Kamis, 06 Agustus 2009

Korupsi sebagai Kasus Penyakit Jiwa(ii)

Tentu saja kehidupan kita bukannya sedemikian gelap pekat dan tak ada kebaikan, tak ada kejujuran atau kejernihan.
Tapi tulisan ini mengajak kita untuk bercermin.
Dan bercermin yang dimaksudkan bukanlah sejenis narsisisme: kita mengagumi kegantengan dan kecantikan wajah kita.
Yang kita tatap di cermin terutama justru jerawat-jerawat kita.
Jangan khawatir, Anda tidak termasuk para koruptor, pada level mana pun.
Anda orang jujur dan selalu menatap Tuhan berdiri tepat dihadapan Anda setiap saat.
Anda orang yang selalu berdua dengan-Nya dalam kepatuhan dan kejujuran.
Tuhan tidak Anda "letakkan" di samping, tidak Anda perlakukan sebagai "pihak ketiga" sehingga Anda sebut "Ia"--dan bukan "Engkau".
Tapi pandanglah wajah-wajah kami!
Lihatlah ornamen-ornamen jerawat korupsi dan ngembeng-nya wajah korupsi di wajah kami.
Ya, kami-kami yang pejabat tinggi maupun pejabat rendahan.
Kami-kami yang orang sentral maupun orang perifekal.
Kami-kami orang atas maupun orang bawah.
Kami-kami orang penting maupun orang tak penting.
Kami-kami para pemerintah maupun pejuang kepentingan rakyat.
Kami-kami para aktivis, seniman, intelektual, LSM, penyangga demokrasi.
Kami-kami semua, memiliki kadar, sifat dan wilayah korupsi ini?
Mau diilmiah-ilmiahkan dan diakademis-akademiskan bagaimana lagi?
Mau dianalisis kayak apa lagi korupsi ini: "makhluk" bikinan manusia yang jauh lebih besar dan jauh lebih kuat dbanding manusia ini?
Mau dipandang dari macam-macam sudut-sudut pandang dan sisi penilaian sampai berapa dekade sejarah lagi.
Sudut sistem. Sudut budaya. Sudut antropologi.
Atau segala macam latarbelakang yang sebelah mana lagi yang akan kita papar-paparkan demi agar kita tampak serius mengurusi dan memprihatinkan masalah korupsi--untuk kemudian kita kecapekan karena tema satu ini tak pernah usai, tak makin mereda, membosankan untuk dipersoalkan namun menikmatkan untuk terus dilakukan dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Atau bertanya apakah engkau, wahai Emha, sedang marah-marah oleh berita tentang korupsi dan korupsi dan korupsi? Padahal korupsi dan korupsi dan korupsi--yang dibeberkan, yang diurus, yang dibawa ke altar pengadilan--itu sesungguhnya hanya sepersekian persen dari realitas yang sebenarnya dari korupsi dan korupsi dan korupsi?
Emha menjawab: Tidak. Ambillah dunia seluruhnya, genggam di tanganmu, kepalkan, padatkan seluruh harta dunia ini, ngangakan mulutmu, masukkan padatan itu, telanlah, suruh ia mengembara di ususmu yang melingkar-lingkar, kemudian aku doakan: duburmu tidak sobek karena itu.
Ambillah negara ini, tanah ini, tambang ini, aset ini, akses ini, modal ini, perusahaan ini, hutan ini, gedung-gedung ini, nurani rakyatmu ini- -apapun saja, ambillah.
Ambillah, monopolilah, curilah, rampoklah, begallah. Dan aku tak punya urusan pribadi dengan semua itu. Aku tak punya kepentingan pribadi terhadap itu semua.
Bertengkarlah manusia.
Bersainglah pembesar-pembesar.
Sikut-sikutanlah kakap-kakap.
Sabot-menyabotlah kalian kaum raksasa. Aku tak punya urusan pribadi dengan itu semua. Caploklah planet bumi ini, kluwungilah tujuh samudera, rendamlah badanmu di kawah-kawah gunung.
Jaringlah waktu, zaman, kurun. Cengkeramlah kukumu hinga ke 1998, 2003, dan nyanyikan lagu penyair romantik "Aku ingin hidup seribu tahun lagi!"
Itu semua tak menyedihkanku. Tak membuat diriku prihatin atau berang. "Aku pribadi" tak punya urusan dengan keserakahan apapun di sekelilingku. Adapun kalau engkau mendengarkan ada semacam
keprihatinan, kemarahan atau kesedihan--itu tak berasal dari "diri pribadi"-ku melainkan dari "diri sosial".
"Diri pribadi"-ku abadi hingga ke Tuhan. "Diri sosial"-ku terbatas: kalau engkau tiba pada tahap di mana Tuhan mengalungkan tanganmu sendiri di lehermu, sambil menutup mata, hati, dan telingamu, serta membuatmu "tak bisa kembali"--maka diri pribadiku akan tertawa keras-keras karena diri pribadi itu diberi hak oleh Tuhan untuk bersikap acuh dan meninggalkan segala kebodohan, segala ketegangan dan penyakit jiwa manusia di muka bumi.
Orang yang capek-capek menghabiskan hidupnya untuk hanya mencari harta, memeras enerjinya untuk menyabet uang siang dan malam, serta yang menjual harga kemanusiaannya untuk maling hak orang lain alias melakukan korupsi--tak ada julukan lain kecuali, bodoh, tegang, dan sakit jiwa.
Ilmu pengetahuannya tentang dirinya, tentang manusia, tentang dunia, harta, serta tentang hidup dan mati--mengalami kekeliruan dan ketidakilmiahan secara mendasar. Ia sangat tegang terhadap segala yang sudah dimilikinya, yang akan dimilikinya, yang bisa dimilikinya, yang tak bisa dimilikinya, serta yang ingin dimilikinya.
Itu membuatnya sakit jiwa. Dan merusak negara dan rakyatnya.

(Emha Ainun Nadjib/Zaituna/"Titik Nadir Demokrasi, Kesunyian Manusia dalam Negara"/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar