Puji Tuhan aku ditakdirkan jadi rakyat Indonesia. Sedap nian dipresideni Bung Karno, Pak Harto, Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega, dan Pak Sus. Aku syukuri dan nikmati sedap yang itu ataupun sedap yang lain dari Ratna Sarumpaet, Rizal Mallarangeng, Sultan HB X, Fajrul Rahman, Wiranto, Marwah Daud, Prabowo, Sutiyoso, dan sekian lagi… wahai Tuhan, panjangkan umurku agar kualami sedapnya menjadi rakyat beliau-beliau secara bergiliran.
Kita memiliki stok pemimpin yang berlimpah-limpah. Jumlah di atas 30 kontestan Pemilu 2009 mencerminkan betapa banyak dan canggih mesin kepemimpinan yang kita miliki. Sudah enam presiden memberiku kenikmatan, dengan keistimewaan, kewibawaan, dan keunikannya masing-masing. Tentu saja juga dengan satu-dua kekurangan, tapi tidak terlalu signifikan.
Dan rasanya, 2009 mempersembahkan kepada kita sedap yang lain lagi dari pemimpin baru. Kalaupun umpama tetap yang lama, pasti terasa baru: bagaikan Idul Fitri, baju boleh yang itu-itu juga, tapi pandangan kita terhadap baju itu "refreshed".
Kita pernah punya pemimpin yang sejak masa kanak-kanak mengalami pengasingan di sebuah dusun pelosok di dekat perbukitan. Ia menggembalakan kambing, tanpa teman-temannya sesama penyabit rumput pernah mengerti siapa dia dan dari mana asal usulnya, sampai kelak ia tampil sebagai orang nomor satu. Dengan sabit (arit, celurit) di tangannya, sudah tampak bakatnya sebagai strategi ulung. Hampir tak pernah ia menyabit rumput, karena tiap hari ia nantang teman temannya untuk lempar tepat sabit di batang pohon. Siapa yang lemparannya paling akurat mendekati titik sasaran mendapat bagian seperempat rumput hasil ngarit setiap peserta kontes. Dan ia tak pernah kalah. Selalu pulang ke kambingnya membawa rumput tanpa capek-capek menyabit.
Menjelang usia remaja, ia pindah wilayah dan kerja di kantor semacam bank pengkreditan untuk rakyat. Kemudian ia belajar berbaris dan menembak. Tetapi ilmu utamanya untuk menjadi pemimpin bukan dari sekolah dan pengalaman kerja, melainkan dari pencerapan ilmu nenek moyangnya. Yakni "Ilmu Katuranggan", metode untuk mengenali, mengidentifikasi, menyelami, memetakan, dan memolakan watak-watak manusia. Digabung dengan “Ilmu Pranotomongso”, pandangan dan analisis tentang musim, segala macam musim yang berlaku dalam kehidupan alam dan manusia. Ia memimpin negara seperti pawang pengendali hujan, pengatur kemarau, penjinak angin, dingin, dan panas, siang dan malam.
Itu sekadar snapshot kebesaran salah satu pemimpin kita. Enam buku emas tebal untuk enam pemimpin tertinggi. Aku mencintai mereka semua. Semua rakyat pun mencintai mereka, dengan macam-macam cara. Ada yang memakai idiom gelas. Ada pemimpin gelasnya tak pernah kosong, meskipun selalu dituang-tuangkan menjadi gagasan besar, mimpi besar, dan pernyataan besar yang membahana ke seantero bumi. Ada pemimpin yang gelasnya juga penuh, tapi dijaga jangan sampai tumpah: gelas itu kalau ditambahi air akan tumpah, kalau diambil bisa mengurangi citra kepenuhannya.
Ada lainnya yang gelasnya baru diminum sedikit: mendadak hilang gelas itu. Lainnya lagi gelasnya bolong, saking jujur dan ikhlasnya, sehingga minuman apa pun dan seberapa pun saja dituangkan ke dalamnya akan langsung habis karena bolong bawahnya. Sementara itu, ada yang sampai akhir kepemimpinannya tak ketahuan gelasnya: bukan karena beliau tak mengerti gelas itu apa, melainkan karena sangat ketat menyembunyikan gelasnya.
Mahakaya Tuhan dengan ragam rupa ciptaannya. Ada sebagian rakyat yang mencari watak pemimpinnya melalui cara mengidentifikasi mereka dengan para pemimpin lama: Majapahit, Demak, Khalifah Empat, para rasul dan nabi, atau mengambil simbolisme dari dunia pewayangan dengan menyebut tokoh macam-macam: Bima, Arjuna, Gareng, Bagong, Limbuk, raksasa Kumbokarno, dan sebagainya.
Semuanya itu figur baik. Bima jujur gagah perkasa. Arjuna sakti pendiam, Gareng filsuf guru bangsa, Limbuk pengabdi yang setia tapi kritis, Kumbokarno raksasa besar pencinta dan pembela tanah air. Ada yang melalui jurusan Joyoboyo Syekh Ali Syamsu Zen hingga Ronggowarsito: pemimpin 2009 ini mesti dihitung berdasarkan parameter kualitas “satrio pinandhito sinisihan wahyu”.
Yang memimpin sekarang adalah Satrio Pambuko Gerbang, pembuka paradigma perubahan ke arah zaman baru. Sesudah itu, pemimpin sejati muncul dengan tiga syarat berkualitas tinggi. Ia harus "satrio": cakap, ulet, pejuang, prigel, profesional, menguasai multi-masalah, manajer pembangunan, dan panglima solusi. Tapi sekaligus harus lebih tinggi dari itu: "pinandhito", tak terpesona oleh harta dan kedudukan, filosofi hidupnya matang mendalam, punya "wisdom", arif dan adil dalam kehidupan nyata, "spiritually grounded", berkadar pemimpin rohani, kaliber "begawan" atau "panembahan".
Itu belum cukup. Ia harus "sinisihan wahyu". Harus tampak indikator bahwa Tuhan turut aktif dalam Pemilu 2009, terlibat mempengaruhi aspirasi konstituen, ikut memilih presiden sehingga tak mungkin pilihan Tuhan dikalahkan. Dalam pandanganku, semua yang tampil dalam kontes pemimpin 2009 memenuhi syarat Pak Ronggo itu, tinggal Tuhan mempergilirkan siapa duluan. Syukur-syukur Tuhan kali ini tidak membiarkan rakyat Indonesia memilih pemimpinnya tanpa "informasi" dari-Nya.
(Emha Ainun Nadjib/GATRA/1 Januari 2009/PadhangmBulanNetDok)
Emas dan Tanah
6 tahun yang lalu