Senin, 24 Mei 2010

Suluk Tuhu Linglung (4)

Syari'at itulah tirai
Karena ruh idhafi-lah yang hakiki.
Syahadat, shalawat,
Nabi dan wali, dalam tauhid
Ditaburi
Oleh tirai.
Ma'dum, ma'lum, tasbih,
Tahlil dan shalawat
Dijadikan tirai yang menutupi.

("Suluk Pesisiran Kode LOr 7375, Puitisasi Emha Ainun Nadjib", Mizan, 1995, PadhangmBulanNetDok)

SULUK TUHU LINGLUNG (3)

Tuhu Linglung 3

Sepedati penuh kertasnya
Tiada lain yang diperbincangkan
Kenapa sedemikian sesat
Memeluk titipan tanpa sisa
Terlena karena dipercaya
Padahal itu tak benar-benar disadarinya
Nabi, wali, mukmin, sirna
Hancur, lebur, luluh, musnah, hilang
Namun tak dicapainya kekosongan.

("Suluk Pesisiran Kode LOr 7375, Puitisasi Emha Ainun Nadjib", Mizan, 1995, PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 16 Mei 2010

Tuhu Linglung (2)

Tuhu Linglung 2

Terlebih yang belum yakin benar ia
Terbelenggu hanya oleh tata krama
Sembahyang sunnah dan fardhu tak putus-putusnya
Agar tertabiri ketidaktahuannya
Puasa dan sedekah
Juga zakat fitrah-nya
Dijadikan berhala yang dipuja-puja
Sungguh mereka yang sedemikian terlena
Belum seberapa baktinya
Pengetahuannya masih biasa-biasa saja.

SULUK TUHU LINGLUNG (1)

Dhandhang
Karya Sunan Panggung

Tuhu Linglung 1

Merasuki sastra
Sungguh bisa bikin bingung
Yang diolah senantiasa gagasan
Ilmu diuraikan
Lafal dihitung-hitung
Benar salah dipersoalkan.
Maka bukanlah tanda orang berpengetahuan
Jika terpana hanya dalam laku
Merasa malu untuk mengulang bertanya
Seakan telah ia temukan segala
Padahal belum apa-apa.

("Suluk Pesisiran Kode LOr 7375, Puitisasi Emha Ainun Nadjib", Mizan, 1995, PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 28 April 2010

Bersalaman dengan Gadis Gila

Hari ini saya menerima surat dari sebuah kota pesisir utara Jawa yang berisi permohonan maaf kepada saya. Tentu saja saya membalasnya dengan kata-kata: "Saya tidak berhak memberi maaf kepada Anda, sebab menurut pengetahuan saya Anda bersalah tidak kepada saya, melainkan kepada Tuhan, kepada gadis gila itu dan kepada diri Anda sendiri."
Meminta maaf kepada diri sendiri bisa ditempuh dengan penginsafan hati dan pembenahan cara berfikir. Memohon ampun kepada Allah bisa dijalankan dengan cara bersujud, shalat sebanyak-banyaknya, kalau perlu puasa dan menyampaikan qurban sebagai semacam ruwatan atau pembersihan diri. Tetapi bagaimana caranya meminta maaf kepada seorang yang dirahmati oleh Allah dengan kegilaan?
Ceritanya, beberapa minggu yang lalu datang ke rumah kontrakan saya tamu-tamu muda anggota suatu kelompok Tarikat. Pakaian mereka necis, rambut klimis, gerak-gerik mereka memenuhi segala konsep kesopanan, dan cahaya wajah mereka bagaikan memancarkan sima'hum fi wujuhihim min atsaris-sujud: ada tanda-tanda bersinar di wajahnya, jejak sujud-sujud rnereka kepada-Nya.
Ada banyak problem dan kepusingan yang sedang menimpa saya seperti juga tiap hari terjadi, tetapi kalau menerima tamu-tamu penuh kemuliaan seperti ini tidak ada lain yang terasa kecuali ketenteraman dan keteduhan.
Ini anak-anak Tariqah! Bayangkanlah. Hampir semua anak muda memperlombakan hedonisme, hura-hura dan menyembah segala jenis materialisasi manusia, tapi anak-anak muda ini tak perlu menanti saat sekarat untuk memilih keabadian ruhani.
Tiba-tiba nongol Si Inur, wanita tamatan SMTA yang oleh semua orang kampung ternpat tinggal saya dianggap sampah karena sinting sesudah ditinggal pacarnya kawin dulu. Lebih dua puluh kali sehari ia datarg dan kami mengobrol. Mungkin karena di rumah saya ia menemukan teman-teman sejawat dan senasib, sehingga bersedia menerimanya dan ngowongke.
Maka saya panggil Si Inur, saya ajak untuk bersalaman dan berkenalan dengan tamu-tamu terhormat saya. Senyum-senyum ia datang sambil satu tangannya mempermainkan helai-helai rambut. Ia menyodorkan tangannya dengan ramah, dan rnendadak saya saksikan tamu-tamu saya kaget, gelagapan dan salah tingkah. Semuanya tidak bersedia menerima uluran tangan Si Inur dan hanya berkata disopan-sopankan: "Sudah, sudah... terima kasih, terima kasih!"
Tahukan Anda bahwa saya sendiri tidak menyangka betapa saya mendadak marah menyaksikan hal itu? Bukan hanya marah, tapi juga meledak-ledak dengan kata-kata amat keras dan terus terang.
Saya amat sangat tersinggung karena tamu-tarnu saya menolak keramahan seorang hamba Allah. Apalagi hamba Allah yang ini berangkat ke alam gila dengan membawa penderitaan hati karena dikhianati cintanya. Sedangkan Allah pun murka kalau kita khianati cinta-Nya!
Apakah tamu-tamu saya ini merasa yakin akan masuk surga dan Si Inur pasti masuk neraka, sehingga tak punya kehormatan setitik pun untuk diterima uluran tangannya? Sedangkan gadis ini sejak beberapa tahun yang lalu telah selamat hidupnya karena segala perbuatannya akan tidak dikalkulasi oleh Allah berkat kegilaannya, sementara tamu-tamu ini rnasih menapakkan kakinya di jalanan licin penuh lumpur dosa-dosa?
Ataukah mereka jijik bila tangannya yang bersih dan wangi harus bersentuhan dengan tangan kumuh kotor si gila? Ahli tarikat anak-anak muda ini, ataukah priyagung-priyagung yang feodal dan suka merendahkan orang kecil?
0, mungkin mereka keberatan salaman karena Si Inur itu wanita yang bukan muhrimnya. Lebih berat manakah takaran antara pahala tidak menyentuh tangan wanita dibanding dosa tidak memelihara bebrayan sosial? Apakah gadis gila ini bagi para ahli tarikat masih seorang wanita? Tinggi benar naluri seksnya!

(Harian SURYA, Senin 7 Desember 1992)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Para Patriot (4)

Anak kita yang lain dari Jl. Kartini, Babad, juga memerlukan bantuan biaya untuk sekolah, sambil mengutip Surat at-Taubah 103 rnengenai "mensucikan harta" dengan cara menyedekahkan.
Sambil mengingatkan agar tak usah "menodong" dengan ayat, saya tetap imbaukan kepada calon Bapak atau Ibu Penyantun. Termasuk buat anak kita yang lain, siswa Aliyah di Guluk-Guluk (Luk-Guluk), Sumenep, Madura, yang orang tuanya megap-megap karena kapital teri tembakaunya semakin tak bisa diandalkan "Pekerjaan saya dan keluarga adalah bercocok tanam," katanya, "Cak Nun, apakah zaman sekarang ini memang bukan zamannya kaum tani? Apakah ini yang disebut Gelombang Industri dan Gelombang
Teknologi Informasi, di mana Gelombang Agraris sudah lewat, sehingga kami tak punya prospek hidup?"
Jembatan Madura-Surabaya baru akan dibangun, memang. Artinya, dari Madura yang masa silam" baru akan ada jembatan ke masa depan" itu akan juga sangat menggelisahkan. Belum tentu Madura akan menyerap, salah-salah malah hanya akan diserap.
Tapi memang pembangunan yang sedang gencar kita selenggarakan ini fokusnya adalah pertanian, belum tentu petani.
Ada juga anak kita yang lain yang lebih tua, yang kasus hidupnya relatif sama dengan yang barusan kita bicarakan. Seorang mahasisva Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah: keluarganya pontang-panting menutupi biaya kuliahnya. Empat kali cocok tanam: tembakau gagal terus. Padahal sekarang ini diperlukan setidaknya setengah juta rupiah untuk kuliah dan beli buku-buku wajib.
Kok lembaga pendidikan banyak memproduk problem, sih? Tampaknya Indonesia belum makmur, jadi belum bisa menggratiskan sekolah. Atau sudah makmur, tapi belum adil, belum ada just economic sharing.

Pendistribusian keadilan itu kalau tak bisa ditempuh melalui sistem sosial ekonomi yang berlaku, tak bisa melalui Majelis Ulama atau Dinas Sosial -- yang cobalah melalui kearifan sosial di hatinurani hamba-hamba Allah tersebut.
Saya yakin di antara Anda ada yang dipanggil oleh Allah, misalnya, untuk membapak-asuhi puluhan, bahkan anak-anak kecil SD-SMP yang hidup mereka beserta keluarga mereka sangat terbengkalai di bukit kering kerontang tepian Waduk Kedungombo, Jawa tengah.
Kalau sekolah mereka berjalan kaki beberapa kilometer menapaki bukit-bukit, kemudian naik Akudes. Kalau tak ada uang seratus rupiah saja pada suatu pagi, mereka tak bisa sekolah. Jangan bayangkan mereka punya realitas sosial yang memungkinkan mereka kelak bisa meneruskan sekolah. Menamatkan SD saja sudah slametan rasanya. Menurut Anda, apakah Allah lebih sering "berada" di tempat sepi, terasing dan amat jauh dari kesejahteraan itu; ataukah Allah lebih suka rnenemani kita di sini? Betapa indahnya kalau kita mengambil dan mengantarkan mereka ke hari depan! Sebab betapa indahnya pula tangan-tangan mungil mereka mengantarkan kita kepada cinta kasih Allah.
Tentu saja tidak harus mengambil mereka atau salah seorang dari mereka ke rumah kita dan menjadi anak angkat. Bisa cukup dengan membiayai sekolah salah seorang dari mereka sekarang. Atau mengambilnya dan mengirimkannya ke Pesantren atau lembaga pendidikan lainnya. Atau, sangat mungkin juga sesekali dolan ke pinggiran waduk raksasa yang sangat bermanfaat buat orang-orang kota itu: bawa beras, ketan, baju, tikar untuk "masjid alamiah" mereka. Dan yang terpenting bawa: cinta dan senyuman.

(Harian SURYA, Senin 22 Maret 1993)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kampung Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Senin, 19 April 2010

Para Patriot (3)

Anak kita, seorang pelajar SIvIA yang tinggal di Jalan. P. Sentik, Tanah Grogot, Kalimantan Timur, berkirim surat meminta sebuah mesin ketik. "Itu sangat berarti bagi saya, untuk mengembangkan bidang tulis menulis untuk dimuat di media massa," katanya.

Ini salah satu contoh dari banyak anak-anak kita yang bersurat ke rubrik ini, yang memandang kehidupan ini sedemikian sederhana dan penuh jalan pintas. Bekerja sebagai penulis sedemikian gampangnya: ada mesin ketik, menulis, lantas dimuat di media massa. Padahal jarak antara mesin ketik dengan menulis itu bukan main lebar dan ruwetnya. Apalagi jarak antara tulisan dengan pemuatan di media massa.
Tentu saja akan sangat mengharukan kalau lantas ada yang bermurah hati mengiriminya mesin ketik. Tetapi harus kita ingatkan bahwa itu belum tentu merupakan 'jalan keluar' bagi sukses menjadi seorang penulis.
Juga pastilah siapa saja yang beritikad untuk menolong, ia berhak dan memang lebih afdhal apabila terlebih dahulu bersilaturahmi, berkorespondensi atau syukur berdialog langsung dengan orang yang ingin ditolongnya demi agar ia memperoleh pengetahuan dan kepercayaan yang lebih pasti tentang yang akan ditolongnya.
Saya sendiri belajar menulis di Yogya awal era 1970-an dengan banyak teman. Kami tidak pernah berpikir teknis: ada kertas atau tidak, ada mesin ketik atau tidak. Itu soal gampang. Bisa nunut sesekali, atau ditulis tangan. Sebab yang 'bergemuruh' dalam diri seseorang yang berjuang belajar menulis adalah soal-soal yang kualitatif: bagaimana menghayati kehidupan merenungi masalah-masalah, peka terhadap nilai-nilai, kerja keras dengan otak, akal budi, perasaan dan hatinurani.
Soal kertas dan mesin ketik, itu masalah teknis yang amat gampang diatasi. Bisa numpang tetangga, atau di Kantor Kelurahan, dan Insya Allah tanpa harus menyodorkan Sertiikat Lulus Penataran P-4. Tetangga dan Pak Lurah pasti senang ada warganya yang belajar kreatif, sebab mereka mestinya bukan orang sakit jiwa.
Pesan pribadi saya kepada para calon penulis atau patriot pemburu masa depan: berapa jam kerjamu dalam sehari-hari? Saya sudah tua, dan justru karena itu saya tidur setelah subuh, kemudian pukul 08.00 pagi sudah siap 'perang' lagi. Seandainya saya ini boleh diangap penulis yang sudah 'jadi', modal saya ada tiga:
- Pertama, anugerah Allah.
- Kedua, belajar dan bekerja keras.
- Ketiga, keikhlasan doa Ibu saya dan Anda semua.
Apa yang harus kita perjuangkan terutama qdalah etos kerja, kesediaan untuk bekerja keras dan 'kejam' kepada diri sendiri. Bukan memimpikan fasilitas. Salah satu wujud kreatiitas adalah 'kesanggupan bekerja maksimal dalam kondisi dan fasilitas yang minimal.'
Tapi anak-anak sekarang baru mau bekerja kalau jelas gajinya. baru mau melakukan sesuatu kalau lengkap fasilitasnya dan ada jaminan hasil. Mereka tidak bisa menjadi pejuang bahkan bagi dirinya sendiri, sebab tidak ada perjuangan yang titik tujuan atau hasilnya bisa dipastikan.
Kalau mereka disuruh masuk hutan, mereka memastikan dulu apakah di dalamnya ada buah yang dicarinya, ada macan atau ular yang rnengancam atau tidak. Bahkan mungkin mereka riset dulu berapa luas hutan, jenis tanahnya, atau ada warung atau tidak, ada pentas dangdut dan metal atau tidak. Kalau sudah jelas semuanya, baru mereka melangkahkan kaki masuk hutan.

(Harian SURYA, Senin 15 Maret 1993)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 07 April 2010

Para Patriot (2)

Seorang pendeta di Tarus, Kupang, Nusa Tenggara Timur, yang saya pernah bersenda gurau dengannya semalam-malaman, menginginkan anggotanya dalam organisasi pengembangan masyarakat ke Pulau Flores yang ditimpa bencana, untuk melihat apa-apa yang mereka bantu.
Memang ada beribu hal yang diperlukan oleh penduduk pulau malang itu dan setiap orang, setiap kelompok atau institusi, menjajaki tingkat kesanggupannya untuk menolong. Salah seorang anggota yang dikirim itu, sesudah melihat lapangan, mengajukan proposal kepada Pak Pendeta: Butuh biaya kurang lebih satu juta rupiah untuk perbaikan dua mushalla yang legrek (rusak berat) oleh gempa.
Ibarat kalau ada orang kejet-kejet ditabrak truk, segera saja Anda lari menolongnya, tak usah dulu tanya kepada korban apa agamanya, apa madzabnya, apa alirannya dan apa proposalnya. Dan Pak Pendeta ini dengan senang hati bersurat melanjutkan keperluan perbaikan tempat ibadat itu. "Tapi terus terang saya agak takut-takut inisiatif saya ini tidak didukung oleh kalangan Kristen, serta dicurigai oleh kalangan Islam," katanya.
Saya katakan kepada beliau: "Itu memang sangat pantas dicurigai. Bahkan kalau karni bersembahyang di masjid, saya terkadang juga curiga apakah orang di sebelah saya sungguh-sungguh salat kepada Allah jiwa raganya, hatinya, perasaannya, cintanya, hidup matinya. Jadi keputusan dan sikap saya adalah: teruslah, salat! Allahlah satu-satunya Hakim Maha, lembut-Tajam-Adil."
Maka imbauannya dan panggilan amal ini pun saya tulis.
***

Adik dari Poto'an Daya, Palenggaan, Pamekasan, Madura, karena situasi ekonomi keluarganya yang semakin seret, sangat khawatir akan tidak bertahan sekolah di sebuah Madrasah Tsanawiyah, apalagi untuk meneruskan kuliah kelak.
Baginya, "gantungkan cita-citamu setinggi langit" bukanlah kata-kata mutiar a, melainkan momok yang membuat hati getir. Untuk rutin membayar SPP dan membeli alat-alat serta buku-buku sekolah saja semakin hari semakin tak bisa dijamin.
Salah satu kelemahan adik kita ini adalah dalam kondisi seperti ini, ia hanya berinisiatif untuk 'meminta'.

Bukankah seandainya ada di antara pembaca yang bersedia menjadi semacam Bapak asuh, menjadi kurang 'optimistis' karena sikap mental semacam ini?
Apa yang harus ia tunjukkan ialah tekad untuk bekerja sambil sekolah, daya juang yang tak kemauan untuk membuktikan peningkatan diri, kemudian selalu bersyukur.
Hal yang sama juga terjadi pada rekannya sepulau: santri di Jaddung, Pragaan, Sumenep, Madura. Ia mengetuk pintu agar ada yang bersedia memberinya biaya yang memenuhi keperluan sekolah. "Ini terpaksa," katanya, "demi menambah pengetahuan untuk hari depan."
Tidak ada yang salah dengan ini semua. Tetapi afdhal (lebih baik) seandainya sebelum la meminta sesuatu, la menawarkan juga sesuatu kepada orang yang dimintalnya tolong. Tapi apa? Barang kerajinan barangkali?

Sesuatu yang khas Madura? Sesuatu yang la ciptakan sendiri yang khas? Atau sekurang-kurangnya tekad dan segala sesuatu yang membuat orang lain bersimpati.

(Harian SURYA, Senin 1 Maret 1993)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 06 April 2010

Para Patriot (1)

Sahabat kita yang lain adalah seorang pemuda gagah namun pekerja keras. Ia mahasiswa (Agronomi di satu universitas swasta Malang, Jawa Timur), namun tak malu bekerja kasar.
Ia putra keenam dari sembilan bersaudara, mengerti kedua orang-tuanya rnemanggul beban terlampau berat, sehingga ia memutuskan untuk ikut mengurangi beban itu. Setidak-tidaknya mungkin ia malu: Wong mahasiswa itu agent of social change, elite intelektual dan calon pemimpin bangsa kok numpang makan dan minta biaya sekolah kepada orang tua yang pendidikannya rendah dan melarat. Mosok ujung tombak era
industrialisasi dan globalisasi kok nyusu pada orang agraris-tradisional.
Banyak macam usaha ia tempuh. Makelaran, dagang kecil-kecilan, namun masih belum sumbut untuk keperluan sehari-hari dan biaya kuliah yang merupakan idaman orang tua. Pernah juga ngenger ke sejumlah orang kaya, tapi belum saling ada kecocokan.
Apa yang ia idamkan adalah seandainya ada yang bersedia meminjami modal, dengan perjanjian dan prosedur yang dirundingkan secara fair. "Syukur kalau tanaman anggrek kaya jenis Douglas & Katlya bisa segera laku," tambahnya.
Pemaparan ini tidak hanya mengimbau Kepada Anda-Anda yang bersedia merogoh saku. Ini berlaku juga siapa saja yang tahu manfaat tambah teman dan ilmu pergaulan.
***
Lain lagi Ibunda atau Mbakyu kita berikut ini. Ia bentrok terus dengan suaminya masalah Keyakinan agama dan kini dalam proses meresmikan perpisahan.
Hmmm... yang namanya perpisahan atau perceraian, memang unik. Itu sebuah kemungKinan sunnatullah.

Mungkin karena darurat, mungkin karena memang harus demikian diaektikanya. Bahkan perpisahan bisa merupakan saiah satu bentuk persatuan. Burung 'Dali' di udara terus, burung Gemek/Gemak di daratan dan semak-semak pohon terus: Itu perpisahan fisik, sekaligus persatuan hakiki dalam menjalankan ekosistem kehidupan.
"Lek idek mambu taek, lek adoh mambu kembang." Mbakyu kita ini melihat dan yakin, sebagai mantan suami mantan istri. mereka masing-masing justru bisa berbuat lebih baik di tempatnya sendiri-sendiri yang baru.
Ia sendiri mencoba menemukan diri yang terbaiknya. Output dari segala kompleksitas problem dan kegagalan rumah tangganya, tidak berupa sikap nekad atau kompensasi-kompensasi negatif. Yang menjadi tekadnya kini ialah memusatkan sisa hidupnya untuk "menyeru manusia kepada Tuhan", semacam muballighat, sambil bekerja untuk mencari sandang pangan ala kadarnya sebagaimana orang-orang lumrah lainnya.
Dari Semarang, eks domisilinya, ia telah melakukan perjalanan ke Yogyakarta, Ponorogo (Jawa Timur) dan lain-lain untuk angon nasib, mempelajari agarna secara mendalam dan mencari kemungkinan-kemungkinan.

Ia kiri tinggal di Jember (Jawa Timur); di rumah seorang ibu yang juga aktivis acara-acara keagamaan. Namun ia tidak bersedia menjadi `benalu'.
Apa yang ia perlukan adalah kesediaan suatu institusi keagamaan, lembaga pendidikan, padepokan santri atau apa saja, di mana ia bisa belajar serius narnun juga bersedia bekerja sekasar apa pun, agar ia 'sah' menjadi manusia hidup.

(Harian SURYA, Senin 22 Pebruari 1993)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 28 Maret 2010

Buruh 2

Para juragan di perusahaan bisa menatar para buruh -sesudah menatar diri mereka sendiri bahwa perburuhan Pancasila, misalnya, adalah kesejahteraan kolektif pada semua yang terlibat dalam suatu lembaga ekonomi.
Suatu akhlak yang memperhatikan kepentingan bersama, tidak ada yang menghisap, tidak ada yang dihisap, tidak ada yang mengeksploitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Tidak harus berdiri sama tinggi duduk sama rendah, sebab tempat kedudukan direktur dengan tukang sapu mernang berlainan sesuai dengan struktur pembagian kerja. Namun setidaknya berat sama dipikul ringan sama dijinjing.
Kalau sudah di tatar oleh direkturnya, para buruh akan berkata: "Kami para buruh ini punya kepentingan agar perusahaan tempat kami bekerja ini bisa maju semaju-majunya! Siapa sih pekerja yang menginginkan tempat kerjanya bangkrut? Tidak ada kan? Semakin maju perusahaan tempat kerja kami, semakin sejahtera pula kehidupan kami.
Begitu mestinya kan? dan logikanya, kalau buruh tidak sejahtera, tidak terpenuhi hak-haknya, kurang disantuni kelayakan hidupnya, apalagi kalau standar upah minimal saja tidak dipenuhi, tentu kemajuan perusahaan juga menjadi tidak maksimal."
Mereka menjadi mengerti: "Kami ini mesin. Kalau mesin loyo, bensinnya terlalu ngirit, minyak pelumasnya tidak lancar, yang rugi kan yang punya kendaraan. Beinsin ngirit membuat temperatur mesin menjadi panas, oli kurang mengakibatkan onderdil gampang rusak. Siapakah pengurus perusahaan yang menginginkan mesin kepanasan dan rusak seperti itu?"
Mungkin kemudian ada yang menyaut: "Kalau panas dan rusaknya keterlaluan akhirnya mesin kan mogok!"
Tetapi pasti ada juga yang meneruskan: "Padahal kami sama sekali tidak senang mogok...."
"Benar! Kami tidak suka mogok! Kami ingin bekerja baik-baik dan memaksimalkan hasil perusahaan, sehingga dengan demikian penghidupan kami pun menjadi baik. Sekali lagi kami tidak senang mogok.

Karena itu kami menginginkan suatu mekanisme kerjasama dalam bisnis ini dilakukan secara adil dan tidak memakai cara memaksa mesin menjadi mogok."
"Ya, Pak," demikian kira-kira yang lainnya meneruskan, "kalau Bapak punya mesin, tanyakan kepadanya apakah ia suka mogok, pasti jawabnya tidak. Tapi mengapa terkadang mesin itu suka mogok ya karena keadaannya harus mogok. Karena realitasnya mogok, ia dipaksa oleh kenyataan dirinya untuk hanya bisa mogok, meskipun ia sama sekali tidak senang mogok."
Ketidak sukaan mereka untuk mogok itu, jika sudah ditatar, akan lebih dilandasi oleh filosofi dan cara berfikir yang benar, di samping oleh kesadaran untuk memelihara ketentraman sosial. Mereka menjadi paham hakikat mogok. "Hakikat mogok itu sama dengan hakikat macetnya lalu lintas. Apakah bisa dibuat undang-undang yang melarang jalannya macet?"
Karena kecerdasan Buruh meningkat, maka mungkin E.kan ada yang membuka wawasan lain: "Bagaimana kalau jalan yang ditempuh bukan pemogokan, melainkan suatu cara yang lebih bijak?"
"Apa misalnya?"
"Musyawarah, diplomasi, perundingan...."
Kecil kemungkinan akan ada yang menjawab begini: "Ah, mas ini! Ya Buruh pasti kalah dan diakali saja kalau pakai diplomasi segala. Kami ini makan sekolahan hanya sedikit, sedangkan Bos-bos kami orang pandai semua. Kalau kami ini pandai, mosok ya menjabat sebagai buruh to maaaas .... !"
Artinya, kalau Perburuhan Pancasila menghendaki tidak ada aksi mogok dari para buruh misalnya melalui musyawarah, dialog, di.plomasi, perundingan dan sebagainya cara-cara tersebut bisa dilaksanakan dengan adil apabila ada kekuatan tawar-menawar yang seimbang. Hal tersebut juga tidak bisa dilepaskan dari posisi dan kondisi sosial, politik, budaya buruh saat ini.
Insya Allah tidak begitu. Kecuali kalau kaum buruh memang disengaja diperbodoh, dibiarkan bodoh dan dibiarkan lemah dan malah dilemahkan. ()

(Harian SURYA, Senin 1 Pebruari 1993)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 18 Maret 2010

Buruh 1

Sejak di Taman Kanak Kanak, kita selalu diajari bahwa cita-cita yang terbaik adalah membela bangsa dan negara. Sesudah kita dewasa, sekarang.kita selalu menyadari bahwa tugas mulia kita adalah bagaimana senantiasa nenyumbangkan tenaga dan pikiran kita untuk menyejahterakan rakyat, membela bangsa, membahagiakan masyarakat, rnenciptakan ketenteraman sosial. Apa saja yang mengancam ketenteraman sosial, akan kita perangi bersama-sama.

Keyakinan itulah yang saya patrikan dalam hati ketika membaca surat dari beberapa pekerja pabrik, yang beberapa hari kemudian langsung menemui saya di rumah kontrakan. Wajah mereka kuyu, sinar mata mereka layu meskipun penuh semangat, dan pakaian mereka tentu saja---tidak trendy. Sebagai pekerja rendahan, tentulah mereka tak punya kapasitas ekonomi untuk mengejar mode yang larinya selalu sangat lebih cepat dibanding 'langkah' gaji kita semua.

Terus terang, kalau bersentuhan dengan strata pekerja, otak saya langsung curiga. Ini ada urusannya dengan ketentraman sosial. Oleh karena itu saya 'siap perang'. Terus terang saja, saya tidak suka pada pemogokan kaum buruh. Itu mengancam ketentraman sosial. Dan sangat lebih tidak suka lagi kepada sumber atau penyebab-penyebab pemogokan mereka. Misalnya, hak-hak pekerja yang tidak dipenuhi!
"Tampaknya Anda-anda ini sahabatnya Si Komo...?" saya nyeletuk, sesudah beberapa kalimat pembicaraan, serta berdasarkan yang saya ketahui dari surat mereka.
"Kata orang, buruh macam kami ini derajatnya sama dengan onderdil mesin. Tapi ternyata mesin lebih berharga dan lebih bernasib baik dibanding kami, Cak!" salah seorang nrombol. "Opo maneh iku!" kata saya.

"Kalau mesin mogok, ia tidak dipukuli, melainkan langsung diperbaiki, agar bisa digunakan lagi. Kalau kami mogok, lain soalnya. Wong masalahnya hanya aus karena kurang oli, kok lantas bisa sampai ke mana-mana yang kami tidak paham. Yang mbalelo, yang subversif, yang..."

"Bukan," jawab saya, "Bukan sampai ke mana-mana. Hanya sampai ke uang. Uang itu titik pusat gerak-gerik lain dalam kehidupan.
Gerak pendidikan, gerak kebudayaan, gerak politik, tuduhan-tuduhan dan retorika dalam hubungan kerja antar manusia, sesungguhnya bermuara pada uang. Tetapi yang penting, saya tidak mau kedatangan Anda kemari ini menjadi potensi yang bisa mengancam ketentraman sosial. Sebagai warga negara yang berusaha baik, saya selalu merasa wajib mencegah segala sesuatu yang bisa meresahkan masyarakat, meskipun yang bisa saya lakukan ya hanya sebatas begini-begini ini saja...."

"Meresahkan masyarakat bagaimana? Dan ikut mencegah bagaimana," mereka mengejar.
"Misalnya," jawab saya, "seperti dalam kasus yang Anda kemukakan kepada saya: para buruh harus kompak dengan juragan dan semua dalam perusahaan untuk mengantisipasi oknum-oknum yang dinilai tidak bisa melaksanakan undang-undang perburuhan. Para buruh harus selalu meletakkan diri dalam satu kepentingan dengan perusahaan, demikian juga pihak perusahaan harus meletakkan diri dalam dialektika profesional dengan buruh, sebab keduanya saling memerlukan. Para buruh kompak dengan perusahaan dalam pemenuhan hak-hak: gaji yang memadai sesuai dengan Moral Perburuhan Pancasila, imbalan lembur, fasilitas kesehatan, cuti haid, cuti hamil, hak berorganisasi, keterbukaan dan keadilan ketentuan kesejahteraan buruh... pokoknya semua segi hubungan kerja - nya. Perusahaan juga harus bertindak tegas kalau ada buruh yang menyogok atau menyewa pihak luar yang punya kekuatan untuk menekankan kepentingannya. Kalau ternyata buruh tak mungkin melakukan itu karena tak punya biaya,ya perusahaan yang harus waspada jangan sampai dirinya menyewa kekuatan macam itu...."
Saya menganjurkan agar para buruh itu mengusulkan kepada para juragannya, para direktur dan mandor-mandornya, agar memberikan penataran kepada para buruh ---umpamanya---tentang undang-undang perburuhan, apa kata Pancasila tentang hak-hak buruh.... ()

(Harian SURYA, Senin 25 Januari. 1993)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 04 Maret 2010

Oknum

Kali ini tampaknya justru saya yang berkonsultasi kepada Anda. Ini menyangkut keluhan seorang ibu rumah tangga yang batinnya sedang sangat tertekan. Berasal dari wilayah dekat kampung halarnan saya sendiri, yakni Mojoagung, Jombang, Javva Timur.
Pernahkan Anda membayangkan bahwa di antara hal-hal dan realitas yang saya ketahui, hanya sekitar 25 persen saja--bahkan mungkin kurang dari itu yang bisa saya ungkapkan melalui tulisan? Ada banyak pintu tertutup atau rambu nilai yang membuat sangat banyak harus disembunyikan atau ditutup-tutupi.
Ada 'rambu' tata aturan politik. Ada etika sosial, baik yang universal maupun yang nasional dan yang khas budaya Jawa. Ada kode etik jurnalistik. Ada 'rambu' SARA, yang penafsiran atasnya selalu kabur dan berdasarkan subjektivisme kekuasaan, dan lain sebagainya. Itu semuia membuat kita sering terpaksa menyembunyikan kejahatan, melindungi kebobrokan, atau menutup-nutupi kekejaman. Kita sungguh-sungguh belum lulus dalam hal menentukan strategi aplikasi dari filosofi demokrasi, keterbukaan, atau yang dalam agama disebut 'qullil haqqa walau kana murran'. Katakan yang benar, meskipun pahit. Yang benar tentang kebenaran, maupun yang benar tentang kejahatan.
Oleh karena itu dalam atrnosfir tertentu saya sering mengibaratkan apa-apa yang dimuat di koran-koran itu ibarat - maaf - `bau kentut'.
Maksud saya, seringkali yang kita baca itu baunya saja. Sedangkan bau itu nya indikator dari realitas kentut.
Bau itu bukan. realitas. Kita tidak pernah tahu apa sebenarnya kentut itu, apa warnanya dan bagaimana bentuknya, dan kemudian yang justru harus diketahui oleh para pembaca koran adalah apa isi perut orang sehingga kentutnya kok begitu baunya, apa saja yang dimakannya, siapa yang ngasih makanan itu, ia dikasih, membeli, atau mencuri.
Alhasil kalau kita baca koran, kita harus punya perhitungan rangkap sebelum menyimpulkan sesuatu. Harus dikunyah, tidak boleh ditelan atau apalagi diuntal begitu saja. Sebab di Indonesia ini, terutama yang ada di jajaran kekuasaan, semua baik. Pejabat pasti baik polisi dan tentara pasti baik. Kasubdit, Kabag, apa saja, semua baik. Yang jelek pasti `oknum'.
Hal ibu rumah tangga yang saya kisahkan ini juga terpaksa tidak 'telanjang' menuliskannya. Cukup intinya saja. Ini bahan silaturahmi antar manusia yang toh punya problem masing-masing. Dan terutama silaturahmi antar ibu-ibu yang siapa tahu diam-diam mengalami penderitaan yang sama, tapi selama ini tak tahu harus diomongkan kepada siapa.
Beliau ini istri kedua dari seorang yang tergolong penting dalam masyarakat. Kepala bagian dari satu urutan yang luhur di sebuah kantor eselon tidak rendah. Sudah pula memiliki gelar sesudah menunaikan suatu jenis ibadat tertinggi.
Tak ada yang menyalahi 'hukum' dengan itu semua. Ada izin resmi dari istri pertama. Ia dikawini karena istri pertama tak mampu melayani', dan dipinang dengan alasan daripada si lelaki harus ke pelacuran.
Tentu, betapa luhur wanita yang sedia berkorban demi menghindarkan seorang hamba Allah dari api neraka.

Tapi yang as jumpai adalah bumerang. Kebiasaan 'jajan' sang lelaki tak berhenti juga. Ditunggu sampai larut malam, katanya rapat, ternyata barusan kencan di Pantai Kenjeran. Si istri kedua sampai pernah meletakkan Quran di atas kepala sang suami untuk mengambil sumpah tentang melacur lagi atau tidak. Ternyata, berdasarkan sejumlah bukti otentik, memang masih.
Padahal. apa saja sudah ia ladeni dari maaf -oral seks, anal seks dan lain sebagainya. Padahal si istri kedua sudah bersedia pisah sama anak-anaknya karena sang suami tak cocok dengan mereka.
Lha, terakhir ini malah ada surat-surat kaleng dan isu beredar bahwa sang suami itu korupsi. "Saya merasa malu, suami saya sering memimpin berdoa, tapi kelakuannya begitu. Saya merasa terhina. Saya minta cerai, tapi tak diperbolehkan".
Jika tak ada siapa pun yang mendengarkan cerita ibu ini, maka tak diragukan lagi justru seluruh suara kesengsaraan batinnya memusat di pendengaran Allah sendiri. Dan jika Allah telah mendengamya, maka hati-hatilah siapa saja yang kelakuan hidupnya menyatakan perang kepada Allah'.
Ibu bisa pilih cara menabraknya secara tegas dan memperjuangkan hak pisah melalui instansi hukum negara dan agama. Bisa juga menghimpun enerji jangka panjang untuk menemani sang suami tercinta menuju khusnul khatimah, dengan berdrum-drum kesabaran dan kepandaian mendidik. Betapa mulia di dunia dan betapa cerah rumah di sorga jika itu dilakukan!
Atau memperbanyak daya kerohanian: salat malam lebih banyak, dzikir lebih rajin, membersihkan hati, mengucapkan wirid-wirid tertentu yang kontekstual untuk itu, serta memasrahkan sepenuhnya kepada kearifanNya.

(Harian SURYA, Senin 13 Januari 1992)

(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 24 Februari 2010

Kiai nDablek Jatuh Cinta

Aku jatuh cinta ya Allah tak tertahankan!
Di pasar loak Surabaya, menyaksikan nasib ratusan orang terselip-selip di antara tumpukan besi-besi dan segala macam barang rongsokan, hatiku luluh.
Di pelosok-pelosok kota dan desa, menatapi ibu-ibu, bapak-bapak, bersimbah keringat mernperjuangkan nafkah keluarganya, hatiku gugur.
Di sepanjang jalanan, bersapaan dengan gerak kaki lima, anak-anak penyemir sepatu, remaja-remaja pengamen, pengemis-pengemis, hatiku gugur.
Di mana-manapun saja, wajah-wajah berkeringat, tangan-tangan perkasa, para buruh, penjaga-penjaga pintu gerbang rumah-rumah modal, sopir-sopir, penjaja-penjaja makanan, pegawai-pegawai rendahan, pelayan-pelayan kepentingan sesama manusia; hatiku tercampak.
Aku pengembara di hamparan semestamu, ya Allah. Aku pencari wajah-Mu yang terpencar di wajah-wajah berminyak sahabat-sahabatku sesama orang kecil yang terhampar di segenap sudut ruang-ruang-Mu dan melintasi keabadian waktu-Mu.
Melintasi keabadian waktu-Mu, ya Allah, karena orang-orang kecil ini, karena rakyat ini, abadi di keharibaan-Mu. Raja tak bisa menjadi raja tanpa rakyat. Pemerintah tak bisa menjadi pemerintah tanpa rakyat. Tapi rakyat abadi menjadi rakyat meskipun tak ada raja dan pemerintah.
Aku pencari bunyi suara-Mu yang terdengar dari kesunyian mulut-mulut hamba-hamba-Mu yang digembok oleh cengkeraman tangan Para penguasa dan perebut hak-Mu atas dunia dan kehidupan.
Ketika kutepuk-tepuk bahu Seseorang yang menangis, kujumpai Engkau duduk di sisinya.
Ketika kuusap peluh sekumpulan orang yang membanting tulang dalam kesusahan, kutemui Engkau berada di tengah mereka.
Ketika kusapa mereka-mereka yang kesulitan nasibnya dan karena itu rnereka tertawa-tawa, ketika kulambaikan tangan kepada mereka-mereka yang memanggul beratnya mencari nafkah, dahsyatnya mempertahankan kernanusiaan dan kewajaran hidup kulihat Engkau bercengkerama dengan mereka.
Aku jatuh cinta kepada-Mu ya Allah, sebab aku mencintai mereka. Dan aku jatuh cinta kepada mereka, ya kekasih, sebab aku mencintai-Mu.
Engkau berbisik di telinga Daud kekasihMu: "Wahai Daud, dunia ni hanyalah bangkai yang dikerubungi anjing-anjing yang menarik-narik, mengoyak-ngoyak dan memperebutkannya. Apakah engkau ingin menjadi salah satu dari anjing itu, wahai Daud? Maka perindahlah tutur katamu, sederhanakanlah hidupmu...."
Ya Allah, orang-orang kecil sahabatku itu, tanpa susah payah mencari kesederhanaan, telah langsung Engkau anugerahi kesederhanaan. Di tengah sejumlah orang lain yang memperlombakan kemewahan, kekuasaan, kursi, dengan bayaran kebohongan dan pengingkaran janji.
Ketika di Terminal Bungurasih seorang penjual rokok menyapaku: "Cak Nun, ya? Betapa jatuh hatiku. Ketika berjalan kaki di Raya Darmo dan seorang Satpam dari sarangnya meneriakiku: "Cak Nun!".... betapa terpedaya hatiku. Ketika sopir-sopir taksi di Juanda memperolok-olokkanku "Kiai nDableg!"... ya Allah, betapa bahagianya aku.
Seandainya Engkau membawa George Bush atau tokoh-tokoh lain macam itu untuk menyapaku, percayalah akan menegakkan leher dan mendongakkan wajah. Adapun di hadapan setiap orang kecil kekasih-kekasihMu ini, ya Allah, wajahku tunduk. Hatiku remuk redam dalam kebahagiaan, bagaikan seorang gadis di depan pemuda idamannya.
Hatiku meronta-ronta. Katakanlah kepalaku wahai sahabat-sahabat karibku, apa yang engkau kehendaki untuk kulakukan? Untuk kupersembahkan? Untuk kuberikan? Untuk kusampaikan dan kukerjakan? Baik engkau yang menyapaku di jalanan atau gardu-gardu, maupun kalian yang dari kejauhan saling bersapaan hati denganku.
Kalian semua karena kemurahan hati, keserbakekurangan ekonomi serta berbagai jenis kesedihan yang setengah mati engkau pendam di hati --memperoleh kesempatan untuk mengingat Allah lebih dari saudara-saudaraku yang lain yang serba kecukupan.
Engkau menawari Musa, ya Allah, "Wahai Musa! Apakah engkau ingin bertempat tinggal serumah denganku?" Dan Musa terperangah dan tersujud-sujud saking gembiranya dan bertanya, "Bagaimana itu mungkin, ya Tuhanku?" Lantas Engkau berkata sambil tersenyum, 'Musa! Tidakkah engkau ingat bahwa tempat persemayaman-Ku adalah di mana saja ada hamba-hamba-Ku yang mengingat aku, menyebut-nyebut nama-Ku dalam batinnya, baik karena rasa syukur atau karena keprihatinan hidupnya?"
"Wahai Musa, jika mereka membisikkan asma-Ku, Aku pun memperhatikan mereka. jika mereka mendekat kepada-Ku, aku pun mendekat kepada mereka. Jika mereka menjaga-Ku, Aku pun menjaga mereka. Jika mereka mengangkat-Ku, Aku pun mengangkat mereka, Akulah yang mencuci hati mereka sehingga mereka bangga atas kedekatannya dengan-Ku...."
Ya Allah, cintaku tak tertahankan!
Kuingat pula pernyataan tegas-Mu, "Wahai kekasihku! Kalau engkau terhenyak olehKu aku berdiri untuk-Mu.
Kalau engkau berdiri untuk-Ku, Aku berjalan menghampiri-Ku. Kalau engkau berjalan menghampiri-Ku, Aku berlari menyongsong-Mu!"
Ya Allah, lindungilah mereka dari iklim zaman yang memburamkan penglihatan mereka. Jagalah mereka dari musuh-musuh-Mu yang memperjualbelikan angka-angka dan suara mereka. Temanilah mereka dalam melayani kaum yang Engkau merasa heran kepadanya, sebagaimana firman kudus-Mu, "Aku heran kepada mereka yang meyakini maut, namun tetap saja mantap saja menyombongkan diri. Aku heran kepada mereka yang percaya kepada Hari Perhitungan, namun tetap saja sibuk menumpuk kekuasaan dan harta benda. Aku heran kepada mereka yang tahu persis akan masuk pintu kubur, namun tetap saa tertawa-tawa karena merasa senang di dunia. Aku heran kepada mereka yang yakin akan akhirat, namun tetap saja tenggelam di kursi dunia. Aku heran kepada mereka yang mengerti kefanaan dunia, namun terus saja manambatkan hati padanya...." ()

(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Leher Kambing si Miskin

Sukses kampanye tauhid Rasululiah terutarna karena mengandalkan uswatun khasanah: teladan hidup yang bersih dan konsisten. Tak banyak omong. Mulut beliau Terpelihara. Beda dengan hobi kita sekarang.
Memang, asyiknya Nabi utusan Tuhan terakhir, Muhammad Saw., ini bukan hanya karena beliau itu manusia lumrah raja, aba ahadin min-kum (sebagaimana bapak anak-anak pada umumnya). Bukan karena karakter kerasulan beliau serius mengandalkan mukjizat atau kasekten yang aneh-aneh. Namun yang paling mengasyikkan adalah bahwa putra Abdullah ini buta huruf dan mernilih hidup melarat.
Pada suatu hari datang bertamu kepada beliau seorang anak yang menyampaikan pesan ibunya agar Nabi memberikan sesuatu kepadanya. Nabi berkata, "Hari ini kami serumah tak punya apa-apa." Si anak ngeyel, "Kata ibu, kalau tak punya apa-apa, mohon Nabi menanggalkan baju dan memberikan kepada kami."
Muhammad pun menanggalkan bajunya, memberikannya, kemudian duduk dalam rumah, kedinginan dan agak menyesal. Allah segera kirim Jibril untuk memuji namun juga mengkritik Muhammad, "Jangan mengalungkan kedua tanganmu di leher, namun juga jangan mengulurkan tangan terlalu panjang."
Artinya, manusia tak boleh pelit. Tapi dalam bersedekah juga harus tetap rasional dan realistis. Sakmadya, kata orang Jawa.
Di saat lain Nabi yang anggun pendiam ini tampak buncit perutnya tatkala sembahyang di masjid, Sayyid Umar bin Khaththab memperhatikan dan menelitinya dengan. seksama. Akhirnya ketahuan bahwa beliau sedang kelaparan, sehingga diambilnya sebongkah batu, diikatkannya di perut, lantas ditutupi gamis. Umar belingsatan mencarikan inakanan untuk beliau.
Ternyata pilihan untuk melarat, asal jangan sampai fagiy, absah juga. Manusia berhak untuk kaya, tapi berhak pula untuk miskin. Muhammad ini contoh yang paling 'gawat' dalam sejarah dalam soal keberhasilan ekonomi, bahkan puasa kesejahteraan atau apalagi kemewahan sedemikian rupa. Kaum orientalis maupun kita-kita sampai sekarang jarang menyebut-nyebut betapa pentingnya etos satu ini untuk mempersyaratkan mutu kepemimpinan seseorang atau masyarakatnya.
Muhammad penguasa jazirah Arab, namun menolak untuk menjadi penguasa. Sebab ia adalah pemimpin.

Penguasa dan pemimpin adalah dua rnakhluk dan dua soal yang sama sekali berbeda. Penguasa memanage kekuasaan dirinya atas orang banyak, sedangkan pemimpin memanage cinta dan sistem penyejahteraan.
Ketika itu Muhammad sanggup memperoleh apa saja: dunia sudah digenggamnya. Ia sudah memiliki segala persyaratan untuk duduk di singgasana dan menikmati segala-galanya: jaringan, akar, geniusitas, ketrampilan manajemen, kependekaran fisik, atau apa saja yang harus dirriliki oleh seorang raja.
Namun Beliau ogah jadi raja. Raja itu malik.
'Malik' itu sifat Tuhan. Beliau memilih term Khalifah dan itu sama dengan fungsi setiap manusia, meskipun Allah memuliakannya dengan status nabi dan rasul. Muhammad makan hanya karena lapar dan berhenti makan sebelum kenyang. Beda dengan kita yang terus lapar dalam keadaan kekenyangan. Muhammad bersedia tidur beralaskan daun aren ketika pulang larut malam dan sungkan membangunkan Aisyah.
Muhammad punya pendahulu nenek-moyang yang bernama raja Sulaiman putra Daud. Allah menawarinya apakah mau menjadi raja dan kaya-raya seperti Sulaiman. Beliau menolak. Supaya masuk syurga duluan, beda dengan Sulaiman yang mendapat jatah terakhir sesudah semua nabi.
Apakah ia, Muhammad itu, seorang masochis-romantik? Seseorang yang sok, anti materi dan cengeng?

Bukankah Allah membuka pintu lebar-lebar, "Kuhamparkah bumi dan langit dan semua isinya. Makan dan minumlah, asal jangan berlebih-lebihan...."? Kenapa Muhammad memilih 'kekurangan' setidak-tidaknya menurut tolok ukur kita sekarang?
Memang kebanyakan kita sekarang jauh lebih kaya dibanding Mohammad. Bahkan 30 juta penduduk Indonesia yang kabarnya masih di bawah garis kemiskinan, belum tentu lebih parah keadaannya dibanding Muhammad. Betapa mungkin, seorang nabi, yang menurut logika moral seolah-olah berhak atas separo jazirah Arab beserta tambang-tambangnya: ketika wafat, malah masih punya hutang beberapa kilogram gandum kepada tetangganya seorang Yahudi? Kita yang satpam atau tukang ojek pun mungkin lebih baik dari itu keadaan ekonominya.
Namun jangankan Muhammad. Sedangkan kepala suku Ammatoa di Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, kepala suku Boti, Soe, Nusa Tenggara Timur pun tahu dan konsisten bagaimana berlaku sebagai pemimpin. Ia tak bersedia menerima sesuap pun dari rakyat. "Kalau saya menerima sesuatu dari rakyat saya, mereka berhak meniru saya untuk meminta-minta" katanya, "saya harus mencontohkan bagaimana bertariggungjawab kepada diri sendiri. Harus mencari makan sendiri, maka dari piling yang saya buat sendiri
dan minum dengan gelas yang juga saya buat sendiri...."
Di mata kita dan cara berpikir kita sekarang, Muhammad dan Amatoa adalah pemimpin yang tolol. Mereka tidak tahu mumpung, tak tahu bagaimana posisi, jabatan, kekuasaan dan peluang.
Logika dan moralitas Muhammad terbalik bagi kita. Sebelurn menjadi nabi dan pemimpin, Muhammad membuktikan dulu perilaku yang terpercaya (al-amin), menjadi sales yang jujur dan merijaga setiap ucapannya. Kemudian sesudah jadi nabi malah berhenti berdagang. Padahal 'mestinya' menurut gaya hidup kita yang maju dan modernsesudah tercapai menjadi penguasa itulah justru peluang amat luas untuk menggunungkan omset dagang. Semakin tinggi kekuasaan di jalur birokrasi semakin banyak kesempatan fasilitas (dana, kemudahan-kemudahan, dominasi).
Tapi rupa-rupanya "perniagaan" Muhammad mernang lain. Ketika beliau diberi hadiah seekor kambing, lantas disembelih dan dibagi-bagikan ke seluruh tetangganya.
"Sudah habis semua, ya Rasul," kata Aisyah, "Yang tersisa buat kita tinggal leher kambing itu"..
"Tidak, Aisyah," sahut Nabi, "Yang tersisa menjadi milik kita adalah seluruhnya kecuali lehernya."
Tentu ini diketawain oleh ideolog konsep kepemilikan.

(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 21 Februari 2010

Kepada Siapakah Engkau Mengeluh?

Kepada siapakah engkau mengeluh?
Kepangkuan siapa engkau menumpahkan airmata?
Pintu rumah siapa yang engkau ketuk untuk meminta tolong?
Kalau hari janji telah tiba untuk membayar utang, padahal beras di dapur pun sudah menipis.

Apakah engkau akan mengetuk rumah para artis dan bintang film yang uangnya berlebih dan credit card-nya bertumpuk-tumpuk?
Kalau untuk memperoleh pekerjaan dua hari lagi engkau harus menyediakan ratusan ribu atau sekian juta rupiah uang terobosan: Apakah engkau akan bertamu ke rumah-rumah para eksekutif yang tinggal sekampung denganmu?
Kalau istrimu hendak melahirkan, apakah engkau bisa meminjam kendaraan tetanggamu yang rumahnya berpagar tinggi itu, atau bisakah engkau mencegat kendaraan-kendaaan pribadi yang kosong yang lalu-lalang di jalan umum?
Kalau nasibmu ditimpa gludug "rasionaliasi" alias di-PHK-kan, bisakah engkau lapor kepada Pak RT, Pak RW, Pak KAdus, Pak Kades atau para pamong lainnya yang merupakan pengayorn masyarakat?
Kalau dalam suatu kasus atau konflik di kantor engkau tercampakkan karena engkau tak memiliki kekuasaan, backing dan relasi akankah engkau menumpahkan airmata di kantor Polsek atau Koramil?
Kalau tanah-rumahmu dan tanah rumah teman-temanmu sekampung atau sekecamatn digusur tanpa ganti rugi yang memadai setidaknya karena disunat oleh oknum-oknum pelaksananya: ke manakah engkau akan lari?
Apakah ke Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah?
Kantor Cabang NU?
Atau kantor Orwil ICMI Atau ke rumah KH. Zainuddin MZ?
Kalau rasa cemburu memanggang dada-mu karena melihat tetangga begitu gampang berganti-ganti mode mobil. Kalau rasa jengkel menampar-nampar perasaanmu karena meiyaksikan jumlah kendaraan pribadi memenuhi lebih dari lima puluh persen jalan-jalan di kotamu. Kalau rasa perih, sakit dendam, menikam jantung ruhanimu, karena rnenghayati perbedaan-perbedaan tingkat hidup yang mencolok, menghayati ketimpangan, kesenangan dan ketidakseimbangan.
Siapakah yang bersedia mendengarkan keluhanmu?
Pak Pendeta?
Pak Cendekiawan?
Pak Seniman?
Pak Ulama?
Pak Khatib di rumah ibadah yang kata-katanya justru harus engkau dengarkan?

Kalau hatimu bingung oleh kesumpegan ekonomi. Kalau perasaanmu gundah oleh pusingan-pusingan hidup yang bak lingkaran setan. Kalau jiwamu serasa akan berputus asa karena sedemikian sukarnya menempuh hidup yang benar. Kalau sukmamu rasanya mau copot karena himpitan-himpitan nasib yang tak tertahankan.

Ke mana dan kepada siapakah engkau rebahkan keletihamu?
Kepada rninuman. keras, ganja, arak dan joget dangdut, mengasyiki ramalan angka-angka, menghirup rasa aman yang praktis melalui pengajian-pengajian akbar?
Adakah peluang, dan tidakkah dilarang, untuk mengemukakan isi hati kita seadanya dan sejujur-jujurnya kepada Pak Lurah, Pak Polisi, Pak Kiai, Pak Menteri, Pak Ilmuwan, Pak Wakil rakyat, Pak Profesional dan lain-lain?
Kalau mernang mungkin kapan dan di mana?
Bolehkah mendambakan bahwa Pak-pak itu pernah sesekali bertanya kepadamu tentang apakah hatimu sedang bersedih, apakah ada kesulitan dan problem yang tak bisa diatasi?
Kalau tidak, lantas kepada siapa engkau nengeluh? Siapa yang bersedia menjamin bahwa engkau dan anak istrimu tidak kelaparan? Siapa yang menemanimu membanting tulang menghabiskan waktu untuk sekadar mempertahankan penghidupan?
Siapa sahabatmu di dunia ini?
Siapa pemimpin yang santun dan memberimu rasa aman?
Allah menuntun mulut kita agar mengucapkan: "Innama asykubastsi wa huzni illalah."
Aku keluhkan derita dan kesedihanku kepada Allah. Tetapi bukankah Ia telah mewakilkan diri-Nya dan tugas-tugas itu kepada kita?
Akankah kita perintahkan Allah agar mengurusi soal kenaikan harga?

(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Memasak Nasi dengan Doa dan Asap Dupa

Ayah saya panik melihat gejala saya akan menjadi mahasiswa abadi. Maka ia mengajak saya ke orang tua, semacam dukun...," tulis seorang gadis manis asal Ngawi, mahasiswa Sastra Inggris yang tampak sebel dengan banyak hal di keluarga juga di lingkungannya.
Mungkin saya sendiri yang bersalah. Hati saya terlalu menampung siapa saja. Antara lain yang berhubungan dengan perdukunan dan lain sebagainya, yang kemudian pernah saya tuliskan di media massa dengan judul Kasekten dan Kagunan.
Kalau di Yogya atau di beberapa tempat lain ada orang mau bikin apa-apa, nama saya suka dipakai untuk dijadikan stabilo kultural. Ada seminar kasekten, diskusi paranormal, pendirian badan pengobatan klasik non-medis: lho kok saya yang disuruh ngasih pengantar atau tampil di pers conference. Seolah-olah lantas menjadi sah kalau saya sudah bilang "Okay!"
Padahal dalam banyak urusan semacam itu saya dukung karena berkaitan dengan perluasan lapangan kerja.

Prestasi pembangunan kontemporer kita antara lain adalah menambah jumlah pengangguran, menugasi sarjana menjadi satpam atau penyiksa ratusan ribu pencari kerja dengan menyuruh mereka beli map dan kertas lamaran kerja sebanyak-banyaknya. Maka segala upaya penciptaan lapangan kerja, sepanjang tidak bermusuhan dengan Tuhan, ya saya dukung sepenuhnya, meskipun untuk itu resikonya saya disalahpahami atau difitnah oleh orang banyak. yang tak mernahami persoalannya.
Maka adik dari Ngawi ini terperangah. Wong Cak Nun kok ngurusi dan seolah-olah meng-OK-kan soal-soal mistik begitu. Tatanan pikiran dan satu dua keyakinannya menjadi terbongkar.
"Saya lahir dan tumbuh di lingkungan Islam KTP alias Islam abangan," katanya, "Ayah saya tidak pernah salat dan hampir semua keluarga saya tidak pernah memperhatikan nilai-nilai agama. Sebenarnya saya ingin hidup di lingkungan keluarga yang Islami. Saya ingin beribadah secara teratur...."
"Bila ada rnasalah atau ingin naik pangkat, ayah saya selalu lari ke orang tua atau orang pintar. Di sana ayah akan dibekali gembolan berisi batu dupa, beras, atau ketan yang dibungkus. Ayah saya orangnya ambisius.

Anak-anaknya menjadi alat kendaraan dari cita-citanya, dia yang menjadi sopir. Makii ketika skripsi saya tidak jadi-jadi karena otak susah diajak kreatif, ia mengajak saya ke orang pintar tersebut. Saya buta masalah-masalah begitu dan sangat takut terjebak syirik. Saya menolak. Saya sempat depressed sebentar karena bingung, takut, cemas, dan kasihan melihat ayah Saya panik. Saya harus mendapatkan jawaban apa hubungan antara syirik dengan dunia kasekten dan pedukunan...."

Sungguh ini pemandangan jamak.
Kisah akan sangat panjang apabila harus kita uraikan.kenyataan tentang dunia pedukunan hakikat realitasnya, juga fungsi kultural dan politisnya. Tetapi untuk saat ini, putri Ngawi kita tak usah membuang-buang energi untuk mengurusi Gunung Kawi, persenggamaari massal Kemukus, dupa, Mbah Karto atau Mbah Karmo. Kelak saja untuk bahan tesis doktor, atau lupakan sama sekali, sebab soal-soal macam itu tak berhak atas ruang dan waktu yang tersedia dalam dirinya.
Yang pertama mesti dilakukan oleh mahasiswa kita ini adalah mensyukuri hidayah Allah bahwa di tengah lingkungan yang sekuler-abangan-kienik, malah lahir dalam dirinya dambaan-dambaan serius untuk mengIslamkan darah daging jiwa raganya.
Selanjutnya ambil jarak dari diri sendiri: engkau seorang yang dianugerahi kecerdasan pikiran, juga kejernihan hati. Skripsimu tak jadi-jadi hanya karena sukmamu belum bisa antisipatif, sumeleh dan tenteram terhadap banyak hal di dunia yang tak direlakan oleh naturnya. Hidupmu masih gugup dan gamang karena gairah untuk melawan ketidakberesan belum mendapatkan mitra kemampuan dan pengalaman yang seimbang.
Kalau engkau harus ikut bertemu ke rumah Mbah Dukun, datang saja, namun dengan niat bukan untuk merdukun (berdukun) melainkan untuk menyenangkan hati ayah--sementara engkau belum sanggup rnengubah kebiasaannya yang penuh penyakit. Soal syirik itu salah caramu memusingkan. Syirik tidak terletak di kuburan, dupa dukun, gembolan atau keris-keris, melainkan bersemayam di dalam gagasan-gagasanmu sendiri. Silakan tidur di kuburan asal sekadar untuk mengambil jarak dari keramaian. Silakan simpan keris seperti halnya engkau menyimpan sepatu dan boneka. Silakan bawa gembolan ke mana-mana
sebagaimana engkau bawa handy talky atau walk-man. Syirik bukan karena bendanya, tapi karena anggapanrnu terhadap benda itu. Jangankan menyembah keris dan dukun, sedangkan menyembah masjid, menyembah salat, menyembah Nabi Muharnmad saja pun syirik namanya.
Selebihnya segera selesaikan skripsi dengan matek aji, niat ingsun, bismillah dan istiqamah --- demi membahagiakan kedua orangtua dan demi supaya lebih gampang dapat pekeraan. Jangan terlalu membebani sekolahan, kampus, dosen-dosen. dan skripsi atau keseluruhan dunia ilrnu pengetahuan dengan kekecewaan-kekecewaan. Jangan minta terlalu banyak kepada semua itu. Kalau mencari ilmu, kearifan dan kemuliaan hidup, jangan andalkan itu semua. Lebih baik berharap kepada bagaimana caramu sendiri melihat dan memperlakukan matahari setiap pagi, dedaunan, tetangga, pasar atau impian-impian aneh setiap malam. Mintalah ilmu kepada Pemiliknya, petiklah anugerah-Nya di setiap butiran udara.
Adapun cara membuat skripsi sama dengan cara menanak nasi. Ialah tidak memakai asap dupa atau doa.

Menanak nasi sediakan kompor dan panci. Membuat skripsi ya menjalani segala metodologi rasional ilmiah yang diperlukan oleh hakikat kosmos suatu skripsi ilmiah.
Doa baru berhak engkau ucapkan hanya sesudah upaya rasional empirik dimaksimalkan.

Harian SURYA, Senin 28 Desember 1992
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 16 Februari 2010

Cerdas, Terampil dan Jujur, tetapi Melarat

Seorang pemilik bengkel kendaraan bermotor dan toko onderdil tidak bisa memahami ulah seorang karyawanny a. Dalam suratnya ia menyatakan kebingungannya, apakah harus memecatnya atau memeliharanya terus. Karena di samping hal-hal tertentu merugikan bisnisnya, si karyawan ini juga merupakan kekayaan tersendiri da!am lingkaran usahanya.
"Dia memiliki keterampilan alamiah di bidang permesinan, bisa menangani yang kecil-kecil seperti jam tangan sampai mesin truk, dan tampaknya punya pengetahuan yang tidak rendah tentang mesin kapal.

Mungkin kalau pesawat ia angkat tangan, tetapi terhadap apa saja yang baru dan ia belum tahu, ia begitu penasaran. Dan kalau sudah penasaran, ia akan menghabiskan waktu untuk mempelajarinya, sehingga tugas-tugasnya terbengkalai. Ia lebih merupakan seorang "ilmuwan" daripada seorang karyawan bengkel mesin. " demikian tulis usahawan kita yang pusing ini.
"Ia otodidak penuh, mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya sejak kanak-kanak. Kalau teknisi lain sudah angkat tangan dia selalu. menjadi pamungkas penyelesaian problemnya. Dia juga selalu sangat kritis, dan sesekali, sambil memperbaiki mesin mobil, ia menggerutu menyalahkan pabriknya yang dia keliru mengkonsep sistem-sistem tertentu."
"Tetapi justru karena keahliannya, ia seringkali merugikan usaha saya. Sampai tingkat tertentu ia bisa memperbaiki suatu onderdil dengan cara dan akal yang tak habis-habisnya sampai layak pakai kembali.

Tetapi itu berarti tingkat jual toko saya dirugikan. Padahal sudah menjadi kebiasaan bengkel di mana-mana untuk suka menyuruh pemilik mobil ganti onderdil, dan tentunya hal itu wajar dalam dunia bisnis."
"Yang lebih menjengkelkan, ia tak tahu bagaimana menyerap pembeli. Mestinya ia jangan gampang bilang bahwa mobil seseorang oke-oke saja. Omong kurang ini kurang itu kek, harus didandani ininya dan itunya kek. Juga dalam menggagas setiap pasien yang membawa kerusakan mobilnya, ia cenderung membela pasien, dengan selalu berpikir bagaimana meringankan bebannya. Setiap saran dan perbaikan yang dilakukannya diarahkan untuk penghematan si empunya kendaraan. Saya dong yang celaka. Usaha saya tidak bisa maksimal kemajuannya, tetapi saya juga merasa eman kalau memecat karena sebagai manusia dia sangat menyenangkan, manusiawi dan selalu mampu membuat lingkungan kerja kami menjadi segar."

Alangkah Mengasikkan Kehidupan Ini!
Mungkin itu sebabnya Rasulullah Muhammad meskipun tidak melarang pasar namun wanti-wanti agar memilah-milah betul antara pasar dengan masjid. Kalu sudah cukup lama di pasar, cepatlah masuk masjid, agar selamat kembali sebagai manusia.
Manusia diciptakan sebagai manusia individu dengan dua kosmos: individual dan sosial. Kalau seseorang kehilangan individualitasnya, ia larut menjadi nomer dalam deretan atau kumpulan suatu komunitas. Tapi kalau ia mengintensifkan individualitasnya saja, yang terjadi adalah "individualisme". Lebih menyempit lagi menjadi "egoisme". Menjadi manusia adalah pergulatan untuk menyeimbangkan antara individualitas dan sosialitas.
Si Karyawan itu adalah petugas Allah untuk mengemban "proyek penyeimbangan kemanusiaan" semacam itu.
Dunia usaha, bisnis, berdagang, berniaga, berjual beli, kapitalisasi, adalah salah satu bentuk individualisasi atau egoisasi yang mereduksi keutuhan manusia dan kemanusiaan. Dari kosmos utuh eksistensi manusia, seseorang menyempitkan diri ke dalam kubangan nilai untung rugi, produktif dan konsumtif, dan semua itu dalam perspektif materialisasi dan materialisme.
Bisnis adalah sebuah fungsi sosial, narnun mengacu kepada fungsi ego atau kepentingan sepihak si pelaku dagang. Prosesnya dari "manusia" menjadi "manusia dagang" lantas menjadi hanya "pedagang", manusianya tak berlaku. Di dalam pasar bisnis, segala sesuatu, termasuk rnanusia, Nabi dan Tuhan, hanya berposisi sebagai faktor produksi, sebagai kornoditi, suku cadang, barang jualan, alat produksi, atau apa pun sebutan dan anglenya.
Sedangkan Si Karyawan itu. .hanya "manusia". Ia hanya berhubungan dengan manusia dan apapun dalam kedudukan dan nilai-nilai sebagai manusia. Ia tidak punya bakat untuk mengeksploitir benda, manusia dan peristiwa fang dialaminya untuk orientasi laba pribadi. Ia tidak bisa menjadi kapitalis. Dan luga tidak bisa disebut sebagai "bukan manusia kapitalis", sebab kalau kapitalis itu namanya "belum manusia".
Jadi apakah sebaiknya ia dilemparkan atau dipelihara, tergantung Pak pemilik bengkel dan toko, mau berjalan ke mana dan menjadi apa dalam kehidupan ini. Kalau mau jadi kapitalis dan merencanakan bawa harta benda, riunah, mobil, deposito dan credit card ke dalarn kuburan, cepat-cepat campakkan dia supaya Anda senang dan supaya dia juga bahagia. Tapi kalau Anda mau jadi rnanusia, ia adalah sahabat sejati yang menawarkan penyelamatan kemanusiaan juga kemelaratan.

(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Darah Dagingku Riba

Seorang mahasiswa di Malang, melalui suratnya, menyatakan rasa cemas jangan-jangan yang selama ini ia makan dari orangtuanya yang pedagang itu adalah riba. Bahkan, barang haram. Ia mencoba mengislahnya, memperingatkan orangtuanya, memberontak dan terus mencoba menyatakan sikap.
"Dalam berdagang," tulisnya, "Bapak saya selalu mencampurkan antara barang yang bagus dengan yang jelek, sementara ia memberi harga seolah-olah semuanya adalah barang bagus, dan pembeli tidak diberitahu bahwa barang itu campuran. Jelas dalam hal ini mengandung penipuan.
Sebagai putrinya saya telah berusaha menasehati bapak, juga berdoa kepada Tuhan agar beliau menghentikan kecurangan itu. Tapi bapak terus saja, padahal seluruh makan minum dan biaya hidup saya berasal dari kecurangan ini. Saya jadi merasa bahwa saya juga berdosa. Bahwa seluruh perbuatan baik saya, shalat, puasa dan amal-amal saya tidak ada gunanya. Darah daging saya ini riba, haram...."
Memang. Para penjual bensin eceran di kios-kios pinggir jalan saja pun selalu memasang pagpn "Jual Bensin Murni." Padahal orang yang paling bodoh pun bisa mengerti bahwa si penjual tidak mungkin mengebor minyak sendiri dan langsung dijual dalam keadaan murni. Bahwa is harus mengarnbil laba dari bensin yang dibelinva di pom, dan satu-satunya kemungkinan untuk memperoleh laba adalah dengan mencampurkan minyak tanah.
Penipuan sudah sangat telanjang. Dan adapun pada mekanisme perdagangan yang samar dan bisa ditutupi, yang terjadi mungkin `maha' penipuan. Dan kita semua sudah immun (kebal). Sudah merasa biasa dan normal. Di bawah sadar yang kita bawa sehari-hari dalam berdagang, hal itu 'bukan dosa' lagi.
Sesungguhriya, dalam kosmologi hidup ini ada yang namanya gelombang, vibrasi, getaran, atau resonansi.

Kalau istri kita hamil, kita rajin-rajin membisiki perutnya dengan kalimah tahyyibah serta doa-doa yang bijak buat anak kita. Itu artinya kita menciptakan atmosfer batin yang akan merupakan landasan kemakhlukan dan kepribadiannya kelak. Bukankah Allah sendiri memperkenankan dan meminjamkan kesanggupan semacam ini dengan pernyataan melalui RasulNya pahwa para orangtualah yang mernerahkan atau menghijaukan
anak-anaknya?
Maka kita putihkan atau kita kuningkan putra kita tidak hanya melalui gerbang kesadaran akalnya; melainkan juga melalui seribu pintu biologis dan spiritual lainnya. Kita lantunkan doa dan harapan melalui pori-pori kulit istri kita dengan harapan pantulan kun fayakan-Nya akan berlaku bagi anak-anak kita sesuai dengan pemenuhannya atas dambaan kita.
Bagi bayi, pendidikan tahap awal adalah spiritualitas, selanjutnya baru intelektual-rasional, paedagogis maupun andragogis. Bagi orang dewasa dan tua, pendidikan tahap pertama haruslah dialog intelektual, strategi rayuan empirik, baru kernudian mendaya-gunakan gelombang spiritual. Jadi mahasiswi kita di Malang itu tak boleh berhenti melakukan ketiga-tiganya.
Rumah yang sehari-harinya diisi oleh suara mengaji firman berbeda getaran dan rasanya dengan rumah yang dididik oleh suara anjing atau musik-musik serba duniawi. Demikian juga apabila di lubang telinga seseorang yang berbuat dosa kita kirimkan vibrasi firman Allah terus-menerus, para Malaikat dengan sendirinya akan bertugas untuk melaksanakan efek logisnya menuju perbaikan.
Di Jakarta saya sering iseng-iseng omong kepada teman-teman bahwa setiap hirupan napas saya di kota metropolitan ini merupakan defisit spiritual-kosmologis. Kenapa?
Kalau di hati seseorang tergetar suatu niat jahat misalnya untuk menipu, merampok atau menyembah kefanaan dunia, maka sel-sel udara yang ia hisap akan berbeda dengan yang ia hembuskan. Udara yang dihembuskannya sudah mengandung muatan gelombang negatif tertentu. Apalagi jika gelombang itu bukan sekadar berupa itikad di dalam hati, tapi telah merupakan perbuatan-perbuatan nyata.
Dan akan lebih parah lagi apabila pekeriaan sehari-hari udara yang dianugerahkan oleh Allah ini diisi oleh sistem-sistem dan mekanisme ketidakadilan, penindasan atau kebobrokan. Maka udara yang kita hisap sangat potensial untuk menularkannya kepada kita melalui muatan-muatannya, getaran dan resonansinya.

Sesudah melewati jarak waktu tertentu, kita akan dengan sendirinya tuning in kecenderungan-kecenderungan negatif tersebut.
Di manakah ada tersisa tempat yang tidak membuat kita tuning in dosa-dosa, riba-riba, haram-haram?.

Setiap saat orang-orang di sekitar kita berkata: "Mencari uang haram saja susah, apalagi yang halal!"
Allah tidak menuntut kita putih bersih tatkala kita berada di tengah lautan yang kotor kumuh dan busuk aimya. Juga di tengah arus yang kuat, kita tidak dituntut untuk mampu melawannya, sebab untuk tegak bertahan saja pun sudah amat terpuji. Kalau kita shalat ratusan rekaat sehari karena kita adalah anggota masyarakat Negeri Madinah yang baldatun thayyibatun wa-rabbun ghafur di jaman Rasulullah.
Tapi kalau Shalat lima waktu kita bisa lengkap plus wirid sekian jam saja sambil jalan-jalan di tengah peradaban maksiat abad 20, itu sudah luar biasa. Atau uang kita hanya seribu perak, kita nafkahkan sembilan ratus perak: Itu berpahala lebih besar dibanding tetangga yang menafkahkan sepuluh ribu perak dari sepuluh juta perak uangnya.
Kalau burung-burung bisa terbang, itu normal. Tapi kalau tikus melayang-layang di udara, itu luar biasa namanya. Maka mahasiswi kita di kota dingin tak perlu meratap, melainkan mensyukuri upaya-upaya perbaikannya yang tak inengenal kata stop.

(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 14 Februari 2010

Kontraktor Pembangunan

Seseorang yang beberapa hari lagi hendak dilantik sebagai Walikota, pada suatu malam berkunjung ke rumah kakaknya yang bekerja sebagai penjual barang kelontong di sebuah toko kecil. Maksud kedatangannya adalah untuk meminta semacam petuah-petuah yang mudah-mudahan berguna bagi tugas-tugasnya sebagai pemimpin tertinggi masyarakat kotanya. Itu bukan hanya karena yang ia datangi adalah kakak kandungnya. Tetapi juga karena lelaki itu adalah calon rakyatnya.
Maka setelah bersilaturrahmi, dikemukakanlah maksudnya yang mulia itu. Dan kakaknya langsung menjawab: “Pokoknya saya sebagai kakakmu ingin mengemukakan satu nasehat saja”.
“Ya Kak”, jawab sang calon Walikota.
“Kalau kamu nanti bertugas sebagai Walikota, saya minta jangan sekali-sekali kamu menyuruh rakyatmu untuk berpartisipasi dalam pembangunan!”
Bagai disambar geledek di siang bolong. Tentu saja. Sang calon Walikota kaget berat. Tidak boleh menyuruh rakyat berpartisipasi dalam pembangunan? Nasehat cap apa ini! Dari mana kakaknya mendapatkan pikiran subversif dan anti-pembangunan macam itu! Partisipasi adalah pasal pertama dalam prinsip operasionalisasi pembangunan. Siapa saja yang menjadi pejabat, dari presiden sampai lurah, setiap hari selalu mengucapkan itu dalam pidato-pidatonya. Bahkan sering diucapkan juga dalam acara-acara pembangunan. Bahkanpun dalam khotbah di rumah-rumah ibadat. Dan lagi prinsip partisipasi rakyat dalam pembangunan itu dilahirkan, dikembangkan dan dibenarkan oleh semua ahli, pakar, teknokrat, birokrat, filosof, negarawan, politisi, seniman, pedagang, serta siapapun saja yang punya semangat dan iktikad membangun bangsa dan negaranya. Setan iblis mana yang merasuki otak kakaknya sehingga ia punya pendapat demikian?

Calon Walikota kita pening kepalanya. Ini ancaman bagi pembangunan. Ini tantangan yang harus diantisipasi dan diwaspadai sejak sekarang. Dan yang paling menyedihkannya, tak lain, adalah karena ancaman pembangunan itu berasal dari kakak kandungnya sendiri.
Namun demikian, sebagai adik yang baik, ia berusaha tidak menampakkan gejolak perasaannya. Dengan tetap sopan dan ramah ia bertanya: “Terima kasih, Mas. Tetapi terus terang saya belum paham benar apa yang Mas maksudkan…”
“Begini!”, jawab kakaknya dengan suara tegas dan keras seperti semula, “kamu pikir walikota itu siapa dan rakyat itu siapa sehingga seorang walikota menyuruh rakyatnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan?”
“Bukan menyuruh, Mas, tapi sekedar meminta atau menghimbau…’
“Apapun istilahnya! Pokoknya kamu jangan memiliki sikap dan pandangan yang meletakkan rakyat sebagai partisipator pembangunan!”
“Maksud Mas?”
“Kamu pikir rakyat itu siapa? Rakyat itu Bosmu. Rakyat itu juragan dan pemilik negara ini. Kamu sebagai walikota hanya berposisi sebagai kontraktor pembangunan yang diupah oleh rakyat. Walikota itu buruhnya masyarakat. Walikota dan semua pejabat itu hamba sahaya. Walikota dan keluarganya bisa makan karena dibayar oleh rakyat. Yang punya negara itu rakyat. Yang punya segala kekayaan bumi negeri ini rakyat. Yang punya uang pajak dan semua devisa negera ini rakyat. Pokoknya kalian para pejabat itu jongosnya rakyat. Tapi jangan kuatir, rakyat itu juragan yang baik. Tidak pernah ada rakyat yang memperbudak jongos-jongosnya. Malahan yang banyak adalah jongos-jongos yang memperbudak rakyat, padahal rakyat sesungguhnya adalah juragan mereka!”
Tubuh calon walikota kita itu menjadi dingin panas. Semakin ia tahu bahwa kakaknya bersungguh-sungguh dan memiliki landasan dan argumentasi dalam mengemukakan pandapatnya. Wajahnya menunduk dalam-dalam.
“Sebagai kakakmu”, lanjut kakaknya, “saya harus berterus terang bahwa banyak sekali, bahkan rata-rata, para pejabat pendahulumu yang salah sangka terhadap rakyat dan terhadap dirinya sendiri. Mereka menyangka bahwa mereka adalah atasan rakyat, sementara rakyat mereka kira adalah bawahan mereka. Di hati dan pikiran, mereka merasa besar dan menganggap rakyat itu kecil. Mereka merasa tinggi dan rakyat itu rendah. Maka mereka merasa sah dan merasa tidak berdosa kalau mereka memaksakan kehendak mereka atas rakyat. Mereka membuat peraturan untuk mengatur rakyat, karena mereka merasa bahwa merekalah yang berhak membuat peraturan dan rakyat hanya punya kewajiban untuk mentaatinya. Di mana ada cerita bahwa hamba sahaya membuat peraturan yang diberlakukan untuk juragannya? Memang betul bahwa pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat telah diberi mandat untuk membuat peraturan-peraturan. Tetapi hak atas segala tatanan dan aturan tetaplah di tangan rakyat. Maka segala sesuatunya harus didasarkan pada kepentingan rakyat. Kalau rakyat tidak setuju, itu berarti Bos tidak setuju. Hamba sahaya harus punya telinga yang selebar mungkin untuk mendengarkan apa kata juragannya. Jangan suruh rakyat berpartisipasi dalam pembangunan, sebab merekalah pemilik pembangunan, sehingga dengan sendirinya mereka adalah subyek utama pembangunan. Jangan kok kalau juragan menegur, memprotes, berunjuk rasa, lantas si hamba sahaya malah menuduh juragannya sebagai pengacau keamanan, melawan pembangunan, pemberontak, subversi, atau segala macam tuduhan yang aneh-aneh itu.
Ingat ya! Ingat, kamu ini sebagai walikota adalah hamba sahaya….”
Calon walikota kita itu akhirnya sungguh-sungguh menggigil tubuhnya dan nerembes airmatanya. ***

Emha Ainun Nadjib
(Harian SURYA/2004/PadhangmBulanNet)

Demokrasi dalam Islam

Semua bisa salah. Doktor bisa salah, cendekiawan bisa salah, politik pun bisa salah, mahasiswa juga sering salah. Apalagi pemerintah, sangat banyak membuat salah. Maka jika semua yang saya sampaikan ini salah karena saya manusia, namun jika benar hanya dari Allah Swt.

Hampir setiap hari kita mendengar analisa, ungkapan, kesimpulan, persepsi-persepsi dari ilmuwan, cendekiawan tentang Islam. Dari pembicaraan-pembicaraan itu selalu terkesan bahwa Islam itu tidak mengenal demokrasi. Tidak hanya umat Islamnya, tetapi seolah-olah Islamnya juga tidak mengenal demokrasi. Mereka dianggap sangat terbelakang, ganas, sutka mengamuk, dan tidak demokratis, egois dii. Saya sebagai umat Islam itu merasa begitu kampungan karena tak mengenal demokrasi. Padahal demokrasi di dalam Islam sesungguhnya hanya sepetak nilai dari nilai Al Qur'an yang sudah diturunkan. Di dalam Al Qur'an, jangankan demokrasi dalam konteks negara demokrasi dalam konteks alam seluruhnya juga terkandung. Demokrasi ala Yunani itu kan hanya bagaimana penduduk atau rakyat bermusyawarah menentukan X dan Y di dalarn proses bemegara. Ini sangat terbatas. Tetapi, demokrasi di dalam Islam bukan hanya demokrasi yang dikenal manusia, tetapi jin, setan, dan makhluk goib
lainnya kenal dan diberi hanya masing-masing, sesuai dengan porsinya.
Bagaimana sesungguhnya hubungan demokrasi dengan Islam dalam level konsepsionaI atau filosofi? Kalau berbicara masalah itu perlu dipisahkan dengan pembicaraan tentang demokrasi dan umat Islam itu sendiri dipandang dari sudut sosiologis historis. Artinya, jangan sampai kita menjadi orang Islam yang capai-capai belajar ke mana-mana namun masih tetap inferior. Seolah-olah kita adalah orang yang sangat ketinggalan zaman dan agama kita temyata adalah agama primitif. Sehingga kita merasa segan kalau harus belajar demokrasi karena kita tidak pernah merasa memiliki. Maka seluruh makalah dan desertasi kita mencerminkan inferioritas primitif yang semacam itu. Nah, saya harapkan hal ini tidak akan terjadi lagi.

Misalnya seperti yang diungkapkan oleh Gus Dur (panggilan. akrab Abdurrahman Wahid) tentang definisi Demokrasi. Sayang, Gus Dur terlalu mudah menuduh orang lain sektarian, primordial, dan tidak demokratis. Misalkan kita memakai jilbab yang mengandung Arab itu, bisa jadi itu primordial. Seperti Gus Dur menganggap semua hal yang berbau Arab adalah primordial dan sektarian. Hanya sesuatu yang berasal dari negara Barat itulah barangkali yang dianggap Gus Dur universal.
Cara berfikir seperti itu akan membuat otak kita tidak bisa adil menatap paham-paham atau kriteria-kriteria yang jernih tentang apa yang sesungguhnya disebut sebagai sektarianisme atau primordialisme itu. Sebab jilbab yang disebut sebagai sektarian itu memiliki keabsahannya sensementara rok mini juga memiliki keabsahannya sendiri dilihat dari sistem nilainya. Kalau memang kita berpikir secara demokratis. Jika cara kita berfikir seperti itu baru sah disebut primordial.

Apa yang dimaksud primordial bisa dikatakan merupakan penyeragaman, itu kalau memakai cara berpikir ala Gus Dur. Cuma cara berpikir seperti itu sistemnya persis seperti dipesan dari Eropa atau Amerika. Padahal pakai rok mini ala Eropa Amerika itu primordial sekali. Mudah-mudahan apa yang saya utarakan ini dapat membuat kita berpikir lebih jernih. Hal ini sangat terkait dengan posisi dan kondisi umat Islam terhadap tuntutan demokrasi. Kalau umat Islam tidak boleh menampilkan diri sesuai dengan citranya dan harus taat serta takut pada simbol-simbol budaya milik orang lain, secara psikologis membuat kita tidak memiliki kepercayaan diri. Gus Dur itu setiap hari pakai baju batik. Bukankah batik itu sangat primordial sekali? Ee, nggak kroso (enggak mau tahu diri). Mendingan saya pakai baju putih dan celana hitam, sebab ini universal semua orang merasa memiliki. Saya bicara begin bukan berarti ngedumel, ngrasani, ngomong di belakang terhadap Gus Dur, itu memang
pada tempatnya. Tidak apa-apa. Sebab saya satu-satunya orang Indonesia yang berani mengejek Gus Dur. ini alasan historis.

Barangkali dari peristiwa tersebut, kita telah menemukan sate soal tentang psikologisme melalui penyebaran cara berpikir yang tidak adil. Dan itu sayangnya sangat mempengaruhi cara berpikir kita. Saya pribadi secara ernpirik sangat mengalami kerugian karena peristiwa semacam itu. Misalnya, saya disuruh masyarakat untuk membuat teater. Ideologis saya adalah teater rakvat. Artinya, teater yang dasarnya udnguilasabili robbikaa bil hikmah wal maui idhotil khasanah. Wajadilhum billati hiya akhsan (berangkatlah kamu dalam keadaan berat atau ringan di jalan Tuhan-Mu untuk berjihad dan berjuang di jalan Allah. Demikian itu lebih balk jika kamu mengerti).

Kalau kita berkomunikasi dengan menggunakan bahasa komunikan, yaitu bahasa orang yang kita ajak ngomong. Kalau kita membuat teater, maka idiom-idiom teater yang saya pakai hams idiom-idiom yang tepat pada audiensnya. Kalau saya berhadapan dengan umat Islam, maka saya bikin drama Islam, misalnya Lautan Jilbab, tetapi apa yang terjadi setelah pementasan beberapa kali, saya dianggap primordial. Jadi, mereka hanya melihat kulitnya. Sebenarnya idiom-idiom budaya yang saya pakai hanya sekedar kendaraan menuju substansinya. Substansinya dari salah satu drama-drama saya adalah pendidikan politik. Dan sepengetahuan saya belum pemah ada drama kritik sosial yang se-eksplisit dan sekeras Lautan Jilbab, yang terakhir dipentaskan di Surabaya dan mendapat pujian Pangdam Jawa Timur, namun dicekal di Java Tengah. Drama kami menyesuaikan dengan audiensnya. Nah, dengan demikian, Gus Dur jangan terlalu mudah menuduh primordial pada Lautan Jilbab. Kalau Gus Dur menuduh
begitu, maka yang maha primordial adalah pemikiran-pemikiran, persepsipersepsi, dan teori Gus Dur sendiri.

Lantas apa kandungan dalam Islam jika dikaitkan dengan demokrasi. Menurut saya, kita ini semacam Tarzan. Tarzan itu hidup di hutan tak mengenal teknologi maupun kemajuan jaman. Artinya, begitu kita bicara demokrasi, seolah-olah Islam itu tidak memiliki kandungan demokrasi. Kita kenal nasi itu berasal dari Indonesia. Tapi, beras itu ada di mana-mana. Dan demokrasi itu sekedar berposisi seperti nasi. Tapi jangan lupa dengan berasnya, benihnya, dan sawahnya ada di mana-mana. Apalagi di dalam Islam. Jadi sekali lagi saya tidak percaya bahwa seolah-olah Islam itu sesuatu yang tersendiri dan demokrasi itu sesuatu yang lain. Bagi saya, demokrasi itu nasi. Artinya, Islam itu mengandung beras dan nasi. Bahwa kemudian beras dan nasi itu diolah secara psikologis dalam dekade tertentu di Eropa, Amerika, dan lain-lairmya, itu benar. Namun, tidak lantas kalau Islam mengenal demokrasi berarti adopsi. Sama sekali tidak mengadopsi lihat saja Surat al-Haj ayat 4, Al-Hasyr
ayat 18-24, yang mengandung tatanan Asmaul Husna, dan demokrasi.
Tidak ada keadaan yang menyedihkan dibanding keadaan umat Islam dewasa ini, meskipun sekarang ini kita seolah-olah mengalami kondisi yang dikatakan kebangkitan. Kondisi yang namanya Islam itu ditutupi orang Islam itu sendiri.
Saat ini kita berada pada titik kulminasi.

Yogya, Rablutsani 1412 H
(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 09 Februari 2010

Santri dan Modernisasi (selesai)

Di tengah keprihatinan tentang 'terlibatnya' kaum santri dalam proses - yang di atas saya sebut - mencaimya substansi kesantrian maupun permissifisme integritas mereka daam mekanisme sistem-sistem sejarah saya memandang dengan optimis, salah satunya adalah Pesantren Gontor.
Pesantren Gontor, sebagai suatu sistem, watak dan nuan;a, tampak sadar untuk menumbuhkan pertahanan terhalap berbagai 'ancaman' tersebut. Ia tampak bukan saja semakin mengintensifkan dan bangga akan kualitas etos santri mereka, namun juga makin jelas memiliki sikap dan independensi yang tertata di tengah gejala-gejala makro peingkufuran budaya, politik, moral serta keseluruhan peradaban sejarah tempat bersemayam mereka.
Mereka secara cukup gamblang mencoba manjawab berbagai tantangan di era modernisasi demokratisasi kehidupan, redistribusi rizqullah, defeodalisasi kebudayaan, pemerdekaan (Islamisasi) segala bidang dalam pagar iradatullah, bahkan jawaban-jawaban empiris terhadap teknologisasi dan industrialisasi peradaban.
Jika mereka sanggup mengakarkannya ke wilayah yang lebih luas, maka mereka akan sanggup menciptakan infrastruktur dan pola antisipasi terhadap apa yang disebut 'agama", yaitu agama industrialisasi yang sejauh ini justru banyak membelenggu manusia dalam modus-modus modem dari berhala-berhala dan sihir-sihir Fir'aun.
Saya sungguh mendambakan bahwa Pesantren Darussalarn Gontor Ponorogo akan, bahkan sudah dan sedang mengolah suatu generasi baru yang muthahhar, yang tercerahkan (Islamic Renaissance) secara intelektual, mental, moral dan spiritual. Yakni suatu kaum yang karena muthahhar maka dimungkinkan, diperkenankan dan diridloi oleh Allah untuk "menyentuh AlQur'an". Artinya, merupakan "antena" dengan sensitivitas dan kepekaan yang prima untuk memperoleh "siaran" ilmu, kesejahteraan, hikmah, kesembuhan dan keselamatan dari AIQur'an. Dan al-ufuq al-' adhim.
Yang tidak muthahhar tidak hanya memperoleh kekosongan dan AlQur'an. Yang tidak bertaqwa tidak memperoleh petunjuk dari AlQur'an (hudan lil-rnuttaqin)
Dalam konteks Indonesia, merekalah murid-murid Khidlir, penghayat politik, budaya dan peradaban bahari, mental egaliter pesisiran, yang tidak mengulangi penyesalan Musa ketika ikan rnati itu tiba-tiba meloncat keluar menuju "pertemuan antara dua arus air samudra" : ikan yang menjelma dari kematian ke kehidupan
Apakah gerangan dua arus air samudera itu, wahai kaum. santri ?

===(selesai)===

Yogya, 14 Jull 1991

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Santri dan Modernisasi (iii)

Tentang Kemandirian :

Kaum Santri sudah menjadi bagian pokok dari al-mudattsirun atau Kaum Berselimut
alias Kaum Yang Terselimuti secara politis, ekonomis dan kultual.
So, qum! Berdirilah. Mandirilah di sebanyak mungkin aspek : Abad ke 21 adalah abad kaum wiraswastawan.
Hanya dengan qiyarn kaum santri sanggup memenuhi seruan Fa-andzir! Hanya-dengan kemandirian sanggup menemukan ilmunya sendiri yang relevan dan berakar alias fi aqdaail urnmahat atau ilmu dari "rahim ibu" sendiri, sanggup menciptakan pekerjaan sendiri, sanggup berukhuwah mengatasi sejarah. Kaum santri memiliki kemungkinan untuk melakukan fungsi indzar (berdakwah oral, berdemonstrasi, menegur bupati, bikin Parpol baru, memilih Presiden yang sungguh-sungguh ahlul amanah, menciptakan jamaah ekonomi, sosial, budaya politik dsb).
Lantas tentang kemerdekaan dan sikap eksploratif. Islam itu beda dengan "salam yang pasif. Karena Islam adalah "kata kerja". Islam adalah pembebasan, pemerdekaan. Islam adalah kondisi merdeka yang memerdekakan : la ikraha fiddin. Islam bukan kepandaian (yang tolol) yang melulu hanya dijadikan alat untuk mengkafir-kafirkan, menajis-najiskan dan mengharam-haramkan; tetapi melakukan perubahan dengan cara melalui irama dan ketepatan transformasi, dari kondisi kufur, najis dan haram - bilhikmah wa-lmau'idhatil hasanah menuju "cahaya" Allah. Seluruh urusan dalam diri sendiri dan lingkungan sejarah dibuat peka terhadap nur, materi ke energi lalu ke cahaya.
Untuk itu semua tak ada yang mampu menganjurkan eksplorasi melebih dari Islam. Siapakah ilmuwan muslim, cendekiawan muslim. Doktor-doktor muslim yang terbiasa mengajari kita pengetahuan dan analisis tentang tahap-tahap Islam melalui substansi empirik peradapan Hud, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa hingga Muhammad? Ilmu dan pengetahuan kita tentang masalah tersebut temyata masih tingkat Sekolah Dasar terus.
Kemudian, kasih dan santun terhadap manusia dan alam ? Kaum santrilah penggenggam utama 'ilmullah tentang rahmatan Kaum santrilah yang seharusnya pertama-ma mengajari dunia tentang ekologi dan ekosistern, tentang demokrasi kaffah, hak azasi, yang memperhatikan tidak saja kepentingan manusia namun juga makhluk seluruh alam ini. Kaum santrilah yang semestinya menjelaskan kepada dunia apa sesungguhnya kemenangan Sulaiman atas Bulkis, apa substansi hubb Isa dan haqq Musa dan managemen hubb-haqq model Muhammad saw.Dan akhimya penjelasan ilmiah tentang tawakkal, ikhlas (Qul huwallahu ahad kok judulnya "Al-Ikhlas"), stratifikasi kualitatif Fiqih - Akhlaq - Taqwa, futurologi Al-Hasyr, atau detail-detail An-Naml, Al-'Ankabut dst, dari siapakah kita dambakan kalau tidak dari mulut harum kaum santri ?

(bersambung)==>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Santri dan Modernisasi (ii)

Etos Santri

Sesungguhnya dengan "etos santri", kaum santri adalah penghuni garda depan dan proses sejarah peradaban manusia.
Etos Santri memuat watak kegairahan dan keterbukaan terhadap ilmu, kemandirian, kemerdekaan dan sikap eksploratif, kasih dan santun mengkhaiifahi proses sejarah yang menyangkut manusia dan alam ; belum lagi substansi-substansi mendasar yang harus digenggam dengan sendirinya : taqwa, tawakal, iklas, muthi' ilallah, dan seterusnya.
Kegairahan dan keterbukaan terhadap ilmu : Islam adalah shirath, thariq, syari', menglslam adalah melakukan perjalanan pengetahuan yang dinamis terus-menerus. Seiap Muslim memahami dan mengantisipasi (berguru, bersekolah) dialektika antara realitas alam (hakekat) dengan realitas sosial (syari'at), menyelenggarakan dan mengolah rekayasa-rekayasa, strategi (thariqat) seperti ide desa, negara, ideologi, sistem, metodologi dst. agar dicapai terminal-terminal pengetahuan dan pengalaman (ma'rifat) baik pada level ilmu, kesejahteraan hidup maupun liqaa-u rabb.
Rumusnya jelas: Iqra' bismi rabb. Lihatlah betapa tertinggalnya Kaum Santri dalam ber-iqra'. justru para pelaku Era Modem menang ber-iqra betapapun gagal bismi rabb, sehingga ilmu pengetahuan yang telah ia capai tidak berma'rifat illalah, bahkan teknologi, industri dan konsurni mereka tidak menjadi hasanah fiddunyya wal-akhirah, tidak merupakan baldah thayyibah yang ber-rabbun ghaur, penuh polusi fisik, psikologis, kultural dan spiritual, karena tidak seorientasi dengan metabolisme alam sunnatullah) yang bebas polusi/residu.

(bersambung)==>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Santri dan Modernisasi (i)

"Era Modern"
Apa yang kita sebut "era modern", memiliki daftar distorsi makna nilai-nilai kehidupan jauh melebihi era peradaban umat manusia sebelumnya. Borok paling serius dari "era modern" adalah inkonsistensi nilai-nilai, paradoksalisasi atau pembalikan filosofis, serta ambivalensi perilaku - personal maupun sistemik - yang disofistikasikan sedernikian rupa sehingga nampak tetap gagah dan indah. Maka ada suatu pemahaman dibawah sadar setiap bidang aktivitas, bahkan dalam pikiran setiap orang bahwa yang tidak modern adalah terbelakang, tidak maju dsb. Maka setiap orang berlomba-lomba memasuki peradaban modern.
Kalau mengacu pada pemikiran Weber tentang etika protestant menurutnya adalah "Need for Achievement".

Asumsi yang sama juga dianut oleh paham modemisasi dalam Islam. Keterbelakangan umat menurut mereka adalah akibat dari 'ada yang salah' dalam teologi yang dianut kaum Muslimin. Mereka menuduh teologi tradisional sebagai penyebab masalah. Maka dianutlah faham-faham teori yang berasal dari rahim ibu modernisasi, untuk mengejar apa yang dipahami sebagai (disebut) kemajuan.

Adakah Kaum Santri Terlibat di Dalamnya?
Indikator keterlibatan itu pertama-tama dikarenakan adanya akumulasi dari keterdesakan politis serta tak terbendungnya banjir tahayul budaya yang bernama "modernisasi", yang mampu membelah Kaum Santri menjadi dua bagian. Pertama, yang mempertahankan "kosmos" mereka secara subyektif dan alienatif.

Kedua, keterhanyutan di arus banjir tahayul modern tersebut, dengan mencanggihkan kesanggupan retorts untuk menggagahgagahkan dan mengindah-indahkan peranannya.
Kaum Santri secara langsung terlibat dan ikut menghidupi modifikasi modem "kultur abangan" terutama di kotakota besai, sementara lembaga-lembaga kesantrian habis waktu dan enerjinya sibuk untuk menyesuaikan dirt terhadap mekanisme sistem-sistem modern" yang berlaku, termasuk juga hukum-hukum kekuasaan yang mengendalikannya.

(bersambung) ====>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 04 Februari 2010

Manusia Pasca Ibrahim (selesai)

Saya kira untuk tahap ini marilah berangkat seperti Ibrahim, menuntaskan disiplin penghayatan yang mandiri buku-buku simpan dulu di tas, sewaktu-waktu saja kita butuhkan untuk komparasi, legitimasi, atau ishlah.
Juga menyangkut buku-buku sastra. Saya belum melihat bahwa ia sudah pantas diandalkan untuk segala macam tujuan luhur itu. Secara teoritis sastra adalah kartu penting untuk merangsang dialektika penghayatan Ibrahim. Namun sayangnya basil karya sastra kita sampai saat ni, terutama sastra modem Indonesia termasuk karya-karya Emha masih dekaden dibanding karya para leluhur kita beberapa abad silam. Karya sastra modem kita masih berada pada tingkat 'boleh tidak ada'. Taraf kwalitasnya masih 'mubah', belum pada tingkat sunnah apalagi wajib. Kita hanya mengembangkan dan memang sanggup menggapai kecanggihan estetik; tapi muatan isinya, makri-fat keilmuannya serta kearifan yang ditawarkannya - terus terang kita masih kanak-kanak atau paling jauh masih dibanding maqam Syeh Madekur, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan lain-lain. Dalam soal-soal yang menyangkut ilmu diri kemanusiaan, kita telah sukses untuk maju kebelakang.
Namun sebaiknya kita jangan percaya kepada asumsi-asumsi tersebut.
Kita adalah Ibrahim yang bertanya-tanya.

=SELESAI=

Yogya 8 Februari 1989
(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Manusia Pasca Ibrahim (ii)

Proses-proses sejarah 'menyuruh' kita disuatu soal turun merangkul substansi benda, di soal lain substansi turnbuh-tumbuhan, mempopulerkan tata nilai hewan terutama di bidang politik dan ekonomi; kemudian 'kwalitas manusia' tidak kunjung kita temukan karena substansi dan sistematika keilmuan kita terletak beberapa langkah di belakang kesadaran untuk menterjemahkan maqam abdullah meningkat lagi khalifatullah. Kita belum tahu apa integritas daun pepaya atau seekor cicak dalam kerangka keabdullahan dan kekhalifahan.
Proses internalisasi itu tentu saja seret karena kwalitas kemanusiaan yang belum mengandalkan penghayatan pribadi, tradisi riset dan 'membaca gejala alam semesta'. 'Remaja' Ibrahim memulai disiplin itu.
(Ismail hingga Muhammad adalah derajat empiris ilmu-ilmu yang lebih tinggi dan complicated lagi).
Tiba-tiba kita hidup di hadapan sebuah meja makan besar dalam suatu acara prasmanan di mana kita tinggal memilih makan-makanan jadi. Kita mengambil kue serabi, lantas mengerahkan lidah, perasaan dan tenaga untuk merasakannya, bukan untuk menelusuri sejarah serabi. Kita tidak memiliki imaji tentang pati, tungku pemasak, sumber api, grabah pencetak, bagaimana wajah pembikin kue serabi dan bagaimana bau keringatnya. Kita juga baru ingat gula kalau duduh serabi itu terlalu manis atau kurang manis.
Dengan kata lain, untuk 'menjadi' Muhammad, kita tidak terlebih dahulu 'berperan' sebagai Adam dan seterusnya hingga Isa sambil pusing oleh panggung penah bias hasil terjemahan-terjemahan parsial setiap tahap itu ke dalam upaya penyusunan peradaban ummat manusia termasuk sejak St. Paul hingga NKK BKK atau Index Prestasi (IP) brengsek itu.
Kita tidak berangkat dari Muhammad balik ke Adam sampai Muhammad kembali. Kita pemeluk Islam cukup dengan mentuhankan Muhammad, mentuhankan syariat, mentuhankan iman, mentuhankan Islam, mentuhankan a-pa yang kita sangka Tuhan.
Kita tidak mengambil hikmah dari keummyan Muhammad. Kita lebih mengandalkan informasi melalui kalimat-kalimat di buku-buku sebagai 'kue serabi' yang siap disantap bulat-bulat. Kita ingin menghayati api dengan cara pergi ke perpustakaan dan mengobrak-abrik seratus buku tebal. Padahal mustinya sundutlah jidat ini dengan rokok menyala, baru buka buku untuk tambahan bahan nomenklatuur. Masalahnya pegangan
kita bukan Qur'an hadist, melainkan penghayatan dari kitab suci kita pakai untuk mencocokkan, mengontrol, mengishlah, meluruskan. Alif Laam Miim tak kau temukan melalui membacanya : hayati hidup, baru kau ketemu rahasianya. Lebih gawat lagi karena sesudah buku-buku pandai menyebar jutaan jumlahnya lebih dari dasawarsa terakhir ini, belum tampak juga tanda-tanda bahwa ia memiliki peranan dalam memperbaiki sejarah. Begitu banyak buku Islam dijual dan dibaca, namun belum tahu apa yang meningkatkan pada kwalitas Kaum Muslimin. Mungkin haruskah kita tunggu hingga sekitar tahun 2010 ketika generasi pembaca buku saat ini naik memimpin sejarah. Atau barangkali dibanding sosialisasi buku-buku pintar, 'perbaikan jaman' lebih dimungkinkan justru buku-buku baik serta oleh uswatun hasanah yang disistematisir oleh lembaga pendidikan khususnya dan lembaga politik dan lembaga kebudayaan pada umumnya.

(bersambung)====>>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Manusia Pasca Ibrahim (i)

Kata orang arif, kebanyakan Kaum Muslimin dewasa ini maqam ilmu hidupnya 'masih Hindu', ada juga gejala 'sudah Budha' atau bahkan 'sudah Kristen', namun kondisi rata-ratanya adalah 'belum Islam'. Jadi masuk akal kalau pengetahuan mengenai kesempurnaan Islam atau kepamungkasan kenabian Muhammad lebih diterima sebagai dogma gelap dari pada basil internalisasi. Tidak diketahui dan kurang dipelajari oleh kebanyakan Kaum Muslimin tanjakan-tanjakan kwalitatif ilmu kehidupan yang diperankan oleh urutan-urutan '25 aktor' Rasul menuju al-ufuq al-mubin yang bernama Islam. Orang Islam tiap hari berpuluh-puluh kali mengucapkan 'Allahu Akbar' tidak karena takjub oleh setiap terminal penghayatan ilmu, rnelainkan karena "setiap serdadu harus apel di setiap Parade Senja".
Peluang untuk thalabul 'ilmi secara jujur juga makin sempit peluangnya oleh politik misalnya oleh konsep SARA yang ndeso. Tidak populer bagi kita progressi dari 'Adam Balita', 'Nuh TK', 'Ibrahim Remaja', 'Ismail DO', 'Musa Sarjana Anyaran', 'Isa Doktor GR' dan- 'Muhammad Paripurna'. Kita tidak memiliki kebebasan akademik dan tidak bersikap historis terhadap proses pertumbuhan ilmu di bumi, karena agaknya Musa, Isa, Budha, dan Muhammad itu berasal dan hidup untuk planet sendiri-sendiri.
Maka kata orang arif pula makin tak tahulah kita betapa besar dan dahsyat bias-bias sejarah yang termanifestasikan ke dalam pemikiran, ideologi serta segala pekerjaan pembangunan peradaban ummat manusia - yang diakibatkan oleh pemakaian kesadaran pra-Isa di mana Tuhan di Diakan, atau periode Isa di mana Tuhan diAkukan, dan betapa tawaran kreatif Muhammad yang meng EngkauKan Tuhan masih merupakan barang amat iangka.
Mudah-mudahan saya diberi anugerah kesanggupan untuk sedikit menjelaskan apa yang dimaksud oleh orang arif itu.

(bersambung)====>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Jumat, 29 Januari 2010

DITANYAKAN KEPADANYA

Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia

Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia

Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia

Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia

Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia

Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia

1988
(Emha Ainun Najib/PadhangmBulanNetDok)

Syair Mahasiswa Menjambret

Sebab tergoda oleh betapa seru berita di koran serta oleh pengujian para tetangga, bertanyalah aku kepada penyairku, “Akir-akhir ini orang makin ribut tentang pelajaran dan mahasiswa kriminal. Aku bertanya benarkah puisimu tak membutuhkan tema semacam itu, atau tidakkah soal-soal seperti itu memerlukan puisi?”

“Aku tak paham apa yang aneh”, berkata penyairku, “Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret, kalau pelajar sudah berani mencuri odol, dan sikat gigi, kalau para calon pemimpin bangsa telah memiliki nyali untuk mencopet jam tangan dan mengutil sepatu: tak kumengerti apa yang perlu diherankan?”

Bukan. Bukan soal heran dan tak heran. Kami orang-orang awam terlalu sering dikagetkan oleh perkawinan antara dua hal yang semestinya jangan pernah bersentuhan.
Antara dunia penjambretan dengan dunia dunia keterpelajaran terbentang jarak yang bukan saja amat jauh, tapi juga bersungguh-sungguh. Kalau ada dua nilai yang saling bertentangan, namun berhasil dikawinkan secara damai oleh sejarah dan perilaku manusia: hanya penyair tuli yang tak tergoda untuk menuangkannya.

“Demi apa sehingga engkau menganjurkan puisi bergaul dengan hal-hal picisan?”, penyairku tertawa, “Para kaum terpelajar yang baru belajar menapakkan kaki, yang keterampilannya tanggung ? menggeledah tas teman kostnya, melarikan motor tetangganya, merencanakan penodongan,
perampokan, pembunuhan ? belum pantas dipuisikan.
Dunia kepenyairan tidak sedemikian rendah derajatnya.

Jagat kesenian memerlukan soal-soal besar, umpamanya kesepian hati atau kembang dan kupu-kupu di pagi hari.
Tapi baiklah. Kalau kaum terpelajar bersedia tak sedemikian tergesa-gesa. Kalau para pioneer sejarah
sanggup menahan emosi dan sedikit bersabar. Kalau para pemilik utama masa depan mau belajar baik-baik dan tunggu momentum yang tepat untuk kelak menjadi penjambret yang canggih tersenbunyi, tanpa orang tahu bahwa mereka adalah penjambret ? puisiku masih akan membukakan
pintunya untuk suatu tawar-menawar.”

Apa yang sesungguhnya hendak engkau ucapkan, penyairku?
Penyair amat berbakat merusak kehidupan karena begitu gampang menemukan kata-kata, bahkan pun untuk keadaan yang samar-samar baginya.

Malah mengeras tertawanya, “Samar-samar, katamu?”, ia mendongak, “Kalau mahasiswa mulai sanggup bertindak kriminal, apakah ia diajari oleh dirinya sendiri?
Ataukah ia dituntun oleh para pejambret yang mampu Melakukan penjambretan sedemikain rupa sehingga beribu-ribu orang tak merasa bahwa isi kantong kehidupan mereka terus dijambret dari hari ke hari?”

Kupikir itu bukan hanya sombong dan tergesa-gesa. Namun juga berangkat dari sangka buruk. Adakah kemampuan yang dahsyat dalam memotret sesuatu yang dimiliki penyair membuatnya tak membiasakan diri untuk bersabar, menyaring atau mengendapkan?

“Dengarlah”, ia mendongak lebih tinggi, “Kalau para kaum terpelajar mulai belajar mengerjakan kejahatan-kejahatan yang wantah, adakah engkau menyangka Tuhan memang mentakdirkan mereka demikian? Ataukah itu hasil godogan dari tata hubungan kehidupan yang menyediakan amat banyak lintah-lintah?
Dengarlah air mengalir tidak tiba-tiba sampai di muara.
Dan jika matamu memandang awan berarak, hendaklah engkau tatap juga samudera yang menghampar dan panas matahari yang memanggangnya. Mendung tidaklah mengepulkan dirinya sendiri dan kemudian hadir menyaput hari-harimu sebagai hantu yang tanpa asal-usul?”

“Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret di muka orang banyak,” ia tak memberiku kesempatan untuk menang-gapi, “Siapakah gurunya? Tangan siapakah yang melontarkan mata tombak kejahatan? Petani manakah yang menanamkan benihnya dan merabuki kesuburan tetumbuhan-nya? Kalau kaum terpelajar mulai sanggup melakukan tingkat kejahatan yang paling dangkal dan remeh,
Apakah karena mereka memang orang jahat?”

“Kebaikan dan keluhuran tidak diterjemahkan ke dalam buku-buku pelajaran. Gedung-gedun sekolah menyediakan laboratorium bagi anak-anak untuk menjadi pandai, dan tidak terutama untuk menjadi baik.
Mendaftarlah ke antrian kesempatan sekolah, tinggalkan anak-anak lain yang tolol dan tak punya biaya. Reguklah Tujuh samudera pengetahuan. Tapi untuk soal-soal bagaimana membangun kebajikan, sepenuhnya diserahkan kepadamu masing-masing ? apakah akan mencarinya di
balik tikar-tikar kumuh robek rumah-rumah ibadah, atau di pinggiran kaki lima-kaki lima kehidupan?”

“Kalau anakmu berangkat sekolah di pagi hari, mulutnya menganga untuk disuapi pengetahuan tentang kepandaian dan kemenangan, bukan kebijakan dan kebersamaan.
Anak-anakmu diajari berlari maju, melampaui dan meninggalkan anak-anak lain yang bersemayam di kesempitan-kesempitan hidup.
Anak-anakmu diajari untuk terampil memanjat melewati pundak teman-teman bermain mereka, beribu-ribu, berjuta-juta teman bermain mereka yang perjalanan hidupnya tercengkal.
Meninggalkan mereka semua yang mandeg di masa silam.
Pergi berlari, meniti daerah impian, menapaki tangga-tangga kehidupan yang lebih tinggi dan menjanjikan kemewahan.

Anak-anakmu diajari untuk mengalahkan yang lain.
Untuk melampaui dan meninggalkan sumber-sumber kesejarahan mereka sendiri, untuk meraih apa yang disebut derajat, kamukten dan kemenangan.
Anak-anakmu berbaris di halaman sekolah, berjajar di bangku-bangku kelas, punggung mereka dicambuk untuk berlatih menang ? dan jika kemenangan amat sukar diperoleh secara wajar ? sebab peluang untuk itu menjadi semakin sempit dan semakin sempit ? maka wajarlah jika mereka lantas menjegal siapa saja di sekitar mereka yang bisa dijegal: mencopet, menjambret, merampok,
di kampung, dijalanan”

“Adapun hal-hal yang menyangkut nasib orang lain, tenggang hati terhadap sesama, kesadaran utnuk meruwat keadilan dan kemuliaan ? tidak merupakan urusan utama di dalam butir-butir pelajaran dan baris-baris pengetahuan.

Adapun soal-soal yang berkenaan dengan tubuh besar kemanusiaan, keinsafan untuk nggemateni nilai dan keilahian ? hanyalah unsur pinggiran bagi pusat-pusat mimpi dan perjuangan untuk berlomba menang, kontes kemakmuran dan rekor-rekor kesejahteraan serta kemegahan”

“Anak-anakmu diajari untuk tidak mengerti apa-apa kecuali kepentingan diri sendiri. Tangan dan kaki anak-anakmu dilatih tidak untuk apa-apa kecuali untuk beringas memompa perut dan gengsinya sendiri.
Naluri anak-anak dididik untuk menindak dan memakan orang lain untuk cita-cita pribadi. Anak-anakmu dipacu untuk berpikir sebagai ego, di mana segala sesuatu di luar itu hanyalah amat bagi ego-ego.

Anak-anakmu dibikin tak paham kebersamaan. Anak-anakmu dididik untuk menjadi segumpal keasingan, tidak untuk menjadi seseorang di tengah berbagai orang.
Anak-anakmu dididik untuk menjadi pusat-pusat penghisap”

“Anak-anakmu diletakkan di dalam proses salah kaprah untuk berkembang menjadi penjambret-penjambret yang halus dan sophisticated Maka apabila ada di antara mereka yang kebelet melakukan
ketololan dengan menjambret di jalanan, itu hanyalah pertanda bahwa daerah-daerah untuk proyek penjambretan-penjambretan canggih sudah semakin menciut.
Anak-anakmu tidak terlalu siap untuk ragu-ragu terhadap kesempatan, untuk terlampau berjudi dengan hari depan yang samara-samar; sehingga hari ini juga mereka merasa harus memperoleh sesuatu, mendapatkan benda-benda, gengsi dan kenkmatan seperti yang dipunyai orang-orang lain”

“Gerbong-gerbong sekolah dengan sendirinya mengangkut mereka ke hari depan penjambretan struktural meskipun guru-guru mereka tak mengetahui hal itu.
Guru-guru mereka ? yang toh manusia sehingga tetap tersisa kemanusiaannya ? di luar paparan kurikulum, memberi nasihat bahwa penjambretan itu tidak baik. Tapi hendaklah kita catat bahwa di dalam negara dan perusahaan sekolah: penjambretan diajarkan, sedangkan kejujuran dan kebajikan hanya dianjurkan sesekali”

“Dan di manakah sejarah ini memiliki tempat bagi anak-anakmu dalam kehidupan?
Jika anak-anakmu berdiri memandang tanah menghampar, mereka membayangkan akan mendirikan rumah, garasi dan kolam renang. Jika di depan matanya tegak sebatang pohon, mereka berpikir untuk menebangnya. Anak-anakmu tidak dididik untuk menanam dan menumbuhkan, melainkan untuk
menguasai dan duduk di singgasana”

“Anak-anakmu bertengger di bawah batang timbangan yang timpang antara modal dan daya tawar menawar yang rendah dengan iming-iming hidup enak yang meneror mereka dari hari ke hari
Anak-anakmu dikepung oleh gegap gempita orang berebut kejayaan. Orang jegal-menjegal. Orang menyerimpung dan diserimpung. Anak-anakmu dikepung oleh uang dan kekuasaan yang menjadi bahasa utama dari yang mereka sangka kemajuan. Oleh pasal-pasal hokum yang diperjual belikan. Oleh ayat-ayat agama yang dijual eceran. Oleh tradisi penafsiran yang sepihak. Oleh pemaksaan yang damai, kemunafikan yang harmonis, manipulasi yang berwajah ramah, kepalsuan yang cerah dan penghisapan yang nikmat. Anak-anakmu makin tidak menemukan tempat untuk meneladani kejujuran. Anak-anakmu digiring memasuki komune tempat perzinaan missal dari sejarah yang
auratnya telanjang tapi wajahnya bertopeng”

Kutinggalkan penyairku. Tampaknya aku mulai memahami kepenyairan bukanlah sejenis bakat di mana kata-kata amat gampang ia temukan dan pilih. Kepenyairan adalah - hampir - ketidakmampuan menemukan kata. Sebab kata lebih sanggup mengaburkan kenyataan dibanding mewakilinya.
Dan penyairku, dengan ratusan kata-katanya itu, kukira telah berbuat curang terhadap realitas.

Tapi ia justru tertawa keras dan berkepanjangan ketika melepasku pergi, “Bagaimana engkau bias menjadi sedemikian tolol untuk menyangka bahwa urusan utama para penyair adalah kata-kata? Dengan kata-kataku itu aku tidaklah berkata-kata. Ini kehidupan”

1988.
(Emha Ainun Nadjib/"Sesobek Buku Harian Indonesia"/1993/Bentang Intervisi Utama/PadhangmBulanNetDok)