Akar, Kontinyuitas, Modifikasi
Sudah tentu bisa kita bilang kita punya pecel dan rendang sementara orang Taiwan dan Eskimo tak punya. Tentu saja kita suka gengsot ndangdut dan India sendiri tak. Tentu saja kita memang punya sepakbola Indonesia yang disiplin `kehidupan sepakbola'-nya—karena latar kultur—sedikit atau banyak lebih mandul dibanding yang dipunyai Muangthai. Tentu saja kita punya sastra Indonesia yang gamblang berbeda dengan sastra Nepal serta teori sastra ala Indonesia yang tidak mempertimbangkan tipologi kultural masyarakat Ukrania. Kita juga mencari ilmu sosial Indonesia bukan saja karena bangsa Indonesia itu obyek ilmu yang tak bisa diparalelkan begitu saja dengan manusia Kenya, tapi juga karena proses keindonesiaan itu sendiri mengembriokan kerangka metodologi keilmuan sosial yang entah bagaimana tapi mestinya ada. Kita juga punya film yang Indonesia, yang menjadi tuan rumah di negeri sendiri, atau apapun.
Tapi dengan kreasi dan konsumsi pecel kita tidak selalu dijadikan `kebudayaan Indonesia'. Dengan gengsot ndangdut seorang pemuda Madura tidak sedang menyalahi kemaduraannya. Untuk mempertahankan kebudayaan Indonesia kita tidak harus memelihara kemandulan sepakbola. Sastrawan suku Sumba yang menulis dengan bahasa Melayu bukan pengingkar kedaerahannya. Kalau turunan Empu Gandring kini bersekolah dan jadi pakar ilmu sosial, ia tidak sedang memproses suatu kebudayaan lain yang melemparkannya dari identitas dirinya. Dan kalau kita terus-terusan berdukalara memburu film yang Indonesia hendaknya sambil diingat bahwa media film itu sendiri sebagai fenomena komunikasi bukanlah milik `kita'.
Selalu yang berlangsung pada kita adalah proses modifikasi. Demikianlah sejak zaman gelap kerajaan-kerajaan entah apa saja di masa lalu, kita terima tamu demi tamu: malaikat, Hindu, Budha, Islam, Cina, Belanda, berita Kristus, titisan Marx-Lenin serta entah siapa dan apa lagi—untuk kita jadikan apa yang kita percaya sebagai `diri sendiri'. Bahkan Tuhan pun datang dan bertamu dan "kita jadikan diri sendiri". Bahkan akan ternyata bahwa kita sendiri adalah tamu. Atau, pada akhirnya tersingkap bahwa tamu-tamu itu adalah kita sendiri, sedemikian rupa sehingga `diri sendiri' itu tahyul, dan identitas itu klenik yang amat temporer.
Sebab pada kenyataan seperti itu yang disebut akar kebudayaan ialah ekor yang tak terpegang ujungnya. Yang kita sepakati sebagai akar kemudian adalah penggalan suatu garis yang menyilang sulur sejarah. Seperti juga akar pepohonan yang hanya menjangkau beberapa puluh sentimeter di bawah permukaan bumi. Akar bukanlah titik pusat bumi: kebudayaan hanyalah gejala-gejala temporer dan relatif di sekitar permukaan tanah kehidupan. Sedikit lebih masuk, kita akan ketemu dan `sama' dengan beberapa kelompok masyarakat lain. Lebih masuk lagi kita berjumpa dengan seluruh manusia. Lebih masuk lagi kita ketemu dengan alam dan makhluk-makhluk lain. Dan ketika sampai di titik pusat, kita tak menjumpai beda antara manusia, alam dan Tuhan.
Hal-hal di atas mendorong kita untuk tidak usah terlalu terdramatisir oleh kecemasan akan kehilangan kebudayaan. Urusan kehilangan itu substansial merujuk kepada `titik pusat' yang tersebut di atas.
(selesai)
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)
Emas dan Tanah
6 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar