapi saya tak peduli. Saya ke depan rumah, berdiri bertolak pinggang menghadap ke arah pasar, dan berteriak: "Kalau sepeda saya tidak kembali sampai nanti sore, saya tidak bertanggung jawab kalau ada orang pengkor satu kakinya, cekot sebelah tangannya, atau pethot mulutnyal"
Orang-orang di sekitar kaget dan terkesiap sejenak. Tapi saya segera masuk rumah dan tidur lagi.
Tak disangka tak dinyana, ketika siang belum sempurna, pintu depan diketuk berulangkali. Saya nongol, seorang anak muda berpakaian butut berdiri dengan wajah ketakutan dengan sepeda berdiri ter jagang di sebelahnya.
Ketika saya menatapnya, ia menunduk. "Kenapa kamu?" Saya bertanya.
"Maaf, Cak...," ia menjawab tersendat, "saya yang mencuri sepeda Sampeyan. Saya minta maaf. Sekarang saya kembalikan...."
"Lho, kenapa kamu kembalikan?" Saya bertanya lagi. "Saya dengar dari orang-orang bahwa Sampeyan marah...." `"I'api kan kamu butuh sepeda?" Saya kejar terus.
"Iya, siih.:.."
"Untuk apa sepeda?"
"Tempat kerja saya jauh sekali. Kalau saya jalan kaki, kejauhan. Kalau saya pakai angkutan, gaji saya jadi terlalu sedikit...."
"Jadi kamu butuh sepeda?" "Ya, Cak"
"Kenapa kamu kembalikan sepeda ini?"
"Katanya Sampeyan marah sekali..."
"Tapi kamu kan butuh sepeda?„
"Ya, Cak"
"Ya sudah, kamu bawa saja sepeda ini," kata saya, "sekarang sepeda ini sudali halal kalau kamu bawa. Saya sudah ikhlas, kamu sudah tidak berdosa. Dan, insya Allah, kalau yang kamu pakai adalah barang halal, rejekimu akan berkah. Kalau tadi, karena kamu mencuri, maka kamu berdosa, dan saya kamu tindas. Kamu dikutuk Tuhan, saya tidak mendapat apa-apa kecuali kemarahan. Sekarang semua sudah halal dan baik. Silakan pakai, semoga Allah menambah rezekimu dan meringankan hidupmu."
Dia bengong. Saya masuk rumah dan kembali tidur.
Dengan dua macam lalu-lintas pindahnya suatu barang dari dan ke subyek yang sama, nilainya menjadi berbeda. Kalau saya memakai kalkulasi ekonomi dunia, maka saya rugi kehilangan sepeda. Maka saya pakai teologi manajemen dunia akhirat, sehingga beralihnya sepeda saya ke tangan anak itu tidak membuat saya kehilangan. Malah saya laba banyak, bukan hanya pahala di akhirat, tapi Allah juga menjanjikan rezeki berlipat ganda, entah berupa apapun, terserah Dia saja. pokoknya ia-in syakartum la-azidannakum.
Saya ini hampir selalu dikeluarkan dari setiap sekolah yang pernah saya masuki. Jadi saya ini bukan kaum terpelajar, baik di sektor Salafiyah dan Kitab Kuning, maupun di sektor persekolahan modern. Jadi saya tidak tahu banyak mengenai banyak hal. Tetapi dengan segala keawaman itu saya haqqul yaqin dan 'ainul yaqin bahwa apa yang saya pahami, sikapi, dan lakukan dalam hal sepeda itu adalah konsep teologi Islam.
Apapun saja yang saya lakukan di muka bumi ini, sejak pagi hingga pagi berikutnya, ketika berada di timur atau barat, tatkala berjaga. atau mengantuk, sebisa-bisa saya tumbuhkan di atas kesadaran dan konsep teologi yang segamblang-gamblangnya.
Kalau saya menjumpai sebatang kayu melintang, saya sisihkan ke pinggir supaya tidak menyandungi orang lewat. Kalau mungkin, saya akan pakai ia untuk menyangga sesuatu atau untuk apapun yang bermanfaat. Konsep teologi saya ada lah bahwa segala yang di depan saya itu merupakan amanat Allah untuk saya Islamkan. Di-Islamkan artinya diubah dari kemubaziran atau kemudharatan menjadi kegunaan dan kemashlahatan.
Ingatan, kesadaran, dan formula konsep teologi itu harus terus-menerus saya cari, saya pahami, dan saya terapkan. Dan itu berlaku untuk pekerjaan yang kecil maupun yang besar. Untuk soal rumput di halaman rumah sampai soal pekerjaan sejarah besar yang menyangkut kebudayaan masyarakat.
Saya menyuapi mulut saya dengan nasi tidak karena saya ingin makan, melainkan karena saya wajib memelihara kesehatan badan yang dimandatkan oleh Pencipta saya. Saya mencangkuli tanah dan menanam sesuatu bukan sekadar karena saya menyukai keindahan, melainkan juga karena saya bersyukur dan takjub: kok ya ada di dalam hidup ini yang namanya tanah, kesuburan, serta biji yang kalau ditaruh di situ lantas tumbuh dengan penuh keajaiban.
Saya berangkat tidur pada jam tertentu bukan karena saya ingin menikmatinya, tapi karena saya wajib bergabung ke dalam irama sunnatullah yang menyangkut badan dan jiwa saya. Saya bersedia pulang ke rumah hanya beberapa hari dalam sebulan dan selebihnya diatur orang banyak untuk berada di berbagai tempat dan melaksanakan kemauan mereka, bukan karena itu karir saya atau profesi saya, karena saya tidak punya karir dan tidak peduli profesi.
Saya lakukan itu semua karena, pertama, saya ini aslinya tidak ada, kemudian Allah mengadakan saya, ia satu-satunya yang berhak atas saya, dan karena itu segala yang saya lakukan bergantung pada kemauan-Nya. Saya diberi wewenang oleh-Nya untuk berkemauan, tapi saya tidak pernah percaya bahwa kemauan saya atas diri saya dan dunia ini akan pernah lebih baik dibanding kemauan Tuhan atas diri saya dan dunia ini. Oleh karena itu saya tidak berani melepaskan apapun sampai yang sekecil-kecilnya dan seremeh-remehnya, dari pencarian pengetahuan tentang apa yang kira-kira dimaui oleh Sang Konsultan Agung Allah SWT itu.
Kalau saya punya iradah, harus saya sesuaikan dengan amr-Nya. Terkadang cocok, terkadang tidak. Terkadang benar, terkadang salah. Tapi, apapun yang terjadi, iradah itu harus saya lakukan dengan menggunakan qoul-Nya supaya produknya adalah kun fayakun. Saya tidak banyak mengerti ilmu di alam semesta ini. Jadi hanya itulah yang saya pahami sebagai konsep teologi.
Maka, sebab kedua, orang-orang yang memintaku untuk melakukan segala macam pekerjaan itu -ya kesenian, ya keagamaan, ya politik, ya ekonomi, ya pengobatan, ya konsultasi kejiwaan, ya segala macam jenis partisipasi dan sumbangan sosial- tidak bisa saya yakini bahwa kemauan mereka itu benar-benar terlepas dari kemauan Tuhan. Saya harus berspekulasi dan bersangka baik bahwa mereka adalah penyalur amanat Tuhan kepada saya.
Jadi, apa saja, dari makan rujak sampai bikin ABRI, tidak berhak dilakukan oleh manusia yang memiliki hubungan vertikal total dengan Allah- tanpa memberangkatkannya dari ingatan, kesadaran, dan konsep teologi yang jelas.
Dengan kata lain, tak perlu menunggu mau bikin partai Islam dulu baru berpikir tentang konsep teologi. Bikin mesjid, bikin perusahaan, bikin Golkar, bikin negara, bagi orang yang ber-Tuhan, ada keberangkatan dan titik tuju teologisnya.
Ketika berpakaian sekular, ketika berbusana Muslim, ketika berformalisme Islam, ketika berkultur-kultur Islam, ketika Islam fotmal dipakai atau disembunyikan, ketika Islam diletakkan di kultur thok, atau juga di politik resm, semua terikat pada penyikapan teologis. Apalagi yang namanya Partai Islam, harus terutama dilihat secara substansial: bisa saja namanya Partai Daun atau Partai Kambing, tapi yang kita lihat adalah apakah substansi kerjanya Islam atau tiidak. Hanya orang-orang yang tradisinya berpikir simbolik yang menyangka bahwa partai Islam hanyalah partai yang memakai nama dan kata Islam.
Kalau ada parpol yang pilar perjuangannya adalah amar makruf nahi munkar dan akhlaqul karimah, maka secara substansial ia telah bersyahadat Islam. Bahkan kalau ada parpol lain yang memperjuangkan demokrasi, kemerataan kesejahteraan, keadilan sosial, dan penghormatan atas haq asasi manusia, secara substansial ia bisa kita sebut partai Islam. Masalahnya, tinggal ditunggu proses aktualisasinya saja: konsisten atau tidak, istiqamah atau tidak.
Kalau misalnya saya sibuk dan mencemaskan berdirinya partai Islam, karena toh substansi partai-partai yang ada juga relatif sudah substantially Islam, maka berarti saya berpikir simbolik. Juga berarti saya tidak paham bahwa kalau ada anjuran tentang partai Islam formal, itu sekadar upaya pembebasan dari tradisi simbolisme: agar tidak resmi Islam ya boleh, resmi Islam ya boleh. Yang penting, substansinya Islam atau tidak.
Tidak hanya ketika saya pakai peci saya maka saya terikat oleh teologi Islam. Tatkala saya pakai kaos oblong dan menjadi gelandangan di tepi jalan pun saya terikat oleh Allah.
(Emha Ainun Nadjib/Ummat/2005/PadhangmBulanNetDok)

Tuhan Yang Maha Jowo

Kalau Anda sering bergaul dengan orang Luar Negeri, terutama auslander yang tergolong 'modern'dan 'rasional' -- mungkin saja sering Anda sampai pada kesimpulan begini : "Panas dulu kita bangsa Jawa ini gampang dijajah. Lha wong kita ini terlalu baik".
Terlalu 'baikan' sama orang. Sangat menyambut. Akomodatif. Suka menyuguh dan memberikan apa saja yang kita bisa kepada para tamu. Itu namanya "jowo". Kalau pelit, itu "ora jowo". Tentulah. Karena kita semua memang pengagum Tuhan, dan berusaha meniru sifat-sifatNya. Bukankah Tuhan Maha Jowo?
Bayangkanlah kalau Allah mengurangi jowoNya, misalnya pagi ini kurangi anugerah Nya kepada Anda dengan mengambil mata atau telinga yang nempel di tubuh kita dan disimpan kembali di gudang Nya.
Lha, ya begitulah, beberapa lama ini saya menemani tamu monco saya. Tak habis-habisnya saya nraktir, membelikan lurik, batik, berbagai sovenir, T-shirt, dan lain-lain. Sampai pada suatu hari, saya berdebat dengannya menemukannya sebagai seorang materialis sejati.
Materialis itu bukan dalam arti gila materi, tapi ia melihat seluruh kehidupan ini hanya sebagai materi. Ia menertawakan filsafat, tak percaya kepada jiwa dan mengenali nilai-nilai hanya sejauh menyangkut struktur keberadaan materi. Maka manusia dilihatnya hanya sebagai perut, dan segala uurusan politik hanyalah berkisar pada distribusi nasi. Maka ia fanatik kepada orang miskin dan 'sentimen' kepada orang kaya.
Saya mencoba berontak dengan menunjukkan kepadanya bahwa saya ini lebih melarat dibanding dia yang punya gaji tetap dan besar dan bisa sering tamasya ke luar negeri dan bisa pelit.
Maka kalau saya mentraktirnya ini itu, semata-mata karena filsafat hidup saya, kerena rasa sosial (bukan solidaritas rasional) dan karena nilai cinta kemanusiaan.
Nilai-nilai itu ternyata tak ada maknanya bagi materialisme yang menjadi tulangg punggung kehidupannya. Saya jadi anyel.
Saya katakan kepadanya bahwa rakyat Indonesia bisa bertahan hidup karena filsafat, karena ketahanan moral dan nilai-nilai kejiwaan. Kalau tak punya itu, dengan takaran materi yang amat rendah, mereka sudah hancur hidupnya. Dengan nilai-nilai itu mereka tetap sanggup memanusiakkan dirinya di tengah derita kemelaratan.
Karena si monco ono memang tak tahu banyak tentang manusia Indonesia, maka dia tak mampu membantah argumentasi saya. Saya lantas merasa iba, kasihan, dan segera saya traktir lagi.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi jon Pakir"/Mizan/1995/PadhangmBulanNetDok)