Selasa, 17 November 2009

Negeri Orang Tertawa

Berpengalaman Dijajah

Saya berasal dari sebuah negeri yang penuh kehangatan hidup. Bakat utama negeri saya adalah bergembira dan tertawa. Kaya atau miskin, menang atau kalah, mendapatkan atau kehilangan, kenyang atau lapar, sehat atau sakit - semuanya potensial untuk membuat kami bergembira dan tertawa.

Bangsa saya sangat murah hati. Mengekspor ke berbagai negara bukan hanya barang dan makanan, tetapi manusia. Penduduk negeri saya bertebaran di berbagai negara. Ada yang menjadi kaya, ada yang mati tak ketahuan kuburnya. Ada yang sukses, ada yang diperkosa. Ada yang pulang membawa modal lumayan, ada yang dipukul, diseterika, dibenturkan kepalanya ke tembok..
Dua kali saya membawa pulang wanita muda gegar otak dan badannya luka-luka, dari Cairo dan Riyadh ke Jakarta.

Aliansi anti deportasi di Jakartta melaporkan hanpir 3 juta kasus penindasan atas tenaga kerja Indonesia diluar negeri, dan tak satupun yang diselesaikan, para pekerja yang sukses tidak ada yang bersikap egoistik: pulang ketanah air, di Terminal 3 Cengkareng airpport. Mereka menyediakan diri untuk ditodong oleh banyak yang memang menunggu di sana untuk mencari nafkah. Itu membuat mereka menangis sejenak tapi kemudian tertawa-tawa lagi. Karena penderitaan adalah memang sahabat yang paling akrab dengan mereka sejak kanak kanak.

Bangsa saya sangat berpengalaman dijajah. Sebagian mereka menunggu penjajah datang ke kampungnya, sebagian yang lain menyebrang keluar negeri untuk mencari penjajah.

Tuhan Menyesuaikan Diri Pada Aturan Manusia

Bangsa Indonesia tidak memerlukan pemerintahan yang baik untuk tetap bisa bergembira dan tertawa. Kami memerlukan perekoonmian yang stabil, politik yang bersih, kebudayaan yang berkualitas - untuk mampu bergembira dan tertawa. Kami bisa menjadi gelandangan, mendirikan rumah liar sangat sederhana di tepian sungai, dan kami hiasi dengan pot pot bunga serta burung perkutut.

Bangsa kami sangat berpengalaman dijajah, juga saling menjajah diantara kami. Dijajah atau menjajah, kami bergembira dan tertawa. Sayang sekali belum ada ilmuwan yang tertarik meneliti frekwensi tertawa bangsa kami - di rumah, di warung, di lapangan sepakabola, di ruang pertunjukan, di layar televisi, di tengah kerusuhan, di gedung parlemen, di rumah ibadah dan di manapun saja. Ada orang yang terjatuh dari motor, kami menudung nudingnya sambil tertawa. Orang bodoh ditertawakan. Apalagi orang pintar.

Kehidupan kami sangat longar, sangat permisif dan penuh kompromi. Segala sesuatu bisa dan gampang diatur. Hukum sangat fleksibel, asal menguntungkan. Kebenaran harus tunduk kepada kemauan kita. Bangsa saya bukan masyarakat kuno yang sombong dengan jargon: " MEMBELA YANG BENAR" Kami sudah menemukan suatu formula pragmatis untuk kenikmatan hidup, yakni " membela yang bayar".

Tuhan harus menyesuaikan aturan aturan-Nya dengan perkembangan dan kemajuan hidup kita. Orang orang yang memeluk agama sudah sangat lelah berabad abad
diancam oleh Tuhan yang maha menghukum, menyiksa, mencampkana ke api neraka. Tuhan yang boleh masuk kerumah kita sekarang adalah Tuhan yang penuh kasih
sayang yang suka memaafkan dan memaklumi kesalahan kesalahan kita.
Sebagaimana kata kata kata mutiara - " Manusia itu tempat salah dan maaf".
(Emha Ainun Nadjib/"Negeri Orang Tertawa"/2005/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar