Jumat, 26 Desember 2008

Penjara sebagai Pertolongan Terendah

Lia Aminudin akan masuk bui lagi. Saya bersangka baik ia tidak berniat jahat dengan “Jibril, Ruhul Kudus, Kerajaan Sorga, Imam Mahdi”-nya. Mungkin ia orang yang khilaf, tetapi tidak memiliki alat di dalam dirinya untuk memahami kekhilafannya.

Namun, software untuk memahami kekhilafannya itu juga mungkin tidak terdapat di luar dirinya: pada sistem nilai masyarakat dan hukum negaranya. Kita terkurung dalam kelemahan kolektif yang membuat kita bersikap over-defensif, amat mudah merasa terancam, bahkan ”sekadar” oleh Lia Aminudin dengan beberapa puluh pengikutnya.

Kita tidak terbiasa dengan demokrasi ilmu, pencakrawalaan wacana, ketangguhan mental sosial. Tak ada kematangan filosofi hukum, kedewasaan budaya, dan kedalaman nurani keagamaan, untuk sanggup meletakkan Lia beserta pengikutnya sebagai sesama hamba Allah yang perlu saling menemani.

Apa pun nama dan formulanya: partner dialog, dinamika ijtihad (jihad intelektual) maupun mujahadah (jihad spiritual) di tengah hamparan ilmu Allah yang amat sangat luas. Mungkin seseorang bisa bertanya kepadanya, ”Yang Ibu merasa jengkel sehingga ingin menghapuskan itu agama ataukah institusi agama?”

Ilmu dan peradaban diperluas oleh informasi dari agama dan pasal-pasal hukum adalah jalan terakhir dan terendah kualitasnya. Penjara adalah metode yang paling tidak bermutu untuk mencintai dan menemani masalah sesama manusia.

10-8-2 dan kontra-hidayah

Sekitar 15 tahun silam, Lia menemui saya. Ia sedang sibuk berdagang bunga kering. Ia merasa mendapat anugerah dari Allah, diizinkan bisa menyembuhkan banyak orang dari berbagai macam penyakit.

Kurang tepat sebenarnya menemui saya untuk menanyakan hal-hal tentang anugerah itu: apa benar dari Allah, bagaimana menyikapinya, apa yang harus dilakukan dan sebagainya. Saya tidak punya kredibilitas untuk mampu menjawab itu. Tetapi, wajib hormat tamu, saya jawab sekenanya. Allah yang bikin tamu datang, Ia juga yang siapkan fasilitas pelayanan.

Saya jawab, Allah kasih hidayah kepada siapa saja yang Ia maui. Ia titipkan berkah kepada orang yang rendah di pandangan kita, Ia simpan rahasia petunjuk-Nya kepada orang yang kita benci atau kita remehkan. Kita berlaku biasa-biasa saja, tidak tinggi tidak rendah, tidak hebat tidak konyol.

Waspada dan muthmainnah (tenteram) saja secara nurani, intelektual maupun spiritual. ”Mbak, kalau ke dalam jiwamu masuk pendaran 10 gelombang, kita waspadai bahwa yang dari Allah mungkin hanya 2, sedangkan yang 8 adalah godaan, antagonisme informasi atau kontra-hidayah, mungkin dari dajjal, jin, iblis atau energi liar yang bukan amr-nya Allah. Jadi Mbak Lia tolong hati-hati, jangan setiap yang muncul dianggap berasal dari Tuhan….”

Presidium jin Gunung Kawi

Kemudian ia dipinjami Allah kemampuan menolong banyak orang dari penyakitnya, termasuk penyair besar Rendra. Ia ke Padang Bulan, Jombang, seusai acara banyak anggota jemaah antre diobati olehnya. Paginya saya antar menyisir sebuah hutan di daerah timur Jatim. Setiap akan makan atau minum, ia bilang bahwa ia harus bertanya kepada Jibril sebaiknya makan di warung apa. Saya mengakomodasi keadaan itu dengan kesabaran yang saya ulur-ulur. Jibril terkadang milih rawon terkadang nasi padang.

Sepanjang Jombang-Bondowoso-Malang, ia memoderatori tantangan Jibril kepada saya untuk lomba puisi. Jibril bikin puisi, Mbak Lia menuturkannya, kemudian saya pun bikin puisi balasan, lantas Jibril balas lagi dan saya juga tancap lagi. Demikian seterusnya sampai berpuluh-puluh puisi. Kadar kepenyairan Jibril lumayan juga.

Malam, kami tiba di Gunung Kawi. Naik. Di suatu tempat ia berantem ama empat jin, Presidium Kepemimpinan Jin Gunung Kawi. Banting-membanting. Berguling-guling. Saya standby saja. Sepanjang ia tak terkena bahaya fisik serius, saya biarkan saja. Kalau sampai nanti jinnya ngawur dan ia terluka atau pingsan: sudah pasti saya tidak tinggal diam, saya pasti bertindak dengan teriak ”Tolooong! Tolooong!” dan mencari Polsek terdekat.

Bereslah Indonesia

Setelah itu kami belum pernah berjumpa lagi. Berita-berita tentang dia membahana. Masyarakat hanya punya pengetahuan dan bahasa tunggal: Lia meresahkan masyarakat. Pemerintah juga tak kalah liniernya: Lia tersangka dengan tuduhan penodaan agama dan penghasutan. Media massa juga tidak memiliki peta untuk mengerti narasumber yang compatible untuk kasus semacam ini. Kesamaan dari ketiganya adalah tidak ada yang ”menemani”, atau ”menyelamatkan”-nya.

Ia sempat kirim sms kepada saya tentang di dalam dirinya menyatu Imam Mahdi, Maryam, dan Jibril. Saya menjawab dengan penuh rasa syukur: Kalau begitu bereslah Indonesia. Tak perlu lagi pusing kepala memikirkan komplikasi permasalahan bangsa yang semakin majnun.

Kalau Imam Mahdi datang, yang terjadi pasti revolusi solusi, perubahan ultraradikal menuju perbaikan yang ajaib. Dengan Maryam, ibundanya Rasul Cinta, redalah segala kebrutalan politik, ekonomi, dan budaya. Bahkan, bisa seperti pegadaian nasional: mengatasi masalah tanpa masalah. ”Tetapi, kalau perubahan itu tak terjadi, berarti bukan Jibril, Maryam, dan Imam Mahdi lho Mbak…”

Dan, last but not least, kalau Malaikat Jibril yang berkiprah di Indonesia: Polri jangan coba-coba berurusan dengan beliau. Rumah penjara jangan bangga mengurungnya. Karena Jibril itu makhluk nonmateri, bahkan bukan sekadar makhluk-frekuensi: Jibril adalah sebagian output dari Ilmu Cahaya yang dahsyat, yang Einstein keserempet sedikit—meski beliau mandek tak sampai ke Ufuk Penghabisan, Sidratul Muntaha, di mana ”Cahaya Terpuji” (Nur Muhammad) terpaksa meninggalkannya untuk bertatap wajah langsung dengan Tuhan.

Jibril tak bisa dikurung di Cipinang, bahkan tak juga bisa dihadang oleh hukum ruang dan waktu. Tetapi, sekurang-kurangnya, jika ia masuk bui lagi, bersama napi lain bisa bikin Majlis Ta’lim khusus mempelajari sejarah dan epistemologi: dilacak dengan saksama apa sih sebenarnya ”wahyu”, bedanya apa dengan hidayah, ilham, ma’unah, fadhilah, karomah. Apa gerangan ”mukjizat”, ”Ruh al-Quddus”, ”Adn”, ”Din”, ”Agama”, dan sebagainya. Supaya kalau ada rasa manis hinggap di lidah, tidak langsung bilang itu gula.

(Emha Ainun Nadjib/KOMPAS/20 Desember 2008/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 23 Desember 2008

SELAMATAN

telah kuikhlaskan rasa sakit itu sebelum terjadi
ketika dan sesudahnya

telah kutaburkan di wajahmu wewangian kembang
dan kupanjatkan doa ampunan bagimu

tapi aku tak berhak mewakili hati rakyatmu
sebab tenaga untuk menegakkan kakiku sendiri ini
kupinjam dari mereka

aku tak memiliki harkat kedaulatan mereka
serta tak kugenggam kuara nurani mereka
yang diterima dari Tuhan

oleh karena itu
jika engkau mengharapkan keselamatan di esok hari
temuilah sendiri ruh mereka

kalau matahari digelapkan
kalau tanah titipan dirampas
kalau udara disedot
kalau malam disiangkan dan siang dimalamkan
kalau hak akal sehat dibuntu
hendaklah siapapun ingat bahwa aku tak berhak menawar
apa sikap Tuhanku atas kebodohan itu
oleh karena itu
jika engkau masih mungkin percaya
bahwa engkau butuh keselamatan esok pagi
ketuklah sendiri pintu Tuhan yang sejak lama
mengasingkan diri dirumah nurani rakyatmu
(1994)

(Emha Ainun Nadjib/"DOA MOHON KUTUKAN"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok )

Kamis, 18 Desember 2008

BUKAN KARENA INGIN

Saya yakin Anda maunya bukan menjadi Polantas dalam kehidupan di dunia yang hanya satu kali ini. Kalau mungkin, Anda maunya jadi Kapolri, atau syukur bisa jadi Presiden.

Saya yakin Anda sebenernya bukan ingin menjadi kenek bis, menjaga makanan, menjadi tlang portit, menjadi Camat atau menjadi tukang lap sepatu. Kalau mungkin sih Anda inginnya menjadi pejabar tinggi, pengusaha besar, atau syukur jadi Raja Indonesia.

Akan tetapi 'menjadi apa' itu sudah ditentukan tidak hanya oleh takdir Tuhan, sebab untuk banyak urusan dunia, Tuhan sudah memanfaatkan segala pengaturan dan tatanannya kepada para khalifah, manusia, dan kita-kita semua ini.

Meskipun demikian tentu saja jangan lupa bahwa Tuhan bukan 'cuci tangan' sama sekali. Tuhan tetap berperan, tetap menyutradarai dan bahkan menjadi 'aktor' dalam kehidupan kita pada batas-batas yang Ia maui. Oleh karena itu kita sering berjumpa dengan hukum-hukumNya, sunnah-Nya, atau janji-Nya mengenai "min haitsu la yahtasib"--bahwa siapapun jangan bersikap ojo dumeh, jangan gampang meremehkan siapapun dan apapun, jangan gampang trocoh mulutnya kalau tidak memiliki pengetahuan, jangan berbuat adigang adigung adiguna (semena-mena) kepada sesama. Karena akan bisa bertemu entah sekarang entah kapan dengan sesuatu yang tak terduga-duga. Yang "la yahtasib" itu.

Anda 'menjadi apa' itu juga ditentukan oleh tatanan sosial, oleh atmosfer politik, oleh struktur negara dan masyarakat.

Detailnya : oleh nepotisme, oleh posisi Anda dekat dengan yang puinya negara atau tidak, atau oleh apapun lainnya yang 'ditakdirkan' oleh manusia sendiri, minimal oleh penguasa di antara mereka, meskipun tak disetujui oleh mayoritas manusia lainnya.

Saya sendiri, karena sejak kecil tahu bahwa takdir Tuhan banyak diganjal oleh 'takdir kuasa manusia'--maka daripada saya berorientasi pada keenakan tergabung dalam kuasa manusia namun bersifat temporer dan tidak ada jaminan akan kekal--saya memilih bergabung pada kuasa Tuhan saja.

Jadi saya menggantungkan diri pada Tuhan saja. Saya bersedia menjadi tukang ojek atau dagang jual beli motor bekas, asalkan saya rasakan itu memang kehendak Tuhan.

Saya siap melakukan dan menjadi apa saja, tapi tidak boleh atas keinginan saya, melainkan atas ketentuan kekuasaan sejati yang mengatasi saya.

Saya siap melakukan kesenian, siap menjalankan komunikasi dan informasi agama, siap menyanyi, siap menyulis ilmiah, membikin skripsi akademis meskipun bukan untuk saya sendiri, siap jadi presiden Malioboro atau Dongkelan, siap jadi makelar kamper, siap membantu mengobati orang sakit (asalkan TUhan yang menyembuhkan), atau apapun saja--sepanjang itu semua tidak berangkat dari keinginan pribadi saya, melainkan merupakan kehendak yang Kuasa Mutlak atas saya, yyang diwasilahkan melalui amsal-amsal sosial, tadbir-tadbir sejarah, bunyi hati alam dan masyarakat, swaraning asepi (suara kesunyian) dan kasyiful hijab (terbukanya penghalang).

Saya mengharamkan diri saya melakukan sesuatu atau menjadi sesuatu atas dasar ambisi pribadi atau karier. Saya wajib menjadi budak Yang Maha Kuasa.

4 Desember 1997
( Emha Ainun Nadjib/"Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan"/Zaituna/99/PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 14 Desember 2008

Mencari Garuda Ketemu Iblis

Bagi publik teater yang mengikuti perkembangan teater tahun 1980-an, tentu tidak asing dengan kelompok teater pimpinan Fajar Suharno (eks Bengkel Teater) ini. Pada periode itu, Dinasti pernah tampil antara lain melalui Geger Wong Ngoyak Macan.

Berdiri pada 1977, Dinasti bisa disebut kelompok teater yang mengambil peran penting dalam dinamika seni, budaya, dan politik di negeri ini, pada saat represi Orde Baru menguat. Saat itu, Dinasti memilih posisi sebagai kelompok teater kritis atau teater yang terlibat dengan berbagai persoalan sosial, politik, dan budaya. Lakon-lakon yang dipilihnya pun acapkali membikin "telinga kekuasaan" merah. Dua repertoar mereka pun berujung pada pelarangan, yakni Patung Kekasih dan Sepatu Nomor Satu.

Setelah Bengkel Teater Rendra off dari panggung karena dicekal penguasa, Dinasti hadir sebagai pilihan publik yang gelisah akibat tekanan politik pembangunan Orde Baru. Peran sebagai budaya tanding ini dijalani Dinasti hingga menjelang 1990-an.

Apa yang akan ditawarkan Dinasti sekarang melalui Tikungan Iblis? Masihkah ia membawa protes sosial?

Kondisi sosial-politik di Indonesia telah berubah, sejak reformasi bergulir tahun 1998. Represi politik --seperti dilakukan Orde Baru-- tidak lagi dominan. Dinasti akan menjadi kelompok yang "bangun kesiangan" jika masih meradang dengan protes sosialnya. Bukankah media massa jauh lebih terbuka dan berani mengungkapkan berbagai realitas itu? Bahkan media massa terkadang jauh lebih dramatik dalam pengungkapan dibanding kesenian.

Kelumpuhan Budaya

Tapi benarkah persoalan bangsa ini lantas menjadi selesai dengan keterbukaan politik dan kebebasan pers?

Selama ini muncul asumsi, seolah berbagai keterbukaan yang dirintis gerakan Reformasi 1998 telah menggembok wilayah kesenian ke dunia yang "tanpa" persoalan. Padahal, Reformasi 1998 bukan penyelesai persoalan bangsa, melainkan justru menjadi pintu masuk berbagai persoalan baru seperti ketimpangan sosial, kebangsaan yang makin kehilangan jatidiri/ martabat, politik kekuasaan yang rakus dan sombong, korupsi kolektif yang makin menguat, dan lainnya. Makin menguatnya kapitalisme pasar, industrialisme dan materialisme yang menjelma menjadi berhala, adalah beberapa faktor penyebab keburaman kehidupan multi dimensional bangsa ini, pasca Reformasi 1998.

Yang terjadi kemudian adalah kelumpuhan budaya di berbagai bidang: masyarakat mengalami krisis presentasi diri, sehingga tidak berdaya secara budaya merespons secara kritis gelombang persoalan yang digerakkan oleh kapitalisme, industrialisme dan materialisme. Masyarakat pun mengalami semacam degradasi nilai. Dunia politik, misalnya, tak lebih dari sekadar jual-beli kekuasaan. Dunia ekonomi tak lebih dari pasar bebas yang direstui negara untuk mengeksploitasi masyarakat. Dunia hukum tak lebih dari mafioso pengadilan di mana rakyat gagal menemukan rasa keadilan. Dunia kesenian (khususnya kesenian massa), tak lebih dari kelangenan yang mendangkalkan selera, cita-rasa, dan pikiran.

Dalam seting buram itu, Dinasti mencoba memberikan respons kritis atas berbagai persoalan sosial, spiritual, politik, dan kebudayaan bangsa ini melalui kontemplasi. Digarap sutradara Jujuk Prabowo dan Fajar Suharno, pementasan ini menggunakan pendekatan multimedia.

Lakon Tikungan Iblis setidaknya menawarkan dua tesis. Pertama, tentang kehidupan beragama dan penghayatan religius yang terkait dengan keberadaan tokoh Iblis. Iblis selama ini telah mapan diberi stigma buruk sebagai "raja kegelapan" yang mendorong manusia melakukan berbagai penyimpangan nilai-nilai ideal, baik pada level agama maupun budaya. Manusia cenderung selalu menjadikan Iblis sebagai kambing hitam atas berbagai penyimpangan yang dilakukan. Padahal, dorongan penyimpangan umat manusia adalah syahwat pemuasan diri seperti kerakusan, hedonisme, naluri korup, kebengisan, dan keinginan untuk selalu menguasai/menindas sesama manusia atau alam. Berabad-abad, cara berpikir itu menjadi upaya manusia untuk melepaskan diri dari tanggung jawab.

Dalam konteks itu, Tikungan Iblis mencoba menawarkan tesis yang berbeda dari pemahaman Iblis yang klasik. Yakni, Iblis bukan saingan Tuhan untuk menguasai manusia. Iblis adalah sosok penting yang menjadi "alat" Tuhan untuk menunjukkan kebesaran-Nya bagi umat manusia. Iblis adalah sosok yang menjadi aktor strategis bagi Tuhan untuk memberikan berbagai tantangan bagi manusia untuk memperjuangkan martabat dan eksistensinya. Ia menawarkan "antitesis" atas "tesis" Tuhan, agar manusia mampu menggenggam sintesa: nilai-nilai Ilahiyah secara utuh, mendasar, dan mengakar karena nilai-nilai itu tidak otomatis hadir sebagai paket, melainkan diraih melalui perjuangan yang keras dan mendidih. Sehingga ketika manusia mengakui eksistensi Tuhan --dengan seluruh nilai-nilai idealnya, maka pengakuan itu tidak artifisial, melainkan substansial. Lakon ini bukan merupakan "pembelaan" atas Iblis melainkan mencoba memperluas cara pandang manusia atas sosok Iblis.

Dari Garuda ke Emprit

Tesis kedua, bangsa Indonesia telah mengalami degradasi nilai-nilai secara eksistensial dan dignity (martabat) dari bangsa yang dicitrakan sebagai burung Garuda menjadi burung emprit. Tesis itu dituangkan dalam narasi yang mengisahkan perjalanan eksistensial manusia dari awal penciptaan manusia Adam hingga umat manusia berkembang biak dan membangun peradaban. Iblis --yang sejak awal manusia diciptakan sudah tidak percaya bahwa manusia mampu menjadi khalifah di bumi-- akhirnya membuktikan ketidakpercayaannya itu: hidup manusia hanya berkisar dari tiga kata kunci, yaitu rakus, merusak bumi, dan saling berbunuhan. Umat manusia ternyata tak lebih menjadi sekadar "tapel" --sebuah terminologi elementer manusia yang artinya sekadar wadag/jasad. Tapel bergerak dan beraktualisasi diri lebih didasari insting daripada hati nurani dan akal sehat.

Kekurangmampuan untuk meningkatkan kualitas diri membuat bangsa kita mengalami kemerosotan martabat. Padahal, bangsa kita memiliki genetika unggul sebagai Burung Garuda sejati yang memiliki kemampuan untuk terbang, menerkam, dan berjuang (ingat sejarah kebesaran Dinasti Syailendra, Majapahit, Sriwijaya, dan lainnya). Namun, karena Garuda itu kemudian dikurung oleh kekuatan yang menindas (baca kolonialisme), maka burung itu tidak lagi memiliki kemampuan dasarnya. Yang menyedihkan adalah anak-anak, cucu, dan cicit Garuda itu. Mereka bukan hanya tidak bisa terbang atau menerkam tapi memang tidak lagi memiliki memori untuk terbang dan menerkam.

Lakon ini menginspirasi kita bahwa masih ada peluang bagi bangsa ini untuk menjadi kelas bangsa Burung Garuda yang memiliki martabat, kewibawaan, kemuliaan, dan kebesaran; bukan hanya menjadi bangsa kelas emprit yang tidak diperhitungkan bangsa-bangsa lain. Saatnya martabat itu harus direbut. (*)

Indra Tranggono, pemerhati kebudayaan, teater, dan penulis cerpen
Tikungan Iblis akan digelar tgl 30 Des, pkl 20.00, di TIM Jakarta

Filosofi Penindasan

Rakyat saya ini sungguh bandel. Sebagai pemimpin, sungguh saya tak pernah menyangka bahwa manusia bisa sedemikian mbanggel-nya. Susah benar mengatur mereka. Orang diajak bersatu saja kok sukarnya bukan main.

Mending mengurusi kambing atau sapi.

Bersatu itu 'kan enak. Alam dan kehidupan sudah memberi contoh sejak dulu.

Kalau cabe mau bersatu dengan terasi dan brambang, ditambah garam, kan jadi sambal yang nylekit. Apa sih keberatannya? Sekadar bersatu dengan terasi -- kok keberatan. Apa maunya hidup tanpa sambal?
Coba kalau berani: bikin undang-undang yang melarang sambal! Saya jamin akan terjadi revolusi.

Dan revolusi semacam itu belum tentu akan terjadi kalau alasannya adalah bukan sambal. Kalau yang jadi isu sekadar ketidakadilan sosial, konglomerasi yang berlebihan, kediktatoran politik atau masalah-masalah remeh yang semacamnya -- berani taruhan tak akan bisa membuat rakyat
bergerak.

Hanya sambal sajalah yang dijamin bisa menjadi sumber people power.

Ini adalah negeri sambal. Ini adalah masyarakat sambal. Ini adalah kebudayaan dan peradaban sambal.

Dan sekarang terbukti bahwa terutama di bidang politik, para aktivis jelas tidak mampu meniru persatuan sambal.

Jadi, saya ini sebagai pemimpin, benar-benar pusing kepala.

Entah kenapa Tuhan mencampakkan saya ke urusan-urusan di mana saya harus berhadapan dengan anak-anak kemarin sore yang naif-naif.

Saya ajak merawat persatuan dan kesatuan, rewelnya bukan main.
Saya kasih tawaran untuk memiliki kemuliaan jiwa, juga ogah-ogahan.

Misalnya, kaki mereka saya injak, lantas saya katakan: ''Damai ya? Kamu mau memafaatkan saya atau tidak? Memaafkan itu perbuatan luhur.
Tuhan saja banyak sifat pemaaf dan pengampunnya.

Tuhan itu ghofur, tawwab, 'afuwwu, ghofar dan lain-lain. Semua itu sifat pemaaf. Coba kamu pikir, Tuhan yang mahabesar dan tak butuh apa-apa saja bersedia memaafkan, kok kamu sok tidak mau memaafkan. Ayo! Mau memaafkan saya atau tidak! Kalau tidak, berarti kamu menentang saya!

Merongrong kewibawaan saya!'' Jadi, kalau saya menginjak kaki mereka, itu suatu metode pendidikan untuk melatih kebesaran jiwa mereka. Kalau saya menempeleng kepala mereka, itu untuk menguji keluasan hatinya. Kalau saya menendang seseorang sehingga terlempar jatuh dari kursinya dan ia lantas duduk di kursi bayangan, itu demi menatar keteguhan batinnya. Kalau saya rampok hartanya, saya gusur ladangnya atau saya ambrukkan rumahnya, itu semata-mata kaifiyah atau prosedur agar mereka mengembangkan kecerdasan ilmunya tentang keadilan dan kebenaran.Menguji keluasan hati, melatih kebesaran jiwa, mengembangkan ilmu dan meneguhkan akhlak, dan lain sebagainya -- adalah hal-hal yang merupakan inti ajaran Tuhan dan para nabi-Nya. Saya sekadar penerus, ahli waris.

Di sinilah letak kesalahpahaman rakyat saya. Maklumlah mereka memang masih bodoh-bodoh. Merdeka belum lama. Terlalu lama dijajah oleh Kumpeni dan sebelumnya ditindas oleh raja-raja sendiri. Jadi memang saya memerlukan tahap-tahap pembangunan dan pendidikan jangka panjang Puluhan tahun. Dan kalau saya boleh buka rahasia: saya tidak mau dinilai oleh Tuhan sebagai pemimpin yang tinggal gelanggang colong playu. Pemimpin yang lari dari tanggung jawab sebelum tugasnya mampu dibereskan dengan tuntas.

Tidak. Saya bukan tipe manusia yang pengecut dan betina. Sebelum tanggung jawab bisa saya penuhi sepenuhnya, saya tidak akan lari ke manapun. Saya akan tetap panggul tanggung jawab itu, sebagaimana para rasul dulu loro-lopo memanggul risalah mereka, meskipun disakiti, dilukai, difitnah, dirasani, dan disalahpahami.

Itulah beda antara saya dan kebanyakan pemimpin lain di dunia ini. Mereka pada umumnya melompat dari kursi amanat rakyatnya dan melarikan diri keluar dari balairung tanggungjawab nasionalnya, sebelum tugasnya dituntaskan. Beberapa tahun mereka sudah tak tahan dan angkat tangan.

Lantas turun dari jabatannya dengan meninggalkan problem-problem.
Dan problem-problem itu harus diselesaikan oleh para penggantinya. Para pemimpin baru yang menggantinya, yang tidak ikut menciptakan problem, harus susah payah mengatasinya.

Itu benar-benar suatu kecurangan sejarah.

Dan saya tidak. Sekali saya tegaskan: saya tidak! Saya tidak demikian. Saya bukan pengecut licik dan tengik. Saya, dengan saksi Allah, para malaikat dan segala lelembut -- akan dengan teguh memanggul tanggung jawab ini sampai titik darah penghabisan. Rawe-rawe rantas.
Malang-malang putung.

Tapi ya itu -- susah bener menyuruh rakyat untuk bersatu.

Masyaallah. Tetapi, namanya juga rakyat. Rakyat itu kanak-kanak abadi.

Susah diajak dewasa. Kalau anak kecil itu kemriyek, suka ribut dan suka berebut apa saja. Kalau orang dewasa bisa lebih tenang dan stabil jiwanya. Sungguh saya mendambakan kedewasaan rakyat. Maunya saya, mbok yang tenang-lah. Saya kasih makan apapun, usahakanlah tenang. Kalau saya kasih peraturan-peraturan, atau bahkan pun kalau saya sendiri melanggar peraturan yang saya bikin, berupayalah untuk tetap tenang.

Tujuan saya adalah memang menguji daya ketenangan dalam jiwa mereka.

Kalau saya menggusur, saya sekadar ingin tahu seberapa kadar kesabaran mereka. Kalau saya ambil makanan lebih banyak dibanding jumlah makanan mereka semua, itu wajar, karena saya memang pemimpin. Moso' pemimpin disuruh kelaparan! Kalau saya menentukan siapa Kepala Satgas, siapa Ketua Partai, siapa Pimpinan Organisasi, berapa hektar sawah untuk keluarga saya, dan lain sebagainya -- itu semata-mata untuk mendeteksi takaran sangka baik nasional mereka.
Rakyat saya harus dewasa, harus matang kepribadiannya, tidak gampang bersangka buruk, tidak gampang iri, dengki atau cemburu.

Misalnya sekali waktu, atau di banyak waktu, sengaja saya menerapkan perilaku yang penuh kemunafikan. Itu apa tujuan saya? Tak lain tak bukan adalah untuk mengetahui secara persis seberapa tinggi ketahanan mereka atas hal-hal yang buruk. Kalau saya sebarkan ketidakadilan, umpamanya, saya ingin mengerti seberapa kukuh hati mereka ditimpa oleh nasib buruk yang menyiksa. Sebagai pemimpin saya tidak mau punya rakyat yang cengeng, yang rewel dan sentimentil.
Mereka harus tetap tenang, damai dan bersatu, meskipun ditimpa ketidakadilan dan ketidakbenaran.

Mungkin terpaksa saya akan menuliskan semua filosofi ini dalam buku-buku.

Mungkin akan saya cicil sedikit demi sedikit melalui pidato-pidato, agar rakyat saya terdidik. Mungkin juga saya akan menciptakan semacam reportoar drama, entah monolog entah drama kolosal -- mengenai semua ini -- agar saya berlega hati menyaksikan rakyat saya berproses untuk dewasa dan penuh persatuan dan kesatuan. Kalau tidak, saya akan malu kepada dunia.

(Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/Republika/ PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 10 Desember 2008

Raja, Ratu dan Buto

Adakah di antara Anda yang merasakan, menyadari atau setidaknya mengasumsikan
bahwa banyak hal yang sedang menjadi pengalaman kolektif masyarakat kita dewasa
ini—diam-diam ada kaitannya dengan idiom-idiom `raja', `ratu' dan `buto'?
Marilah sesekali berpikir jernih dan tolong kerahkan akal pikiran serta segala
spektrum keilmuan Anda untuk menjawab pertanyaan: apakah di penghujung abad 20
ini masih ada raja, ratu, atau buto?
Kalau kita berpikir formal, tak ada raja, apalagi ratu. Tapi kalau berpikir
substansial atau essensial: kita-kita ini adalah raja, adalah ratu, juga adalah
buto.
Kita mungkin raja atas bawahan-bawahan kita. Kita raja di rumah, di lingkungan
kantor, atau mungkin di mana saja kita berada. Sekurang-kurangnya kita secara
alamiah (dan diperkembangkan oleh tradisi pengalaman sosial) memiliki
potensialitas untuk cenderung menjadi `raja', yang sadar atau tak sadar, kita
terapkan di setiap kosmos keterlibatan sosial kita.
Kita cenderung merajai rumah tangga kita, merajai lingkungan pergaulan kita,
merajai segala aset di sekitar kita. Apalagi jika kita dibesarkan oleh suatu
lingkungan yang atmosfer perhubungan antar-manusianya bersifat feodalistik di
mana orang hanya memiliki dua kemungkinan: kalau di atas, menginjak; kalau di
bawah, menjilat atau mengemis.
Yang terbaik tentulah jika kita sanggup menjadi raja atas diri kita sendiri.
Kita menjadi raja atas segala urusan hidup kita. Kita menjadi raja yang
demokratis dan pensyukur atas segala kebaikan diri kita, kita menjadi raja yang
diktator atas segala keburukan diri kita.
Tetapi apa beda antara `raja' dengan `ratu' sesungguhnya? Sehingga tulisan ini
berjudul demikian?
Kalau membedakan antara raja dan ratu dengan buto, masih relatif agak gampang.
Buto, atau raksasa, tak pernah ada dalam kehidupan manusia, di bagian manapun
dari sejarah peradabannya. Buto atau raksasa hanyalah personifikasi dari salah
satu watak gelap manusia yang berpotensi anti kemanusiaan, antikebaikan,
anti kehalusan.
Rahwana digambarkan berbadan dan berwajah raksasa, karena ia lambang kejahatan.
Meskipun demikian, menurut masyarakat Srilanka, Rahwana bisa menjadi pahlawan
yang ganteng. Justru Prabu Rama itu imperialis, fasis, kolonialis, yang lebih
tepat untuk digambarkan berwajah buto.
Sebagaimana orang Blambangan dan Banyuwangi tidak mengakui gambaran Menakjinggo
yang oleh `sejarah versi Majapahit' digambarkan sebagai buto yang buruk wajah
maupun kelakuannya. Bagi mereka, justru raja-raja Majapahit yang raksasa, yang
menindas, yang menampakkan kehendak. Adapun Menakjinggo adalah pahlawan,
nasionalis Blambangan sejati, pejuang demokrasi, otonomi dan kemandirian
Blambangan atas imperialisme Majapahit.
Sunan Kalijaga mencoba merombak konsep paralelitas antara gambaran fisik dengan
watak, moral atau perilaku. Semar, Gareng, Petruk dan Bagong adalah
seburuk-buruk makhluk jika dipandang dari sudut performa. Tapi nurani mereka,
moral mereka, kasih sayang kemanusiaan mereka, pembelaan kerakyatan mereka, tak
ada yang menandingi.
Adapun bagaimanakah filosofi dan konsep budaya manusia modern kayak kita
sekarang ini? Apakah kesopanan seseorang, kenecisan penampilan seseorang, kostum
seseorang, identik dengan realitas per moralnya? Masihkah kita boleh terjebak
oleh surban, oleh performan kepriyayian, oleh peci, oleh gelar kiai, bahkan oleh
status kehajian seseorang?
Tetapi jangan mentang-mentang performa kekiaian atau kepriyayian tidak menjamin
moral dan perilaku sosial, lantas kita memitologisasikan performa yang lain:
bahwa yang baik pasti yang tidak pakai peci, pasti yang tidak bersurban dan tak
bergelar kiai. Mentang-mentang banyak penipu pakai sepatu dan dasi, lantas kita
anggap yang pakai sendal dan kaos oblong pasti baik. Kita tetap harus obyektif
dan sanggup menemu_kan relativitas dari simbol yang manapun. Relativisme kultur
harus diterapkan pada semua gejala lambang.
Kalau warna hijau, umpamanya, dilegalisir secara kultural untuk menyebut
kelompok `beragama', kita tidak lantas memastikan bahwa produk perilaku kelompok
ini tentu berkualitas kiai dan priyayi, tentu bermoral dan selalu berada di
pihak yang benar. Sebab bisa saja dari kaum hijau justru muncul rekayasa dan
perilaku ala buto atau raksasa yang menabrak apa saja dengan kasar, yang
meringkus apa saja dengan brutal, yang melegalisir `kudeta' ini dan itu,
mendongkel dadap dan waru, yang menggoyang dan menjatuhkan fulan dan polan.
Artinya, dalam hidup ini terutama dalam dunia gawat yang bernama politik: sangat
mungkin terjadi priyayi berperilaku buto, kiai bergerak secara raksasa.
Sebaliknya, dengan itu semua kita tidak lantas terjebak pada fenomena antitesis
yang juga kita dramatisir dan kita mitologisasikan. Misalnya bahwa kita langsung
menganggap bahwa yang non-hijau pasti yang benar, yang sopan, yang bermoral,
yang pro-demokrasi.
Kita sungguh-sungguh memerlukan kejernihan akal, hati yang sejuk dan jiwa yang
selapang-lapangnya, untuk mempersepsikan segala sesuatu yang hari-hari ini kita
baca di koran-koran dan kita tonton di teve dan kita dengar di radio maupun di
warung-warung.
Atau jangan lupa bisa juga ada raja yang benar-benar raja atau ratu yang
benar-benar ratu, namun ia dikelilingi oleh buto-buto. Segala akses informasi
yang diterima oleh telinga sang raja berasal dari buto-buto. Kepada raja
dikatakan "Paduka, mereka sudah tak suka sama si Waru, jadi sangat dibutuhkan
pergantian." Dan kepada `mereka' dikatakan, "He anak-anak, Paduka sudah tidak
berkenan lagi sama si Waru, jadi segera bikin kumpul untuk penggantian...."
Termasuk jangan lupa bahwa sesungguhnya para buto tidak senantiasa merupakan
makhluk yang benar-benar buto. Para priyayi, priyagung, kiai, atau apapun, yang
penuh sopan santun, yang tampak bermoral dan khusyu bisa pada momentum
tertentu terpaksa menjadi buto, untuk kepentingan tertentu yang harus
dilaksanakan secepat-cepatnya.
Oleh karena itu jika Anda sudah menjadi Ratu, pada saat yang diperlukan
bersikaplah segera menjadi Raja. Raja itu jelas kehendaknya, dawuhnya,
perintahnya, rancangannya. Kalau Ratu, cenderung diam karena anggun dan penuh
wibawa.
Ratu lebih banyak senyum-senyum saja. Namun kemudian yang berlangsung di seluruh
negeri adalah interpretasi para buto tertentu atas senyum sang Ratu. Kalau
interpretasi murni, masih lumayan. Tapi kalau interpretasi berdasar kepentingan
para buto, susahlah semua rakyat.

(Emha Ainun Nadjib/"Keranjang Sampah"/Zaituna/PmBNetDok)

MENJELMA CINTA

Engkau panggil jiwa yang tenteram
Untuk kembali kepada-Mu dengan rela
dan direlakan
Engkau berfirman bergabunglah
ke penyembahan kepada-Ku
Engkau berfirman masuklah ke surga-Ku
Yang tidak tenteram tidak Kau panggil
Karena yang tak tenteram tak bisa kembali
Yang tak tenteram hanya bisa menjauh pergi
Yang tak tenteram tak sanggup rela
Dan mustahil Engkau relakan
Yang tak tenteram kuda-kudanya goyah
untuk menyembah
Yang tak tenteram mata jiwanya buta
langkahnya kandas sebelum surga

Jiwa tenteram ya Allah
Jiwa muthmainnah
Tuntunlah hidup hamba berbenah
Karena di alam hidup jahiliyah
Tak diajarkan kepada hamba jiwa muthma’innah
melainkan hanya kepasrahan yang salah
para ulama menyuruh hamba jadi prajurit
kalau salah langkah berbunyilah peluit
Ya Allah Kekasih
Kalau agama hanya berwajah fiqih
kepatuhan hamba terasa perih
Yang hamba peluk adalah cinta pengabdian
hanya dengan itu bisa rela dan direlakan
hamba sembahyang tidak untuk menaati mereka
Tenteram sujud hamba semata karena kepada-Mu
seluruh diri hamba menjelma cinta
(Emha Ainun Najib/PmBNetDok)

Bukan Hanya Milik Kematian

Kalau ada orang meninggal, kita ucapkan inna lillahi wa inna ilaihi roji'un.
Sesungguhnya kita semua ini milik Allah dan pasti kembali hanya kepadaNya,
mustahil bisa balik ke yang selain Allah.
Dan karena manusia itu penuh kelemahan, gampang terjebak oleh slogan dan mudah
dikelabuhi oleh rutinitas - maka kita sering lupa bahwa kalimat itu tidak hanya
berlaku untuk kesadaran tentang kematian, melainkan terutama juga merupakan
dasar ilmu dan sikap terhadap kehidupan.
Maka hanya tatkala berjumpa dengan realitas maut, kita baru ngeh bahwa semua ini
milik Allah.

Dalam kehidupan sehari-hari kita begitu yakin dan mantap bahwa kita memiliki
sesuatu, punya modal, memegang hak milik atas tanah, kekuasaan dlsb.
Dan untuk itu kita bikin kompetisi ekonomi dan karir politik, perang dan
kapitalisasi senjata, perlombaan properti dan aksesori budaya, atau mengunyah
mode demi mode kebudayaan sampai air liur kita meleleh-leleh.
Padahal teknologi tercanggih di abad 500 kelakpun tak akan sanggup menciptakan
segenggam tanah, selembar daun, secipratan minyak atau sehelai rambut.
(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok)

Islam itu tidak menyakiti siapa-siapa

Islam itu tidak menyakiti siapa-siapa
Islam itu kalau ada paku ditengah jalan dipinggirkan
Islam itu adalah kalau ada barang mubazir didaya gunakan
Islam adalah tidak mengganggu tetangga
Islam adalah tangan ini tidak boleh nganggur, kaki tidak boleh nganggur,
tidak boleh ada barang mubazir
Malas itu makruh hukumnya, tidak boleh ada malas, pikiran harus cerdas dipakai
terus, tangan kaki bekerja terus berkeringat.
Islam itu tidak gampang curiga, gampang su'udhon dan gampang marah
Kalau petani, Islam adalah memelihara kesuburan tanah, jangan terus menerus ditanami
Kalau tukang ojek, Islam adalah jadikan penumpangmu merasa aman kalau menaiki ojekmu.
Kalau anda jualan di toko atau warung, Islam adalah orang yang beli itu merasa
aman dan percaya pada apa yang anda jual.
(Emha Ainun Nadjib/Maiyah Rusun Penjaringan Jakarta, 09 Juni 2004/PmBNetDok)

Hukum Malaikat Buntung, Hukum Iblis Beruntung

Seandainya dalam institusi negara kita pemerintah dan rakyat sudah sama-sama
sanggup melaksanakan ketaatan yang maksimal terhadap hukum, Anda masih boleh
tertawa-tawa geli menyaksikan sejumlah kepahitan di belakangnya.

Pertama, orang yang merasa nyaman dengan maksimalitas pelaksanaan hukum itu
adalah mereka yang merupakan bagian dari "masyarakat" hukum. Masyarakat hukum
adalah penghuni elite dari peradaban ’modern’, tepatnya masyarakat yang
merasa dan amat meyakini bahwa dirinya modern dan hidup di zaman yang
’terbaik’, yakni ’modern’.

Iseng-iseng saya pernah menemani 18 penduduk asli Pulau Waikiki, Hawai,
melakukan demo ke kantor gubernuran di negara bagian (Amerika Serikat) Hawai.
Mereka menuntut pengembalian Pulau Waikiki itu dari kepemilikan negara Serikat
Amerika kepada mereka.

Sejak ribuan tahun silam nenek moyang mereka bertempat tinggal dan
’memiliki’ pulau itu berdasarkan hukum mereka. Sekurang-kurangnya bertempat
tinggal (’jam terbang’) ribuan tahun di suatu hamparan tanah secara
filosofis hukum bisa dijadikan landasan untuk memungkinkan copyright mereka atas
tanah itu.

Tetapi, tuntutan mereka sangat menggelikan bagi akal sehat manusia modern,
sangat bodoh secara kebudayaan modern, dan sangat melawan ’hukum’ yang sudah
diberlakukan atas tanah itu, yakni ’hukum’ negara serikat Amerika.

Jadi mana yang benar?
Yang mana kebenaran sejati?

Apakah benarnya ’hukum’ modern itu benar sejati?
Penduduk asli Hawai itu bisa paralel dengan semua suku di Irian Jaya,
teman-teman Dayak di hutan-hutan Kalimantan, atau kelompok masyarakat mana pun
yang hidup di dunia beralamatkan di RW ’Sejarah’ RT ’Adat’. Sementara
pada suatu pagi mereka bangun tidur thilang-thileng mencari "Di mana tadi
sejarah saya? Adat saya". Kok tiba-tiba di luar pintu itu ada orang-orang
berseragam hendak mengursusnya tentang apa yang disebut "sejarah" baru, "adat"
baru, dan "hukum" baru.

Dalam konteks itu hukum modern adalah Dajjal bermata satu, bertangan satu,
bertelinga satu, berhati sebelah dan berakal terbelah (growak) di tengah-tengah.
Ribuan tahun orang Jawa menciptakan peradaban tempe dan pada suatu siang
tiba-tiba saja tempe adalah milik orang Jepang, berkat hukum modern. Setengah
mati orang Jogja, Solo, dan Pekalongan membanggakan budaya dan karya batik,
sampai mendadak mereka hampir stroke mendengar bahwa batik adalah hak patennya
Malaysia.

Sebuah pabrik kecap puluhan tahun sukses dan digemari konsumen, suatu hari
pimpinannya diseret ke pengadilan dan dipenjarakan, dituntut oleh salah seorang
karyawan yang membelot, membuat pabrik sendiri, mendaftarkannya ke lembaga hak
cipta- sementara pabrik aslinya tidak pernah mendaftarkan.

Insya Allah suatu hari nanti saya akan kehilangan nama karena ada teman yang
mendaftarkan Emha Ainun Nadjib sebagai hak cipta dia. Yang kasihan adalah Nabi
Muhammad, telanjur tidak sempat sowan mendaftarkan namanya, sehingga tunggu
saatnya beliau tak lagi diakui sebagai pemilik nama Muhammad. Yang repot kita
orang Islam, setiap membaca syahadat musti kasih royalti kepada pemegang hak
cipta nama Muhammad. Bayangkan, berapa duit harus kita siapkan untuk salat wajib
lima kali sehari saja. Belum lagi ditambah wirid dan shalawat.

Anda jangan lantas tidak salat demi menghindari kewajiban memberi royalti. Insya
Allah Tuhan juga mafhum atas kekurangan Anda. Sebab, Tuhan sendiri juga
berposisi sama dengan Muhammad dan Anda. Entah kapan Tuhan akan bertamu ke
kantor lembaga hak cipta untuk mendaftarkan paten nama Allah, Yehova, Sang Hyang
Wenang, dsb. Tentu butuh sangat banyak biaya. Andaikan Muhammad tidak telanjur
menjadi nabi terakhir, mungkin diperlukan wahyu baru yang menganjurkan agar umat
Islam ketika menyebut Allah dan Muhammad cukup dalam hati, demi menghindari
pemborosan royalti hak cipta.

Yang paling selamat adalah manusia yang celat atau pelat lidahnya, yang menyebut
Allah dengan Awwoh dan Muhammad dengan Mamad. Itu pun kalau Awwoh dan Mamad
belum didaftarkan ke lembaga hak cipta.


***
Ini sekadar iftitah, pembuka dari pembicaraan yang sangat mungkin bisa panjang
tentang kelucuan hukum. Anda pasti sangat cerdas memahami judul tulisan ini,
sesudah ala kadarnya membaca preambul ini.

Omong nasi musti omong beras, padi, tanah, daun, tanaman, angin, air, matahari,
musim, Tuhan dan terus terus teruuus sampai tak mungkin Anda menghindar dari
satu kata apa pun tatkala membicarakan satu kata yang lain. Hukum, fikih, moral,
akhlaq, takwa, mahabbah…. Teruuus sampai SBY-JK turun belum akan selesai kita
sebut kata demi kata, demi menguraikan sekadar satu kata.

Belum lagi kalau saya pancing dengan kalimat bahwa saya termasuk orang yang
tidak peduli hukum. Ada hukum atau tidak, saya tidak akan menyakiti manusia. Ada
KUHP atau tidak, saya tidak akan maling. Ada jaksa, hakim, atau tidak, saya
tidak akan mencekik anak tetangga. Ada polisi, pengacara atau tidak, saya tidak
akan memerkosa wanita maupun kambing betina dan apa siapa saja….
(Emha Ainun Nadjib/JawaPos/2007/PmBNetDok)

KETIKA ENGKAU BERSEMBAHYANG

Ketika engkau bersembahyang
Oleh takbirmu pintu langit terkuakkan
Partikel udara dan ruang hampa bergetar
Bersama-sama mengucapkan allahu akbar

Bacaan al-fatihah dan surah
Membuat kegelapan terbuka matanya
Setiap doa dan pernyataan pasrah
Membentangkan jembatan cahaya

Tegak tubuh alif-mu mengakar ke pusat bumi
Ruku' lam badanmu memandangi asal-usul diri
Kemudian mim sujudmu menangis
Di dalam cinta Allah hati gerimis

Sujud adalah satu-satunya hakikat hidup
Karena pejalanan hanya untuk tua dan redup
Ilmu dan peradaban takkan sampai
Kepada asal mula setiap jiwa kembali

Maka sembahyang adalah kehidupan ini sendiri
Pergi sejauh-jauhnya agar sampai kembali
Badan diperas jiwa dipompa tak terkira-kira
Kalau diri pecah terbelah, sujud mengutuhkannya

Sembahyang di atas sajadah cahaya
Melangkah perlahan-lahan ke rumah rahasia
Rumah yang taka ada ruang tak ada waktunya
Yang tak bisa dikisahkan kepada siapa pun juga

Oleh-olehmu dari sembahyang adalah sinar wajah
Pancaran yang tak terumuskan oleh ilmu fisika
Hatimu sabar mulia, kaki seteguh karang
Dadamu mencakrawala, seluas 'arasy sembilan puluh sembilan

(Emha Ainun Nadjib/PmBNetDok)

Membaca dan Selimut

Kiai Sudrun berkata kepada cucunya, seorang sarjana yang tadi siang diwisuda.

"Di zaman dahulu kala terdapatlah makhluk yang bernama Kebudayaan Barat.
Pada masa itu tak ada barang di muka bumi ini yang dikutuk orang melebihi kebudayaan barat sehingga ia dianggap sedikit saja lebih baik dari anjing kurap.
Pada masa itu pula tak ada sesuatu pun dalam kehidupan yang dipuja orang melebihi kebudayaan barat sehingga terkadang ia melebihi Tuhan."

"Ini kisah aneh apa lagi?" bertanya sang cucu.

"Kaum Muslim pada waktu itu sedang mencapai puncak semangatnya untuk memperjuangkan agamanya, menemukan identitas dan bentukan kebudayaannya sendiri," si kakek melanjutkan, "Maka dipandanglah kebudayaan barat itu oleh mereka dengan penuh rasa najis, serta dipakailah barang-barang kebudayaan barat itu dengan penuh rasa sayang dan kebanggan."

"Lagi-lagi soal kemunafikan!"

"Tak penting benar soal kemunafikan itu dalam kisah ini," jawab Kiai Sudrun, "setidak-tidaknya engkah sudah paham persis masalah itu, dan lagi yang hendak aku ceritakan kepadamu adalah soal lain."

Sang cucu diam mendengarkan.

"Kaum Muslim pada waktu itu mempertentangkan Islam dengan kebudayaan barat seperti mempertentangkan cahaya dengan kegelapan atau malaikat dengan setan.
Padahal sampai batas tertentu, para pelaku kebudayaan barat itu sendirilah yang dengan ketekunan amat tinggi melaksanakan ajaran Islam."

"Kakek sembrono, ah."

"Tak ada yang melebihi mereka dalam melaksanakan kewajiban iqra', meskipun kemudian disusul oleh sebagian bangsa-bangsa tetangganya. Tak ada yang melebihi mereka dalam kesungguhan menggali rahasia ilmu dan mengungkap kemampuan-kemampuan alam. Mereka telah membawa seluruh umat manusia memasuki keajaiban demi keajaiban. Mereka mengantarkan manusia untuk mencapai jarak tertentu dalam waktu satu jam sesudah pada abad sebelumnya mereka memerlukan perjalanan berbulan-bulan lamanya. Mereka mempersembahkan kepada telinga dan mata manusia berita dan pemandangan dari balik dunia yang berlangsung saat itu juga. Mereka telah memberi suluh kepada pengetahuan manusia untuk mengetahui yang lebih besar dari galaksi serta yang sejuta kali lebih lembut dari debu."

"Dimuliakan Allahlah mereka," sahut sang cucu.

"Benar," jawab kakeknya, "kalau saja mereka meletakkan hasil iqra' itu di dalam kerangka bismi rabbika-lladzi khalaq. Seandainya saja mereka mempersembahkan ilmu dan teknologi itu untuk menciptakan tata hidup yang menyembah Allah.
Seandainya saja ereka merekayasa kedahsyatan itu tidak untuk penekanan dalam politik, pemerasan dalam ekonomi, sakit jiwa dalam kebudayaan, serta kemudian kebuntuan dan keterpencilan dalam peradaban."

"Apa rupanya yang mereka lakukan?"

"Memelihara peperangan, mendirikan berhala yang tak mereka ketahui sebagai berhala, menumpuk barang-barang yang sesungguhnya tak mereka perlukan, pura-pura menyembah tuhan dan bersenggama dengan binatang."

"Anjing kurap!" teriak sang cucu.

"Memang demikian sebagian dari Kaum Muslim, memaki-maki, tapi kebanyakan dari mereka bergabung menjadi pelaku dari pembangunan yang mengarah kepada kebudayaan yang semacam itu."

"Munafik!" sang cucu berteriak lagi.

"Menjadi seperti kau inilah sebagian dari Kaum Muslim di masa itu. Dari sekian cakrawala ilmu anugerah Allah mereka mengembangkan satu saja, yakni kemampuan untuk mengutuk dan menghardik. Tetapi kemudian karena tak ada sesuatu pun yang berubah oleh kutukan dan hardikan, maka mereka pun pergi memencilkan diri:
melarikan diri ke dalam hutan sunyi, mendirikan kampung-kampung sendiri - di pelosok belantara atau di dalam relung kejiwaan mereka sendiri. Mereka menjadi bala tentara yang lari terbirit-birit meninggalkan medan untuk menciptakan dunianya sendiri. Mereka ini mungkin kau sebut kerdil, tetapi sesungguhnya itu masih lebih baik dibandingkan kebanyakan orang lain yang selalu berteriak sinis 'Kalian sok suci!' atau 'Kami tak mau munafik!' sementara yang mereka lakukan sungguh-sungguh adalah kekufuran perilaku dan pilihan. Namun demikian tetaplah Allah Mahabesar dan Mahaadil, karena tetap pula di antara kedua kaum itu dikehendakiNya hamba-hamba yang mencoba merintis perlawanan di tengah medan perang. Mereka menatap ketertinggalan mereka dengan mata jernih. Mereka ber-iqra', membaca
keadaan, menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan kesanggupan mengolah
sejarah, sambil diletakkannya semua itu dalam bismi rabbi. Ilmu ditimba dengan kesadaran dan ketakjuban Ilahiah. Teknologi ditaruh sebagai batu-bata kebudayaan yang bersujud kepada Allah."

"Maka lahirlah makhluk baru di dalam diri Kaum Muslim," berkata Kiai Sudrun selanjutnya, "Gerakan intelektual. Orang dari luar menyebutnya intelektualisme-transendental atau intelektualisme-religius, meskipun Kaum Muslim sendiri menyebutnya gerakan intelektual - itu saja - sebab intelektualitas dan intelektualisme Islam pastilah religius dan transendental."

"Dongeng kakek menjadi kering ...," sahut sang cucu.

"Itu iqra' namanya. Gerakan iqra', yang ketiga sesudah yang dilakukan oleh Muhammad dan kemudian para ilmuwan Islam yang kau ketahui menjadi sumber pengembangan kebudayaan barat."

Sang cucu tak memrotes lagi.

"Akan tetapi mereka, Kaum Muslim itu, adalah - kata Tuhan - orang-orang yang berselimut. Mudatstsirun. Orang-orang yang hidupnya diselimuti oleh berbagai kekuatan tak bismi rabbi dari luar dan dari dalam diri mereka sendiri.
Selimut itu membuat tubuh mereka terbungkus dan tak leluasa, membuat kaki dan tangan mereka sukar bergerak, serta membuat hidung mereka tak bisa bernafas dengan lega."

Sang cucu tersenyum.

"Kepada manusia dalam keadaan terselimut itulah Allah berfirman qum! Berdirilah.
Tegaklah. Mandirilah. Lepaskan diri dari ketergantungan dan ketertindihan. Untuk tiba ke tahap mandiri, seseorang harus keluar terlebih dahulu dari selimut. Ia tak akan bisa berdiri sendiri bila terus saja membiarkan diri terbungkus kaki tangannya serta terbungkam mulutnya."

Sang cucu tersenyum lebih lebar.

"Firman berikutnya adalah fa-andzir! Berilah peringatan. Lontarkan kritik, teguran, saran, anjuran. Ciptakan kekuatan untuk mengontrol segala sesuatu yang wajib dikontrol." - Sampai di sini Kiai Sudrun tiba-tiba tertawa cekikikan - "Syarat untuk sanggup memberi peringatan ialah kemampuan untuk mandiri. Syarat untuk mandiri ialah terlebih dahulu keluar dari selimut.
Namun pada masa itu, cucuku, betapa banyak nenek moyangmu yang tak memperhatikan syarat ini. Mereka melawan kekuasaan padahal belum bisa berdiri tegak. Mereka mencoba berdiri padahal masih terbungkus dalam selimut ... " - tertawa Kiai Sudrun makin menjadi-jadi.

Disusul kemudian oleh suara tertawa cucunya, "Kakek luar biasa!" katanya,
"Kakek memang cerdas luar biasa!"

"Apa maksudmu?" bertanya Kiai Sudrun di tengah derai tawanya.

"Kakek menirukan hampir persis segala yang kuceritakan kepada kakek tadi malam dari buku-buku kuliahku."

Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal.

(Emha Ainun Nadjib/1987/PadhangmBulanNetDok)

Dasar Teori Tentang Majnun

Memang bukan Saridin namanya kalau tidak gila. Dan bukan gilanya Saridin kalau definisinya sama dengan definisi Anda tentang gila. Wong sama saya saja Saridin sering bertengkar soal mana yang gila dan mana yang tidak kok. Padahal saya juga agak gila. Apalagi sama Anda. Anda kan jelas-jelas waras.
Misalnya di jaman Demak bagian akhir-akhir itu saya menyatakan bersyukur bahwa dakwah para Wali semakin produktif. Sunan Ampel yang berfungsi sebagai semacam Ketua MPR, Sunan Kudus sebagai Menko Kesra, Sunan Bonang sebagai Pangab, atau Sunan Kalijaga sebagai Mendikbud, benar-benar menjalankan suatu managemen sejarah dan strategi sosialisasi nilai dengan metoda-metoda yang canggih dan efektif.
Bukan hanya komunitas-komunitas Islam semakin menyebar dan meluas, tapi juga mutu kedalaman orang beribadah semakin menggembirakan. Tapi Saridin menertawakan saya. Dan bagi saya sangat menyakitkan karena tertawanya dilambari aji-aji kedigdayaan batin: begitu suara tertawanya lolos dari terowongan tenggorokan Saridin, pepohonan bergetar-getar, burung-burung beterbangan menjauh, awan-awan dan mega melarikan diri sehingga matahari gemetar tertinggal sendirian di langit.
"Jangan sok kamu Din!" saya berteriak.
Saridin menghentikan tertawanya. Ia menjawab. "Bersyukur ya bersyukur, tapi kalau saya, juga berprihatin."
"Kenapa?" tanya saya.
"Diantara orang-orang yang beribadah kepada Tuhan itu banyak yang majnun!"
"Gila?"
"Ya, Majnun itu artinya ya gila, Majnun!"
"Majnun gimana?"
"Pengertian kita tentang junun atau kegilaan kayaknya berbeda. Bagi saya gitu itu gila, tapi bagi kamu tidak.""Gitu itu gimana yang kamu maksud?"

"Orang berdiri khusyuk dan bersedekap. Matanya konsentrasi ke kiblat. Mulutnya mengucapkan hanya kepada-Mu aku menyembah, dan hanya kepada-Mu aku memohon pertolongan....", tiba-tiba tertawanya meledak lagi, sehingga tanah yang saya pijak terguncang, padahal tidak demikian. Orang itu tidak hanya kepada Tuhan menyembah. Wong jelas tiap hari dia menyembah para priyayi, para priyagung, para Tumenggung atau Adipati. Minta tolongnya juga kebanyakan tidak kepada Tuhan. Ia lebih banyak tergantung pada atasannya dibanding kepada Tuhan. Meskipun dia tidak menyatakan, tapi terbukti jelas dalam perilaku dia bahwa yang nomor satu bagi hidupnya bukan Tuhan, melainkan penguasa-penguasa lokal dalam hidupnya. Entah penguasa politik, atau penguasa ekonomi. Itu namanya majnun. Tuhan kok dibohongi. Dan caranya membohongi Tuhan dengan kekhusyukan lagi! Kalau otaknya sehat, hal begitu tidak terjadi. Hanya otak gila saja yang memungkinkan hal itu terjadi....."
Saya melengos. "Ah, kamu ini terlalu idealis. Normal dong kalau manusia punya kelemahan yang demikian. Mana ada manusia yang sempurna. Orang kan boleh berproses. Orang berhak belajar secara bertahap. Pengabdiannya kepada Tuhan diolah dari belum utuh menjadi utuh pada akhirnya. Konsistensi seseorang atas kata-kata yang diucapkannya kan bertahap, tidak bisa langsung seratus persen!"
Kesal betul saya.
Tiba-tiba tertawanya meletus lagi, sehingga saya terjengkang lima depan kebelakang. "Lho, ini masalah simpel. Kalau bilang jagung ya jagung, kalau kedelai ya kedelai. Kalau ya itu ya ya. Kalau tidak itu ya tidak. Gampang saja kan? Kalau seorang Imam terlanjur mengungkapkan statemen kepada Tuhan 'hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan' - maka ia harus bertanggung jawab atas kata kami disitu. Artinya, pertama, ia terlanjur berjanji kepada Tuhan. Kedua, ia harus bertanggung jawab kolektif atas seluruh persoalan jamaahnya. Tidak hanya imam dan takwanya, tapi juga segala masalah kesehariannya, sampai soal nasi dan problem-problem sosialnya....."Sekarang giliran saya yang tertawa. Saya mendatangi Saridin dan berbisik di telinganya: "Din, jangan terlalu serius dong. Dialognya yang santai saja!"

"Lho!", Saridin terhenyak, "Justru karena ini untuk [buku] humor, maka saya pilihkan tema-tema lawakan. Gimana sih Ente ini. Yang saya omongkan ini kan orang-orang yang melawak kepada Tuhan. Orang-orang yang menyatakan sesuatu tapi tidak sungguh-sungguh. Orang-orang yang ndagel di hadapan Tuhan, karena mungkin dipikirnya Tuhan itu butuh dagelan dan disangkanya para Malaikat bisa tertawa!"
Saya jadi agak takut-takut. "Din, Saridin, kamu jangan begitu ah. Jangan omong yang enggak-enggak. Kalau sama Tuhan yang serius dong!"
"Justru saya sangat serius kepada Tuhan, sehingga saya ceritakan mengenai orang-orang yang melawak dihadapan-Nya!"
"Orang beribadah kok melawak!" saya membantah lagi.
"Lho, gimana sih, " ia menjawab "Orang tiap hari bersembahyang dan mengajukan permintaan kepada Tuhan - 'Ya Allah anugerahilah aku jalan yang lurus!' Dan Tuhan sudah selalu menganugerahkan apa yang orang minta. Orang itu tidak pernah memakainya, tapi tiap hari ia memintanya lagi dan lagi kepada Tuhan. Kalau saya jadi Tuhan, pasti kesel dong...."
"Husysysy!!!" saya membentak.
"Husysy bagaimana!"
"Emangnya kamu Tuhan?"
"Siapa bilang saya Tuhan? Majnun kamu!"
"Emangnya Tuhan bisa kesel?"
"Maha Suci Allah dari kekesalan. Tapi apakah karena Tuhan mustahil kesal maka menjadi alasan hamba-hamba-Nya untuk berbuat semaunya, untuk mendustai Dia, untuk berbuat gila?"
"Wong gitu saja kok gila tho Din!""Lho! Orang sudah disuguhi kopi, tidak diminum, lha kok minta kopi lagi, saya suguhi kopi lagi, lagi, lagi, lagi sampai meja penuh sesak oleh gelas-gelas kopi, tapi

lantas tidak diminum lagi, tapi dia minta lagi dan minta lagi. Gila namanya kan?"
"Ah ya bukan gila. Itu paling-paling munafik namanya."
"Ya gila dong. Majnun. Orang yang punya logika, tapi berlaku tidak logis, itu penyakit junun namanya. Orang yang tak menggunakan pengertian mengenai konteks, proporsi dan lokasi-lokasi persoalan, itu virus junun yang menyebabkannya. Orang bilang keadilan sosial, tapi kerjanya tiap hari menata ketimpangan, itu majnun. Orang bilang semua perjuangan ini untuk rakyat, padahal prakteknya tidak - itu namanya virus junun, lebih parah dari HIV...."
Akhirnya saya kesal. Saya tinggalkan si Majnun ini!

(Emha Ainun Nadjib, Demokrasi Tolol Versi Saridin)

KRITERIA KEPEMIMPINAN

Dalam terminologi yang sederhana, wacana utama kriteria kepemimpinan sekurang-kurangnya harus melingkupi tiga dimensi: kebersihan hati, kecerdasan pikiran, serta keberanian mental.
Jika pemimpin hanya memiliki kebersihan hati saja, misalnya, tanpa didukung kecerdasan intelektual dan keberanian, maka kepemimpinannya bisa gampang stagnan. Begitu pula sebaliknya.
Jika pemimpin hanya memiliki kecerdasan belaka tanpa didukung kebersihan hati dan keberanian, maka jadinya seperti di 'menara gading' alias monumen yang bukan hanya tanpa makna, tapi juga nggangguin kehidupan rakyatnya. Apalagi, jika pemimpin hanya memiliki keberanian saja tanpa kebersihan hati dan kecerdasan, maka akan menjadikan keadaan semakin kacau dan buruk.
Sebenarnya, kriteria kepemimpinan sama persis dengan kriteria manusia biasa atau orang kebanyakan, Kalau omong tentang pemimpin, sebaiknya jangan muluk-muluk. Berpikir sederhana saja.

Misalnya. syarat menjadi suami.
Pertama, harus manusia.
Kedua, harus laki-laki.
Baru yang ketiga, keempat, dan seterusnya.

Syarat suami harus manusia itu banyak tak diperhatikan orang, padahal jelas banyak suami berlaku seperti ia bukan manusia. Bertindak hewaniah kepada istrinya, juga kepada orang lain. Bukankah menjadi manusia itu sendiri saja sudah sedemikian sukarnya? Kenapa kita punya spontanitas untuk mentertawakan dan meremehkan bahwa syarat menjadi suami itu harus manusia?

Jadi, syarat menjadi Presiden atau Lurah itu ya sedehana saja: harus manusia. Sebab ratusan juta rakyat di muka bumi sengsara dalam berbagai era sejarahnya, gara-gara pemimpin negaranya berlaku tidak sebagaimana manusia, padahal semua orang sudah menyepakati bahwa ia manusia. Bukankah perilaku kebinatangan itu sebenarnya peristiwa jamak dan 'rutin' dalam konstelasi perpolitikan dan kekuasaan? Juga persaingan ekonomi?

Dulu saya bangga hanya ada istilah political animal dan economic animal, tidak ada cultural animal. Saya bersombong yang punya kecenderungan kebinatangan hanya pelaku politik dan ekonomi, kebudayaan tidak. Tapi ternyata itu salah. Cultural animal juga bukan main banyaknya. Termasuk di bidang kesenian, hiburan, informatika dll. Mungkin sekali termasuk saya sendiri.
Kemudian syarat menjadi suami yang kedua adalah harus laki-laki. Ternyata banyak suami berlaku tidak laki-laki. Ia jantan ketika di ranjang, tapi tidak dalam mekanisme politik rumah tangga, tidak di dalam pergaulan. Betapa banyaknya lelaki yang ternyata betina, yang berlaku tidak fair, curang, culas, suka mengincar, menyuruh bikin kerusuhan supaya nanti dia yang jadi pahlawan, merancang membakar gedung parlemen supaya bisa bikin dekrit, dan lain sebagainya.
Meskipun, dari sudut ideologi pembelaan kaum perempuan, saya tidak mantap dengan etimologi dan filosofi kebahasaan kita.
Kenapa orang yang jujur kita sebut jantan, yang pengecut kita sebut betina atau perempuan. Bukankah kejantanan yang dimaksud di situ bisa juga dilakukan oleh wanita? Bisa saja ada lelaki betina dan perempuan jantan. Jadi yang dimaksud pemimpin harus laki-laki bukan dalam pengertian fisik, melainkan dalam pengertian kepribadian. Tolonglah ada gugatan kepada Pusat Bahasa.

(EMHA Ainun Nadjib-- Republika Minggu)