Minggu, 28 Juni 2009

Sedang Tuhanpun Berbagi(ii)

Saya jadi teringat sebuah diskusi serius di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Soal-soal politik, pembangunan, kebudayaan, sistem-sistem rekayasa kesejarahan, serta berbagai hal 'maha' besar lainnya - diringkas dalam suatu kecamuk perbincangan yang penuh semangat, penuh protes dan intelectual acrobat maupun political erection. Serta kemudian rasa letih.
Segala sesuatunya bermuara pada kesimpulan yang pe-nuh keyakinan bahwa sistem yang mengatur segala sesuatu di negeri ini musti dirombak. Kesimpulan itu akhimya diburnbui dengan semacam fatwa kepada masyarakat umum yang dianggap suka berpikir irrasional
dan bersikap konservatif dalam banyak hal. Fatwa itu sederhana namun mendasar. Yakni, "Saudara-saudara! Ingin saga tegaskan bahwa yang disebut nasib itu sesungguhnya tidak ada. Yang ada ialah sistem, yang merancang dan mengatur jalannya roda kehidupan,
yang membikin tetangga Anda naik mobil dan Anda sendiri naik bus kota ...."
Forum lantas menggeremang bagaikan tawon modal (lebah yang tengah keluar dari sarangnya). Para tawon pulang ke rumah masing-masing membawa keremangannya masing-masing.
Sudah tentu : "sistem harus dirombak" adalah sesuatu hal dan "nasib itu tak ada" adalah sesuatu hal yang lain.
Seseorang bersikap santai :Terserah nasib itu ada atau tak ada, yang penting sistem harus dirombak.
Yang lain keberatan : kepercayaan masyarakat bahwa nasib itu ada merupakan faktor tidak kecil yang menjadi kendala bagi proses-proses ke arah perombakan sistem.
Ada yang menamhahkan : sikap terhadap ada tidaknya nasib itu sangat mendasar bukan karena menghambat atau mendorong proses perombakan sistem, melainkan karena akan menentukan arah dan model dad sistem yang kelak dikandidatkan untuk mengganti yang
sekarang berlaku.
Namun di antara semua itu ada satu hal yang klise : tak pernah dicari orang jawabannya tentang bagairnana sebaiknya perombakan itu dimulai, apa skala prioritasnya, bagian-bagian mana dari tubuh sejarah yang pertama musti digoyang, bagaimana proses politiknya, apa mungkin dilakukan rintisan garis-balik sosial ekonomi untuk menempuh hal itu sebelum sistem globalnya dibikin ambrol sedemikian rupa. Juga tidak seorangpun merasa bertanggungjawab menjawab siapa saja yang musti memulai, apa yang harus diberikan dan dilepaskan oleh manusia ini kelompok sosial itu ; atau juga dalam mengarsiteki suatu gelombang baru, apa saja yang wajib, apa yang sunnah, yang mubah, yang makruh dan yang haram. Dan akhimya kepada siapa atau apa terletak kunci tanggungjawab utama suatu usaha perubahan. Soalnya : setiap orang menyalahkan orang lain dan menganjurkan orang lain.
Jadi mengapa masalah-masalah ini relevan terhadap soal tuyul atau spiritual?
Karena tidak jelasnya letak kunci tanggungjawab itu mencerminkan kebiasaan kita bahwa dalam membicarakan perubahan-perubahan keadaan : kita kurang mempersoalkan tanggungjawab manusia. Kurang memperdulikan moral individual atau kelompok kecuali kita sebut-sebut sebagai akibat dari mekanisme sistem. Kurang memperhatikan, bahkan kurang mempercayai bahwa hakekat manusia pada mulanya adalah subyek dari moralitas sendiri.
Dengan kata lain kita tidak mengandalkan kualitas manusia. Mentalitas manusia. Spiritual manusia.
Saya kira pada titik inilah Islam tidak bisa tidak beranjak lebih kreatif dari 'sekedar' pandangan-pandangan yang melihat manusia tak lebih sebagai 'kambing-kambing gembalaan sistem pengendali sejarah'. Tentu saja ada beribu-ribu bukti nyata betapa manusia dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan sistemik yang mengatasinya. Tetapi manusia yang ta fa kka ruu 'anil khalq - demi kian Islam setahu saya mengajarkan - tidak bakalan memberontak terhadap kendali-kendali itu untuk menyerahkan din kepada ideal-ideal lain, yang tampak manis, tapi juga telah bersiap dengan kendali-kendali baru serta dengan ketidakpercayaan terhadap hakekat manusia.

(bersambung)=====>>>>

(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 25 Juni 2009

Sedang Tuhan pun Berbagi (i)

Kalau orang sampai mikir tema spiritualitas pembangunan, itu tak lain karena yang mengerjakan pembangunan itu memang manusia.
Mungkin saja dibantu dengan jin, dukun, iblis, setan atau bahkan maiaikat, tapi khalifah utamanya manusia.
Yang membuat jembatan adalah manusia. Yang bikin jalan tol juga manusia. Yang membeli ratusan hektar tanah dengan sertifikat in absentia ya manusia. Yang semakin terang-terangan minta sogokan untuk setiap langkah untuk membikin surat resmi ya manusia juga. Yang dagang kambing ya manusia. Bahkan yang dagang orang ya manusia.
Ada yang usil "Spiritualitas pembangunan itu apa bisa disebutjuga tuyul pembangunan?". Jawablah why not? Etos tuyul bukan saja merasuk ke dalam mentalitas para manusia pembangunan, ia bahkan juga mempola di dalam sistem-sistem pembangunan. Hal seperti ini tak perlu lagi diterang-jelaskan karena sudah menjadi pengetahuan bersama, bahkan mungkin sudah menjadi pengalaman kita bersama, dalam frekwensi masing-masing.
Kalau tuyulisme memiliki.peranan tak kecil dalam proses pembangunan, maka biarlah kita pakai saja kerangka berpikir 'kampung' untuk melihat tuyul itu keponakan siapa. Kita sudah kenal Dajjal dan barangkali sudah lama karib dengan syaitan, gendruwo maupun druhun atau apapun dalam 'zat' dan 'bentuk'nya yang silahkan diperdebatkan. Tapi jadinya kita juga mengingat citra Allah, kapasitas kemalaikatan atau apapun didalam din kita.
Cari gendruwo jangan ke kuburan. Cari kemamang jangan ke sawah sepi, Cari banaspati jangan ke rerimbunan pohon. Cukup menjumpai mereka dengan membalikkan arah pandang mata : dari luar ke dalam. Tuyul bahkan bergerombol-gerombol di ujung jari jemari kita.
Jadi kalau tiba-tiba saja kita mentertawakan tema spiritualitas pembangunan, tiba-tiba juga kita tonton bahwa yang tertawa itu ternyata Oom Tuyul, yang tinggai begitu krasan di dalam lendir keringat kita yang kumuh.
Kenyataan seperti itu gamblang dan rasional.
Dajjal ditugasi merangkumi sejarah, syaitan dipekerjakan di langkah manusia, tuyul diberi peran-peran dalam mesin dan birokrasi.
Seperti juga Allah mempekerjakan diriNya, Allah menugasi diriNya, Allah menentukan fungsi-fungsiNya, dalam konteks dan batasan-batasan yang ia tentukan sendiri. Mau apa, memang yang bikin seluruh makhluk ini memang Ia sendiri.
(bersambung)====>>

(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 24 Juni 2009

Al-Baqarah Telah Memberi Kita Alarm(v)

Semua itu adalah petunjuk bagi kita untuk merevaluasi berbagai gagasan dan anggapan, sangkaan kita tentang pengalaman sehari-hari, namun sekaligus bisa juga membimbing kita di dalam menilai kembali konsep-konsep masyarakat kita tentang kemajuan, kemakmuran, perkembangan, pembangunan, dan seterusnya.
Kontekstual dengan itu, adalah metafora Allah tentang 'absurditas' watak manusia ketika Ia menceritakan Bani Israil dan Isa as. dalam hal perintah mencari dan menyembelih sapi. Tergambar di situ betapa manusia memiliki kecenderungan untuk menciptakan kesukaran dan problemnya sendiri. Manusia, masyarakat dan kebudayaannya seringkali gagal memilahkan antara butuh dan mau. Kebutuhan dan kemauan. Kalau diterobos lagi : antara keperluan yang murni dengan nafsu. Baik yang tercermin secara individual maupun yang terkandung dalam gagasan-gagasan suatu sisitim bersama, dalam keputusan politik, kebijakan ekonomi, atau pemilihan pola kebudayaan.
Maka pentingnya mempertanyakan kembali anggapan-anggapan, sangkaan-sangkaan tentang kemajuan, modernitas, sukses dan peningkatan. Kita lihat misalnya menyangkut etos innovasi : gairah terhadap sesuatu yang baru dan terus baru lagi. Suatu denyut hidup di mana seseorang atau suatu masyarakat senantiasa memperbaharui diri, senantiasa 'lahir kembali', senantiasa yughoyyiru maa bianfusihim, untuk mengarah ke 'kiblat', yakni baitullah dalam arti yang kualitatif-essensial. Jadi usaha innovasi itu suatu mekanisme taqorrub. Cuma taqorrub ke mana dan ke apa, itu yang menjadi soal. Selama ini yang kita bisa saksikan dalam dunia ilmu pengetahuan, kesenian, serta berbagai kegiatan adab-budaya masyarakat, kita dipimpin oleh suatu 'penguasa sejarah' untuk mentaqorrub tidak ke Allah. Kita, seperti Bard Israil, cenderung menciptakan problemproblem kita sendiri, mengotak-atik suatu gagasan yang kita sangka itu suatu innovasi padahal semu dan mubadzir.
Sementara itu, tidak seperti Bani Israil, sesudah bertanya tentang sapi apa wamanya apa, hakekatnya bagaimana : kita tidak lantas sungguh-sungguh mencarinya, untuk kita sembelih.
Di Surat Al-Baqoroh sapi betina itu adalah lambang subordinasi manusia terhadap kebendaan. Allah memerintahkan untuk menyembelihnya. Sedangkan kita, kalau tak salah lihat, cenderung semakin memelihara sapi itu, 'sapi-sapi modern', untuk kita sembah, meskipun mulut kita mengaku bahwa hanya Allah satu-satunya sesembahan kita.
Dalam persoalan ini, Al-Baqoroh telah jauh-jauh hari memberi kita alarm.
Demikianlah, tentu dengan rasa was-was, sesungguhnya apa yang telah saya paparkan ini sekadar menjilat rasa asin samudera. Sungguh Maha Kaya Allah, yang ilmuNya hanya bisa saya cicipi amat sedikit namun yang amat sedikit itu pun sudah sangat menguras keringat jiwa dan raga, serta mampu merenggut seluruh energi kebahagiaan kita. Ayat terakhir Al-Baqoroh menuntun kita :
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya. Ia memperoleh pahala dari kebajikan yang diperjuangkan serta dari keburukan yang dikerjakannya. Mereka berdoa : Wahai Tuhanku, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau bersalah. Wahai Tuhan kami janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami sesuatu yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap orang-orang yang ingkar".
Yogya, 17 Maret 1984
(selesai)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongosng Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 23 Juni 2009

Al-Baqarah Telah Memberi Kita Alarm(iv)

Ketika di ayat-ayat awal Allah berfirman dan memberikan gambaran tentang golongan mu'minin, nafiqiin, musyrikiin dan kaafiriin : kita begitu karib dengan deskripsi. Rasanya yang digambarkan Allah itu baru berlangsung tadi pagi, tujuh abad sesudah ayat itu diturunkan, dan di suatu tempat dan lingkup yang kita kenal sebagai 'dunia modern'.

Membaca Al-Baqoroh ayat 11, tidaklah tertera di kesadaran kita hipokrisi politik dewasa ini dengan segala anasir dan variabeinya? Itu siapa tahu barang kali juga menyangkut sebagian pemimpin Kaum Muslimin sendiri, atau justru kita sendiri yang sedikit banyak juga memiliki saham di dalam 'dosa bersama' penumbuhan 'kemunafikan struktural' meskipun mungkin kita tidak menyadarinya, seperti yang disebut oleh ayat 12?

Pernah kita memiliki sahabat-sahabat, kenalan-kenalan, gagasan-gagasan yang kita jumpai di mass media, di forum-forum diskusi, seminar, pidato-pidato, puisi-puisi, atau dalam obrolan-obrolan lepas sehari-hari, yang sesungguhnya dideskripsikan Allah melalui Al-Baqoroh ayat 13? Tidakkah getaran kenyataan yang diungkapkan Allah tersebut kita rasakan kemarin, hari ini, di lingkungan yang karib dengan kesibukan kita, bahkan juga justru di dalam diri kita sendiri? Kemudian kita sendiri jugakah, atau handai tolan kita, atau pemikiran-pemikiran lingkungan yang sering kita dengar, kita baca, kita jumpai, yang sesungguhnya dimaksud oleh ayat 18?
Apakah kita takut mati? Artinya mungkin juga takut pada 'kematian kecil'? Takut kelaparan? Takut soal jaminan hari depan, sehingga lebih mempercayakannya kepada 'buah-buah khuldi' yang dilarang Allah, dibanding mempercayakannya kepada kesetiaan terhadap hukum-hukumNya? Apa gerangan konsep kita tentang kematian? Etos mati yang bagaimana yang hidup dan kita imani selama ini?

Sesuaikah ia atau bertentangankah ia dengan tuntunan Allah di ayat 94 umpamanya?
Apakah kita merasa kecut karena "tidak mungkin melawan arus"? Apakah kita 'terpaksa' menjadi munafiq kemudian setengah mati berusaha menyembunyikan kemunafikan itu dengan menyodor-nyodorkan alasanalasan apologetik dan artifisial untuk dijadikan topeng yang kita pakai di panggung pementasan yang sarat hipokrisi ini? Apa artinya gerangan resiko miskin, kelaparan, sedikit takut, dikucilkan, 'buntu masa depan'?

Apa gerangan makna'kesengajaan cobaan' Allah itu, kemudian isyarat bahagia bagi mereka yang terus setia bersabar, seperti yang diungkapkan oleh ayat 155? Apa pula arti bimbingan Allah agar kita mengucapkan "Sesungguhnya segala sesuatu adalah milikNya dan akan kembali kepadaNya" (ayat 156) apabila kita menerima musibah-musibah apa pun, tidak hanya 'kematian' ? Dan jika selama ini kita memakai tradisi mengucapkan "Inna lillahi wa inna ilaihi rooji'uun" setiap kali ada ikhwan kita yang meninggal dunia, marilah kita pertanyakan kembali sesuai dengan konsep Allah kah pengertian kita tentang 'musibah' dan'mati'.

Jangan-jangan apa yang biasanya kita anggap musibah sesunggahnya justru bukan musibah menurut pengertian Allah yang mestinya wajib kita tiru. Jangan-jangan apa yang kita takutkan dari kematian bukanlah sesuatu yang selayaknya kita takutkan berdasarkan konsep Allah. Ayat 216 memperingatkan kita akan hal ini. Mengapa, dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak 'mendialektikkan' pengalaman-pengalaman kita dengan rahasia ayat ini. Bahkan di dalam surat lain Allah mengemukakan bahwa 'keburukan maupun 'kebaikan' yang menimpa kita dariNya, kedua-duanya adalah cobaan.

(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)

Senin, 22 Juni 2009

Al-Baqoroh Telah memberi Kita Alarm (iii)

Kita memang seringkali bersikap konsumtif terhadap jaminan-jaminan Allah. Padahal jaminan itu memerlukan kreativitas kita : artinya kita harus mengasah radar rokhani kita dengan menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya, baru kemudian berjanji Allah itu pantas untuk kita kenyam.
Sikap konsumtif itu nampakjuga pada kebiasaan banyak Muslim yang karena berbagai konditioning lingkungan ia tidak meletakkan Al Qur'an sebagai buku pokok atau literatur utama di tengah tumpukan buku-buku bantu yang bisa diperoleh di toko-toko buku atau di Universitas dan Sekolah. Ibarat batu permata rokhaninya kurang digosok sehingga tidak cukup mengkilat untuk mampu memantulkan cahaya Allah.
Ayat 1 Al-Baqoroh, adalah suatu isyarat. Alf Laam Miim. Para Ulama menyerahkan artinya kepada Allah, sementara Ulama lainnya mencoba menafsirkannya. Ada yang menyebut itu adalah nama Surat, yang lainnya berpendapat itu semacam atraksi untuk menarik perhatian pembacanya, lainnya lagi menganggap itu suatu petunjuk bahwa bukan tidak ada maksud Allah untuk menurunkan Al Qur'an dalam Bahasa Arab, bukan Bahasa Jawa.
Tentu saja allohu a'lamu bishshowaab. Namun yang jelas : ia adalah suatu misteri, suatu rahasia. Tidak jelas rahasia macam apa, tapi jelas bahwa rahasia tersebut adalah rahasia. Mengapa ia suatu isyarat? Karena jika sebuah rahasia terang-terangan dijadikan intro (ayat pertama) dari Surat terpanjang ini, tentulah itu suatu tuntunan implisit bahwa memang demikian banyak rahasia yang sebaiknya kita'survey' di dalam ayat-ayat AlQur'an. Kita tidak paham apa Alif Laam Miim, tetapi kata ayat 2 : Tak ada keragu-raguan padanya, ia adalah petunjuk bagi orang-orang bertaqwa.
Adakah kita diberi petunjuk melalui rahasia? Ya, kata ayat 3, apabila kita adalah benar-benar orang-orang yang beriman kepada ghoib, yang mendirikan sembahyang serta menafkahkan sebagian rejeki. Dan kita tahu, yang ghoib, yang menurut para ahli Islam adalah segala sesuatu yang tidak bisa ditangkap oleh pancaindera, temyata bukan hanya para Malaikat, hari Akhirat dan lain-lain. Kita bisa membaca dan menuliskan Alif Laam Miim, namun ghoiblah yang dikandungnya. Maka sungguh mengherankan mengapa kita amat rajin menelusuri rahasia Al Qur'an. Maka sesungguhnya justru rahasia Alif Laam Miim itulah yang merangsang gairah, semangat dan tenaga setiap Muslim untuk dengan penuh sukacita dan rasa cinta meneruskan membaca ayat-ayat selanjutnya dan seterusnya, agar ia bisa bergabung dengan rahasianya.
Di bagian atas telah saya sebutkan tentang tidak ada satu gejala kehidupan pun yang tidak terangkum dalam Al Qur'an, kemudian diperingatkannya dan diberinya tuntunan. Artinya ayat-ayat Al Qur'an itu selalu aktual. Meskipun ia dulu memang diturunkan berdasarkan suatu proses kesejarahan tertentu, konteks sosiologis dan asbabun-nuzul tertentu, tetapi bukan Al Qur'anlah namanya apabila sesudah lewat suatu era sejarah tertentu lantas ia pun ikut lewat dan kehilangan aktualitas. Membaca dan menerapkan (dalam rasa dan pikiran) ayat demi ayat Al-Baqoroh umpamanya, kita segera akan bertemu dengan berbagai potret kehidupan masa kini yang sering kita alami, kita libati, dan kita amati.
(bersambung)====>>>>
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)

Jumat, 19 Juni 2009

Al-Baqarah Telah Memberi Kita Alarm(ii)

Lihat dan bacalah AlQur'an yang amat luar biasa itu, yang terbagi menjadi bagian-bagian, tetapi antara bagian-bagiannya itu saling merangkum, bagian yang satu merangkum bagian yang lain, bagian yang lain merangkum bagian yang satunya, bagian yang ini
mengandung bagian yang itu, demikian pula sebaliknya. Bagian-bagian yang tidak parsial, tidak sektoral. Bagiannya mengandung keseluruhannya, keseluruhannya mengandung bagian-bagiannya. Bagian-bagiannya adalah keseluruhannya, kemenyeluruhannya adalah bagian-bagiannya. Sungguh Allah tidak menggertak-sambal ketika ia menantang kaum Musyrikin, jika mereka ragu akan Al Qur'an (juga mungkin menantang keraguan yang kita Kaum Muslimin alarm sendiri), untuk membuat satu ayat saja yang semisal Al Qur'an.
Lihat dan bacalah Al Qur'an yang tiada suatu gejala kehidupan dan gejala sejarah pun yang tidak disebutnya, diperingatinya, serta dituntutnya untuk selamat. Ia sedemikian menyeluruh. Jadi sesungguhnya apa yang saya tulis ini sekedar, dengan segala keterbatasan, semacam menjilat amat sedikit rasa asin dari samudera.
Surat Al-Baqoroh biasa juga disebut sebagai Fusthaathul-Qur'an, puncak Bacaan Agung, karena secara eksplisit pokok tuntutan syariat : yakni perintah-perintah yang menyangkut rukun Islam, Qishash, furgon yang memilahkan hal-hal yang halal dan haram, aturan-aturan tertentu dalam perhubungan ekonomi, perkawinan dan kekeluargaan, bukan sampai soal anak yatim, perang dan sihir.
Tuntunan tersurat ini menjadi alasan yang membuat 'Sapi Betina' ini menjadi puncak Al Qur'an, dan dalam pandangan kita sering dikatakan bahwa surat-surat lain tak mengandungnya. Apa yang terjadi sesungguhnya ialah bahwa Al-Bagoroh menyodorkan kepada kita paket-paket hukum tertentu, sedangkan dalam surat-surat lain banyak bisa dijumpai filsafat dan hakekatnya. jika kita bersedia melihat tuntunan-tuntunan itu tidak terutama sebagai dogma, melainkan sebagai anugerah Allah yang tetap mengandung rahasia, maka latar filsafat dan hakekat di balik setiap aturan tersebut juga selalu bisa kita temui tidak usah di surat lain. Umpamanya pada ayat 276 Allah menjamin akan memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dewasa ini watak perekonomian di sekitar kita penuh nilai riba dan kita mungkin saja secara sistemik memiliki keterlibatan di dalamnya. Seringkali kita lantas menyaksikan pemandangan ekonomi yang membikin kita sedikit patah hati terhadap jaminan Allah itu,
dan barangkali diam-diam kita tengah menuju kearah berkurangnya keyakinan kita terhadap statemen Allah. Dalam situasi seperti ini kita harus tetap berikhtiar menguak rahasia pemyataan Allah itu.
Sebutlah barangkali kita-kita yang belum menyesuaikan diri dengan konsep Allah tentang kesuburan sehubungan dengan Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Kite 'bingung' berada di tengah kehidupan mana "yang tak jujur makmur, yang jujur terkubur". Dalam fase proses 'kebingungan' itu Allah langsung menyodorkan ayat berikutnya (277): bahwa yang (benar-benar) beriman, beramal sholeh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, akan mendapat pahala di sisi Tuhannya. Langsung pula Allah melipur
hati kita: Tak ada kekhawatiran kepada mereka dan tak pula mereka bersedih hati. Artinya, jika masih juga bingung dan nelangsa, hendaknya ia mempertanyakan kembali imannya, amal-sholehnya,sembahyang dan zakatnya. Yakni kesetiaan dan stamina intensitas amal-amal baiknya itu.(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/SIPRESS/1995/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 17 Juni 2009

Al-Bagoroh Telah memberi Kita Alarm (i)

Salah satu 'ijaz Al Qur'an ialah bahwa sistematikanya tidak dapat dirumuskan. Kita bisa misalnya, menyusun klasifikasi per-disiplin : ada ayat hukum, ayat ekonomi, ayat moralitas, ayat astronomi atau biologi. Ibarat samudra, kita ambil satu ember airnya untuk kita masukkan ke dalam tabung yang berbeda-beda sesuai dengan approach yang kita gunakan. Besok pagi kita akan menemukan suatu kenyataan bahwa pengisian tabung itu bisa kita tukar dan balik atau kita campurkan sekaligus.
Kita mungkin akan mengatakan bahwa Al Qur'an adalah suatu dimensi petunjuk yang multikompleks, kamil, paripurna namun sesungguhnya lebih dari itu. Al Qur'an itu tiada 'jarak'nya dengan Allah : dan kita menyebut Allahu Akbar. Akbar bukan Kabiir. Bukan saja Maha Besar, melainkan lebih dari Maha Besar. Jika kita mampu membayangkan yang lebih besar lagi dari batas besar yang bisa kita capai, maka Ia lebih besar. Jika Maha Besar itu seolah-olah bisa kita 'fahami' dengan rasa-pengertian kita, maka Ia lebih lagi. Kata Maha itu, meskipun tidak terbayangkan, namun ia memberi kesan statis, tetap, atau berhenti. Tetapi Lebih Besar, memberi kesan dinamis, hidup, bergerak. Suatu keterus-menerusan dan ketiada-terbatasan. Dengan permenungan tertentu kita barangkali mampu
menggapai taraf demi taraf kebesaran, tetapi kita akan 'lenyap' di satu level tertentu, sebab kita tidak akan bakal mencapai ruang dan tak akan dipeluangi waktu untuk mengejar yang lebih Besar dan terus Lebih Besar.
Maka demikianlah, karena laa roiba fiihi ( (Al-Baqoroh 2) AlQur'an adalah wahyu Allah, kita tak perlu 'heran' apabila ia senantiasa lebih dari segala yang pernah kita tafsirkan, kita mafhumi, kita simpulkan atau kita duga-duga. Allah menganugerahkan kita pamungkas dari segala kitabullah ini kepada kita, suatu jenis makhluk yang ahsani taqwiim (At-Tien 4), yang dulu diprotes penciptanya oleh para Malaikat karena "akan membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan darah (Al-Baqoroh.30). Terhadap hal tersebut sejak semula jelas pernyataan Allah tentang keterbatasan kita. JawabNya atas protes itu : "Sesungguhnya Aku. mengetahui apa yang engkau tidak ketahui" (Al-Baqoroh 30).
Malaikat, yang ghoib, dan wajib kita percayai bahwa ia ghoib, sama sekali tak mengetahui apa yang Allah ketahui. Maka kita, jenis makhluk yang berdaging tulang ini, sekurang-kurangnya tak lebih dari itu.
Maka demikian pula terhadap Al Qur'an : tetap berlaku keterbatasan kita. Dengan demikian sesungguhnya alangkah menggairahkan untuk menjadi seorang mu'min : betapa melimpah rahasia Allah yang bisa kita dambakan dan kita yakini. Ayat-ayatNya yang di suatu hari terasa seperti gamblang, temyata mengandung keghoiban, sedemikian rupa sehingga kita akhimya mengalami bahwa itulah satusatunya ruang untuk berislam, sumeleh, pasrah dalam arti yang seluas-luasnya, sedalam-dalamnya, yang multi kompleks, yang gamblang namun tetap ghoib dan menyimpan misteri, yang ghoib namun juga bisa gamblang. ========>(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 16 Juni 2009

Allah dan Slang-slang AC

Aku ini kere yang sering memperoleh kesempatan untuk munggah mbale. Maksudku, karena dari hari ke hari hidupku hampir selalu di perjalanan dan berpindah-pindah tempat untuk memenuhi undangan-undangan – baik dari orang-orang yang benar-benar mempercayaiku, maupun dari orang-orang yang sekedar membutuhkanku namun diam-diam ngedumel di dalam hati mereka – maka terkadang aku diinapkan di hotel-hotel.
Sesekali di hotel berbintang banyak. Saat lain di hotel sedengan. Terkadang di losmen, di mess, atau di rumah kosong yang tak ditempati karena si empunya tidak mungkin membagi punggungnya ditugel-tugel jadi banyak agar bisa menempati banyak rumahnya. Yang aku selalu merasa terancam adalah kalau ditidurkan di rumah orang, artinya di rumah yang dihuni oleh sebuah rumah tangga. Soalnya pasti tuan rumahku orang baik, selalu menjamu dan menghormati secara maksimal, menyediakan makan minum dan tempat tidur yang lebih dari layak. Kemudian kami harus dayoh-dayoh-an penuh sopan santun dan wajib penuh basa basi. Lantas sekitar jam 23.00 aku dipersilahkan tidur – dan inilah puncak ancaman bagiku. Mana mungkin aku tidur jam segitu sampai pagi. Aku tidak mampu menikmati tidur sebagai acara tidur. Maksudku, aku harus selalu bekerja keras sampai badanku tidak kuat dan lantas secara alamiah aku tidur. Aku tidak pernah akrab dengan ranjang dan kasur, sebab aku
mendatanginya hanya ketika aku sudah sangat mengantuk dan kesadaranku tinggal lima watt. Tak mungkin aku bergaul intensif dengan siapapun dan dengan apapun hanya dengan bekal kesadaran lima watt.
Bukannya aku meremehkan tidur. Tidur itu sangat penting. Tetapi bagiku tidur itu bukan terutama merupakan mekanisme budaya atau kegiatan budaya dalam hidupmu. Tidur itu kegiatan alam. Pekerjaan natural. Itu keharusan atau sunnah dari Allah pada momentum tertentu setiap hari. Oleh karena itu sering aku heran kepada orang-orang yang begitu sibuk mengurusi ranjang, membeli kasur dengan segala keindahannya. Padahal kasur itu urusannya orang tidur. Dan tidur itu urusannya orang mengantuk. Dan kalau orang sudah dalam keadaan sangat mengantuk, ia hampir tidak perduli apakah yang di depannya itu kasur ataukah tikar. Oleh karena itu bagiku, tidur tidak perlu aku programkan dalam kebudayaan. Ia alamiah.
*****
Pertanyaan yang ingin kuajukan dalam tulisan hari ini adalah: apakah kesadaran dan pergaulan kita dengan Al1ah itu merupakan sesuatu yang engkau biarkan berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan ke dalam rancangan-rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa watt-kah kapasitas kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah swt.?
Itulah sebabnya di awal tulisan ini aku bercerita tentang hotel-hotel. Pada suatu senja bersama sejumlah kawan aku mencari mushallah di sebuah hotel besar internasional di Jakarta. Kami hendak maghriban bareng menjelang menghadiri pembukaan Pameran Lukisan Kaligrafi di hotel tsb.
Kami berjalan menerobos bagian-bagian bawah dari hotel itu. Kami melewati lorong-lorong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di mushallah yang terletak sangat di pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri, tak bisa kujamin aku akan bisa menemukannya.
Seusai shalat, aku hendak berdoa macam-macam, yang mendadak yang bersuara dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan. "Ya Al1ah Kekasihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau di sembunyikan di sini, di pojok bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi rancangan dan konsep hotel yang mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau tidak nomer satu. Engkau tidak disediakan tempat di etalase terpenting dari performance hotel ini. Ketika para arsi-tek membangun tempat ini, tak ada alokasi atau ingatan tentangMu, barangkali. Rumah atau mushallaMu ini tampaknya juga tidak sejak semula dibangun sebagai mushalla. RumahMu ini sekedar sebuah ruangan yang dipaksakan untuk dipakai sebagai tempat shalat, karena kebetulan banyak karyawan hotel ini yang beragama Islam. Ya Al1ah, apakah Engkau merasa kesepian? Tidak. Aku tahu Engkau tidak kesepian. Engkau tidak bersemayam hanya di mushalla ini. Engkau bisa aku jumpai di manapun. Aku bisa menghadapMu di bagian
manapun dari hotel ini. Tetapi yang kutangiskan adalah kenapa Engkau begitu tidak dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak ada, oleh mereka yang membangun dan menikmati gedung-gedung di muka bumiMu. Padahal tanah ini tanahMu. Material apapun yang dipakai untuk membangun hotel ini adalah milikMu. Juga semuanya, apa saja dan siapa saja yang menghuni dan lalu lalang di gedung ini, adalah sematamata Engkau yang menciptakan dan Engkau yang menganugerahkan kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaanMu..."
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Seusai shalat aku berlari mencari telpon dan kuhubungi saudara-saudaraku di Jombang. Spontan aku katakan: "Ma1am ini juga cari empat orang yang sangat miskin tapi yang akhlaqnya baik. Kasih tahukan dan pandulah mereka untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk naik haji. Uang ONH saya kirim besok pagi".
*****
Mungkin aku agak sentimental dengan keluhan semacam ini. Semestinya aku juga bisa berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah memang produk dari peradaban sekular abad 20. Tetapi aku tidak juga bisa menganggap bahwa budaya hotel dari kosmos industri dan kapitalisme sekular ini tidak memiliki sentuhan religius, karena hampir selalu bisa kujumpai The Holly Bible di laci meja kamar-kamarnya.
Harus kita akui bahwa juga ada hotel-hotel yang menyediakan Kitab A1-Quran serta tulisan petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan kini sudah pula berdiri beberapa hotel yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu mekanisme kehidupan yang Islami. Segala sesuatu dalam kebudayaan ummat manusia memang terus berkembang ke berbagai arah. Semuanya sedang terus melakukan tawar-menawar dengan ragam nilai-nilai.
Di atas semua itu aku tetap bersyukur. Meskipun di berbagai hotel berbintang engkau jumpai mushalla hanya bersifat darurat di pojok-pojok, di basement, bahkan di ruang-ruang bawah tanah di mana kalau kita shalat di atas kita terdapat slang-slang AC bersilang-silang, sehingga terasa Allah sebegitu dimarginalisir – kuanjurkan engkau tetap bersyukur. Karena hikmah, karomah dan mashlahah disediakan olehNya di segala macam tempat.
Jum'at kemarin aku tinggal di sebuah hotel milik seorang menteri yang namanya memakai idiom dari Quran, yang rekruitmen karyawan-karyawannya juga mengutamakan yang beragama Islam. Tapi tempat jum'atannya adalah di pojok tempat parkir, yang ruangnya sangat sempit, sehingga para jamaah tumpah keluar, dan kami mendengarkan khutbah campur mobil yang berseliweran. Ketika naik ke kamar, kubuka laci, kujumpai Bible, dan aku bergumam: "Ka1au memang yang dimaksud kebudayaan modern adalah aktualisasi demokrasi, mestinya tidak banyak biaya untuk juga membeli Qur'an, Bagavadgita, syukur kitab asli Zabur, Taurat dan Injil.****
(Emha Ainun Nadjib/JawaPos/2005/PadhangmbulanNetDok)

Allah dan Slang-slang AC

Aku ini kere yang sering memperoleh kesempatan untuk munggah mbale. Maksudku, karena dari hari ke hari hidupku hampir selalu di perjalanan dan berpindah-pindah tempat untuk memenuhi undangan-undangan – baik dari orang-orang yang benar-benar mempercayaiku, maupun dari orang-orang yang sekedar membutuhkanku namun diam-diam ngedumel di dalam hati mereka – maka terkadang aku diinapkan di hotel-hotel.
Sesekali di hotel berbintang banyak. Saat lain di hotel sedengan. Terkadang di losmen, di mess, atau di rumah kosong yang tak ditempati karena si empunya tidak mungkin membagi punggungnya ditugel-tugel jadi banyak agar bisa menempati banyak rumahnya. Yang aku selalu merasa terancam adalah kalau ditidurkan di rumah orang, artinya di rumah yang dihuni oleh sebuah rumah tangga. Soalnya pasti tuan rumahku orang baik, selalu menjamu dan menghormati secara maksimal, menyediakan makan minum dan tempat tidur yang lebih dari layak. Kemudian kami harus dayoh-dayoh-an penuh sopan santun dan wajib penuh basa basi. Lantas sekitar jam 23.00 aku dipersilahkan tidur – dan inilah puncak ancaman bagiku. Mana mungkin aku tidur jam segitu sampai pagi. Aku tidak mampu menikmati tidur sebagai acara tidur. Maksudku, aku harus selalu bekerja keras sampai badanku tidak kuat dan lantas secara alamiah aku tidur. Aku tidak pernah akrab dengan ranjang dan kasur, sebab aku
mendatanginya hanya ketika aku sudah sangat mengantuk dan kesadaranku tinggal lima watt. Tak mungkin aku bergaul intensif dengan siapapun dan dengan apapun hanya dengan bekal kesadaran lima watt.
Bukannya aku meremehkan tidur. Tidur itu sangat penting. Tetapi bagiku tidur itu bukan terutama merupakan mekanisme budaya atau kegiatan budaya dalam hidupmu. Tidur itu kegiatan alam. Pekerjaan natural. Itu keharusan atau sunnah dari Allah pada momentum tertentu setiap hari. Oleh karena itu sering aku heran kepada orang-orang yang begitu sibuk mengurusi ranjang, membeli kasur dengan segala keindahannya. Padahal kasur itu urusannya orang tidur. Dan tidur itu urusannya orang mengantuk. Dan kalau orang sudah dalam keadaan sangat mengantuk, ia hampir tidak perduli apakah yang di depannya itu kasur ataukah tikar. Oleh karena itu bagiku, tidur tidak perlu aku programkan dalam kebudayaan. Ia alamiah.
*****
Pertanyaan yang ingin kuajukan dalam tulisan hari ini adalah: apakah kesadaran dan pergaulan kita dengan Al1ah itu merupakan sesuatu yang engkau biarkan berlangsung alamiah, ataukah perlu engkau terjemahkan ke dalam rancangan-rancangan budaya? Termasuk di sini, berapa watt-kah kapasitas kesadaran dan pergaulan kita dengan Allah swt.?
Itulah sebabnya di awal tulisan ini aku bercerita tentang hotel-hotel. Pada suatu senja bersama sejumlah kawan aku mencari mushallah di sebuah hotel besar internasional di Jakarta. Kami hendak maghriban bareng menjelang menghadiri pembukaan Pameran Lukisan Kaligrafi di hotel tsb.
Kami berjalan menerobos bagian-bagian bawah dari hotel itu. Kami melewati lorong-lorong panjang dan berliku-liku. Akhirnya tiba di mushallah yang terletak sangat di pojok dan tersembunyi. Kalau sendiri, tak bisa kujamin aku akan bisa menemukannya.
Seusai shalat, aku hendak berdoa macam-macam, yang mendadak yang bersuara dalam hatiku adalah keluhan, dan kuucapkan itu perlahan-lahan. "Ya Al1ah Kekasihku, apakah Engkau merasa sepi? Engkau di sembunyikan di sini, di pojok bawah. Engkau bukan sesuatu yang penting bagi rancangan dan konsep hotel yang mewah ini. Engkau tidak primer. Engkau tidak nomer satu. Engkau tidak disediakan tempat di etalase terpenting dari performance hotel ini. Ketika para arsi-tek membangun tempat ini, tak ada alokasi atau ingatan tentangMu, barangkali. Rumah atau mushallaMu ini tampaknya juga tidak sejak semula dibangun sebagai mushalla. RumahMu ini sekedar sebuah ruangan yang dipaksakan untuk dipakai sebagai tempat shalat, karena kebetulan banyak karyawan hotel ini yang beragama Islam. Ya Al1ah, apakah Engkau merasa kesepian? Tidak. Aku tahu Engkau tidak kesepian. Engkau tidak bersemayam hanya di mushalla ini. Engkau bisa aku jumpai di manapun. Aku bisa menghadapMu di bagian
manapun dari hotel ini. Tetapi yang kutangiskan adalah kenapa Engkau begitu tidak dianggap penting, bahkan mungkin dianggap tidak ada, oleh mereka yang membangun dan menikmati gedung-gedung di muka bumiMu. Padahal tanah ini tanahMu. Material apapun yang dipakai untuk membangun hotel ini adalah milikMu. Juga semuanya, apa saja dan siapa saja yang menghuni dan lalu lalang di gedung ini, adalah sematamata Engkau yang menciptakan dan Engkau yang menganugerahkan kepada mereka segala jenis rizqi dan kekayaanMu..."
Itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Seusai shalat aku berlari mencari telpon dan kuhubungi saudara-saudaraku di Jombang. Spontan aku katakan: "Ma1am ini juga cari empat orang yang sangat miskin tapi yang akhlaqnya baik. Kasih tahukan dan pandulah mereka untuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk naik haji. Uang ONH saya kirim besok pagi".
*****
Mungkin aku agak sentimental dengan keluhan semacam ini. Semestinya aku juga bisa berpikir bahwa kultur hotel-hotel yang berlaku adalah memang produk dari peradaban sekular abad 20. Tetapi aku tidak juga bisa menganggap bahwa budaya hotel dari kosmos industri dan kapitalisme sekular ini tidak memiliki sentuhan religius, karena hampir selalu bisa kujumpai The Holly Bible di laci meja kamar-kamarnya.
Harus kita akui bahwa juga ada hotel-hotel yang menyediakan Kitab A1-Quran serta tulisan petunjuk kiblat di atap kamar. Bahkan kini sudah pula berdiri beberapa hotel yang segala sesuatunya dirancang untuk suatu mekanisme kehidupan yang Islami. Segala sesuatu dalam kebudayaan ummat manusia memang terus berkembang ke berbagai arah. Semuanya sedang terus melakukan tawar-menawar dengan ragam nilai-nilai.
Di atas semua itu aku tetap bersyukur. Meskipun di berbagai hotel berbintang engkau jumpai mushalla hanya bersifat darurat di pojok-pojok, di basement, bahkan di ruang-ruang bawah tanah di mana kalau kita shalat di atas kita terdapat slang-slang AC bersilang-silang, sehingga terasa Allah sebegitu dimarginalisir – kuanjurkan engkau tetap bersyukur. Karena hikmah, karomah dan mashlahah disediakan olehNya di segala macam tempat.
Jum'at kemarin aku tinggal di sebuah hotel milik seorang menteri yang namanya memakai idiom dari Quran, yang rekruitmen karyawan-karyawannya juga mengutamakan yang beragama Islam. Tapi tempat jum'atannya adalah di pojok tempat parkir, yang ruangnya sangat sempit, sehingga para jamaah tumpah keluar, dan kami mendengarkan khutbah campur mobil yang berseliweran. Ketika naik ke kamar, kubuka laci, kujumpai Bible, dan aku bergumam: "Ka1au memang yang dimaksud kebudayaan modern adalah aktualisasi demokrasi, mestinya tidak banyak biaya untuk juga membeli Qur'an, Bagavadgita, syukur kitab asli Zabur, Taurat dan Injil.****
(Emha Ainun Nadjib/JawaPos/2005/PadhangmbulanNetDok)

Senin, 15 Juni 2009

Puisi yang Sengaja Dibikin Gelap Mengenai Harimau

Puisi ini oleh penyairnya sengaja agak digelap-gelapkan, dengan alasan yang sangat gampang dipahami: yakni karena temanya adalah harimau, dan harimau itu di era sejarah kapan pun insya Allah selalu menakutkan
Kalau kepergok harimau, manusia selalu bersegera lari dan melingkar-lingkar mencari keselamatan. Maka demikian pulalah puisi ini. Untunglah menurut para Suhu, lari ketika ada musuh adalah jurus kependekaran yang tertinggi
Apalagi penyair puisi ini juga tahu persis bahwa akhir-akhir ini setiap orang diam-diam merasakan dalam kegelapan batinnya bahwa harimau bukan saja menakutkan: lebih dari itu perilakunya sudah sampai pada taraf mengerikan
Terutama karena di zaman kemajuan ini harimau memiliki kecanggihan bukan saja dalam memegang pentungan atau menembakkan senapan, tapi juga piawai mengoperasikan washing machine di mana jutaan gumpalan otak manusia dijejal-jejalkan di dalamnya
Akan tetapi penyair kita ini tetap dengan penuh kesadaran menggelapkan puisi ini, sebab meskipun harimau itu tuli telinganya, tapi matanya sedemikian tajam melebihi ketajaman mata setan yang menginteli kegiatan para malaikat. Dan berkat kekalahan tajamnya mata itulah maka masyarakat setan sekarang kehilangan reputasi, bahkan kehabisan lahan untuk peran-perannya yang kini telah digantikan dan dimonopoli
Penyair kita memohon agar kita membawa pulang puisinya secara diam-diam dan menyembunyikannya di balik jaket, kemudian ia menyarankan agar kita upayakan aroma puisi itu jangan sampai tercium oleh indra hidung harimau yang kepekaannya sudah termasyhur di seantero nusantara. Sebab kalau tidak, jaket dan badan kita akan dirobek-robek oleh kukunya, minimal dilarang untuk kita pakai, kecuali jika kita bersedia menyediakan prosentase saham untuk memperdagangkan aroma itu
Namun dengan semua ini jangan menyangka bahwa penyair itu maupun kita semua merupakan musuh harimau, sebab telah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa harimau adalah sahabat kita, yang membuatkan kita jembatan dan memperbaiki jalan, bahwa harimau itu berasal dari kita dan untuk kita, bahwa harimau itu telah manunggal dengan kita semua
Hanya saja ・ini penyair kita selalu terbodoh-bodoh untuk bisa mengerti ・persahabatan dan permusuhan yang dimaksudkan oleh harimau berbeda dengan yang digagas oleh penyair. Penyair umumnya romantis dan cengeng. Ia memandang persahabatan secara sentimentil dan selalu melebih-lebihkan permusuhan. bagi sang harimau, penyair itu anak kecil yang belum memahami hal-hal yang paling remeh pun dari kehidupan. Sehingga kaau sedikit saja si penyair atau kita semua berpikiran atau apalagi berperilaku tidak sesuai dengan kehendak sang harimau, maka wajib dididik, misalnya dengan cara menempelkan plaster di multunya atau satu tendangan ringan di pantatnya
Memang dulu kita ambil anak harimau itu dari tengah hutan lebat, kita gendong, kita sayang-sayang, kita kasih makan dan minum, kita bikinkan kandang, kita suburkan badannya dan kita panjangkan kuku-kukunya, dengan biaya yang sangat mahal dan kesantunan yangtinggi derajatnya. Tujuan kita adalah agar ia menjaga kita, memelihara ketenteraman hati dan keamanan rumah kita, dari ancaman-ancaman yang misalnya datang dari tetangga, dari masyarakat Jin atau Iblis
Harimau itu bertumbuh menjadi makhluk yang sakti dalam hal pengamanan, serta canggih dalam hal mengatasi ancaman. Sedemikian rupa sehingga ia tidak memiliki pengetahuan lain kecuali yang menyangkut keamanan. Dan karena kemudian ternyata dari tetangga maupun dari masyarakat Jin dan Iblis tidak ada ancaman apa pun yangdatang, maka perlahan-lahan si penyair dan kita semualah yang dianggap merupakan ancaman
Sebabnya adalah bahwa harimau akan kehilangan peran dan lapangan pekerjaan jika tidak ada ancaman, dan akibatnya adalah si penyair dan kita semua yang akhirnya dimasukkan ke dalam kandang

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)

BERSARANG

Sebuah tenaga asing bersarang di telapak tangaku
Aku tahu kamu! Alam sedang hamil
Semesta terkatung-katung di lorong buntu
Api zaman menggeliat, menyongsong
hari-hari terakhir pingitannya

Tenaga asing, aku bertanya kepadamu
kenapa musti datang dengan tekateki
Kamu fosil kapak Ibrahim yang
akan memancing api kemudian memadamkannya
Kamu kerak tongkat Musa yang membelah samudera dan
mengantarkan mereka ke zaman di seberang
Kamu terompah Muhammad yang
berderak kembali dari pengasingan
Kamu gigir pedang Ali yang bercabang

Tenaga asing aku tahu siapa kirim kamu ke aku
Tapi sebutkan berapa era kegelapan lagi harus kunantikan
Berapa dekade kesabaran lagi harus
orang-orang malang itu bayarkan
Berapa kurun kearifan lagi harus dipamerkan oleh
siapa pun yang berputus asa

Ke arah mana tenagamu ini harus kulemparkan
Cambuk punggungku sekarang. Bentak telingaku.
Tarik busurmu

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 14 Juni 2009

Perjalanan Dusta

Tujuh Wali Kekasih Tuhan, yang terdiri dari Empat Wali materi dan Tiga Wali Rohani, memutuskan untuk minggat selama-lamanya dari permukaan bumi
Mereka melarikan diri dengan tujuan hendak langsung menemui Tuhan di pesanggrahan-Nya, untuk mengadakan semacam unjuk rasa dan melontarkan sejumlah protes keras
Mereka adalah Wali Penjaga Tanah, Wali Penggembala Api, Wali Pemelihara Air, Wali Penunggu Logam, Wali Penabur Cahaya, Wali Penegak Akal, serta Wali Pembersih Nurani
Oleh ketujuh Kekasih Allah itu disepakati tiga alasan pokok yang menyebabkan mereka minggat
Pertama, di wilayah tugas mereka jumlah dusta alias kebohongan sudah hampir tak terhingga, sampai tak tertampung kapasitas komputer dengan mega-harddisk berukuran 1,3 trilyun giga byte
Kedua, para pemimpin dan anggota kelompok-kelompok yang memotori proyek-proyek ketidakadilan, yang mempercanggih manipulasi-manipulasi atas undang-undang, yang mensistematisasi birokrasi pemiskinan merasa sangat yakin bahwa justru merekalah calon-calon utama penghuni surga
Dan ketiga, problem-problem yang ditanam sebagai pohon yang terlalu dalam akarnya di wilayah itu, sudah tak mungkin ditumbangkan oleh kerjasama Lembaga-Lembaga Bantuan Perjuangan, oleh Pusat-Pusat Penelitian dan Pengembangan Keselamatan, oleh Komite Nasional Hak Makhluk Hidup, serta oleh Yayasan-Yayasan Penunda Hari Kiamat
Juga tak bisa dijamin akan bisa diatasi jikapun mereka dibantu oleh Badan-Badan Strategi Pengobatan Penyakit Zaman, oleh Forum Impian Nirwana, oleh Front Pemberantasan Rasa Takut, oleh Organisasi Penyadaran dari Situasi Pingsan Struktural, oleh Nahdlatul Bingung, maupun oleh Pementasan Aktor-Aktor Pengigau dan Sinetron-Sinetron Perajut Mimpi
Persoalan-persoalan itu, pada tingkat yang sungguh-sungguh, bahkan sudah tidak bisa disembuhkan oleh pihak-pihak yang menciptakannya itu sendiri. Bahkan tidak oleh kekuasaan tak terbatas yang berada di genggaman tangan Bapak Stagnasi Nasional, meskipun kalau beliau batuk pada suatu pagi, ratusan gunung bisa terguncang-guncang
Jika diibaratkan, persoalan-persoalan itu bagaikan sebuah kota besar, yang meskipun teguh beriman namun terlalu riuh rendah dan penuh gemerlap sementara jalanan-jalanannya selalu macet dan yang bisa dilakukan oleh kumpulan semua kekuatan sejarah itu paling jauh hanyalah memasang papan-papan pengumuman di sepanjang jalan dan di setiap perempatan yang berbunyi: "Dilarang Macet!"
Tujuh Walu Tuhan itu pergi secara diam-diam tanpa pamit atau minta izin kepada saya
Tetapi itu tidak mengagetkan karena saya memang tidak memiliki hak untuk mereka mintai izin, sebab yang menggaji mereka bukan saya, melainkan Tuhan sendiri
Sedangkan makhluk-makhluk lain yang makan minum dan kesejahteraannya berasal dari pajak saya saja pun tidak pernah berunding dengan saya ketika menelurkan setiap keputusan
Malah saya yang diperbolehkan ada hanya kalau memiliki Sertifikat Kelakuan Baik, yang dirilis oleh kelompok yang tidak dijamin berkelakuan baik
Malah saya yang setiap kali hendak bersin harus terlebih dulu meminta izin, karena saya adalah warga negeri asing yang harus dihadapi dengan praduga bersalah
Akan tetapi ketika Tujuh Wali itu tiba di gerbang Arasy, malaikat Syakhlatusy-Syams mencegat mereka dan langsung menuding mereka dengan kata-kata paling purba:
"Kalian tidak akan tiba di pesanggrahan Tuhan, melainkan akan terpeleset ke negeri setan. Karena siapa pun yang berputus asa mitra politiknya, koalisi kulturalnya serta mazhab teologisnya adalah setan
Kalian membuntuti jejak Yunus yang meratap dan bingung. Kalian akan kalah dalam undian dekade-dekade maupun kuis era-era. Kalian akan dipojokkan olehsejarah untuk terpaksa terjun ke laut, kemudian disongsongdan dijadikan makanan oleh seekor ikan raksasa abad XXI
Kalian sudah tahu bagaimana cara membuat perut ikan abad XXI itu menjadi panas, sehingga kalian dimuntahkan kembali dan terdampar di pantai masa depan untuk memulai sebuah orde yang baru. Tetapi melihat wajah dan sorot mata kalian, tampaknya kalian sudah sangat kecapekan untuk sanggup bertarung sampai ke ronde sejarah yang sejauh itu"
Tujuh Wali itu terhenti perjalanannya, tidak mampu menembus tembok telapak tangan malaikat Syakhlatusy-Syams, karena makhluk pengendali matahari ini memiliki kekuatan yang tak terkirakan dan belum mampu dihitung oleh seribu laboratorium ikatan cendekiawan
Yang terjadi kemudian adalah sebuah interogasi dan hampir sebuah perdebatan. Syakhlatusy-Syams bertanya kepada tujuh Wali Tuhan ini satu per satu, tentang landasan pemikiran mereka, studi fisibilitasnya, aksi lokal dan wawasan globalnya, target jangka pendek dan jangka panjangnya, bahkan diselidiki juga berapa milyar per tahun mereka memperoleh pendanaan dari negeri-negeri tetangga
Wali Penjaga Tanah menjawab: "Telah berlangsung perampokan ganda atas tanah-tanah di dunia. Terlalu banyak tanah yang dicerabut begitu saja dari tangan para pemilik tradisionalnya tanpa sopan santun dan tawar menawar yang mencerminkan bahwa mereka adalah makhluk yang bernama manusia. Tetapi terdapat juga perampokan yang selama ini tersembunyi: Tuhan hanya memberikan kepada manusia "hak pakai" bukan "hak milik" atas tanah yang Ia ciptakan ini, tetapi manusia menciptakan hukum yang tidak masuk akal dan merampk otoritas Tuhan, dengan menciptakan sertifikat hak milik atas tanah-tanah itu. Padahal terbukti mereka tidak pernah menciptakan tanah, tidak pernah memproduksi tanah, melainkan tiba-tiba saja menemukan tanah di bawah kakinya. Manusia adalah peminjam paksa, manusia adalah fakir miskin yang tak tahu diri, manusia adalah Columbus-Columbus sakit saraf yang merasa yakin bahwa mereka menemukan sebuah pulau dan memilikinya, seolah-olah tanah itu nongol
begitu saja dari jidatnya. Manusia adalah raja-raja yang mengkhianati logika historisitas. Manusia adalah makhluk sakit otak yang mencuri hak Tuhan secara semena-mena
Untunglah Tuhan bukan pendendam dan cenderung bersikap santai. Sehingga meskipun tiap saat milik-Nya diklaim oleh makhluk-makhluk-Nya, tetap saja Ia setia menerbitkan matahari, memelihara fasilitas alam dan mengedarkan rezeki-rezeki misterius di antara manusia
Akan tetapi, terus terang saja, kesantunan Tuhan yang berlebihan itulah yang aku tidak mengerti!"
Wali Penegak Akal tiba-tiba saja nyelonong meneruskan laporan WaliPenjaga Tanah:
"Manusia-manusia itu antre di pom bensin tidak dengan membawa konsep tanggung jawab bahkan sekadar terhadap setetes minyak bakar. Mereka mengucurkan begitu saja sebanyak-banyaknya benda cair yang langka itu dalam tangki mobil dan motornya masing-masing, tanpa laporan pertanggungan jawab kepada produser bensin apa ia sungguh-sungguh memerlukan bensin sebanyak itu, akan digunakan untuk ke mana dan untuk apa ia berkendaraan. Seolah-olah mereka pernah punya ilmu dan teknologi untuk memperoduksi minyak sendiri. Seolah-olah minyak adalah hasil produksi sejarah mereka
Kemudian mereka bahkan menciptakan kecurangan-kecurangan politik internasional demi pencurian minyak, menyelenggarakan dusta-dusta sejarah di seantero bumi yang disusun di kantor polisi dunia demi memonopoli minyak
Akui tidak bisa tahan lagi. Wahai Syakhlatusy-Syams! Aku ingin Tuhan mulai bersikap agak sedikit radikal! Aku yakin Tuhan bukan anggota Musytasyar dari sebuah Nahdlah besar yang terlalu sabar karena takut dituduh makar, sehingga akhirnya jenggotnya sendiri pada terbakar!"
Wali Penggembala Api menyahut dengan suara yang berat besar:
"Aku menyaksikan api dicuri dari rumahnya dan ditaburkan ke pasar-pasar!"
Syakhlatusy-Syams bertanya: "Kau menyalahi asas praduga tak bersalah. Apa mencipratnya api itu bukan karena tingkat kemarau yang kurang ajar?"
Wali Penggembala Api menjawab: "Tuan boleh ucapkan itu kepada punggawa-punggawa lembaga bantuan hukum, tapi jangan kepada murid Ibrahim dan Khidlir. Apakah Tuan akan menangkap Ibrahim dan memasukkannya ke dalam sel tahanan dengan tuduhan bahwa ia telah melakukan usaha percobaan pembunuhan atas Ismail putranya sendiri? Ditambah dakwaan bahwa Ismail membuat berita acara kerelaan untuk disembelih itu karena paksaan Bapaknya?
Apakah Tuan akan meyeret Khidlir ke pengadilan dengan tuduhan bahwa ia melakukan tindak kriminal katika mencekik seorang anak di tengah jalan, membocorkan dinding kapal serta ikut campur terhadap kondisi pagar seseorang di sebuah kampung?"
Syakhlatus-Syams tersenyum: "Jadi rupanya Khidlirlah backing kalian?"
Wali Penggembala Api menjawab: "Terserah pasal berapa yang Tuan kenakan atasku, tetapi terhadap semua ini aku memutuskan untuk angkat tangan dan menyerah. Kasrena api telah membakar dunia dan peradaban manusia. Kekuasaan dan politik telah mendayagunakan api di laras-laras senapan untuk menghanguskan hak-hak masyarakat manusia. Industri dan modal telah memompakan api konsumtivisme massal sebagai satu-satunya kenyataan hidup di abad ini tanpa peluang untuk kemungkinan yang lain. Para pejuan yang mengasah kapak-kapak itu dalam proposal dan praksis perjuangan mereka karena sebagai Ibrahim-Ibrahim abad XX, mereka tak memiliki kekuatan dan ketahanan untuk melawan bara api Fir'aun yang siap membakar mereka setiap saat sesudah upaya penghancuran berhala!"
Syakhlatusy-Syams tertawa kecil: "Kamu terlalu tegang. Belajarlah kepada Tuhan bagaimana bermain dalam kesungguhan dan bersungguh-sungguh dalam permainan. Mintalah petunjuk kepada Tuhan bagaimana bersenda gurau yang serius dalam menggembalakan dunia dan alam semesta"
Wali Penggembala Api memotong: "Justru itu yang kami protes! Manusia terlalu menganggap serius terhadap dunia ini. Manusia terlalu bersungguh-sungguh terhadap materi. Sehingga bumi mereka gali sumber dayanya dan diboroskan habis-habisan. Sehingga hutan-hutan mereka patok dan mereka tebangi. Sehingga tanah mereka pagari tanpa moral jual beli, dan mereka dirikan gedung-gedung yang tidak jelas hubungannya dengan kesejahteraan manusia yang hakiki
Manusia terlalu tegang kepada benda-benda dan uang, sehingga mereka perebutkan dengan segala cara. Mereka menyangka materi adalah jalan menuju rohani, dan menjelang ajal baru mereka mengerti bahwa mereka sesungguhnya adalah makhluk rohani. Sekarang kami sudah tidak diperlukan lagi di muka bumi, karena tidak ada suara yang bisa berguna bagi telinga yang tuli!"
Kemudian berturut-turut terdengar suara Wali Pemelihara Air dan Wali Penunggu Logam:
"Jangankan suara kami para Wali petugas alam yang hina dina, sedangkan suara Tuhan sendiri pun sudah jarang didengar oleh hampir semua telinga!
Tuhan bukan lagi subyek utama kehidupan ini. Sejauh-jauh posisi Tuhan hanyalah pihak keempat: pihak pertama adalah pemilik modal dan kekuasaan, pihak kedua adalah sumber daya alam, pihak ketiga adalah massa pasar dan Tuhan adalah pihak keempat yang sesekali disebut untuk tiga macam keperluan. Pertama untuk legitimasi proyek. Kedua untuk keabsahan keputusan kekuasaan. Dan ketiga untuk mengeluh bagi mereka-mereka yang kepepet
Kami tidak lagi bermimpi bahwa telinga para penggusur bisa mendengarkan suara tangis orang-orang yang rumah dan tanahnya digusur, sedangkan deru mesin buldozer yang sebegitu bergemuruh saja pun tidak sanggup menyentuh gendang telinga mereka. Mereka hanya mampu mendengarkan suara mereka sendiri di Karaoke!
Air telah sirna dari sungai-sungai. Yang tinggal adalah kotoran yang bercampur sedikit air. Kebersihan telah dicerabut dari air, karena proses pembersihan air adalah pasar-pasar perusahaan yang memaksa harga setetes air lebih mahal dibanding setetes minyak!
Manusia-manusia yang cerdik pandai itu berlagak tidak tahu bahwa hanya beberapa puluh tahun ke depan Pulau Madura, Sulawesi Selatan dan Jakartaakan mendapat giliran pertama untuk tenggelam di bawah permukaan laut!
Para cendekiawan yang mewah itu tidak memberitahukan kepada saudara-saudaranya berapa tingkat kenaikan suhu udara per tahun, sehingga anak cucu mereka akan menegakkan dendam sejarah di masa depan
Para kaum terpelajar itutidak melaporkan kepada rakyatnya tingkat penyempitan pulau Jawa setiap tahun.Juga tidak dikemukakan jaminan bahwa bangsa mereka pada saatnya akan sanggup membayar hutang yang tanpa kendali!"
"Kami telah memutuskan untuk pergi tanpa pamit dari dunia perjalanan dusta semacam itu," berkata Wali Penegak Akal yang kemudian disusul oleh Wali Penabur Cahaya dan Wali Pembersih Nurani:
"Akalku sendiri minta ampun. Aku menyaksikan Rahwana-Rahwana yang berwajah sepuluh bukan hanya merebut kata-kata yang semestinya diucapkan oleh Rama dan Hanuman, tetapi bahkan Rahwana-Rahwana itu merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa mereka adalah Rama yang suci, adalah Hanuman yang tulus, adalah Lesmana yang waskita. Dan mereka membawa keyakinan diri yang tidak masuk akal itu ke dalam sujud-sujud mereka yang khusyu', bahkan sampai ke tanah suci!
Betapa gampang menghadapi pendusta yang memang pendusta dan mengerti bahwa ia pendusta. Tetapi betapa mustahil dan ruwetnya melayani pendusta yang merasa dirinya paling mulia justru di antara orang-orang yang tidak berdusta. Betapa pening akalku menyaksikan para pendusta melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya diucapkan oleh alim ulama"
"Sebagai Wali Penabur Cahaya terus terang aku bingung karena hampir tidak ada satu kata pun yang terang. Tidak lagi bisa dibedakan antara kata penerangan dan penggelapan, atau antara keterangan dan kegelapan sehingga para petugas penerangan sebelum melangkah selalu memohon petunjuk, baik petunjuk teknik maupun petunjuk pelaksanaan
Akalku sudah terpingsan-pingsan penyaksikan tidak jelasnya perbedaan antara gelap dengan terang. Karena setiap kali ada mulut yang mengusahakan pembebasan manusia dari kegelapan, yang diterima oleh mulut itu adalah pemberedelan, dan pemberedelan itu dilakukan oleh tangan yang merasa sangat bahwa yang ia lakukan adalah penerangan"
"Sebagai Wali Pembersih Nurani terus terang juga aku merasa sudah tidak punya lagi tugas dan kewajiban, terutama karena nurani adalah barang rongsokan yang sudah dibuang, dan seandainya ada yang mengambilnya sebagai barang antik ia tidak akan lolos untuk didaftarkan ke lembaga pelelangan
Hanya orang dungu yang membayangkan akan bisa menjumpai kata nurani terdaftar di lembaran-lembaran buku ekonomi, perusahaan, supermarket dan konglomerasi. Hanya pemimpi yang over-optimistik yang memimpikan bahwa nurani merupakan asas utama sebuah kekuasaan..."
Tiba-tiba terdengar petir menggelegar. Terompet melengking-lengking. Seluruh penghuni langit meraung-raung, melolong-lolong. Seribu gunung terbatuk-batuk, air tujuh samudera meluap, seribu gelombang menggelegak. Tapi sesaat kemudian mendadak seluruhnya itu seperti tidak pernah terjadi. Alam sunyi. Alam senyap
Tujuh Wali Tuhan itu merasakan tatkala mereka menyadari dirinya, tiba-tiba mereka sudah terjerembab kembali berada di tempat tugasnya semula. Di hadapan mata mereka kembali terhampar dunia yang setiap pagi dan setiap menjelang tidur menggoda mereka untuk berputus asa
Karena gejolak perasaan di dalam dada para Wali itu, rasanya mereka hendak memekik, tapi kemudian terdengar suara entah suara Jibril atau suara Tuhan sendiri: "hi hi hi ..."

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 09 Juni 2009

Di Bayangan Merapi

Tuhan Pengasuh alam dan manusia
Jika gunung berapi memuntahkan lahar
Engkau mengambil alih muntahan itu
dan kalau Engkau yang melahari kami
pasti Engkau sertakan juga makna yang tak terperi

Tuhan Penyantun siang dan malam
Jika gunung gerapi menghembuskan hawa panas
Engkau mengambil alih hembusan itu
dan kalau Engkau yang memanasi kami
pasti panas itu datang disertai arti

Tuhan Pembimbing gelap dan terang
Jika gunung berapi menghantamkan kehancuran
Engkau mengambil alih hantaman itu
dan kalau Engkau yang menghantam kami
pasti Engkau janjikan juga rahmat dan kasih

Tuhan Pengurus segala kesedihan dan kebahagiaan
Ambil-alihlah pikiran kami agar menjadi jernih
Ambil-alihlah hati kami agar membening
Ambil-alihlah kesadaran kami, agar seluruh makna
bencana ini menjadi awal kebangunan kami

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 07 Juni 2009

Nasionalisme Burung-burung

Engkau selalu bertanya kepada burung-burung, tanpa engkau sadari bahwa engkau selalu bertanya kepada burung-burung: "Milik siapakah kalian?"
Dan burung-burung selalu menjawab: "Pemilik kami Tuhan kami, namun Ia meminjamkan diri kami ini kepada kami, kemudian kami pinjamkan diri kami kepada kumpulan manusia yang menghuni tanah dan padang-padang di mana kami beterbangan mencari makan"
Seterusnya engkau bertanya: "Kapan kalian akan mengembalikan diri kalian kepada Tuhan, dan kapan kumpulan manusia itu akan mengembalikan diri kalian kepada diri kalian?"
Burung-burung menjawab: "Setiap saat, kapan pun saja, kami siap mengembalikan diri kami kepada Pemiliknya. Namun kami tak bisa melakukannya, karena manusia tidak mau mengembalikan diri kami kepada diri kami...."

***

Demikianlah juga jawaban pepohonan, rumput-rumput, gunung dan perbukitan; demikianlah juga jawaban tanah dan air, darah dan daging, hutan dan sungai-sungai, jika engkau bertanya: "Milik siapakah kalian?" Sehingga engkau akan terheran-heran dan melanjutkan pertanyaan:
"Apakah manusia itu sejenis makhluk yang kalau meminjam tidak bersedia mengembalikan? yang kalau berhutang, selalu menunda-nunda pembayaran, sampai saat maut menghadang, sampai di bilik pengap penjara ia digeletakkan, sampai dari singgasananya ia dicampakkan? ataukah manusia itu sejenis ciptaan Tuhan yang sedemikian dungunya sehingga kalau mencuri malah merasa memiliki, dan kalau memonopoli malah merasa paling berjasa sendiri?"

***

Maka aku juga ingin engkau selalu membisikkan ke telingaku apa kata burung-burung itu, apa kata hutan, pegunungan, angin dan lumpur. Aku ingin engkau membisikkan ke telingaku dendang hati mereka tentang negeri ini. Aku ingin mendengar nyanyian-nyanyian itu kembali:
Nasionalisme bukanlah tali ikatan antara satu jenis burung yang membedakan diri dari jenis-jenis burung yang lain
Nasionalisme adalah persentuhan getaran hatinurani seluruh burung-burung, seluruh burung-burung
Nasionalisme bukanlah pada wilayah hutan belantara mana burung-burung boleh hinggap dan beterbangan
Nasionalisme adalah kesepakatan antara semua jenis burung tentang bagaimana memelihara hutan yang indah dan sehat bagi kehidupan setiap burung, setiap burung
Nasionalisme bukanlah burung dibikinkan sangkar oleh Tuannya, yang diulur naik ke puncak tiang di pagi hari, kemudian diturunkan dan dimasukkan kandang di sore hari
nasionalisme adalah burung tanpa sangkar, adalah burung di angkasa bebas, yang dari kebebasan itu hati dan kesadarannya belajar memahami dan merancang sangkarnya sendiri

***

Nasionalisme bukanlah mengketapel burung, menjerat dan mengurungnya, serta menjadikannya hiasan karena meskipun engkau mengelus-elus bulu dan sayapnya, namun engkau berdusta kepada hakikat burung-burung ketika merebut langit dan alam dari kehidupannya.
Nasionalisme bukanlah membatasi ruang terbang burung-burung, melainkan membuka peluang belajar dan pelatihan bagi nurani burung-burung untuk sanggup menciptakan batas-batas ruang terbangnya sendiri.
Nasionalisme bukanlah burung dalam sangkar bambu yang tunduk menghormati burung sangkar emas, atau burung sangkar emas meludahi burung sangkar bambu.
Nasionalisme adalah burung-burung sangkar langit, burung-burung sangkar alam semesta, burung-burung sangkar jagat yang tak dibatasi garis kepentingan kelas-kelas burung, oleh egosentrisme dan penghisapan sejenis burung atas sejenis burung yang lain
Nasionalisme bukanlah burung-burung yang engkau tawan dan engkau jatah makan minumnya serta engkau tentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh disantapnya.
Nasionalisme adalah menguakkan kesanggupan burung-burung yang tanpa akal senantiasa mengerti apa yang berhak dimakannya dan apa yang terlarang untuk diminumnya.
Nasionalisme burung-burung tidak punya tuan, nasionalisme burung-burung hanya punya Tuhan.
Nasionalisme adalah burung-burung yang menentukan dan memiliki pemuka-pemuka. Pemuka-pemuka yang bertugas untuk menjadi pekerja yang memenuhi keperluan seluruh burung-burung, sehingga seluruh burung-burung itu bersedia menyisihkan pendapatannya untuk memberi makan kepada pemuka-pemukanya.

***

Burung-burung tak dimiliki oleh Tuan, burung-burung hanya memiliki Tuhan. Sebab jika Tuan memilikinya, mereka tak boleh memiliki Tuannya, sedang jika mereka dimiliki Tuhannya, itu berarti Tuhan adalah milik mereka.
Burung-burung sangat mengerti bahwa hak tertinggi yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup adalah memperoleh pinjaman dari Tuhannya sejumlah yang diperlukannya, adalah makan dan minum sebanyak yang dibutuhkannya
Burung-burung sangat memahami bahwa hanya tatkala lapar ia berhak memetik makanan dari alam, dan hanya ketika haus ia berhak menimba minum dari alam
Burung-burung sangat bersetia kepada kenyataan betapa Tuhan sangat memiliki segala sesuatu, namun senantiasa pula ia tak memakainya sendiri melainkan meminjamkannya
Betapa Tuhan sangat memiliki kesanggupan untuk menggenggam apa pun saja, untuk merampas apa pun saja, serta untuk mengambil alih apa pun saja, namun ia tak melakukannya
Sehingga burung-burung selalu sangat merasa heran betapa ada makhluk-Nya yang tak memiliki namun berlaku sebagai pemilik, yang tak berkewenangan namun bertindak sebagai penguasa, yang tak berhak namun mengambil apa saja yang dinafsuinya, yang berkedudukan hanya sebagai hamba namun segala jenis penghisapan, perbudakan dan penindasan dilakukannya

***

Nasionalisme burung-burung tidak mempersoalkan di sarang pepohonan apa telornya menetas, oleh karena itu segenap burung di muka bumi mencicit-cicit apabila ada saudara-saudaranya sesama makhluk datang bagai banjir, menebangi pohon-pohon, sehingga merasa kehilangan tempat untuk membuat sarang-sarang
Nasionalisme burung-burung tidak mempersoalkan apa warna telor mereka, berbentuk lonjong atau bulat, oleh karena itu segenap burung di hamparan tanah ini mendongakkan paruh-paruh mereka apabila tiba mesin besar entah dari mana yang menyeragamkan bentuk telor mereka
Nasionalisme burung-burung tidak mempersoalkan apa warna bulu atau berapa besar tubuh mereka, oelh karena itu segenap burung-burung di kehangatan alam ini mengepak-ngepakkan sayap mereka apabila hadir pisau besar yang memangkas bulu mereka dan membonsai badan-badan mereka
Nasionalisme burung-burung adalah negeri cinta kasih yang dibatasi hanya oleh cakrawala dan langit biru, sungai, gunung-gunung, hutan, samudera dan pulau-pulau hanyalah torehan garis dan warna-warni dalam kanvas lagu pujaan mereka kepada Tuhan
Nasionalisme burung-burung adalah kesepakatan untuk menjaga kemerdekaan seluruh alam. Negara burung-burung adalah pembangunan tempat dan kesejahteraan utnuk saling memerdekakan dan mengasihi

***

Jika burung-burung rajawali, jika burung-burung hantu, jika burung-burung raksasa lainnya bergerombol untuk mematuki burung-burung kecil dan merampas jatah makan minum dan kemerdekaan mereka: maka jagat cinta kasih terbelah menjadi dua negeri. Yang satu negeri para penindas, lainnya negeri para tertindas
Para penindas berlaku sebagai tuhan, sedangkan para tertindas sesak napasnya tidak hanya oleh kekuasaan yang menindih, tapi juga oleh cinta dan kesantunan yang tidak disemaikan di bagian manapun dari tanah Tuhan
Nasionalisme burung-burung terluka dan mengucurkan darah, karena seluruh burung-burung kecil di mana saja di permukaan bumi terjaring menjadi satu negara rahasia yang tergetar nuraninya, serta bersiap menagih di hari esoknya

1989
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 04 Juni 2009

Hati Semesta

Betapa dahsyat penciptaan hati
Bagai Tuhan itu sendiri
Oleh apa pun tak terwakili:
Ia adalah ia sendiri

Semalam batok kepalaku pecah
Dipukul orang dari belakang
Tatkala bangun di pagi merekah
Hatiku telah memaafkan

Hati bermuatan seribu alam semesta
Dindingnya keremangan
Kalau kau keliru sapa
Ia berlagak jadi batu seonggokan

Kepala negara hingga kuli mengincar
Menjebak dan mencuri hidupmu
Namun betapa ajaib sesudah siuman
Kau percaya lagi

Betapa Tuhan serasa hati ini
Dicacah dilukai berulangkali
Berdarah-darah dan mati beribu kali
Esok terbit jadi matahari

1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 03 Juni 2009

Kafilah 190 juta

Kafilah 190 juta
Menatap cakrawala
Astaga!
Kafilah 190 juta
Menatap cakrawala

Aku sapa mereka dan bertanya:
"Gerangan apa yang tampak di cakrawala?"
Serempak terdengar jawaban dari mulut mereka:
"Jakarta teguh beriman, Yogyakarya berhati nyaman
Solo berseri, Semarang kota atlas, Salatiga..."

Kafilah 190 juta
Betapa, O, betapa
Kafilah 190 juta cintaku
Bersepakat untuk menempuh
Perjalanan yang berjejal-jejal
Dan penuh sesak

Kulambaikan tanganku dan kutegur :
''Perjalanan macam apakah gerangan
yang kalian tempuh, saudara-saudaraku?"
Bergema jawaban dari seluruh barisan:
"Perjalanan jangka panjang!
Perjalanan bertahap-tahap!"

Kafilah 190 permata jiwaku
Bersepakat untuk mengubah
Perjalanan yang sendiri-sendiri
Menjadi perjalanan bersama-sama

Aku bisikkan ke telinga sebagian mereka:
"Bersama-sama duduk dan bersama-sama berdirikah
kalian dalam perjalanan bahagia ini?"
Dengan berbisik pula sebagian anggota rombongan itu
menjawab: "Sebagian dari kami berhak untuk duduk,
sebagian yang lain berkewajiban untuk berdiri"

Kafilah 190 juta
Berderap langkahnya
Berderak suara kakinya
Lagu-lagu kekompakan mereka bagai hujan
Nyanyian kebulatan tekad mereka bagai sejuta akar tunjang
menancapi tanah di hutan dan ladang-ladang

Tergiur hatiku hendak bernyanyi bersama mereka
Sehingga demi menyatukan nada dan irama, kupastikan
dulu aransemen dengan bertanya:
"Lagu apakah sebenarnya yang kalian dendangkan?"
Orang-orang itu menjawab dengan teguh dan tatapan
mantap ke depan: "Lagu persatuan dan kesatuan"
"Kenapa ada kudengar nada yang agak tidak sama
antara satu barisan dengan lainnya?" kataku
"Karena sebagian kami menyanyikannya dengan raing
gembira, sementara sebagian yang lain melagukannya
dengan tangis dan deraian air mata"

Kafilah 190 juta
Berjuta kaki berjalan
Berjuta kaki berduyun-duyun
Berjuta kaki berayun-ayun

Kepada kaki yang berjalan aku bertanya:
"Berapa tahap lagikah perjalananmu akan tiba?"
Dengan agak malu-malu kaki itu menjawab:
"Kami belum tiba pada jenis pertanyaan itu
Yang kami urus barulah bagaimana mengulur-ulur
perjalanan ini tidak dengan hutang demi hutang"

Kepada kaki-kaki yang berduyun-duyun aku kemukakan
rasa bangga: "Betapa nikmatnya manusia yang membangun!"
Tapi mereka menjawab: "Kami belum membangun, kami
sedang dibangun untuk dijadikan batu-bata pembangunan"

Kepada kaki yang berayun-ayun aku lontarkan rasa
cemburu: "Alangkah nyaman mengayunkan langkah
ke hari depan!"
Tapi yang ini pun menjawab: "Kaki kami terayun-ayun
loncat dari tanah, sawah dan kebun kami; sesudah
tiba-tiba saja hadir siluman yang membelinya dengan
paksa, dengan harga yang mereka sendiri pula yang
menentukannya"

kafilah 190 juta
Bergemuruh!
Bagai putaran baling-baling mesin kemajuan
Di tengah barisan demi barisan berderap
Di tengah 190 juta langkah berderak

Aku berteriak: "Wahai, betapa gegap gempita suara kalian!"
Aku mendengar jawaban: "Yang bersuara ini hati kami,
sedangkan mulut kami terbungkam!"
Aku berteriak: "Wahai, betapa riang gembira
perjalanan kalian!"
Aku mendengar jawaban: "Tentu saja, karena tangis
kesengsaraan sedalam apa pun harus kami ungkapkan
dengan penuh keriangan!"...

1993
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)