Minggu, 28 Maret 2010

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi.
Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami.
Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak terpenuhi hak-haknya, kurang disantuni kelayakan hidupnya, apalagi kalau standar upah minimal saja tidak dipenuhi, tentu kemajuan perusahaan juga menjadi tidak maksimal."
Mereka menjadi mengerti: "Kami ini mesin. Kalau mesin loyo, bensinnya terlalu ngirit, minyak pelumasnya tidak lancar, yang rugi kan yang punya kendaraan. Beinsin ngirit membuat temperatur mesin menjadi panas, oli kurang mengakibatkan onderdil gampang rusak. Siapakah pengurus perusahaan yang menginginkan mesin kepanasan dan rusak seperti itu?"
Mungkin kemudian ada yang menyaut: "Kalau panas dan rusaknya keterlaluan akhirnya mesin kan mogok!"
Tetapi pasti ada juga yang meneruskan: "Padahal kami sama sekali tidak senang mogok...."
"Benar! Kami tidak suka mogok! Kami ingin bekerja baik-baik dan memaksimalkan hasil perusahaan, sehingga dengan demikian penghidupan kami pun menjadi baik. Sekali lagi kami tidak senang mogok.

Karena itu kami menginginkan suatu mekanisme kerjasama dalam bisnis ini dilakukan secara adil dan tidak memakai cara memaksa mesin menjadi mogok."
"Ya, Pak," demikian kira-kira yang lainnya meneruskan, "kalau Bapak punya mesin, tanyakan kepadanya apakah ia suka mogok, pasti jawabnya tidak. Tapi mengapa terkadang mesin itu suka mogok ya karena keadaannya harus mogok. Karena realitasnya mogok, ia dipaksa oleh kenyataan dirinya untuk hanya bisa mogok, meskipun ia sama sekali tidak senang mogok."
Ketidak sukaan mereka untuk mogok itu, jika sudah ditatar, akan lebih dilandasi oleh filosofi dan cara berfikir yang benar, di samping oleh kesadaran untuk memelihara ketentraman sosial. Mereka menjadi paham hakikat mogok. "Hakikat mogok itu sama dengan hakikat macetnya lalu lintas. Apakah bisa dibuat undang-undang yang melarang jalannya macet?"
Karena kecerdasan Buruh meningkat, maka mungkin E.kan ada yang membuka wawasan lain: "Bagaimana kalau jalan yang ditempuh bukan pemogokan, melainkan suatu cara yang lebih bijak?"
"Apa misalnya?"
"Musyawarah, diplomasi, perundingan...."
Kecil kemungkinan akan ada yang menjawab begini: "Ah, mas ini! Ya Buruh pasti kalah dan diakali saja kalau pakai diplomasi segala. Kami ini makan sekolahan hanya sedikit, sedangkan Bos-bos kami orang pandai semua. Kalau kami ini pandai, mosok ya menjabat sebagai buruh to maaaas .... !"
Artinya, kalau Perburuhan Pancasila menghendaki tidak ada aksi mogok dari para buruh misalnya melalui musyawarah, dialog, di.plomasi, perundingan dan sebagainya cara-cara tersebut bisa dilaksanakan dengan adil apabila ada kekuatan tawar-menawar yang seimbang. Hal tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari posisi dan kondisi sosial, politik, budaya buruh saat ini.
Insya Allah tidak begitu. Kecuali kalau kaum buruh memang disengaja diperbodoh, dibiarkan bodoh dan dibiarkan lemah dan malah dilemahkan. ()

(Harian SURYA, Senin 1 Pebruari 1993)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 18 Maret 2010

Buruh 1

Sejak di Taman Kanak Kanak, kita selalu diajari bahwa cita-cita yang terbaik adalah membela bangsa dan negara. Sesudah kita dewasa, sekarang.kita selalu menyadari bahwa tugas mulia kita adalah bagaimana senantiasa nenyumbangkan tenaga dan pikiran kita untuk menyejahterakan rakyat, membela bangsa, membahagiakan masyarakat, rnenciptakan ketenteraman sosial. Apa saja yang mengancam ketenteraman sosial, akan kita perangi bersama-sama.

Keyakinan itulah yang saya patrikan dalam hati ketika membaca surat dari beberapa pekerja pabrik, yang beberapa hari kemudian langsung menemui saya di rumah kontrakan. Wajah mereka kuyu, sinar mata mereka layu meskipun penuh semangat, dan pakaian mereka tentu saja---tidak trendy. Sebagai pekerja rendahan, tentulah mereka tak punya kapasitas ekonomi untuk mengejar mode yang larinya selalu sangat lebih cepat dibanding 'langkah' gaji kita semua.

Terus terang, kalau bersentuhan dengan strata pekerja, otak saya langsung curiga. Ini ada urusannya dengan ketentraman sosial. Oleh karena itu saya 'siap perang'. Terus terang saja, saya tidak suka pada pemogokan kaum buruh. Itu mengancam ketentraman sosial. Dan sangat lebih tidak suka lagi kepada sumber atau penyebab-penyebab pemogokan mereka. Misalnya, hak-hak pekerja yang tidak dipenuhi!
"Tampaknya Anda-anda ini sahabatnya Si Komo...?" saya nyeletuk, sesudah beberapa kalimat pembicaraan, serta berdasarkan yang saya ketahui dari surat mereka.
"Kata orang, buruh macam kami ini derajatnya sama dengan onderdil mesin. Tapi ternyata mesin lebih berharga dan lebih bernasib baik dibanding kami, Cak!" salah seorang nrombol. "Opo maneh iku!" kata saya.

"Kalau mesin mogok, ia tidak dipukuli, melainkan langsung diperbaiki, agar bisa digunakan lagi. Kalau kami mogok, lain soalnya. Wong masalahnya hanya aus karena kurang oli, kok lantas bisa sampai ke mana-mana yang kami tidak paham. Yang mbalelo, yang subversif, yang..."

"Bukan," jawab saya, "Bukan sampai ke mana-mana. Hanya sampai ke uang. Uang itu titik pusat gerak-gerik lain dalam kehidupan.
Gerak pendidikan, gerak kebudayaan, gerak politik, tuduhan-tuduhan dan retorika dalam hubungan kerja antar manusia, sesungguhnya bermuara pada uang. Tetapi yang penting, saya tidak mau kedatangan Anda kemari ini menjadi potensi yang bisa mengancam ketentraman sosial. Sebagai warga negara yang berusaha baik, saya selalu merasa wajib mencegah segala sesuatu yang bisa meresahkan masyarakat, meskipun yang bisa saya lakukan ya hanya sebatas begini-begini ini saja...."

"Meresahkan masyarakat bagaimana? Dan ikut mencegah bagaimana," mereka mengejar.
"Misalnya," jawab saya, "seperti dalam kasus yang Anda kemukakan kepada saya: para buruh harus kompak dengan juragan dan semua dalam perusahaan untuk mengantisipasi oknum-oknum yang dinilai tidak bisa melaksanakan undang-undang perburuhan. Para buruh harus selalu meletakkan diri dalam satu kepentingan dengan perusahaan, demikian juga pihak perusahaan harus meletakkan diri dalam dialektika profesional dengan buruh, sebab keduanya saling memerlukan. Para buruh kompak dengan perusahaan dalam pemenuhan hak-hak: gaji yang memadai sesuai dengan Moral Perburuhan Pancasila, imbalan lembur, fasilitas kesehatan, cuti haid, cuti hamil, hak berorganisasi, keterbukaan dan keadilan ketentuan kesejahteraan buruh... pokoknya semua segi hubungan kerja - nya. Perusahaan juga harus bertindak tegas kalau ada buruh yang menyogok atau menyewa pihak luar yang punya kekuatan untuk menekankan kepentingannya. Kalau ternyata buruh tak mungkin melakukan itu karena tak punya biaya,ya perusahaan yang harus waspada jangan sampai dirinya menyewa kekuatan macam itu...."
Saya menganjurkan agar para buruh itu mengusulkan kepada para juragannya, para direktur dan mandor-mandornya, agar memberikan penataran kepada para buruh ---umpamanya---tentang undang-undang perburuhan, apa kata Pancasila tentang hak-hak buruh.... ()

(Harian SURYA, Senin 25 Januari. 1993)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 04 Maret 2010

Oknum

Kali ini tampaknya justru saya yang berkonsultasi kepada Anda. Ini menyangkut keluhan seorang ibu rumah tangga yang batinnya sedang sangat tertekan. Berasal dari wilayah dekat kampung halarnan saya sendiri, yakni Mojoagung, Jombang, Javva Timur.
Pernahkan Anda membayangkan bahwa di antara hal-hal dan realitas yang saya ketahui, hanya sekitar 25 persen saja--bahkan mungkin kurang dari itu yang bisa saya ungkapkan melalui tulisan? Ada banyak pintu tertutup atau rambu nilai yang membuat sangat banyak harus disembunyikan atau ditutup-tutupi.
Ada 'rambu' tata aturan politik. Ada etika sosial, baik yang universal maupun yang nasional dan yang khas budaya Jawa. Ada kode etik jurnalistik. Ada 'rambu' SARA, yang penafsiran atasnya selalu kabur dan berdasarkan subjektivisme kekuasaan, dan lain sebagainya. Itu semuia membuat kita sering terpaksa menyembunyikan kejahatan, melindungi kebobrokan, atau menutup-nutupi kekejaman. Kita sungguh-sungguh belum lulus dalam hal menentukan strategi aplikasi dari filosofi demokrasi, keterbukaan, atau yang dalam agama disebut 'qullil haqqa walau kana murran'. Katakan yang benar, meskipun pahit. Yang benar tentang kebenaran, maupun yang benar tentang kejahatan.
Oleh karena itu dalam atrnosfir tertentu saya sering mengibaratkan apa-apa yang dimuat di koran-koran itu ibarat - maaf - `bau kentut'.
Maksud saya, seringkali yang kita baca itu baunya saja. Sedangkan bau itu nya indikator dari realitas kentut.
Bau itu bukan. realitas. Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya kentut itu, apa warnanya dan bagaimana bentuknya, dan kemudian yang justru harus diketahui oleh para pembaca koran adalah apa isi perut orang sehingga kentutnya kok begitu baunya, apa saja yang dimakannya, siapa yang ngasih makanan itu, ia dikasih, membeli, atau mencuri.
Alhasil kalau kita baca koran, kita harus punya perhitungan rangkap sebelum menyimpulkan sesuatu. Harus dikunyah, tidak boleh ditelan atau apalagi diuntal begitu saja. Sebab di Indonesia ini, terutama yang ada di jajaran kekuasaan, semua baik. Pejabat pasti baik polisi dan tentara pasti baik. Kasubdit, Kabag, apa saja, semua baik. Yang jelek pasti `oknum'.
Hal ibu rumah tangga yang saya kisahkan ini juga terpaksa tidak 'telanjang' menuliskannya. Cukup intinya saja. Ini bahan silaturahmi antar manusia yang toh punya problem masing-masing. Dan terutama silaturahmi antar ibu-ibu yang siapa tahu diam-diam mengalami penderitaan yang sama, tapi selama ini tak tahu harus diomongkan kepada siapa.
Beliau ini istri kedua dari seorang yang tergolong penting dalam masyarakat. Kepala bagian dari satu urutan yang luhur di sebuah kantor eselon tidak rendah. Sudah pula memiliki gelar sesudah menunaikan suatu jenis ibadat tertinggi.
Tak ada yang menyalahi 'hukum' dengan itu semua. Ada izin resmi dari istri pertama. Ia dikawini karena istri pertama tak mampu melayani', dan dipinang dengan alasan daripada si lelaki harus ke pelacuran.
Tentu, betapa luhur wanita yang sedia berkorban demi menghindarkan seorang hamba Allah dari api neraka.

Tapi yang as jumpai adalah bumerang. Kebiasaan 'jajan' sang lelaki tak berhenti juga. Ditunggu sampai larut malam, katanya rapat, ternyata barusan kencan di Pantai Kenjeran. Si istri kedua sampai pernah meletakkan Quran di atas kepala sang suami untuk mengambil sumpah tentang melacur lagi atau tidak. Ternyata, berdasarkan sejumlah bukti otentik, memang masih.
Padahal. apa saja sudah ia ladeni dari maaf -oral seks, anal seks dan lain sebagainya. Padahal si istri kedua sudah bersedia pisah sama anak-anaknya karena sang suami tak cocok dengan mereka.
Lha, terakhir ini malah ada surat-surat kaleng dan isu beredar bahwa sang suami itu korupsi. "Saya merasa malu, suami saya sering memimpin berdoa, tapi kelakuannya begitu. Saya merasa terhina. Saya minta cerai, tapi tak diperbolehkan".
Jika tak ada siapa pun yang mendengarkan cerita ibu ini, maka tak diragukan lagi justru seluruh suara kesengsaraan batinnya memusat di pendengaran Allah sendiri. Dan jika Allah telah mendengamya, maka hati-hatilah siapa saja yang kelakuan hidupnya menyatakan perang kepada Allah'.
Ibu bisa pilih cara menabraknya secara tegas dan memperjuangkan hak pisah melalui instansi hukum negara dan agama. Bisa juga menghimpun enerji jangka panjang untuk menemani sang suami tercinta menuju khusnul khatimah, dengan berdrum-drum kesabaran dan kepandaian mendidik. Betapa mulia di dunia dan betapa cerah rumah di sorga jika itu dilakukan!
Atau memperbanyak daya kerohanian: salat malam lebih banyak, dzikir lebih rajin, membersihkan hati, mengucapkan wirid-wirid tertentu yang kontekstual untuk itu, serta memasrahkan sepenuhnya kepada kearifanNya.

(Harian SURYA, Senin 13 Januari 1992)

(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)