Kamis, 23 Juni 2011

'Membeli Fitnah'

Benarkah ada sanak saudaramu yang harus berkorban sedemikian bear, sampai pun nyawanya, demi keserakahan sejumlah orang yang bahkan tak dikenalnya terhadap sekati upah?
Benarkah anggota keluarga Anda harus membayar sebegitu mahal kepada pentas primordialisme yang sempit? Demi fanatisme dan taqlid yang sebuta-butanya. Atau bahkan demi pertarungan yang hanya berisi kebodohan, nafsu dan emosi yang tidak jernih arahnya, serta ketidakpahaman dan ketergesaan.
Maka kecemasan yang saya alami tidak hanya terhadap kemungkinan chaos yang heboh, tapi juga terhadap kebebalan yang 'tenang'.
Diam-diam, sesungguhnya, jauh di lubuk jiwa saya terdapat juga rasa asyik menyaksikan atau mengalami benturan dan peperangan. Tapi untuk apa dulu? Bersediakah anda mengalami itu semua untuk suatu kesibukan nasional satu bulan yang pada hakekat dan kenyataannya tidak ada keterkaitan yang realistis dengan perjuangan nasib Anda sendiri sebagai rakyat kecl?
Bertamulah ke rumah orang-orang pandai. Para dosen, pastur atau kiai. Bertanyalah kepadanya apakah gegap gempita yang sedang kita selenggarakan hari-hari ini memiliki prospek yang nyata terhadap impian perubahan yang sesungguhnya, yang nasib struktural rakyat bergantung padanya?
Maka bergembiralah dengan semua pesta itu, namun dengan sanggup melakukan pengaturan takaran. Pacing. Bukan menyediakan pasak yang jauh lebih besar dibanding tiang rapuh yang tersedia sekarang ini.
Ada anak-anak muda 'minta izin' ----anehnya –kepada saya. “Cak, biar deh saya dipenjara, asalkan puas hati ini. Ayolah kapan kita serbu dan baka..!”
Tentu saja saya masih bisa tidak gila untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap desakan emosi kerakyatan –yang sesungguhnya saya mafhum benar latar belakangnya. Semangatnya pernuh enerji 'jihad', tapi belum ada titik koordinat yang menyilangkan petemuan antara konteks atau tema dengan momentum yang tepat.
Kalau boleh, naluri seperti itu hendaklah 'dipenjarakan' bis-shabri was-shalâh—sampai ada konteks dan sâ'ah sejarah dimana gumpalan tenaga semacam itu kita perlukan.
Jiwa kekanak-kanakan saya juga punya semacam rasa senang terhadap letusan² kecil atau besar, dengan tema apapun. Tapi yang disebut 'agama' adalah kesanggupan mental dan akal budi untuk tidak menggerakkan kaki kehidupan ini berdasarkan apa yang kita sukai, melainkan berdasarkan apa yang wajib dan benar menutur Alloh.
Saya mohon maaf untuk mengatakan hal seperti ini. Bahkan terhadap fitnah² besar dalam hidup saya, insyaAlloh saya bukan hanya tak bersedia meladeni atau mengeluarkan enerji sedikitpun –melainkan, kalau perlu, saya bersedia membeli fitnah² itu. Saya bersedia membayar orang² yang memfitnah saya, demi ma'unah, fadhilah dan karomah.
Maka kalau saya merasa cemas, insyaAlloh kecemasan yang saya maksudkan bukanlah situasi mental, melainkan manifestasi dari kesadaran akan pengetahuan dan kewajiban hidup.
Pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri sebenarnya seberapa besar kadar keprihatinan dan kecemasan Anda terhadap tingkat kemunkaran politik, hukum dan ekonomi di sekitar kita. Seberapa besar pulakah kecemasan Anda terhadap kenyataan betapa orang² justru tidak cemas terhadap itu semua? Seberapa cemaskah Anda terhadap ketidakpedulian kita semua atas seberapa jauh bangsa ini mengalami 'defisit nilai' demokras, moral, keberbudayaan dan keberadaban. Dalam bentuknya yang kasar dan transparan, maupun yang halus, canggih dan kita sangka kebaikan dan ketentraman?

Partai Mashriq Partai Maghrib Partai Japemethe

Manusia sangat punya kesenangan untuk bertengkar dan berpecah-belah satu sama lainnya.
Manusia sangat suka membela golongannya sendiri, partainya sendiri, alirannya sendiri, kepentingannya sendiri.
Pembelaan atas golongannya sendiri itu bisa berpijak pada keyakinan atas kebenaran golongannya atau atas pilihan ideologi kelompoknya atau yang banyak adalah karena digolongannya itu terletak mata pencahariannya, terletak pemenuhan atas kepentingan karier dan keuntungan² pribadi lainnya.
Diantara yang berkecenderungan terakhir itu ada yang karena keterpaksaan sebab tidak ada pilihan lain kecuali loyalitas tunggal, atau ada yang karena selalu merasa tidak cukup, alias karena keserakahan.
Manusia sangat hobi makan 'ananiyah' : Keakuan, kekamian, egoisme, egosentrisme.
Tidak hanya manusia² pemalu saja yang begini. Para manusia tokoh dan kelas pemimpin pun rata² begini. Ini wataknya.
Manusia mengkotakkan dirinya kalau tidakdi PPP ya di Golkar atau PDI.
Manusia mengurung dirinya kalau tidak di Syiah y di Sunni. Di Pekalongan atau di Bangil dan Jakarta kedua golongan ini sedang asyik²nya bertengkar, sampai sesekali hampir ke pergulatan fisik.
Manusia memborgol hidupnya kalau tidak di Muhammadiyah ya di NU, atau ICMI, KAHMI, HMI, PMII, kelompok diskusi ini dan itu yang anggotanya 10 orang namun terpecah menjadi 15 bagian.
Manusia membatasi dirinya untuk ikut jalan tolnya Mbak Tutut dan Hartono atau naik pesawatnya Habibie dan Ginanjar, atau berpuluh-puluh lokomotif dan gerbong lain yang sewaktu-waktu bisa dilangsir dan diganti-ganti gandengannya.
Manusia bergaul satu sama lain dan punya kesukaan untuk meng-klaim, “Khuwi japemethe.” “Kae bocahe dhewe.” Itu orang kita.” “Itu anak buah saya.” “Gali yang itu rekan saya, awas kamu jangan berani-beraninya sama saya.”
Manusia penghuni partai masyariqatau partai maghrib. Aliran Barat atau Timur. Dan pada saat yang bersamaan mereka masing-masing sesumbar tentang kemerdekaan, kebebasan, hak asasi manusia.
Manusia sungguh-sungguh memiliki potensi yang besar untuk bodoh dan munafik.

-8 Oktober 1997-

Senin, 24 Mei 2010

Suluk Tuhu Linglung (4)

Syari'at itulah tirai
Karena ruh idhafi-lah yang hakiki.
Syahadat, shalawat,
Nabi dan wali, dalam tauhid
Ditaburi
Oleh tirai.
Ma'dum, ma'lum, tasbih,
Tahlil dan shalawat
Dijadikan tirai yang menutupi.

("Suluk Pesisiran Kode LOr 7375, Puitisasi Emha Ainun Nadjib", Mizan, 1995, PadhangmBulanNetDok)

SULUK TUHU LINGLUNG (3)

Tuhu Linglung 3

Sepedati penuh kertasnya
Tiada lain yang diperbincangkan
Kenapa sedemikian sesat
Memeluk titipan tanpa sisa
Terlena karena dipercaya
Padahal itu tak benar-benar disadarinya
Nabi, wali, mukmin, sirna
Hancur, lebur, luluh, musnah, hilang
Namun tak dicapainya kekosongan.

("Suluk Pesisiran Kode LOr 7375, Puitisasi Emha Ainun Nadjib", Mizan, 1995, PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 16 Mei 2010

Tuhu Linglung (2)

Tuhu Linglung 2

Terlebih yang belum yakin benar ia
Terbelenggu hanya oleh tata krama
Sembahyang sunnah dan fardhu tak putus-putusnya
Agar tertabiri ketidaktahuannya
Puasa dan sedekah
Juga zakat fitrah-nya
Dijadikan berhala yang dipuja-puja
Sungguh mereka yang sedemikian terlena
Belum seberapa baktinya
Pengetahuannya masih biasa-biasa saja.

SULUK TUHU LINGLUNG (1)

Dhandhang
Karya Sunan Panggung

Tuhu Linglung 1

Merasuki sastra
Sungguh bisa bikin bingung
Yang diolah senantiasa gagasan
Ilmu diuraikan
Lafal dihitung-hitung
Benar salah dipersoalkan.
Maka bukanlah tanda orang berpengetahuan
Jika terpana hanya dalam laku
Merasa malu untuk mengulang bertanya
Seakan telah ia temukan segala
Padahal belum apa-apa.

("Suluk Pesisiran Kode LOr 7375, Puitisasi Emha Ainun Nadjib", Mizan, 1995, PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 28 April 2010

Bersalaman dengan Gadis Gila

Hari ini saya menerima surat dari sebuah kota pesisir utara Jawa yang berisi permohonan maaf kepada saya. Tentu saja saya membalasnya dengan kata-kata: "Saya tidak berhak memberi maaf kepada Anda, sebab menurut pengetahuan saya Anda bersalah tidak kepada saya, melainkan kepada Tuhan, kepada gadis gila itu dan kepada diri Anda sendiri."
Meminta maaf kepada diri sendiri bisa ditempuh dengan penginsafan hati dan pembenahan cara berfikir. Memohon ampun kepada Allah bisa dijalankan dengan cara bersujud, shalat sebanyak-banyaknya, kalau perlu puasa dan menyampaikan qurban sebagai semacam ruwatan atau pembersihan diri. Tetapi bagaimana caranya meminta maaf kepada seorang yang dirahmati oleh Allah dengan kegilaan?
Ceritanya, beberapa minggu yang lalu datang ke rumah kontrakan saya tamu-tamu muda anggota suatu kelompok Tarikat. Pakaian mereka necis, rambut klimis, gerak-gerik mereka memenuhi segala konsep kesopanan, dan cahaya wajah mereka bagaikan memancarkan sima'hum fi wujuhihim min atsaris-sujud: ada tanda-tanda bersinar di wajahnya, jejak sujud-sujud rnereka kepada-Nya.
Ada banyak problem dan kepusingan yang sedang menimpa saya seperti juga tiap hari terjadi, tetapi kalau menerima tamu-tamu penuh kemuliaan seperti ini tidak ada lain yang terasa kecuali ketenteraman dan keteduhan.
Ini anak-anak Tariqah! Bayangkanlah. Hampir semua anak muda memperlombakan hedonisme, hura-hura dan menyembah segala jenis materialisasi manusia, tapi anak-anak muda ini tak perlu menanti saat sekarat untuk memilih keabadian ruhani.
Tiba-tiba nongol Si Inur, wanita tamatan SMTA yang oleh semua orang kampung ternpat tinggal saya dianggap sampah karena sinting sesudah ditinggal pacarnya kawin dulu. Lebih dua puluh kali sehari ia datarg dan kami mengobrol. Mungkin karena di rumah saya ia menemukan teman-teman sejawat dan senasib, sehingga bersedia menerimanya dan ngowongke.
Maka saya panggil Si Inur, saya ajak untuk bersalaman dan berkenalan dengan tamu-tamu terhormat saya. Senyum-senyum ia datang sambil satu tangannya mempermainkan helai-helai rambut. Ia menyodorkan tangannya dengan ramah, dan rnendadak saya saksikan tamu-tamu saya kaget, gelagapan dan salah tingkah. Semuanya tidak bersedia menerima uluran tangan Si Inur dan hanya berkata disopan-sopankan: "Sudah, sudah... terima kasih, terima kasih!"
Tahukan Anda bahwa saya sendiri tidak menyangka betapa saya mendadak marah menyaksikan hal itu? Bukan hanya marah, tapi juga meledak-ledak dengan kata-kata amat keras dan terus terang.
Saya amat sangat tersinggung karena tamu-tarnu saya menolak keramahan seorang hamba Allah. Apalagi hamba Allah yang ini berangkat ke alam gila dengan membawa penderitaan hati karena dikhianati cintanya. Sedangkan Allah pun murka kalau kita khianati cinta-Nya!
Apakah tamu-tamu saya ini merasa yakin akan masuk surga dan Si Inur pasti masuk neraka, sehingga tak punya kehormatan setitik pun untuk diterima uluran tangannya? Sedangkan gadis ini sejak beberapa tahun yang lalu telah selamat hidupnya karena segala perbuatannya akan tidak dikalkulasi oleh Allah berkat kegilaannya, sementara tamu-tamu ini rnasih menapakkan kakinya di jalanan licin penuh lumpur dosa-dosa?
Ataukah mereka jijik bila tangannya yang bersih dan wangi harus bersentuhan dengan tangan kumuh kotor si gila? Ahli tarikat anak-anak muda ini, ataukah priyagung-priyagung yang feodal dan suka merendahkan orang kecil?
0, mungkin mereka keberatan salaman karena Si Inur itu wanita yang bukan muhrimnya. Lebih berat manakah takaran antara pahala tidak menyentuh tangan wanita dibanding dosa tidak memelihara bebrayan sosial? Apakah gadis gila ini bagi para ahli tarikat masih seorang wanita? Tinggi benar naluri seksnya!

(Harian SURYA, Senin 7 Desember 1992)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)