Selasa, 20 Januari 2009

Kemandirian

Kereta Purbaya mbludag penumpangnya. Ketika itu 'bau' lebaran memang belum usai. Orang tumpah-ruah sampai ke daerah pintu masuk. Namun Tuhan Maha Baik. Saya dapat tempat duduk.
Ada toilet yang tak beres. Air luber sampai keluar sehingga tempat sekitar sebuah pintu masuk jadi becek dan menjijikkan. Belum lagi 'aromannya'
Disitulah saya berdiri sambil berpegangan daun pintu. Sendirian. sebab orang lain memilih berdesakan ditempat lain dari pada 'berdomosili' di tempat seperti itu.
Tetapi pada dasarnya saya tak bersedia untuk terpaksa berdiri selama '6 jam' dari Yogja ke Jombang. Saya mau berdiri sepanjang perjalanan, tetapi tak mau terpaksa. Maka saya harus mencari semacam makna atau alasan kenapa 'perjuangan berdiri' ini mesti saya lakukan. Dengan demikian 'kalu saya lelah' itu bukanlah kelelahan oleh keterpepetan keadaan, melaikan karena perjuangan.
Tapi apa makna ? Melatih otot dan ketahanan kaki ? Belajar sabar ?
Menguji stamina ? Memakai keadaan itu untuk mengolah pemikiran tentang sesuatu hal, misalkan kenapa khalayak ramai jarang yang ingat bahwa negara kita punya utang yang luar biasa banyaknya.
Nah, sampai Prambanan, perjuangan saya adalah menentukan apa tema perjuangan yang sebaiknya saya lakukan.
Kemudian Klatenpun menjelang. Dan saya diperintah oleh seorang Ibu tua untuk pindah tempat agak ke dalam menjauhi pintu. Kaget saya, tentu saja. Sedang Bupati Jombang pun belum tentu memerintahkan sesuatu pada saya.
Rupanya Ibu itu mempersiapkan sesuatu. Ia, tampaknya, seorang bakul. Mungkin ia 'mracang', dan kulakan macam-macam di pasar Beringharjo atau entah dimana. Ada tiga paruh karung entah berisi apa disandingnya. Beberapa onggok kayu bakar.
Dua tumpukan kardus. Belum lagi semacam tenggok yang, saya lihat, segera di gendongnya dengan jarit di punggung.
Tentulah ia akan turun di Klaten.
Saya bilang saya tak usah pindah, nanti saya bantu menurunkan itu semua dari kereta. Tapi sang Ibu, atau lebih tepat Nenek, begitu acuh tak acuh terhadap tawaran saya. Ia bersikeras agar meminta saya bergeser ke tengah. Dan sebelum kereta berhenti, ia lemparkan karung itu satu persatu, juga kardus dan kayu.
Sedemikian rupa sehingga satu karung sudah ertinggal di sebuah gerbong terakhir, karung kedua di gerbong tengah dan seterusnya. Baru ketika kemudian kereta berhenti, ia turun dengan tenggoknya, lantas berjalan menyusuri rel sebelah menghampiri barang-barangnnya yang tertinggal.
Jelaslah bagi saya, nenek itu sedang menerapkan kemandirian, disetiap detik dan jengkal ruang kehidupannnya. Mripatnya yang acuh kepada saya tentulah sebenarnya berkata, " Kalau memang mau membantu, kenapa cuma menurunkan barang-barang ini dari kereta ?"
Nenek udik itu memang lebih rasional dan independen dibanding seorang dekan yang ketika pagi-pagi ia sampai di kantor kerjanya berkata kepada bawahannya: " ambil kan tas saya di mobil, ini kuncinya !"
Ia juga lebih tinggi derajatnya dibanding sementara pejuang rakyat yang canggih membikin proposal tentang orang-orang semacam Nenek ini, untuk diajukan dan ditukar dengan dana milyaran rupiah, dan untuk itu ia peroleh persentase untuk beli mobil atau peralatan rumah dengan segala kenikmatannya.
Tapi nenek itu tak akan pernah berkata, " Tak usah menolong saya,. Mulailah saja selenggarakan keadilan ekonomi sehingga di negeri kaya raya ini tak usah ada seorang nenek bekerja seperti saya .."
Nenek itu tak akan pernah berkata demikian, meskipun para cendekiawan atau para pejuang yang mewakili nasibnya juga belum tentu akan berkata demikian.

(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar