Kalau disederhanakan ada tiga model kebenaran yang berlaku dan dialami manusia. Pertama, benarnya sendiri (benere dhewe).
Kedua, benarnya orang banyak (benere wong akeh). Dan, ketiga kebenaran hakiki (bener kang sejati).
Sejak mendidik bayi sampai menjalankan penyelenggaraan negara, manusia harus sangat peka dan waspada terhadap sangat berbahayanya jenis kebenaran yang pertama. Artinya. orang yang berlaku berdasarkan benarnya sendiri, pasti mengganggu orang lain, menyiksa lingkungannya, merusak tatanan hidup bersama, dan pada akhirnya pasti akan menghancurkan diri si pelakunya sendiri.
Benarnya sendiri ini bisa berlaku dari soal-soal di rumah tangga, pergaulan di kampung, di pasar, kantor, sampai ke manifestasi-manifestasinya dalam skala sosial yang lebih luas berupa otoritarianisme, diktatorisme, anarkisme, bahkan pada banyak hal juga berlaku pada monarkhisme atau teokrasi.
Benarnya sendiri melahirkan Fir'aun-Fir'aun besar dalam skala negara dan dunia, serta memproduk Fir'aun-Fir'aun kecil di rumah tangga, di lingkaran pergaulan, di organisasi, bahkan di warung dan gardu.
Tidak mengagetkan pula jika benarnya sendiri juga terjadi pada kalangan yang yakin bahwa mereka sedang menjalankan demokrasi.
Ada seribu kejadian sejarah yang mencerminkan di mana para pelaku demokrasi menerapkan demokrasi berdasarkan paham benarnya sendiri mengenai demokrasi. Orang yang selama berpuluh-puluh tahun diyakini sebagai seorang demokrat sejati --ditulis di koran-koran, buku-buku, digunjingkan di forum-forum nasional maupun internasional sebagai seorang demokrat teladan-- ternyata pandangan-pandangan kolektif itu khilaf.
Padahal demokrasi adalah tingkat kebenaran yang lebih tinggi, yakni benarnya orang banyak. Demokrasi adalah logo-nya kehidupan modern. Ia bahkan melebihi segala Agama, bahkan
diletakkan 'lebih tinggi' dari Tuhan.
Tapi, apakah orang banyak pasti benar? Meskipun kebenaran mayoritas itulah pencapaian tertinggi yang bisa dibayangkan oleh ilmu pengetahuan politik yang paling rasional? Bukankah sejarah ummat manusia juga mencatat kengerian terhadap diktatorisme mayoritas?
Bagaimana kalau kebanyakan orang dalam suatu bangsa tidak punya kemampuan untuk memilih mana yang benar, mana yang baik, mana tokoh, mana pemimpin, mana panutan, mana politisi, mana
negarawan, bahkan mana Ulama, mana Sufi dan lain sebagainya - sebagaimana tragedi besar besar panjang yang hari-hari ini sedang dialami oleh bangsa Indonesia?
Kita sangat mantap membangun proses demokratisasi, memfokuskan diri pada 'suara rakyat', atau dengan kata lain: benarnya orang banyak. Bukan kebanyakan warga suatu suku menganggap dan
meyakini bahwa membunuh, memenggal kepala, mencincang-cincang tubuh dan memusnahkan suku yang lain adalah kebenaran?
Belum lagi kerepotan kita dengan para pencoleng elite yang ke mana-mana mengatakan bahwa ia menggenggam kebenaran rakyat banyak, sehingga menyebut dirinya dan orang lain dengan tolol
ikut menyebutnya demokrat.
Benarnya orang banyak sangat penuh kelemahan dan sama sekali tidak mengandung jaminan keselamatan di antara para pelakunya, bahkanpun bagi pelaku diktatorisme mayoritas itu sendiri.
Benarnya orang banyak harus disangga oleh sangat banyak faktor lain: kematangan budaya, tegaknya akal dan kejujuran, pendidikan yang memadai, kedewasaan mental kolektif dan lain
sebagainya. Demokrasi tidak bisa berdiri sendiri. Demokrasi adalah ilmu yang belum dewasa dan pengetahuan yang masih timpang terhadap kenyataan manusia.
(EMHA Ainun Nadjib/Republlika/15 April 2001/PadhangmBulanNetDok)
Emas dan Tanah
6 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar