Kita mungkin tidak hidup langsung di `titik pusat', setiap kecenderungan akan menuju ke sana. Ke manapun pergi, akan kembali ke titik itu-tergantung kesabaran kita dalam memahaminya. Setiap penyakit akan mencari sendiri obatnya, lewat kita. Indonesia di tahun 60-70 an pernah mengalami kesenian yang melambung ke langit-absurd, penuh fatamorgana dan romantisme-romantisme abstrak, tapi dengan tenggang waktu ia kembali mencari `akar'-nya, mencenderungkan diri ke `titik pusat'.
Yang disebut `titik pusat' itu mengejawantahkan dirinya mungkin pada ekspresi verbal seni religius, atau tahap-tahap ketuhanan seperti seni dengan komitmen sosial. Gejala itu muncul dalam sastra, teater, seni rupa, bahkan juga tari dan musik.
Para pekerja seni itu seolah-olah menjalani proses pencarian akan Tuhan: semula mereka sangka Ia adalah sebuah materi. Tuhan yang nun jauh di sana, baru kemudian mereka mengembalikan diri ke `titik pusat' tempat persemayamannya. Gejala pengembaraan semacam ini juga paralel dengan apa yang dialami oleh peradaban masyarakat modern di Eropa Barat atau Amerika. Tanaman di kamar Anda mengarahkan tubuhnya ke jendela di mana cahaya matahari masuk.
Pernah saya mencemaskan anak-anak dusun saya yang perlahan-lahan menanggalkan mainan-mainan tradisi budaya desanya dan menggantinya dengan konsumerisme budaya kota. Tapi kemudian saya jumpai dua hal. Pertama, gejala itu temporer, dengan tak terlalu sukar mereka kembali ke mainan semula. Kedua, yang penting bukan apa bentuk permainan mereka, melainkan apakah mainan di tangan anak-anak dinilai oleh naluri mereka sebagai bisa `membudayakan' mereka atau tidak. Ditanggalkannya kembali mainan-mainan model kota bukan mencerminkan kemunduran atau konservatisme atau pembelaan budaya pribumi. Melainkan, setiap masyarakat manusia memiliki daya saring, daya nilai dan resistensi untuk mengahayati apakah suatu bentukan produk budaya tertentu berhasil memuaskan `rasa kebudayaan' mereka atau tidak. Setiap manusia dan masyarakat memiliki alam rasa dan kesadaran naluriah terhadap `titik pusat'.
Pernah juga saya melihat bahwa untuk masyarakat Indonesia, kebudayaan berfungsi ganda: sebagai alat pertahanan, sekaligus sebagai penghambat perkembangan.
Maksud yang pertama ialah dimilikinya suatu pola perilaku budaya oleh masyarakat kita, yang memungkinkan mereka memiliki ketahanan daya hidup dan `kebal'' terhadap berbagai kondisi. Yang kedua, sudah kita ketahui bersama, banyak sekali faktor-faktor kultural yang menjadi kendala kemajuan dalam birokrasi negara, profesionalisme, komunikasi, pengorganisasian masalah, pembinaan olah raga serta pengamalan ajaran agama.
Karena problem yang muncul pada setiap inisiatif perubahan ialah bagaimana dimensi-dimensi kebudayaan tertentu yang hendak `diberantas' demi `kemajuan', tidak `disembuhkan' dengan sekaligus melenyapkan fungsinya sebagai perangkat pertahanan, sebagai penumbuh daya survive-betapapun ia mungkin naif seperti yang selama ini kita mengerti dari etos pasrah, nrimo dan seterusnya.
Kemudian saya melihat fungsi pertahanan di atas dimungkinkan oleh suatu sikap budaya yang memakai pandangan bersahaja terhadap kesejahteraan, kebahagiaan atau kemakmuran-yang merupakan indikator dari `titik pusat'. Masyarakat `tradisional' kita menempuh jalan praktis yang menerobos secara lebih langsung ke `titik pusat'.
Berbeda dengan sikap budaya dunia modern yang lebih cenderung mementingkan keindahan `permukaan bumi', yang membeli kesejahteraan, kebahagiaan dan kemakmuran dengan harga ekonomi yang jauh lebih mahal. Kebudayaan modern bahkan dengan sadar menyelenggarakan `perceraian' dengan orientasi `titik pusat'. Oleh karena itu sikap budaya tradisi yang lebih `telanjang titik pusat' merupakan penghambat bagi dinamika kesibukan `permukaan bumi'. Dan karena kebudayaan modern merupakan pemimpin dan penguasa zaman, maka sikap budaya tradisi `dipaksa' untuk menanggalkan beberapa pokok sikap budayanya sambil belajar mengintegrasikan diri ke dalam cara-cara kontemporer untuk mengolah kesejahteraan dan mendatangi `titik pusat'. Seseorang tak bisa lagi bernikmat-nikmat dalam situasi kebudayaan santai, yang selama ini ia hidupi baik dengan alasan kelayakan ekonomi maupun tidak. Kini, untuk leha-leha, ia musti menjadi seorang yang produktif, merambahi karir sampai jenjang
tertentu-baru memperoleh keabsahan ekonomis dan sosial budaya untuk berleha-leha.
Tetapi saya tidak melihat bahwa kedua sikap budaya tersebut sedang bertentangan. Kalau mereka bertentangan, dan kita berpihak kepada yang `modern' saja, kita akan tak memperoleh pokok-pokok sikap budaya `tradisi' yang mustinya ditransformasikan: kita bisa kehilangan masa silam tanpa mendapatkan masa depan. Namun kalau kita juga hanya berpihak kepada yang `tradisi', itu tak lain adalah konservatisme yang lambat atau cepat akan terlindas.
Maka jalan yang paling rasional dari seluruh kenyataan dan kemungkinan di atas adalah bagaimana kita memproses modifikasi dengan modifikasi kebudayaan dalam standar kualitas yang memadai. Proses kebudayaan juga selalu merupakan irama kontinyuitas: segala yang a-historis akan lenyap dengan sendirinya. Modifikasi dan kontinyuitas itu merupakan keniscayaan sejarah yang semestinya kita terima dan selenggrakan tanpa kompleks-kompleks.
Romantisme salah kaprah tentang yang kita sangka orisinalitas, kepribumian, identitas dari dan apapun, bisa kita sembuhkan dengan menginsyafi bahwa di sekeliling kita dan di dalam diri kita ternyata justru begitu banyak lapis kebudayaan yang memang sebaiknya hilang. Ketakutan kita terhadap kemungkinan kepunahan apa yang kita sebut kebudayaan bangsa kita redam dengan penglihatan terhadap relativitas akar budaya, keharusan untuk kontinyu serta `kerelaan' modifikasi. Kita justru akan makin gagal untuk berbangga diri sebagai bangsa yang berkebudayaan tinggi ketika kita berjalan dengan dua wajah: gairah perubahan yang menggebu-gebu, dan sikap cemberut puritan dan konservatif.
Dan kalau kita kembali kepada awal tulisan ini kita bisa berkata: kenapa musti kita ciptakan Nyai Rara Kidul kalau bisa kita temukan samudera ilmu, kebenaran dan kebijakan dari `titik pusat' yang toh makin kita kenali gejala-gejalanya? Kenapa kita musti korupsi-kultural dengan men-Tera-kan Waitangkung?
Padahal tak ada dosa apapun dan tak ada kehilangan apapun. Kecuali kita kini masih seorang `purba' yang melarang anak-anak kita bermain sepak bola hanya karena permainan itu `milik' Belanda....
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Emas dan Tanah
6 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar