Jumat, 29 Januari 2010

DITANYAKAN KEPADANYA

Ditanyakan kepadanya siapakah pencuri
Jawabnya: ialah pisang yang berbuah mangga
Tak demikian Allah menata
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah penumpuk harta
Jawabnya: ialah matahari yang tak bercahaya
Tak demikian sunnatullah berkata
Maka cerdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapakah pemalas
Jawabnya: bumi yang memperlambat waktu edarnya
Menjadi kacaulah sistem alam semesta
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya sapakah penindas
Jawabnya: ialah gunung berapi masuk kota
Dilanggarnya tradisi alam dan manusia
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa pemanja kebebasan
Ialah burung terbang tinggi menuju matahari
Burung Allah tak sedia bunuh diri
Maka berdusta ia

Ditanyakn kepadanya siapa orang lalai
Ialah siang yang tak bergilir ke malam hari
Sedangkan Allah sedemikian rupa mengelola
Maka berdusta ia

Ditanyakan kepadanya siapa orang ingkar
Ialah air yang mengalir ke angkasa
Padahal telah ditetapkan hukum alam benda
Maka berdusta ia

Kemudian siapakah penguasa yang tak memimpin
Ialah benalu raksasa yang memenuhi ladang
Orang wajib menebangnya
Agar tak berdusta ia

Kemudian siapakah orang lemah perjuangan
Ialah api yang tak membakar keringnya dedaunan
Orang harus menggertak jiwanya
Agar tak berdusta ia
Kemudian siapakah pedagang penyihir
Ialah kijang kencana berlari di atas air
Orang harus meninggalkannya
Agar tak berdusta ia

Adapun siapakah budak kepentingan pribadi
Ialah babi yang meminum air kencingnya sendiri
Orang harus melemparkan batu ke tengkuknya
Agar tak berdusta ia

Dan akhirnya siapakah orang tak paham cinta
Ialah burung yang tertidur di kubangan kerbau
Nyanyikan puisi di telinganya
Agar tak berdusta ia

1988
(Emha Ainun Najib/PadhangmBulanNetDok)

Syair Mahasiswa Menjambret

Sebab tergoda oleh betapa seru berita di koran serta oleh pengujian para tetangga, bertanyalah aku kepada penyairku, “Akir-akhir ini orang makin ribut tentang pelajaran dan mahasiswa kriminal. Aku bertanya benarkah puisimu tak membutuhkan tema semacam itu, atau tidakkah soal-soal seperti itu memerlukan puisi?”

“Aku tak paham apa yang aneh”, berkata penyairku, “Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret, kalau pelajar sudah berani mencuri odol, dan sikat gigi, kalau para calon pemimpin bangsa telah memiliki nyali untuk mencopet jam tangan dan mengutil sepatu: tak kumengerti apa yang perlu diherankan?”

Bukan. Bukan soal heran dan tak heran. Kami orang-orang awam terlalu sering dikagetkan oleh perkawinan antara dua hal yang semestinya jangan pernah bersentuhan.
Antara dunia penjambretan dengan dunia dunia keterpelajaran terbentang jarak yang bukan saja amat jauh, tapi juga bersungguh-sungguh. Kalau ada dua nilai yang saling bertentangan, namun berhasil dikawinkan secara damai oleh sejarah dan perilaku manusia: hanya penyair tuli yang tak tergoda untuk menuangkannya.

“Demi apa sehingga engkau menganjurkan puisi bergaul dengan hal-hal picisan?”, penyairku tertawa, “Para kaum terpelajar yang baru belajar menapakkan kaki, yang keterampilannya tanggung ? menggeledah tas teman kostnya, melarikan motor tetangganya, merencanakan penodongan,
perampokan, pembunuhan ? belum pantas dipuisikan.
Dunia kepenyairan tidak sedemikian rendah derajatnya.

Jagat kesenian memerlukan soal-soal besar, umpamanya kesepian hati atau kembang dan kupu-kupu di pagi hari.
Tapi baiklah. Kalau kaum terpelajar bersedia tak sedemikian tergesa-gesa. Kalau para pioneer sejarah
sanggup menahan emosi dan sedikit bersabar. Kalau para pemilik utama masa depan mau belajar baik-baik dan tunggu momentum yang tepat untuk kelak menjadi penjambret yang canggih tersenbunyi, tanpa orang tahu bahwa mereka adalah penjambret ? puisiku masih akan membukakan
pintunya untuk suatu tawar-menawar.”

Apa yang sesungguhnya hendak engkau ucapkan, penyairku?
Penyair amat berbakat merusak kehidupan karena begitu gampang menemukan kata-kata, bahkan pun untuk keadaan yang samar-samar baginya.

Malah mengeras tertawanya, “Samar-samar, katamu?”, ia mendongak, “Kalau mahasiswa mulai sanggup bertindak kriminal, apakah ia diajari oleh dirinya sendiri?
Ataukah ia dituntun oleh para pejambret yang mampu Melakukan penjambretan sedemikain rupa sehingga beribu-ribu orang tak merasa bahwa isi kantong kehidupan mereka terus dijambret dari hari ke hari?”

Kupikir itu bukan hanya sombong dan tergesa-gesa. Namun juga berangkat dari sangka buruk. Adakah kemampuan yang dahsyat dalam memotret sesuatu yang dimiliki penyair membuatnya tak membiasakan diri untuk bersabar, menyaring atau mengendapkan?

“Dengarlah”, ia mendongak lebih tinggi, “Kalau para kaum terpelajar mulai belajar mengerjakan kejahatan-kejahatan yang wantah, adakah engkau menyangka Tuhan memang mentakdirkan mereka demikian? Ataukah itu hasil godogan dari tata hubungan kehidupan yang menyediakan amat banyak lintah-lintah?
Dengarlah air mengalir tidak tiba-tiba sampai di muara.
Dan jika matamu memandang awan berarak, hendaklah engkau tatap juga samudera yang menghampar dan panas matahari yang memanggangnya. Mendung tidaklah mengepulkan dirinya sendiri dan kemudian hadir menyaput hari-harimu sebagai hantu yang tanpa asal-usul?”

“Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret di muka orang banyak,” ia tak memberiku kesempatan untuk menang-gapi, “Siapakah gurunya? Tangan siapakah yang melontarkan mata tombak kejahatan? Petani manakah yang menanamkan benihnya dan merabuki kesuburan tetumbuhan-nya? Kalau kaum terpelajar mulai sanggup melakukan tingkat kejahatan yang paling dangkal dan remeh,
Apakah karena mereka memang orang jahat?”

“Kebaikan dan keluhuran tidak diterjemahkan ke dalam buku-buku pelajaran. Gedung-gedun sekolah menyediakan laboratorium bagi anak-anak untuk menjadi pandai, dan tidak terutama untuk menjadi baik.
Mendaftarlah ke antrian kesempatan sekolah, tinggalkan anak-anak lain yang tolol dan tak punya biaya. Reguklah Tujuh samudera pengetahuan. Tapi untuk soal-soal bagaimana membangun kebajikan, sepenuhnya diserahkan kepadamu masing-masing ? apakah akan mencarinya di
balik tikar-tikar kumuh robek rumah-rumah ibadah, atau di pinggiran kaki lima-kaki lima kehidupan?”

“Kalau anakmu berangkat sekolah di pagi hari, mulutnya menganga untuk disuapi pengetahuan tentang kepandaian dan kemenangan, bukan kebijakan dan kebersamaan.
Anak-anakmu diajari berlari maju, melampaui dan meninggalkan anak-anak lain yang bersemayam di kesempitan-kesempitan hidup.
Anak-anakmu diajari untuk terampil memanjat melewati pundak teman-teman bermain mereka, beribu-ribu, berjuta-juta teman bermain mereka yang perjalanan hidupnya tercengkal.
Meninggalkan mereka semua yang mandeg di masa silam.
Pergi berlari, meniti daerah impian, menapaki tangga-tangga kehidupan yang lebih tinggi dan menjanjikan kemewahan.

Anak-anakmu diajari untuk mengalahkan yang lain.
Untuk melampaui dan meninggalkan sumber-sumber kesejarahan mereka sendiri, untuk meraih apa yang disebut derajat, kamukten dan kemenangan.
Anak-anakmu berbaris di halaman sekolah, berjajar di bangku-bangku kelas, punggung mereka dicambuk untuk berlatih menang ? dan jika kemenangan amat sukar diperoleh secara wajar ? sebab peluang untuk itu menjadi semakin sempit dan semakin sempit ? maka wajarlah jika mereka lantas menjegal siapa saja di sekitar mereka yang bisa dijegal: mencopet, menjambret, merampok,
di kampung, dijalanan”

“Adapun hal-hal yang menyangkut nasib orang lain, tenggang hati terhadap sesama, kesadaran utnuk meruwat keadilan dan kemuliaan ? tidak merupakan urusan utama di dalam butir-butir pelajaran dan baris-baris pengetahuan.

Adapun soal-soal yang berkenaan dengan tubuh besar kemanusiaan, keinsafan untuk nggemateni nilai dan keilahian ? hanyalah unsur pinggiran bagi pusat-pusat mimpi dan perjuangan untuk berlomba menang, kontes kemakmuran dan rekor-rekor kesejahteraan serta kemegahan”

“Anak-anakmu diajari untuk tidak mengerti apa-apa kecuali kepentingan diri sendiri. Tangan dan kaki anak-anakmu dilatih tidak untuk apa-apa kecuali untuk beringas memompa perut dan gengsinya sendiri.
Naluri anak-anak dididik untuk menindak dan memakan orang lain untuk cita-cita pribadi. Anak-anakmu dipacu untuk berpikir sebagai ego, di mana segala sesuatu di luar itu hanyalah amat bagi ego-ego.

Anak-anakmu dibikin tak paham kebersamaan. Anak-anakmu dididik untuk menjadi segumpal keasingan, tidak untuk menjadi seseorang di tengah berbagai orang.
Anak-anakmu dididik untuk menjadi pusat-pusat penghisap”

“Anak-anakmu diletakkan di dalam proses salah kaprah untuk berkembang menjadi penjambret-penjambret yang halus dan sophisticated Maka apabila ada di antara mereka yang kebelet melakukan
ketololan dengan menjambret di jalanan, itu hanyalah pertanda bahwa daerah-daerah untuk proyek penjambretan-penjambretan canggih sudah semakin menciut.
Anak-anakmu tidak terlalu siap untuk ragu-ragu terhadap kesempatan, untuk terlampau berjudi dengan hari depan yang samara-samar; sehingga hari ini juga mereka merasa harus memperoleh sesuatu, mendapatkan benda-benda, gengsi dan kenkmatan seperti yang dipunyai orang-orang lain”

“Gerbong-gerbong sekolah dengan sendirinya mengangkut mereka ke hari depan penjambretan struktural meskipun guru-guru mereka tak mengetahui hal itu.
Guru-guru mereka ? yang toh manusia sehingga tetap tersisa kemanusiaannya ? di luar paparan kurikulum, memberi nasihat bahwa penjambretan itu tidak baik. Tapi hendaklah kita catat bahwa di dalam negara dan perusahaan sekolah: penjambretan diajarkan, sedangkan kejujuran dan kebajikan hanya dianjurkan sesekali”

“Dan di manakah sejarah ini memiliki tempat bagi anak-anakmu dalam kehidupan?
Jika anak-anakmu berdiri memandang tanah menghampar, mereka membayangkan akan mendirikan rumah, garasi dan kolam renang. Jika di depan matanya tegak sebatang pohon, mereka berpikir untuk menebangnya. Anak-anakmu tidak dididik untuk menanam dan menumbuhkan, melainkan untuk
menguasai dan duduk di singgasana”

“Anak-anakmu bertengger di bawah batang timbangan yang timpang antara modal dan daya tawar menawar yang rendah dengan iming-iming hidup enak yang meneror mereka dari hari ke hari
Anak-anakmu dikepung oleh gegap gempita orang berebut kejayaan. Orang jegal-menjegal. Orang menyerimpung dan diserimpung. Anak-anakmu dikepung oleh uang dan kekuasaan yang menjadi bahasa utama dari yang mereka sangka kemajuan. Oleh pasal-pasal hokum yang diperjual belikan. Oleh ayat-ayat agama yang dijual eceran. Oleh tradisi penafsiran yang sepihak. Oleh pemaksaan yang damai, kemunafikan yang harmonis, manipulasi yang berwajah ramah, kepalsuan yang cerah dan penghisapan yang nikmat. Anak-anakmu makin tidak menemukan tempat untuk meneladani kejujuran. Anak-anakmu digiring memasuki komune tempat perzinaan missal dari sejarah yang
auratnya telanjang tapi wajahnya bertopeng”

Kutinggalkan penyairku. Tampaknya aku mulai memahami kepenyairan bukanlah sejenis bakat di mana kata-kata amat gampang ia temukan dan pilih. Kepenyairan adalah - hampir - ketidakmampuan menemukan kata. Sebab kata lebih sanggup mengaburkan kenyataan dibanding mewakilinya.
Dan penyairku, dengan ratusan kata-katanya itu, kukira telah berbuat curang terhadap realitas.

Tapi ia justru tertawa keras dan berkepanjangan ketika melepasku pergi, “Bagaimana engkau bias menjadi sedemikian tolol untuk menyangka bahwa urusan utama para penyair adalah kata-kata? Dengan kata-kataku itu aku tidaklah berkata-kata. Ini kehidupan”

1988.
(Emha Ainun Nadjib/"Sesobek Buku Harian Indonesia"/1993/Bentang Intervisi Utama/PadhangmBulanNetDok)

Metode Iqra' untuk Konsolidasi Strategis

Konsolidasi Idiil
Apakah kita pernah berpikir sungguh-sungguh, bahwa metode-metode iqra' sanggup kita tumbuhkan dan diperkembangkan, sehingga kita tidak terlampau bertele-tele menemukan perspektif dan sistematika keilmuan Islam yang sesungguhnya demikian gamblang dipaparkan secara substansial dan metodologis oleh dialektika tiga informasi dari Allah yaitu : alam semesta, kehidupan manusia dan Al Qur'an. Dengan demikian kelak mubaligh kita sanggup menemukan relevansi dan integritasnya terhadap kewaji)an-kewajiban mengkhalifahi konsep dan terapan rahmatan lil'alamin. Pada saat itu nanti, saya tidak akan terlalu sibuk menjadi mubaligh darurat seperti pekerjaan saya hari ini.
Amat sayang bahwa Kaum Muslimin belum sungguh-sungguh terdidik dan dibesarkan oleh kebiasaan metodologis dan memakai terminologi keilmuan Islam. Kita disusun oleh mono aspek tradisi syariat, sedangkan untuk segi-segi keilmuan kita digurui oleh 'orang asing' yang pada tingkat tertentu justru telah mencapai tingkat yang secara otomatis terbimbing oleh Islam, betapapun belum secara sadar memahami (apa yang kita sebut) perspektif 'arsyyah dan kaffah. Karena kita dididik oleh kurikulum keilmuan yang bukan saja belum universal, apalagi kosmis, melainkan masih duniawi. (Sangat susah dipahami) mungkin justru kita masih jahiliyah.
Keilmuan kosmis ialah suatu konsep historism yang melihat segala urusan kehidupan berpangkal dari Allah dan berujung di Allah, yang tawadlu terhadap supra-waktu dan meta-ruang. Selama ini tidaklah demikian cakrawala kita dalam mencari dan menentukan batas intelektualitas, filsafat, ideologi, serta kemudian sistem-sisitem nilai. Kita menyelenggarakan negara, tata komunitas, sistem perekonomian, cara berpolitik,
yang bersifat provinsialis dan fragmentaris, jauh dari tawadlu dalam kosmos ('arsy 'adhim). Dalam keadaan seperti itu maka peradaban kita hanya dipenuhi oleh bentrok antar subyektivisme yang bukan saja riya' atau sombong, namun juga bodoh. Kalau tiba di hari peringatan Isra' Mi'raj, kita mengandalkan keyakinan buta, atau diam-diam memendam ketidakpahaman ilmiah atasnya serta kekeroposan iman.
Padahal setiap manusia sesungguhnya menjalani Islam, itu tidak bisa dihindari (tak bisa tidak). Di tahap natural, tanaman bertumbuh dan manusia menjadi pembesar, dalam interaksi manusia dan tetumbuhan yang dimaksud sesungguhnya sedang untuk menjalani Islam. Manusia terikat oleh sunnatuilah, ia tidak sanggup untuk tak mengIslam. Tetumbuhan memeluk Islam hingga daun-daunnya gugur : ia menglslam boleh tanpa
belajar. Namun manusia harus melewati tahap menjadi khalifah. Nah, disitulah terjadi friksi, yang satu merasa Muslim lainnya merasa anti Islam. Di situ banyak orang anti Islam yang sukses mengembarai sebagian cakrawala Islam (gairah ilmu pengetahuan, pencapaian teknologi); di situ banyak orang merasa Islam yang sesungguhnya buta huruf terhadap 'arsy Islam, baik dalam ilmu kerohanian, teologi, filsafat, etika maupun keilmuan teknik sehari-hari.
Contoh elementernya pada pandangan kita terhadap syariat.
- Kita hanya tahu syariat sebagai hanya aspek normatif. Kita melakukan sholat, umpamanya hanya dalam konteks kepatuhan akan aturan. Kita tidak mencari ilmu dalam bersholat, kita gagal menyentuh aspek kreatif dan rekreatif dad pekerjaan sholat. Tidak heran kalau sholat kita tidak kunjung tanha 'anil fakhsya wal-munkar
- Demikian juga, selain sholat (air), kita tak pemah menekuni zakat (susu), puasa (khamr) atau haji (madu) sebagai buku besar ilmu pengetahuan. Pada-hal ilmu pengetahuan di rahim syariat adalah 'kendaraan' terpenting yang membawa kita ke rumah Allah. Tak heran kalau pekerjaan Haji tidak merupakan puncak tahapan ilmu dan proses spiritual orang Muslim.
- Tak heran pula kalau orang Islam pada umumnya merasa asing terhadap terminologi keilmuan Islam elementer : Syariat, hakikat, tarikat dan makrifat. Saya belum pernah mendengar para pakar, ulama atau cendekiawan Muslim kita mengungkapkan hasil renungan, tajribah, reinterpretasi dan repersepsi terhadap terminologi yang semestinya merupakan makanan sehari-hari Ka um Muslimin tersebut
- Lebih jarang terdengar lagi kegairahan kita terhadap beribu 'amtsal' dalam Qur'an yang penuh cahaya. Qur'an lebih sering diperdengarkan sebagai pengukuh egoisme kekuasaan atau kepentingan kapitalisasi kehidupan.
- Dengan demikian kita masih memerlukan waktu panjang dan ketelatenan untuk menemukan benang merah dari apa yang disebut sebagai "masyarakat ilmiah yang agamis",. Kalau term ini berangkat dari apa yang di atas saya sebut peta parsial dan fragmentaris, maka tentu amat jauh berbe-da dengan apa yang sesungguhnya ditawarkan oleh 'arsy Islam; seperti perbedaan antara sebuah planet dengan peta galaksi maha galaksi.

Sebuah Tawaran
1. Memperlebar pintu dan kewenangan berijtihad
2. Reinternalisasi syariat
3. Melembagakan zawiyyah di masjid-masjid sebagai laboratorium kreativitas keilmuan
4. Merubah psikologism-khilafiyah menjadi kerjasama pencarian ilmu
5. Memulai secara serius penggunaan AlQur'an sebagai kepustakaan utama.

Yogya, Minggu 5 Maret
(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 24 Januari 2010

Da'wah Kampus Pasca Mataram (iv-selesai)

Tema Pemikiran Yang Aneh

Para mahasiswa diijinkan untuk berbicara tentang tema-tema Islam struktural seperti ekonomi Islam, politik Islam dan sebagainya. Namun ketika pemikiran tersebut dibawa ke lapis atas, situasi jadi macet. Karena lapis elit telah terikat pada struktur dan menjadi bagian dari sistem yang mapan. Keadaan macam ini mungkin akan terulang; apabila nahasiswa nanti menjadi bagian dari lapis atas atau partner kekuasaan yang ada. Pemikiran Islamnya akan tersaring nenuju tema-tema tertentu yang tidak penting dengan keadaan ummat, seperti tema-tema : "sekularisasi, Laailaaha ullaha", "assalamu'alaikum" dan lain-lain. Tema-tema tersebut mungkin relevan jika dipaksakan. Tapi, jelas tidak urgen skala prioritasnya jadi aneh.
Saya terus terang khawatir, jangan-jangan apa yang sedang hangat diperdebatkan saat ini benar-benar tidak bisa dimengerti oleh ummat. Memang ada pakar yang dengan sombong berkata, bahwa dia sedang bicara di kalangan akademis. Namun, siapa yang bisa menghilangkan eksistensi ummat. Hal semacam ini mungkin disebabkan, karena lapis atas atau elit muslim Indonesia secara relatif telah menjadi bagian dari kekuasaan yang besar.
Sesungguhnya mahasiswa dapat menjadi penjelajah untuk menghubungkan lapis atas dengan lapis bawah.
Mahasiswa diharapkan mampu mengisi kekosongan dengan menjelaskan maksud kelompok elit kepada ummat. Dan pada saat yang sama menyampaikan aspirasi urnmat kepada lapis atas. Jika saling pengertian dan pemahaman telah terjalin, maka kita akan mampu mendorong ummat ke arah tujuan yang dikehendaki bersama.
(SELESAI)

Surabaya, 28 Januari 1988
Ceramah di Forum Silaturahmi Lembaga Da'wah Kampus se-Jawa. Di masjid Universitas Airlangga Surabaya.
(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Da'wah Kampus Pasca Mataram (iii)

Berhitung Secara Politis

Dalam gerakan da'wah, terdapat dua dimensi. Yakni, dimensi intelektual dan dimensi politis-stategis. Kedua dimensi tersebut perlu dibedakan. Selama ini, kita terlalu mengkonsentrasikan diri pada dimensi intelektual.
Kita terlalu sering terpaku untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang dianggap politis-strategis dalam rangka intelektual. Misalnya, pertanyaan bahwa di dalam Islam tidak ada konsep kenegaraan. Mengapa hanya "negara Islam" saja yang ditolak, sedang "negara nasional" tidak? Secara intelektual itu tidak obyektif.
Da'wah di kampus perlu dirumuskan secara jelas. Apakah akan digunakan untuk mencari kebenaran obyektif dalam rangka ilmu atau mencari kebenaran sejarah dalam kerangka politis. Dalam hal ini, kita bisa terjebak.
Karena sesungguhnya kita tidak hanya melakukan studi-studi Islam yang steril, namun juga sedang melakukan perjalanan proses gerakan sejarah, sebuah gerakan kebudayaan baru, kebudayaan agama namanya.
Gerakan tersebut juga dapat disebut gerakan sosial, karena merupakan mekanisme baru dalam dinamika sosial. Juga dapat dikategorikan gerakan politis, karena pertumbuIan gerakan kebudayaan baru. Maaf, kita tidak sedang nendiskusikan da'wah dalam kerangka politik praktis. Biar bagaimanapun, tetap saja diperlukan untuk memperhatikan dimensi-dimensi politik dalam aktivitas da'wah, termasuk dalam lembaga da'wah kampus. Gerakan da'wah di kampus tidak dapat dihentikan jika kita sendiri mengetahui dosis yang tepat untuk memfungsikannya.
Dalam rangka menemukan dan memahami seberapa dosis yang tepat itu, kita perlu memperhatikan blokade-blokade yang menghadang. Blokade tersebut mungkin tidak hanya berasal dari lapisan kekuasaan yang ada namun justru dari struktur di dalam kepemimpinan ummat Islam
Dalam "organisasi ummat" yakni suatu bayangan entang bangunan masyarakat Islam di Indonesia terdapat lapis massa, lapis elit, dan lapis di antara keduanya. Pelapisan memiliki varian-variannya sendiri.
Orang-orang mnuda di kampus termasuk lapis tengah yang masih magnetis terhadap ummat dan sekaligus juga bergaul dengan elit di atas, sesungguhnya kebangkitan Islam yang sedang berlangsung, tercermin dalam lapis bawah dan menengah. Bukan lapisan atas. Sedangkan gairah ummat untuk mempelajari Islam kembali adalah suatu hal vang tidak dapat diabaikan begitu saja. Sementara, mahasiswa yang belum terikat secara sosial-ekonomi, atau politis, asih memiliki kebebasan untuk berbuat dan berkehendak. Namun bila sudah bekerja, menikah, dan mapan dalam struktur kekuasaan, maka para mahasiswa itu akan berbenturan dengan idealis yang digembar-gemborkannya.
Khalayak mahasiswa yang sedang bergerak naik ke atas tkan terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang over dosis atau dosis tinggi, yakni mereka yang akan segera berbenturan dengan struktur atas sehingga akan diamankan atau dilenyapkan. Kedua, kelompok yang menguap dalam arti tidak menjadi apa-apa, mujahid bukan dajjal pun bukan. Ketiga, kelompok yang kompromistis yang akan mengingkari segala sesuatu yang telah digembar-gemborkannya di masjid kampus. Akan masuk kemanakah kita nanti?

(bersambung)====>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Da'wah Kampus Pasca Mataram (ii)

Dewa Pemikiran

Selama ini, arena da'wah disemaraki dengan tema-tema pembaharuan atau pertumbuhan pemikiran Islam.
Artinya, ada usaha mempelajari Qur'an dan Sunnah kembali. Hal ini sesungguhnya merupakan sesuatu yang khas dalam sistem politik, ekonomi dan kebudayaan yang menganut garis kanan, seperti Indonesia.
Dalam rumusan politik internasional, pada keadaan seperti sekarang akan tampil dua alternatif: gerakan kiri atau gerakan Islam militan. Bila di negeri Syi'ah bisa berkembang, maka radikalisme agama akan bangkit dengan mudahnya. Gerakan kiri dalam waktu 5-10 tahun belakangan ini, juga tumbuh pesat, waIau tidak memilki kekuatan yang pasti.
Keadaan seperti sekarang sebagian dari mekanisme sosial, kultur politik dan kekuatan ekonomi menghendaki jawaban atas berbagai pertanyaan yang timbul. Apa yang sebenarnya terjadi? Kemudian; apa yang harus diperbuat? Ada kelompok yang mencoba mencari jawaban Marxis. Tapi kita mencari jawaban dari Islam. Kita pelajari kembali Islam sebagai filsafat, tata nilai dan sistem kehidupan. Kita buka kembali Qur'an dan Sunnah untuk merumuskan keadaan.
Buku-buku tentang Islam terbit secara membludak. 0leh karena, begitu banyaknya buku-buku yang dipelajari, kita menjadi pintar mendadak. Narnun, sebenarnya kita "bodoh". Dalam arti, kita mengenali informasi tentang realitas Islam yang beraneka ragam melalui kata-kata dan pernyataan-pernyataan verbal. Padahal, akan berbeda, jika kita melihat dan memahami realitas itu melalui pengalaman nyata. Umpamanya, kita mengenal
kemiskinan struktural atau kemiskinan kultural. Kita begitu fasih berbicara tentang problema kemiskinan dalam berbagai seminar dan diskusi, tetapi, kita sama sekali tidak tahu apa-apa tentang siapa itu orang miskin dan bagaimana persisnya keadaan mereka. Dalam situasi seperti itu, Islam kehilangan keramatnya sebagai pembebas kaum dhu'afa.
Ummat Islam Indonesia makin hari makin disibukkan oleh pembahasan pemikiran Islam yang kadang-kadang terlalu "Tinggi" tapi kadang-kadang juga terlalu "Sepele". Dalam konteks tersebut, kita perlu memegang suatu prinsip. Dalam Figh aturan keagamaan yang formal kita perlu panutan yang luas, Namun dalam Syari'at - aturan yang luas meliputi ibadah muamalah, termasuk "Dak'wah sosial", "puasa sosial",puasa struktur" dan
seterusnya kita tidak perlu mencari "dewa pemikiran ". Artinya kita tidak perlu menggabungkan diri dalam satu panutan.
Kita harus bersikap kritis terhadap diri kita, kakak-kakak kita dan bapak-bapak kita. Terhadap Gus Dur, Cak Nur, atau Cak Menteri Agama, kita tak boleh kehilangan sikap kritis. Kita harus kritis terhadap mereka, para pakar yang terlalu yakin menjamin kebenaran yang hendak kita can. Sikap kritis itu berguna. Agar kita sungguh-sungguh menjadi pemimpin bagi kita sendiri. Agar kita tidak terperangkap dalam perkara yang kita
sendiri tidak mengerti ujung pangkalnya. Dengan demikian, kita tidak taqlid kepada orang yang tidak pantas untuk ditaqlidi.

(bersambung)===>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Da'wah Kampus Pasca Mataram(i)

Da'wah di kampus merupakan sebuah fenomena mengesankan. Kampus sebagai lapisan masyarakat tersendiri, adalah agen penting dari pertumbuhan hari depan bangsa. Namun, tak dapat diabaikan pula tumbuhnya lembaga da'wah di luar kampus, yang formatnya sudah bukan tradisi lagi. Di Yogyakarta, misalnya, ada angkatan muda masjid yang begitu gairah mengaji Islam. Dengan demikian, da'wah di kampus, tumbuh dan berkembang seiring dengan da'wah di luar kampus.
Kenyataan ini, sekali lagi membuktikan, bahwa Islam tidak dapat ditekan dan dilenyapkan dalam keadaan sulit macam apapun.

Dinasti Mataram
Jika diamati, ada kaitan erat antara perkembangan historis Ummat Islam dengan dunia perpolitikan Indonesia. Sejak keruntuhan Majapahit dan dimulainya kekuasaan Mataram, hingga saat ini, kasusnya sama saja. Kerajaan-kerajaan tersebut memiliki inti kekuasaan Jawa. Mereka mencoba merangkui Islam sebagai bagian dari Jawa, tapi dengan syarat, kebudayaan Islam yang murni harus diblokade sedemikian rupa sampai batas tertentu. Boleh salat, puasa dan seterusnya. Bila mengganggu kekuasaan jawa, Islam akan dihapus.
Pada zaman Mataram, sebagai misal, Islam tidak dilawan secara frontal. Namun justru dijadikan bagian dari kekuasan dinastik dengan kondisi kebudayaan Islam yang mandeg.
Meskipun da'wah dewasa itu cukup berkembang, tapi sejarah tak bisa melupakan tragedi pembunuhan terhadap para ulama dan kiai pada zaman Amangkurat II.
Saat ini keadaannya tidak banyak berbeda. Meski formatnya lain, substansinya tetap sama. Artinya, secara politis, ideologis dan kultural, terdapat usaha-usaha yang ingin menghentikan pertumbuhan Islam. Bahkan ada kelompok yang bersikeras: Islam harus mandul di bumi Indonesia..
Islam dalam sejarah Indonesia, selalu dipakai pemberontak untuk merebut kekuasaan. Bila pemberontakan telah berhasil, maka Islam ditekan. Pada giliran berikutnya, Islam kembali dipakai pemberontak baru untuk merebut kekuasaan baru. Bila pemberontak yang ini berkuasa, maka Islam kembali ditekan dan dicampakkan. Demikian seterusnya, daur pemberontakan menjadi arus sejarah yang tidak bisa dihindarkan.
Penjelasan tersebut sesungguhnya diperlukan untuk memberikan latar belakang bagi pertumbuhan Islam yang begitu pesat saat ini. Fenomena da'wah di kampus atau gerak jilbabisasi, sesungguhnya tidak dikehendaki oleh gelombang kekuasaan". namun mengapa .semua itu justru berkembang? Alasannya-sederhana. Justru ketika sekelompok manusia merasa ditekan, merasa menjadi pinggiran dan merasa akan musnah, maka tumbuh dan berkembanglah sebentuk kesadaran untuk mempertahankan eksistensinya .

(bersambung)====>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 /PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 12 Januari 2010

Supremasi Keselarasan (iii - Selesai)

*_Negeri Demokrasi Sufi_*

Tidak sengaja spontan saya merespon: "Itu makar, Kiai!"

Pak Kiai tertawa. "Alhamdulillah tidak perlu ada makar. Di negerimu rakyat tidak merasa terancam, sepanjang mereka masih punya sandang pangan, yang mereka bisa mengusahakannya sendiri, dengan atau tanpa Pemerintah. Pemerintah tidak perlu melakukan apapun, sebenarnya rakyat tidak masalah. Bahkan banyak rakyat yang mempersilahkan uang pajak nasional itu dibagi-bagi saja oleh para Pejabat, tidak ada masalah, asalkan jangan mempremani atau memalak rakyat yang sedang bekerja
mencari nafkah. Jadi, sekali lagi, tidak ada makar. Memang ada kehancuran nilai, moral, mental, intelektual dan spiritual, tidak itu tidak dianggap kehancuran. Kehancuran yang dikenal oleh bangsamu hanyalah kehancuran fisik."

"Maka alhamdulillah bayi itu akan lahir. Kita semua berdoa, jika ada yang berusaha membuntu lubang rahim Ibu Pertiwi, sehingga diharapkan sang Bayi akan batal lahir, semoga jangan lantas ada keputusan Operasi Cesar oleh petugas-petugas Jagad Raya, para Eksekutor Alam Semesta, oleh Kepala-Kepala Dinas Samudera dan Tsunami, Hujan, Banjir dan Longsor, Gunung, Lempengan Bumi di perut bumi Nusantara dan Gempa, Pemanasan Global, Gas Metan di Kutub Utara, anarkisme meteor-meteor, serta ruh-ruh
Energi dan Frekwensi yang serabutan maqamat-nya, serta sejumlah birokrat langit bumi lainnya"

"Akan tetapi bencana-bencana itu bisa tak perlu terjadi, karena semua semua yang terjadi ini tetap dalam lingkup Pancasila, yang menjunjung tinggi nilai-nilai rohaniah. Bencana-bencana itu bisa batal, meskipun korupsi makin merajalela. Karena dalam Pancasila terbuka peluang sangat luas untuk menafsirkan nilai-nilai. Misalnya, sesungguhnya itu semua bukan korupsi, bukan sistem yang korup, bukan pencurian yang merata ?
melainkan Shadaqah. Shadaqah adalah beralihnya uang, dana atau jasa secara sukarela dari satu tangan ke tangan lain.

Ciptakan suatu atmosfir kenegaraan dengan wacana-wacana yang membuat semua peralihan keuangan itu bersifat sukarela dan bermakna shodaqah.
Sosialisasikan nilai bahwa ridha bir-ridla atau saling sukarela adalah pencapaian silaturahmi yang ideal. Kalau ada yang belum ridha dan merasa itu adalah pemerasan, harus dididik sampai bisa mencapai ridha.
Kewajiban mendidik warganegara menuju tingkat ridha itulah tugas Pemimpin, Pemerintah, Para Wakil Rakyat, Kaum Ulama segala Agama, Pers dan semua pelaku-pelaku utama yang lain dalam seiarah. Pasanglah spanduk di jalan-jalan yang mendidik publik: `Relakanlah ke manapun uang Negara pergi, toh yang memakai adalah sesama manusia, sesama makhluk Allah'.

"Pancasila bisa menggali nilai-nilai Agama, misalnya Sufisme. Kalau perlu dilegalisir saja pedoman nasional bahwa Negeri kita adalah Negeri Demokrasi Sufi yang berlandaskan pancasila. Di dalam Negeri Demokrasi Sufi, Presidennya harus Sufi, seluruh Menteri dan Pejabat-pejabatnya harus Sufi. Demikian juga Tentaranya, Polisinya, termasuk para
Pengusahanya, olahraganya, keseniannya, harus Sufi. Presiden Sufi adalah Presiden yang sesungguhnya tidak bersedia menjadi Presiden lagi, tetapi demi Indonesia bersatu maka `Lanjutkan!'. " "Kabinet Sufi adalah Menteri-Menteri yang rela lilo legowo tidak ditempatkan atau ditempatkan di penugasan Kementerian manapun, meskipun seandainya mereka tidak memiliki kompetensi proffesional. Kalau mereka menolak, akan bisa
terjadi pertengkaran antar kelompok politik. Presiden dan Menteri-Menteri Sufi harus menomersatukan kedamaian, dan menghindarkan segala kemungkinan konflik."

"Sufisme itu intinya adalah kesanggupan berpuasa. Berpuasa makna luasnya adalah sanggup melakukan sesuatu yang ia tidak suka, atau mampu tidak melakukan yang ia suka. Umpamanya saya tidak suka memeras orang, tetapi demi mengasah kemampuan rohaniah, maka saya memeras"

"Menutupi aib sesama manusia, adalah termasuk nilai Sufi yang tinggi.
Apalagi yang punya aib itu orang dijajaran tugas kita sendiri. Tuhan melarang hamba-Nya memperhinakan sesamanya. Bahkan dalam berolahraga, sebisa mungkin kita menjaga hati sesama manusia. Kalau kita menang dalam pertandingan sepakbola atau bulutangkis, harus kita perhitungkan bahwa lawan main kita pasti kesakitan hatinya kalau kita kalahkan. Maka yang terbaik adalah kita mengalah. Kalau ada striker lawan menggiring bola capk-capek ke gawang kita, Kiper kita harus minggir dan mempersilahkan
bola dimasukkan. Dengan demikian olahraga kita memiliki kwalitas nilai kemanusiaan yang sangat tinggi".

"Atau ambil contoh lain misalnya Pengusaha, Khusus di Indonesia, para Pengusaha memiliki peluang sangat besar untuk berjuang mencapai tingkat Sufi yang tertinggi. Para Pengusaha di Indonesia setiap saat harus siap bersedekah, setiap langkahnya harus bersedekah kepada Negara yang diberikan melalui para Pengurus Negara. Pengusaha yang tidak bersedekah, alhamdulillah pasti menjadi Sufi bangkrut."

"Sebab sedekah itu kemuliaan, bukan keanehan. Kamu tahu artinya sedekah?
Infaq yang tidak wajib itu namanya shadaqah, kalau wajib itu namanya zakat. Pengusaha Indonesia tidak wajib bershadaqah, tapi mereka perlu meningkatkan kwalitas rohaniahnya, sehingga yang sebenarnya tidak wajib bisa ditingkatkan menjadi wajib. Ada yang bertanya: apakah itu bukan pemerasan? Itu pemerasan hanya bagi Pengusaha yang tidak berhati ikhlas.
Jadi ini bukan soal hukum, melainkan soal keikhlasan hati. Kemudian ada lagi yang bertanya: apakah itu bukan sogokan? Alhamdulillah sama sekali bukan sogokan, sebab Pejabat yang menerima sedekah itu niatnya bukan mencari uang, melainkan menguji iman si Pengusaha"

*_Kaliber Dunia_*

"Saya akhiri kado ini", kata Kiai Alhamdulillah akhirnya, "karena saya ingin Gatra tetap langgeng penerbitannya"

Sampaikan respek saya kepada Gatra. Pers Indonesia, dan pasti juga Gatra, adalah salah satu sumber energi sosial dan pendidikan sejarah yang turut memberi sumbangan besar kepada Kebangkitan Indonesia 2012.
Koran-koran dan Majalah melakukan pencerdasan bangsa 3-5 kali lipat dibanding era-era sebelumnya. Televisi-televisi bekerja keras 24 jam sehari untuk membuat bangsanya menjadi sangat dewasa, matang dan berwawasan luas"

"Pers bisa ambil peranan besar dan hampir mutlak dalam hal Yaumul Qiyamat ini. Apalagi Pers Indonesia adalah pers terbebas di seluruh dunia. Paling merdeka dan independen. Pers Indonesia tidak punya atasan, semua yang lain adalah bawahannya: baik dan buruk, benar dan salah, indah dan jorok, informasi dan disinformasi, tuhan dan hantu, semuanya
patuh kepada kebijakan dan strategi redaksionalnya. Pers Indonesia sangat independen, berdiri karena dirinya sendiri, melindungi dirinya sendiri, setia dan memegang sepenuhnya hak untuk menghukum dirinya sendiri"

"Jangan lupa, mantapkan hati Gatra, bahwa uemokrasi Indonesia adalah demokrasi paling fenomenal dan gegap gempita di seluruh dunia. Hendaknya Gatra berbangga memiliki Pemerintah yang paling sukses dan prolifik di seluruh dunia. Gatra adalah bagian dari bangsa tertangguh dan paling proffesional me-/maintain/ kehidupannya masing-masing dibanding seluruh bangsa-bangsa lain di dunia. Manusia Gatra adalah manusia Indonesia,
manusia paling tahan uji, paling banyak tersenyum dan tertawa, bahagia, penyabar, pemaaf dan pelupa di seluruh dunia. Gatra adalah pelaku kebudayaan Indonesia, kebudayaan yang terkaya, paling ragam dan tak terbatas kreativitasnya sehingga tidak memerlukan bentuk dan kepribadian. Para pekerja Gatra adalah juga bagian yang indah dari dinamika kehidupan beragama di Indonesia, yang paling matang di seluruh dunia. Kematangan itu sedemikian rupa membuat para pemeluknya sudah sempurna prosesnya, tidak lagi memerlukan pemikiran, penafsiran, pembenahan atau perbaikan apapun"

"Dan akhirnya, jangan pernah lupa bersyukur Gatra dan bangsa Indonesia memiliki pemimpin seorang Negarawan tingkat tinggi dan Presiden berkaliber dunia. Gatra jangan ikuti orang-orang yang dangkal berpikirnya dan sempit pandangannya, yang selalu mengkritik Presidenmu sebagai pemimpin yang peragu, lamban, tidak punya ketegasan, tidak punya nyali untuk bertindak obyektif, atau macam-macam lagi kesimpulan-kesimpulan yang cengeng dan hanya bersifat impressional.
Alhamdulillah, beliau itu manusia yang sangat lembut perasaannya dan tidak hatinya tegaan. Beliau tidak kuat perasaannya menyaksikan satu saja warganegaranya yang kesakitan. Beliau pasti akan membela mati-matian siapapun yang akan dijatuhkan atau disakiti, terutama yang sudah membuktikan kerja keras dan kesetiaan kepada beliau. Beliau adalah Panglima Keselarasan".

/- Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009/
Ditulis Oleh: Emha Ainun Nadjib www.kenduricinta.com/PadhangmbulanNetDok

Supremasi Keselarasan (ii)

Mohon jangan salah sangka, ungkapan tentang Supremasi Keselarasan itu tadi sekedar titipan salah satu kado kepada Gatra dari guru saya, seorang Kiai yang bernama Kiai Alhamdulillah. Saya sekedar mentranskrip dan menyampaikan amanat itu kepada Gatra. Siapakah gerangan Kiai Alhamdulillah itu? Apa saudaranya Kiai Astaghfirullah, Kiai Subhanallah dan Kiai Masyaallah?

Ceritanya begini. Gatra saya kenal sejak ia lahir, 19 November 15 tahun silam. Saya juga mengenal orang-orang Gatra jauh sebelum Gatra lahir.
Tetapi semua itu pasti itu tidak membuat saya memiliki kompetensi ilmu, kredibilitas professional atau kepatutan budaya untuk berdiri di sini.
Saya merasa bahwa yang menjerumuskan Gatra agar tersesat menyuruh saya berpidato kebudayaan malam ini adalah 'sekedar' nilai persaudaraan dan kemanusiaan. Alhasil, sebenarnya saya kurang percaya diri menjalankan penugasan dari Gatra ini, sehingga saya memerlukan datang kepada Kiai Alhamdulillah untuk berkonsultasi, meminta restu, syukur ditiup-tiupkan kekuatan ke ubun-ubun saya.

Ternyata beliau memang sudah menyiapkan kado untuk Gatra. Begitu saya di terima, beliau langsung menyeret saya, didudukan di kursi, kemudian beliau omong panjang tentang Supremasi Keselarasan itu.

"Tolong disampaikan kepada Gatra sebagai kado dari saya" kata beliau.

Meskipun saya sangat bergembira karena dipercaya untuk menyampaikan titipan kado itu, sebenarnya saya tidak paham-paham amat isinya. Saya merespon sekedarnya, "Tapi isinya kok penuh pesimisme, Kiai?"

Beliau menjawab, "Alhamdulillah kado saya ini tidak ada hubungannya dengan pesimisme atau optimisme. Bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang menjalani hidup dengan tangguh tanpa terganggu oleh kecengengan yang bernama pesimisme atau optimisme..."

"Aduh saya kurang paham, Kiai", saya menyela.

"Alhamdulillah tidak masalah, tidak paham itu tidak dosa. Yang penting kau sampaikan saja kepada Gatra bahwa ulang tahunnya hari ini adalah ulang tahun yang sangat indah. Gatra berulang tahun tatkala kita semua sedang berada pada momentum zaman yang sangat menggairahkan. Terutama berkaitan dengan akan segera datangnya saat dimana Indonesia akan mengejutkan dunia. Dunia akan tampil dengan keindahan peradaban baru di bawah kepemimpinan Indonesia"

"Wah, optimis ya Kiai?" saya menyela lagi.

"Kamu cengeng" jawab Pak Kiai, "Watakmu kurang Indonesia. Orang Indonesia asli itu watak utamanya adalah nekad dan tidak perduli"

"Maksud saya, saya senang mendengar pernyataan Kiai yang terakhir tentang bangkitnya Indonesia..."

"Hari-hari ini tanda-tandanya mulai muncul dari berbagai arah" Kiai Alhamdulillah melanjutkan, "perhatikan dahsyatnya kepemimpinan negaramu sekarang ini, amati mozaik penuh cahaya kebudayaan, kejujuran dan kelihaian manusia dan bangsanya, riuh rendah estetika demokrasinya, sebaran delapan penjuru angin pendidikan informasi persnya,
progressifitas persekolahan dan kependidikannya, cakrawala amat luas cara pemelukan keagamaannya, kerendahan hati olahraganya, sopan santun pariwisatanya, serta yang utama tak terbendungnya fenomenologi pemikiran-pemikiran baru yang semakin maju melampaui garda-garda post modernisme. Akumulasi dari seluruh pergerakan dari sejarah dari nusantara itu akan tak bisa dielakan oleh semua masyarakat dunia bahwa
Indonesia segera akan memimpin lahirnya peradaban baru dunia....."

"Maaf ya Pak Kiai, tadi kata sampeyan Hukum dan Keadilan mustahil ditegakkan, karena yang berlangsung selalu adalah Supremasi Keselarasan.
Bagaimana mungkin dengan kondisi itu Indonesia bangkit memimpin dunia?"

"Jangan kawatir, nak" jawab beliau, "/Yaumul Qiyamat/ pasti tiba. /Yaum/ itu Hari, /Qiyamat/ itu Kebangkitan. Hari Kebangkitan peradaban baru dunia yang dipimpin oleh Indonesia"

"Jadi benar akan Kiamat ya Kiai? Apakah itu yang di maksud dengan tahun 2012?"

"Jangan mendahului Tuhan, nanti malah di batalkan"

"Lha ya itu maksud saya, Kiai, kengerian 2012 itu kita omong-omongkan terus supaya Tuhan tersinggung sehingga membatalkan. Cuma masalahnya bagaimana dengan hukum, keadilan dan keselarasan itu, Kiai?"

*_Bayi Lahir Putra Ibu Pertiwi_*

Kiai Alhamdulillah tidak langsung menjawab pertanyaan saya itu. Ia diam memandang saya, kemudian berkata sangat serius dan pelan:

"Alhamdulillah tolong jangan potong saya sampai selesai, ini kado cinta sakral kepada Gatra" kata beliau. "Alhamdulillah manusia dan bangsa Indonesiamu itu berasal dari gen unggul, sehingga mereka lebih besar dan lebih tinggi dari hukum, keadilan dan keselarasan. Bangsa Indonesia tinggal membolak-balik tangan, segala sesuatu bisa diubah dan diatur.

Sebentar lagi bayi Indonesia akan segera lahir. Ibu pertiwi yang akan melahirkan, bayi itu sekarang sudah mengalami "bukaan-2", kalau bukaan sudah sampai ke-10, bayi akan lahir. Bayi itu bisa merupakan hasil total refresing dari anak bungsu Ibu Pertiwi yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau bayi yang sama sekali baru.

Sangat tergetar hati saya menantikan kelahiran bayi itu, sebagaimana dulu air ketuban pecah pada 28 oktober 2008 kemudian lahir bayi pada 17 Agustus 1945 -- karena bangsa Indonesia tampaknya tergolong bangsa dengan peradaban tertua di muka bumi. Kalau bangsa Yahudi dan Arab yang sekarang menguasai keuangan dunia adalah keturunan kakek Ibrahim AS, bisa jadi Induk Bangsamu beberapa puluh atau ratus generasi sebelum itu.

Katakanlah mungkin sejak Javet alias Khawit atau Kawit putra Nuh AS, saudaranya Kan'nan, Hasyim, Habsyah dan Bustomah. Bangsa Indonesia bukan bangsa yang lahir tahun 1945, bangsa Indonesia adalah bangsa yang melahirkan Negara Indonesia 1945. Bangsa Indonesia sudah sangat teruji melewati peradaban Lemorian dan Atlantis, Astinapura dan Mahabharata, tidak sekedar meninggalkan jejak di Somalia, jerman, Uruguay atau Madagaskar, juga tak sekedar melahirkan Ajisaka, Keling, Kaliswara,
Kalakulilo, Kutai, Tarumanagara atau Salakanagara. Apalagi sekedar Singasari, Majapahit, Demak dan Mataram.

Berbagai kelompok generasi muda Indonesia saat ini sedang diam-diam melakukan penelitian dan eksplorasi sosial di kantung dan jaringan yang dunia media tidak memperhatikannya. Sebagian mereka sedang mempelajari situs-situs di dua pertiga bumi, dari Eropa, Amerika Latin, hingga Afrika, Cina, Rusia, terutama daratan luas dari yang sekarang di kenal sebagai jazirah Saudi hingga Irian Jaya, yang memaparkan sebagai
identifikasi tentang siapa bangsa Indonesia sesungguhnya, dan mereka mampu menjelaskan lebih detail dari produk-produk ilmiah yang sejauh ini ada.

Sebagian yang lain sedang menekuni fakta-fakta Replikasi Tuhan ke Manusia ke peradaban, untuk mengetahui lebih persis bentuk kehancuran yang sedang berlangsung menuju puncaknya pada Peradaban ummat manusia mutakhir. Mereka menguji dan mengkaji kembali apa yang sesungguhnya terselenggara sejak Revolusi Industri. Mereka sedang mencari garis sambung antara /low-tech, /replikasi jasad, dan hingga ke regulasi
Negara, /high-tech/ replikasi /system-logic/ otak, /automation assembly line/, prinsip digital, 0 dan 1, /real-number/ dan /imaginary-number/,/Boolean Logic/ dan /Fuzzy Logic/, 8% dan 92% wilayah fungsi otak, komputer yang secanggih-canggihnya namun tak sedikitpun mampu membaca kerinduan, amarah, penasaran, sedih atau gembira dan semua itu coba ditemukan konstekstualitasnya dengan informasi-informasi langit: bagan
struktur /misbah//zujajah/, sistem kerja dinamis /ruhullah, dzatullah,
sifatullah, jasadullah,//mahdloh/ dan fenomenologi kebudayaan /muamalah/.

Beruntunglah ummat manusia yang menghuni puncak Peradaban di abad 20-21 yang di temani oleh wahyu Tuhan. Sebelum era Nabi Musa mundur hingga Adam, ummat manusia mencari Tuhan sendiri dan merumuskannya sendiri, tanpa ada wacana firman. Kalian sekarang tinggal menghapalkan /Qul huwallohu Ahad/, 99 asma Allah, di tambah dua tiga ayat, langsung jadi Ustadz. Para ilmuwan tinggal buka Kitab Suci untuk menemukan karbon, pertemuan laut asin dan tawar, interaksi dinamis antara otak dengan hidayah, sumber pemahaman dasar matematika, fisika, biologi dan hipnotisme. Atau apapun saja. Anak-anak muda itu tidak mau bangsanya terpuruk tanpa berkesudahan. Dengan penelitian-penelitian itu langkah mereka ke depan adalah merumuskan dan meletakkan kembali dasar-dasar Ideologi Negara, Ideologi Pendidikan, Ideologi Informasi, Ideologi
Keagamaan, Ideologi Kebudayaan, Ideologi Ekonomi, Ideologi Hukum, bahkan Ideologi Pangan dan Kesejahteraan"......

(bersambung)=====>>>>

Emha Ainun Nadjib /- Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009
(www.kenduricinta.com/PadhangmBulanNetDok)

Supremasi Keselarasan (i)

Dengan kondisi obyektif manusia Indonesia, masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini, yang merupakan hasil dari disain peradaban berabad-abad lamanya: tidak mungkin kita bisa menegakkan Supremasi Hukum, atau lebih tinggi lagi Supremasi Keadilan. Yang kita handal membangun dan sangat lihai menyelengarakan adalah Supremasi Keselarasan.

Tema ini memerlukan uraian, analisis dan perdebatan yang harus sangat panjang, sehingga malam ini sekedar kita buka pintu saja. Para ilmuwan sosial dan ahli-ahli kebudayaan,sebaiknya mengagendakan tema ini untuk riset yang serius. Dan mohon disiapkan kerja sama penelitian dan diskusi dengan wilayah-wilayah kepakaran yang lebih luas, misalnya antropologi, biologi dan fisika bahkan genekologi, sejarah umat manusia, sampai ke konsep dasar Tuhan menciptakan manusia dan alam semesta.

Semua wilayah itu saling terkait. Manusia dan bangsa Indonesia sedang berada di puncak ketidak-mengertian atas dirinya sendiri dalam multi-konteks yang barusan saya deretkan itu, sehingga tidak memiliki landasan ilmu dan pengetahuan yang memadai untuk melakukan kebangkitan dan pembangunan apapun yang menyangkut dirinya sendiri.

Dengan ganti kepemimpinan berapa kalipun, dengan pilihan ideologi kenegaraan apapun,pembangunan dan kebangkitan yang diselenggarakan tetap akan membuat rakyatnya kecele, jika penelitian atas dirinya sendiri itu tak segera di lakukan.

Bangsa Indonesia tidak punya kosa kata untuk hukum dan keadilan.
Keduanya kita import dari bahasa Arab. Kalau ternyata ada, entah dari bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Bugis, Madura atau manapun, saya mengusulkan kata hukum dan adil itu segera diganti dengan milik kita yang asli, agar kita punya keberangkatan hukum dan keadilan yang mantap dan relevan dengan sejarah kita sendiri.

Yang kita punya adalah kata laras. Selaras. Yang kita bangun adalah keselarasan. Tak apa mencuri, asalkan mekanismenya bisa diselaraskan.
Kita korupsi bareng-bareng di tempat masing-masing, dengan kesepakatan bahwa semua kita sama-sama menjaga keselarasan. Pemimpin bangsa adalah Kepala Pemelihara Keselarasan Nasional. Siapa harus di hukum dan siapa harus di pertahankan, pedomannya adalah mempertahankan keselarasan yang sudah terlanjur di bangun dan di informasikan, bukan obyektifitas hukum atau keadilan.

Bangsa kita menomersatukan 'norma', menomerduakan 'nilai'. Nilai mengikat setiap orang untuk tidak mencuri di manapun, kapanpun dan dalam keadaan apapun. Norma adalah kesepakatan bersama, terutama kesepakatan di antara mereka yang berkuasa untuk selaras. Tidak masalah kita langgar undang-undang, hukum dan moral asalkan tetap selaras dan citranya tetap bisa kita bikin tampak baik-baik saja. Kita jangan lakukan ini atau itu, prinsipnya bukan ini tidak benar dan itu tidak baik, melainkan yang kita
jaga adalah "apa kata tetangga".

Kalau kita menangkap maling di kampung, kita bentak dia, "Jangan seenaknya berbuat di kampung kami, kalau mau mencuri jangan di sini!"
Prinsipnya bukan maling itu tidak boleh melainkan ada norma yang berlaku di kampung sini bahwa jangan ada yang tampak mencuri. Mencuri tidak ada tapi jangan kelihatan mencuri. Melanggar hukum dan keadilan itu soal tahu sama tahu yang tidak boleh adalah melanggar keselarasan.

Perbenturan antara KPK dengan POLRI dan Pemerintah secara keseluruhan adalah perbenturan antara keadilan melawan keselarasan. Yang mungkin tidak terlalu disadari oleh Bibit dan Chandra adalah bahwa mereka itu perusak keselarasan. Mereka juga belum faham benar bahwa di Negara Kesatuan Republik Selaras Indonesia, hukum dan keadilan harus patuh kepada keselarasan. Mereka tidak boleh merusak pekerjaan para petugas
keselarasan nasional. Satu langkah saja lagi hukum dan keadilan melakukan ketidaktaatan kepada keselarasan,maka ia akan diberi label anarkisme atau makar.

(bersambung)====>>

(Emha Ainun Nadjib)
/- Kado Ulangtahun buat Gatra, 22 November 2009/(www.kenduricinta.com/PadhangmBulanNetDok)

Kamis, 07 Januari 2010

UNVERSITAS PALING JUJUR

Seminggu dua minggu ini saya banyak ketemu wartawan di berbagai kota. Mereka
'menyelenggarakan' saya untuk ngomong tentang hal-hal yang besar, umpamanya tentang
kebudayaan dunia mutakhir, kebudayaan Indonesia alternatif pokoknya sesuatu yang besar, luas, dan gampang dikarang-karang.
Padahal saya sebenarnya lebih sreg kalau mereka bertanya tentang terminal bis, yang
seminggu dua minggu ini me:-upakan bagian amat penting dari 'proses kuliah kehidupan' yang saya alami.
Andaikan saja mereka bertanya: Di mana inti kebudayaan dunia modern? Saya setidaknya buat sementara -- akan mantap menjawab: Di terminal bis. Kalau saja mereka bertanya: Di mana Anda kuliah? Saya pasti akan menjawab: Di terminal bis.
Lantas akan saya tambahi sendiri pertanyaan itu: Di mana universitas terbesar? Di mana
universitas yang paling terbuka dan paling jujur mengekspresikan dirinya?
Dan saya jawab sendiri: Di terminal bis.
Saya menyesal kenapa saat ini saya bukan seorang mahasiswa yang sedang mendapat tugas bikin paper. Tugas itu akan mendorong saya untuk menganalisis segala pengalaman terminal-terminal dengan suatu kerangka teori akademis yang tertentu dan memuarakannya pada rujukan-rujukan baku. Sebab tanpa penugasan resmi, rujukan saya 'hanya' kehidupan itu sendiri, hanya common sense atau akal sehat yang kita pelihara seperti memelihara matahari dari setiap saputan awan.

(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

OH BENTEN! IK WELLEN IK BODDEN ANDERSTEKEN VERSTEKEN!

Allah Yang Maha Baik menakdirkan saya untuk kaya raya.
Kaya raya karena betapa banyak kesempatan untuk memberi dan memberi dan memberi.
Pak becak, berapa harga kau tawarkan? Akan kutawar sampai harga paling wajar, nanti kubayar dua kali lipat, tanpa kuberitahukan sebelumnya.
Ayo para penjual barang eceran, yang hidup dari laba 25 atau 50 rupiah! Gandakan harga jual barangmu nanti kutambah seratus dua ratus rupiah.
Kuintip setiap kesempatan untuk melempar seratus dua ratus, seribu dua ribu -- tapi sepuluh dua puluh ribu aku belum marnpu. Allah yang Maha Baik menakdirkan saya untuk kaya raya.
Alangkah nikmat rasa memberi. Betapa segar sehabis memberi. Dan kalau pemberitahuanku tentang memberi ini merupakan riya' atau kesombongan, biarlah batal pahalaku. Aku ingin nemberikan pemberitahuan ini. Aku tidak ingin membeli pahala. Aku ingin memberi.
Memberi apa saja, uang, benda, tenaga, peluh, pikiran, jiwa, diri, dan hidup ini sendiri. Tapi tolong jangan seluruhnya. Sisakan sejumput saja dari diriku, kupakal untuk sekadar bermimpi. Allah yang Maha Balk menakdirkan saya untuk kaya raya.
Badanku dikoyak-koyak, kuberikan. Waktuku diserap, kukasihkan. Hidupku dicabik-cabik, kuikhlaskan.

Tangan kananku di sana, tangan kiriku di sini. Kaki kananku di seberang pulau, kaki kiriku terpaku di kedalaman karnpung.
Nanti aku akan habis, tapi tetap akan kucuri sisanya.
Tiba-tiba dua bulan ini aku sudah berada di X lima kali. Tiba-tiba sampai kembali di Y, lolos lagi ke Z, kembali lagi ke Y dan tancap lagi ke Z, dan berulang balik lagi, balik lagi, dan di tengah-tengah itu darahku tercecer di A, B, C, D, E
"Kau martir yang sia-sia!" kata seorang sahabat.
"Kau jadi kayu bakar. Orang pesta minum dari air yang kau didihkan, kau sendiri jadi abu!" kata yang lain.
"Enerjimu terbuang percuma!" kata lainnya lagi.
"Tempuh hubungan kerja yang jelas dong! Ini hubungan profesional ya nggak, hubungan manusiawi ya nggak, ini perbudakan!"
"Kalau orientasi kerja kelilingmu adalah eksistensi pribadi dan popularitasmu, memang efektif. Tapi aku tahu kau bukan itu. Jadi kau nanti akan hanya mati ngenes, mati ditengah tumpukan cindera mata, kayu-kayu dan logam-logam kenangan berhala..."
0, tidak! Aku tidak mati, karena aku ini tidak penting. Aku mengabdi kepada proses masyarakat. Perlahan-lahan aku tantang mereka untuk bil-hal, bil-hal, langkah-langkah yang kongkret, terorganisir dan strategis.
Kusiapkan banyak hal untuk itu. Allah menakdirkan saya untuk kaya raya.
Tiba-tiba, tanpa saya sadari prosesnya, problem di sekitarku sendiri membengkak. Tanganku harus mampu meneteskan sekian juta rupiah buat Seorang Beliau yang terjerat Rentenir.
Sekarang menjadi jelas. Di tengah kekayaan yang melimpah ruah itu, saya adalah seorang miskin yang wajib mencari nafkah. Lho! Selama ini ternyata saya mencangkul sawah-sawah orang lain! Mana sawah saya sendiri?
Seorang kawan lama datang. Kawan yang juga tak punya sawah. Kami selalu kompak, jadi untuk sementara beres segala persoalan. Cara kami membereskan ialah dengan omong-omong dengan bahasa yang tak ada artinya tapi kami berlagak seolah-olah paham satu sama lain. "Oh, what? Rentenir? No wellen ik bodden anderstaken versteken . ."
Maaf Para pengopi, saya 'numpang gila' sebentar. Itu juga kekayaan.

(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 06 Januari 2010

PECEL BELUT

Mungkin saja Anda kini sedang sibuk memulai 'Pelita' baru warung Anda. Tubuh warung gedhek dilapisi koran supaya sedikit cemerlang, meja kursi dibikin mulus, toples dan piring gelas diusahakan mengkilat, dan yang terpenting Anda persiapkan menu-menu baru yang istimewa dan unik. Mungkin Anda mau populerkan -- sebutlah -- "Es Gombloh", pecel belut model kontemporer yang dibikin punya rasa salad Amerika, memperkenaikan sarakbah dari seberang laut, atau ballut ala negeri Cory Aquino.
Pokoknya suguhan serba sip. Setiap pelanggan rnerasa fly to heaven dan akan senantiasa terkenang-kenang, lantas memutuskan menu makanan warung Anda adalah pacar atau istri kedua.
Nah, 'Pelita' Anda tak cukup hanya dengan membenahi 'segi internal' warung. Sesudah menu mumpuni, soalnya adalah bagaimana cara menjualnya, di mana Anda menjualnya dan kepada siapa saja berita tentang warung Anda harus disampaikan.
Bagi beberapa putuh orang yang sudah selalu makan di warung Anda, perubahan menu itu langsung terasa.

Lantas mungkin mereka menggethok-tular-kan kepada handai tolan mereka. tapi gethok tular itu sifatnya spekulatif, seingga tak bisa Anda daftari dalam 'matematika target-target' Anda.
Ada jarak atau tahap antara pelanggan menuju menu. Sebelum itu ada tahap atau jarak antara warung Anda dengan sangat banyak orang yang tidak tahu menahu tentang warung Anda dan hanya sedikit mendengar slenthang-slenthing bahwa warung Anda menyelenggarakan revolusi menu: tapi hal itu kurang menarik minatnya, terutama karena selama ini reputasi warung memang seperti klub Galatama papan bawah.
Dengan kata lain, beratus beribu orang yang lalu lalang di depan lokasi Warung Anda tidak tahu menahu tentang warung Anda. Maka soalnya adalah bagaimana membikin mereka tahu. kta harus yakin bahwa sekarang kelas kita adalah Galatama papan atas dan kita harus bermain di hadapan sebanyak mungkin orang.
Petinju Sugar Ray Robinson meniadi idoianya Mohammad Ali. Tapi Ali memiliki plus dibanding Robinson: di samping keprigelan bertinju yang cemerlang, Ali jauh lebih tahu bagaiamana 'berjualan'. Maka Alilah pionir dari omset bisnis tinju yang fantastik, di mana Ray Leonard dan Tyson kini harus berterirna kasih oleh rintisan itu.
Ali bukan 'the big mouth', karena yang disebut 'mulut besar' itu sekadar metode jual jamu. Tentu saja ia akan hancur kalau jamunya tidak benar-benar manjur. Tapi semanjur apa pun jamunya, kalau ia tak tahu bagaimana menjualnya, maka jamu itu akan diminum hanya oieh beberapa pelanggan yang memang "telanjur mencintai Anda".
Itu kaiau Anda memang berniat 'berjualan'. Kalau saya sendiri memang tak berbakat dan tak punya niat untuk itu. Saya hanya koki peracik kopi yang pasif. Kalau ada yang berminat, alhamdulillah, tidak ya alhamdulillah.
Saya tidak perlu teriak-teriak keliling kota, bikin poster, menyeponsori pentas, atau apa pun. Silakan bell kopi dari saya, dan kalau Anda hendak menjualnya kembali, silakan pakai kerangka dan metode Anda sendiri sesuai dengan cakrawala yang akan Anda arungi. Sesekali saya akan bantu berteriak, sebab hidup tanpa teriak itu ibarat kopi kurang nyegrak.

(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

Teokrasi Islam Sebagai Persoalan Ilmu dan Sebagai Persoalan Politik

Aplikasi Khilafiah
Proses pelaksanaan khilafiah mungkin bisa dimetaforkan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
Allah menciptakan tanah, manusia membuat keramik, Allah menganugerahkan padi, manusia mengolahnya menjadi beras dan nasi, Allah menciptakan alam, manusia membudayakannya, atau menjadikannya bagian dari kebudayaan dan peradaban.
Alam materi dan tumbuh-tumbuhan adalah alam pasif. Hewan adalah alam aktif tanpa kesadaran akal dan tanpa firman. Manusia adalah alam aktif dengan kesadaran akal dan dengan firman.
Materi, tumbuh-tumbuhan dan hewan memiliki "spiritualitas otomatik" dan kepatuhan natural kepada sistem nilai ciptaan Tuhan (hukum alam, sunnatullah).
Akal memungkinkan manusia menyadari spiritualitasnya, sehingga mampu mensikapi dan mensubyeki hubungan kehidupannya dengan sistem nilai Tuhan. Itulah surnber kesederajatan manusia, demokrasi politik, kemerataan ekonomi dan keindahan kebudayaan.
Namun jusfru karena itu kepatuhan materi, tumbuhtumbuhan dan hewan bersifat pasti, sedangkan kepatuhan manusia bersifat mungkin.
Dengan demildan tatkala manusia mengkhalifahi atau mengakali tiga realitas ciptaan Allah (alam semesta, manusia dan firman), yang berlangsung adalah kemungkinankernungkinan. Yaitu kemungkinan untuk benar atau untuk salah. Kemungkinan untuk baik atau untuk buruk, untuk selamat atau untuk hancur.
Juga ketika pengakalan itu tiba pada ijtihad dan tafsir ilmu, ideologi sistem-sistem nilai serta penerapannya ia berada di antara dua kemungkinan itu.
Setiap zaman, setiap era peradaban, pada hakekatnya merupakan tahap-tahap tajribah atau eksperimentasi yang tidak ada hentinya. Dengan demikian ketika manusia menyepakati untuk memilih kebersamaan hidup dalam umpamanya format "negara", "negara sekular", "negara Islam", atau apapun saja-secara keilmuan harus dilihat sebagai dinamika ijtihad atau proses pencarian, pengubahan, perombakan dan pembaruan yang
tidak final.

Membaca Inti Realitas Negara, Teokrasi dan Islam
Islam membuka pintu lebar-lebar bagi berbagai kemungkinan bentuk penerapan dan penataan kedaulatan dalam masyarakat manusia. Yang menjadi ukuran utama bukan pola institusionalisasinya, melainkan apakah prinsip moralitas dan aplikasi khilafiahnya dipenuhi atau tidak.
Mungkin kita tetap memilih Negara, dengan segala kesepakatan tentang sistem kedaulatannya; meskipun pada tingkat tertentu sejumlah legalitas sistem harus dibuat dengan mengandaikan bahwa "manusia tidak bisa dipercaya".
Mungkin pada suatu hari terjadi hal-hal yang istimewa seperti bencana alam total atau Perang Dunia ke-3 yang relatif menghancurkan tatanan-tatanan pokok peradaban negara, sehingga kemudian kita memilih bentuk qaryah saja, semacam small is beautiful', di mana manusia mengikatkan diri dalam semacam lirigkar koloni-koloni kecil, dan pola-pola perhubungan politis, hukum dan budayanya diusahakan tetap "mengandalkan manusia"
Atau berbagai kemungkinan lain. Islam tidak membatasinya, kecuali mempedomankan moralitas khilafiah atau acuan keilahian: dengan menyerahkan kepada manusia apakah hal itu diserahkan hanya kepada otoritas permanusia, ataukah di legalisasikan secara institusional.
Sejauh ini iklim pemikiran dunia mengenai kedaulatan politik sangat diwarnai oleh antara lain trauma Abad Pertengahan Eropa di mana otoritas keagamaan atau keilahian dimanipulasi, dieksploitasikan untuk kepentingan suprastruktur kepemerintahan suatu negara. Sesungguhnya sejumlah ilmu, pemikirari ideologi pokok yang berlaku pada abad 19 dan 20 merupakan "anak berontak" terhadap tipologi "bapak" middle age semacam itu. Perspektif demokrasi, "hati" kom-unisme dan "kepalan tangan" marxisme, secara historis
dialektis "digambar" oleh 'rbapak" tersebut.
Pada gilirannya Agama dan Tuhan menjadi korban atau kambing hitam tanpa henti-hentinya, karena ilmu pengetahuan ummat manusia sampai akhir abad 20 tidak kunjung mampu mengurai secara jemih dimensi nilai murni Tuhan dan Agama dari praktek-praktek sejarah yang memanipulasikannya.
Tidak mengherankan apabila segala berita tentang teokrasi akan masih langsung "menyakitkan hati". Kalau o-rang tidak bisa meredusir "racun" dari "minuman", maka yang di-buang ke dalam got bukan hanya racun, tetapi juga minu-mannya. Apabila dalam skala peradaban global: kemung-kinan untuk memilah racun dari minuman barang kali membutuhkan jangka waktu yang sangat tidak sebentar.
Islam "ketiban sial" pada momentum belum teruraikannya racun dari minuman selama ini. Persepsi dunia tentang "Fundamentalisme Islam" sangat bias. Setiap kemurigkinan tumbuhnya Teokrasi Islam akan secara otomatis dianggap merupakan ancaman terhadap demokrasi. Hari-hari FIS dihajar dan coba dimusnahkan oleh pemerintahan nasional Aljazair: secara rasional dunia sudah bisa memberi peringatan "Jangan korban
demokrasi!". Tetapi secara psikologis pada akhirnya akan disepakati bahwa intuk sementara secara darurat demokrasi memang tidak ipa-apa dikorbankan, karena toh itu merupakan "pilihan rang lebih baik" dibanding apabila gerakan fundamentalisne Islam dibiarkan hidup.
Sampai awal abad 21 Islam herada di "tanah genting" (meminjarn istilah KH Muhammad Zuhri), yakni "di garis pertemuan antar dua gelombang laut, suatu posisi yang sangat mempelesetkan: namun justru di tempat itulah ikan mati bekal Nabi Musa yang dibawa oleh Dzun-Nun sahabatnya menjadi hidup kembali".

Artinya, ini justru bisa merupakan awal dari momentum kebangkitan).
Iklim "tanah genting" berlangsung juga secara nasional di Indonesia. Pemikiran-pemikiran Islam mutakhir ambil contoh pandangan-pandangan KH Abdurahman Wahid serta sepak terjangnya membawa Nahdlatul Ulama merefleksikan suatu "keadaan tiarap" tertentu. Islam "disembunyikan" dari probabilitas kekuasaan dalam Negara, dan lebih mengendalikan diri sebagai semacam "pohon pionir". Pengejawantahan Islam lebih
diletakkan tiang bendera, melainkan "jadilah" muatan-muatan yang mensifati bendera apapun.(selesai)
Dies Natalis Ull Yogyakarta 12 Februari 1992

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Orang Maiyah dan Gerbang Ghaib

Kepada Mujahidin Mujtahidin Maiyah Dari Muhammad Ainun Nadjib

Bismillah-ir-Rahman-ir-Rahim

Subhanallah

1. Maiyah bukan karya saya, bukan ajaran saya dan bukan milik saya.

2. Orang-orang Maiyah bukan santri saya, bukan murid saya, bukan anak buah, makmum, jamaah atau ummat saya.

3. Setiap hamba Allah memiliki hak privacy untuk berhadapan dengan Tuhannya, tanpa dicampuri, digurui atau diganggu oleh makhluk apapun, terlebih lebih lagi saya.

4. Saya tidak berani, tidak bersedia dan tidak mampu berada di antara hamba dengan Tuhannya.

5. Saya tidak boleh meninggikan suara melebihi suara Nabi, apalagi meninggikan suara melebihi Tuhan.

6. Saya tidak boleh lebih dikenal oleh siapapun melebihi pengenalannya kepada Nabi, apalagi Tuhan.

7. Saya wajib menghindari kemasyhuran yang membuat orang lebih memperhatikan saya, lebih dari kadar perhatiannya kepada Allah dan Nabi.

8. Saya wajib menolak kedekatan siapapun kepada saya melebihi kedekatannya kepada Nabi dan terutama kedekatannya kepada Tuhan.

9. Saya tidak boleh mendengarkan siapapun dan apapun melebihi pendengaran saya kepada Allah dan Nabi, kecuali suara siapapun dan apapun itu saya gali kandungan suara Allah dan Nabi.

10. Saya tidak boleh mengucapkan dan melakukan apapun kepada siapapun kecuali mengantarkan atau mengakselerasikan ucapan dan tindakan Allah dan Nabi.

11. 12 13 14 15 sampai tak terhingga.

Wa-lhamdulillah

1. Maiyah itu sama sekali bukan Agama, apalagi Agama baru, serta tidak pernah saya maksudkan sebagai suatu aliran teologi atau madzhab.

2. Maiyah tidak pernah saya niati untuk menjadi kelompok thariqat, sekte peribadatan, apalagi organisasi massa, terlebih lagi lembaga politik atau jenis institusi sosial apapun.

3. Namun demikian saya tidak berposisi untuk memiliki hak apapun untuk mengharuskan atau melarang Maiyah menjadi apapun, karena Maiyah mempersyarati dan dipersyarati oleh nilai-nilainya sendiri.

4. Di dalam diri saya Maiyah saya niati menjauh dari mempersaingkan diri dengan gerakan sosial, kemanusiaan, intelektual atau spiritual apapun, tidak merebut apapun dan tidak berkehendak menguasai apapun di dalam kehidupan bermasyarakat atau bernegara.

5. Maiyah itu upaya setiap pelakunya, sendiri-sendiri atau bersama-sama, untuk mencari dan menemukan ketepatan posisi dan keadilan hubungannya dengan Tuhan, sesama makhluk, alam semesta dan dirinya sendiri.

6. Pencarian itu bisa dilakukan setiap Orang Maiyah di dalam kesendiriannya, bisa dengan berkumpul secara berkala, dengan berbagai jalan ijtihad ilmu, berbagai cara budaya, berbagai alat teknologi sosial, berbagai perangkat jasad dan batin, dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

7. Pencarian dan penemuan itu berlangsung dinamis, mandiri, dialogis, tidak ada ujung jalannya, tidak ada batas ruangnya, tidak ada disain dan target waktunya, sebab seluruhnya itu adalah perjalanan kerinduan kepada yang sejati dan abadi.

8. Setiap Orang Maiyah mencari, menemukan atau menyadari adanya garis nilai antara dirinya dengan Tuhan dengan semua struktur sunnah-Nya, dengan sesama manusia dan makhluk dengan semua tatanan dan regulasinya, serta dengan jagat raya dengan semua habitat, dzat dan habitatnya.

9. Setiap Orang Maiyah memiliki hak sementara dan bersifat pinjaman dari Sang Pemilik Sejati untuk berhenti di suatu koordinat sejarah dan membangun Maiyah sebagai ‘kata benda’, tetapi kata benda itu tetap merupakan titik beku dari ‘kata kerja’ kehidupan yang sesungguhnya tak pernah ada ‘waqaf’nya.

10. Setiap Orang Maiyah menghimpun warisan nilai dan perilaku Maiyah kepada para akselerator hidupnya hingga anak cucu keseribu, namun sesungguhnya para akselerator bukanlah pihak yang secara pasif mewarisi, karena sampai kapanpun setiap Orang Maiyah adalah pewaris yang mewarisi, sebagaimana setiap mereka adalah yang mewarisi dan kemudian mewariskan.

11. 12 13 14 15 sampai tak terhingga.

Wa La Ilaha Ill-Allah

1. Maiyah itu dinamika tafsir tanpa ujung, sehingga tidak ada pertanyaan ‘Apa itu Maiyah’ yang bersifat baku dan beku. Meskipun bisa ada ‘regulasi’ tertentu yang berlaku pada ruang dan waktu tertentu dengan disain nilai tertentu, namun ia hanya sebuah titik, yang disusul oleh titik demi titik berikutnya menuju keabadian.

2. Mengislamkan diri menurut cara berpikir Maiyah adalah perjuangan mengidentifikasi diri, menemukan dan mengukuhkan posisinya untuk mengerahkan seluruh urusan hidupnya agar bergabung ke dalam keabadian dan kesejatian Allah.

3. Mengabadikan dan mensejatikan hidup adalah di mana jasad, rumah, keluarga, uang, harta benda, kota dan gedung-gedung, desa dan sawah ladang, semua perangkat pekerjaan, segala faktor sosial, Negara atau Kerajaan, kebudayaan dan peradaban, dilaksanakan dengan upaya penyesuaian yang terus menerus dengan kehendak Allah.

4. Manusia bukan hanya tidak mungkin menolak keabadian, tapi afdhal mencari dan menempuhnya, sebagai satu-satunya jalan di dalam kehidupan, sebab keberadaannya berasal dari Yang Maha Abadi dan sedang pasti menuju kembali kepada Yang Maha Abadi. Semua makhluk tidak mungkin menolaknya karena tidak ada wilayah lain kecuali keabadian Allah.

5. Metoda Maiyah yang paling prinsipil untuk menempuh jalan keabadian adalah selalu memastikan setiap urusan agar berpihak, memasuki dan bergabung di dalam kesejatian. Cara yang dialektis untuk memahami kesejatian adalah mencari perbedaannya, jaraknya, intervalnya, dengan kepalsuan.

6. Kesejatian dan kepalsuan mengartikulasikan dirinya dalam wujud-wujud yang bermacam-macam, mengacu kepada ranah dan konteksnya. Ada kesejatian dan kepalsuan moral, mental, intelektual, spiritual, juga dalam konteks-konteks aplikasi budaya, ekonomi, politik, hukum dan apapun saja yang diperjanjikan oleh komunitas manusia untuk menjadi idiomatik managemen dan komunikasi di antara mereka.

7. Bahkan bagi para pembelajar jagat jasad, ilmu fisika, matematika, biologi, kimia, sampai ke ilmu-ilmu murni, termasuk para pembelajar ruh, sifat, dzat, hingga DNA, proton electron neutron, fermion, bozon, quark dst insyaallah terkuak semakin benderang di pandangannya interval antara kesejatian dengan kepalsuan.

8. Tidak ada apapun, makhluk hidup atau makhluk tidak hidup, jasad dan jiwa, benda dan peristiwa, kwantitas dan kwalitas, hutan atau taman, nomaden atau kapitalisme, koteka atau demokrasi, apapun saja siapapun saja, yang berada di luar wilayah akselerasi replikasi dari Allah, yang pada akhirnya juga tak menemukan ruang dan waktu, atau yang non-ruang dan non-waktu, yang tak tiba kembali di pangkuan Tuhan.

9. Peradaban ummat manusia ini sampai ke apapun, siapapun, di manapun, kenapapun, kapanpun, dan bagaimanapun, tidak merdeka dari gagasan Allah, ide-Nya, aspirasi-Nya, model-Nya, replikasi-Nya, prototype-Nya, nuansa-Nya, sebab memang hanya Ia satu-satunya Yang Maha Sejati dan Maha Abadi.

10. Orang Maiyah menemukan bahwa kehidupan ummat manusia itu sangat mengalami kegagalan replikasi dari Tuhan ke peradabannya, sehingga yang sanggup dibangun adalah manusia cacat, masyarakat cacat, Negara cacat, pemerintahan cacat, hati cacat, akal cacat, mental cacat, moral cacat. Orang Maiyah berkumpul dan bekerjasama untuk menggali ilmu, mentradisikan pelatihan dan lelaku hidup untuk mengurangi kecacatan diri mereka, serta menghindarkan diri dari melahirkan dan mendidik anak-anak cucu-cucu cacat.

11. 12 13 14 15 sampai tak terhingga.

Allahu Akbar

1. Kalau Bangsa dan Negaranya tidak memperhatikan dan tidak memperdulikan nilai Maiyah, perilaku Maiyah, gelombang Maiyah dan Orang Maiyah, maka Orang maiyah tidak terbebas oleh nilai Maiyah dari kewajiban Maiyah untuk memperhatikan Bangsa dan Negaranya.

2. Kalau Bangsa dan Negaranya tidak mengandalkan nilai Maiyah, perilaku Maiyah, gelombang Maiyah dan Orang Maiyah, untuk membangun kehidupannya dan menyembuhkan penyakitnya, maka Orang Maiyah tetap menggali segala sesuatu dari Bangsa dan Negaranya yang masih bisa diandalkan, serta tidak berputus asa untuk terus membangun kehidupan serta menyembuhkan penyakit Bangsa dan Negaranya, dalam skala, kapasitas dan kwalitas yang bisa dijangkaunya.

3. Kalau Bangsa dan Negaranya melecehkan, merendahkan dan memperhinakan nilai Maiyah, perilaku Maiyah, gelombang Maiyah dan Orang Maiyah, maka Orang Maiyah mengerti tidak ada perlunya memberikan hal yang sama, karena makhluk receh remeh dan hina sudah receh remeh hina tanpa diper-receh-kan diper-remeh-kan dan diperhinakan.

4. Kalau nilai Maiyah, perilaku Maiyah, gelombang Maiyah dan Orang Maiyah, tidak dihitung oleh siapapun sebagai sesuatu yang potensial dan aplikatif untuk berbagai keperluan urgen Bangsa dan Negaranya, maka Orang Maiyah tidak kehilangan tempatnya dalam sejarah, karena Maiyah tetap mereka andalkan untuk pembangunan kesejahteraan masa depan dirinya sendiri, keluarga-keluarganya dan selingkup persaudaraan di antara mereka.

5. Di dalam kehidupan dirinya, keluarganya, masyarakatnya, Bangsa dan Negaranya, Orang Maiyah tekun mencari, menemukan dan mempelajari “La ilaha” yang sangat penuh tipuan dan fatamorga, sehingga atau karena atau maka mereka sangat merindukan perkenan Allah untuk memasuki “Illallah” yang sangat indah, sejati dan abadi.

6. Di dalam diri Orang Maiyah selalu berlangsung konsentrasi untuk menemukan segala sesuatu yang ‘tidak’ dan yang ‘ya’ berdasarkan pandangan Tuhan. Konsentrasi berikutnya adalah secara radikal atau sedikit demi sedikit menghilangkan segala yang ‘tidak’ itu dan memasukkan segala yang ‘ya’ menurut peta ilmu dan kehendak Tuhan.

7. Diri Orang Maiyah tidak terbatas pada diri pribadinya sendiri melainkan diri yang lebih besar: keluarganya, anak istrinya, sanak familinya, rekan-rekan sepersaudaraannya, serta lingkup yang lebih luas yang berada dalam skala tanggung jawab kehidupannya berdasarkan pandangan Tuhan mengenai kehidupan bersama dalam rahmat untuk seluruh alam semesta dengan segala isinya.

8. Sampai batas tertentu yang dinamis dan relatif, perikehidupan masyarakat dan Bangsanya bisa juga termasuk lingkup tanggungjawab eksistensi kemakhlukannya. Akan tetapi Orang Maiyah tidak bertinggi hati untuk meletakkan diri sebagai penyelamat Bangsa dan Negaranya, melainkan berendah hati dan sangat menahan diri untuk berbuat di skala luas itu sejauh ada kepatutan bersama dan keridlaan satu sama lain.

9. Orang Maiyah selalu mengupayakan dan mendoakan Bangsa dan Negaranya agar dituntun Allah dalam menapakkan kaki menyongsong Gerbang Ghaib yang sangat dekat di depan mata kehidupan mereka. Semoga doa Orang Maiyah bagi sangat banyak orang yang belum tentu mencintai mereka dan belum tentu memerlukan upaya dan doa mereka, diperkenankan oleh Allah menjadi perahu ‘izzatullah penampung dan pengayom keluarga-keluarga Maiyah setelah tiba di Gerbang Ghaib iradah Allah itu.

10. Innallaha Balighu amri-Hi, qad ja’alallahu likulli syai-in Qadra.

11. 12 13 14 15 sampai tak terhingga.

Wa la haula wa la quwwata illa billahil’aliyyil ‘adhim.

Kadipiro 25 Desember 2009.

Muhammad Ainun Nadjib
(www.kenduricinta.com/PadhangmBulanNetDok)

Senin, 04 Januari 2010

BANI ZAHID VAN KAUMAN

Setetes makna dari Al-Quran bisa menjadi tujuh samudera ilmu bagi kehidupan kita. itu pun, kalau kita syukuri: La adzidannakum, akan Kutambah lagi, kata Allah.
Lebih dari itu, tetes ilmu itu dengan kehidupan kita terus 'bekerja' untuk menjadi ilmu demi ilmu lagi. Sungguh Allah membimbing kita untuk menjadi 'arif (mengetahui) dan 'alim (mengerti), bahkan 'amil, pekerja dari pengetahuan dan pengertian dari-Nya itu.
Maka, di hari kedua 'kopi Al-Quran', bertamulah ke rumah kontrakan saya seorang tua yang saleh.

Bersepeda, memakai sarung, berpeci, sehat dan penuh senyum ceria.
Betapa kagetnya saya!
Sudah beberapa bulan ini saya straumatik' terhadap setiap tamu: begitu ada 'kulo nuwun' Iangsung saya merasa akan ditodong, dirampok, diperas . Tetapi kedatangan abah tua ini terasa sebagai embun yang menetesi ubun-ubun saya.
Sambil rnenyalami beliau, saya bertanyatanya dalam .hati: "Pantaskah saya mendapat kehormatan ditamui seorang yang sampai usia senjanya tampak tetap fillah seperti ini?"
Ia seorang Haji. Tinggal di kampung Ketanggungan. Di samping silaturahim, beliau bermaksud mengobrolkan bagian-bagian tertentu dari Secangkir Kopi. Tapi, sebagaimana lazimnya model keramahan bangsa kita, kami bicara dulu tentang asal-usul.
Beliau gembira saya berasal dari Jombang. Di tahun 20-an beliau pernah mondok di Tebuireng, dan pertama-tama yang didatanginya adalah nak-ndulurn beliau yang tinggal di kecamatan Sumobito bernama Haji Imam Zahid.
Giliran saya yang terkejut. - Zahid adalah buyut saya. Kami di Jawa Timur menghimpun kekeluargaan kami dalam nama 'Bani Zahid', dan setiap !dui Fithri ngumpul. Lebih gamblang lagi Haji Ketanggungan ini mengemukakan bahwa Haji Zahid adalah orang Kauman Yogya yang sesudah istrinya meninggal lantas pindah ke .Jombang dan beranak cucu. Maka, pastilah kini ada dua 'Bani Zahid'. Satu versi Yogya, satu versi Jombang. Tamu saya itu menyebut Hall Huri, sebagai seorang famili dekat Haji Zahid. Ia kini masih sugeng dan aktif di Masjid Kauman. Alhamdulillah.
Alangkah berbahagia menemukan sedulur. Alangkah damai kehidupan jika kapan-kapan kita menemukan cabang-ranting semua ikhwan kita hingga Qabil dan Adam.
Namun yang tak kalah penting dari nyala obor' itu adalah nasihat-nasihat tamu saya. Ketika saya bercerita tentang Salman cucu Haji Zahid yang menjadi 'ekstremis' dan dieksekusi oleh Pemerintah, beliau mengatakan: "Tidak apa-apa jadi apa pun, asal tetap di jalan Allah. La takhaf wa laa tahzan ..."
Maka, sepulang beliau, dalam rangka bersyukur, saya membuka Al-Quran, dan Allah menganugerahkan Surah Al-Hajj (ya Allah!) yang di ayat ke-15 berkisah tentang musuh Muhammad: "Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah tidak akan menolongnya (Muhammad) di dunia dan akhirat, maka hendaklah ia merentangkan tali ke langit dan hendaklah ia melaluinya, kemudian hendaklah ia pikirkan apakah tipu dayanya dapat melenyapkan apa yang menyakitkan hatinya . . ."
Benar, ya Allah. Kami orang Islam tidak 100% percaya bahwa Engkau sudah, sedang, dan akan menolong kami. Engkau seolah 'abstrak' bagi kami. Yang 'konkret' ialah jarninan-jaminan kecil pragmatis-ekonomis-politis di depan mata kami.

(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

*) Nak-ndulur: sanak saudara.

KONSUMERISME : Ular-ular Sihir Yang Dilawan Musa

Konsumerisme ialah keadaan di mana mekanisme konsumsi sudah menjadi bagian yang substansial dari kehidupan manusia. 'Bagian substansial' maksudnya bagian kehidupan yang seolah-olah dianggap 'wajib' atau tidak lagi ditinggalkan. Jadi, konsumsi sudah menjadi 'isme', sudah menjadi atau berlaku sebagai semacam 'agama'.
Keberlangsungan konsumerisme ditentukan ketika nilai dan potensi kreativitas manusia atau masyarakat dikapitalisir, dijadikan alat pemenuhan kebutuhan yang dijualbelikan.
Konsumerisme sesungguhnya sekaligus merupakan kasus ekonomi, kasus budaya, bahkan bisa dilatari atau ditujukan untuk proses-proses politik. Oleh karena itu konsumerisme sebenamya bisa memiliki sisi yang bermacam-macam: ada konsumerisme dalam bidang pendidikan (sebutlah umpamanya 'konsumerisme etos-etos akademik'), ada konsumerisme terkandung dalam alam kehidupan beragama (umpamanya ummat menuntut mubaligh tertentu yang bisa memenuhi selera budaya mereka berdasarkan situasi sejarah), serta ada berbagai sisi konsumerisme yang lain.
Kita bisa memahami konsumerisme dari bermacam cara pendekatan. Narnun tidak aneh sama sekali, bahwa Al-Qur'an sejak semula telah menyediakan semacam cara pandang atau metoda untuk memahaminya.
Misalnya, dalam konflik terbuka antara Musa melawan Fir'aun yang didampingi oleh para sihir bayarannya, diakhiri dengan "duel kekuatan" antara mereka. Lihatlah Surah Thaahaa ayat 65 hingga 69 saja.
Para penyihir sewaan Fir'aun berkata, "Wahai Musa! engkaulah yang terlebih dahulu melemparkan, ataukah kami?"
Musa menjawab, "Silahkan kamu sekalian melemparkan!" Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat para penyihir itu - terbayang pada mata Musa menjadi ular-ular kecil yang amat banyak, merayap-rayap ke segala penjuru.

Sehingga Musa merasa takut di dalam hatinya.
Kami (Allah) berkata: "Janganlah kamu takut, karena sesungguhnya kamulah yang lebih unggul". Lebih benar, mulia.
"Dan lemparlah apa yang ada ditangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa saja yang mereka perbuat.

Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah merupakan tipu daya sihir belaka. Dan itu tidak akan menang, dari mana pun, mereka datang".
Allah Maha Mengerti segala isi waktu. Konteks cerita mengenai Nabi Musa as. Itu tidak terbatas pada situasisituasi kejahiliyahan jarnan Fir'aun: ia tidak mustahil berlaku bagi keadaan-keadaan lain di kurun waktu kapan pun, sebelum atau sesudah Fir'aun. Ia juga bisa berlaku pada diri kita hari ini: karena bukankah bahkan seringkali kita menjurnpai diri sedang harus belajar "menyebut nama-nama benda" seperti Adam as, yakni ketika kita harus membenahi kembali pengertian-pengertian kita tentang nilai, alam, benda, dan segala apapun dalam kehidupan kita?
Dan siapakah gerangan Fir'aun? Apakah ia seorang raja yang hidup di abad 20 ini? Apakah ia suatu konspirasi ekonomi dan bahkan konspirasi politik yang memakai perdagangan kebudayaannya untuk menyihir golongan-golongan manusia di muka bumi yang memang hendak mereka jebak dan mereka telan dalam kekuasaannya? Jadi, pertanyaannya apakah Fir'aun itu semacam Modal besar? Kekuatan atau klik, jaringan ekonomi? Atau metode iklan-iklannya?
Dan kemudian yang amat penting ialah siapa gerangan yang sekarang 'wajib' berperan sebagai Musa. Serta pertanyaan tentang apa yang tergenggam di tangan kanannya
Bagaimana menjelaskan secara empirik, pada kasus-kasus modem dewasa ini bahwa "apa yang mereka perbuat itu tidak lain hanyalah tipu muslihat daya sihir belaka". Mengapa Allah meyakinkan kepada kita, atau kepada Musa-musa, bahwa yang tergenggam di tangan kanan kita ini adalah sesuatu yang "lebih unggul", lebih tinggi, lebih mulia, lebih luhur. Dengan perspektif kefilsafatan macam apa kita menguraikannya, atau
dengan tata aqidah keagamaan yang mana hal tersebut bisa kita pahami.
Kemudian akhimya yang paling menjadi adalah konfirmasi dari Allah bahwa "Musa pasti menang", bahwa "sihir-sihir mereka itu tidak akan menang, dari manapun datangnya". 'Dari mana pun' itu bisa jugakah berarti pusat-pusat penjualan film biru, producer-produser kaset yang melemahkan mental masyarakat, kantor-kantor berita yang memanipulir kenyataan, pusat-pusat modal dan sebagainya?
Haqul yaqin, daya giro' ah (membaca realitas) Anda;daya ro'iyah (kepemimpinan) Anda, membimbing Anda semua untuk mengetahui secara jelas, luas dan mendalam jawaba-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas. Ada pun yang sernpat tertuliskan di sini, hanyaiah salah satu kemungkinan syuuraa bainahum di tengah berbagai ilmu yang diperoleh sendiri oleh sekalian Kaum Muslimin, Insya Allah demikian.

Apa gerangan sihir itu?
Misalnya, kita mulai memahaminya dengan kembali melihat-lihat dan meneliti barang-barang yang kita miliki, barang kita pakai atau yang tersimpan di dalam rumah kita. Dalam penelitian itu kita ukur, umpamanya, mana benda yang memang wajib kita beli dan wajib kita memiliki. Mana yang sunnah. Mana yang "sekadar" halal saja. Mana yang makruh, bahkan akhirnya mana yang haram.
Landasan kriterianva bisa bermacam-macam. Ambil saa misalnya "kuluuwasyrobuu, wa laa tusrifuu" ("Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan"). Sebiji kelebihan, akan memiliki sifat mubadzir, dan "Innal mubadzdziriina kaanuu ikhwaaanasysyayaathiin ..." Karena kemubadziran itu sahabat setan, dan kata Allah, setan itu kufur terhadap Tuhannya.
Kualifikasi penilaian itu bisa kita perkuat dengan pemahaman terhadap konteks yang lebih makro dan memperhitungkan sistem hubungan sosial yang luas. Umpamanya, kalau kita tahu bahwa mayoritas saudara;audara kita masih berada di garis kemiskinan, maka seberapa layak atau seberapa halal kita membeli sesuatu yang kira-kira bersifat ironik dan tidak etis dihubungkan dengan kemiskinan saudara-saudara kita itu.

Bandung, 19 Mei 1983
(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)