Selasa, 06 April 2010

Para Patriot (1)

Sahabat kita yang lain adalah seorang pemuda gagah namun pekerja keras. Ia mahasiswa (Agronomi di satu universitas swasta Malang, Jawa Timur), namun tak malu bekerja kasar.
Ia putra keenam dari sembilan bersaudara, mengerti kedua orang-tuanya rnemanggul beban terlampau berat, sehingga ia memutuskan untuk ikut mengurangi beban itu. Setidak-tidaknya mungkin ia malu: Wong mahasiswa itu agent of social change, elite intelektual dan calon pemimpin bangsa kok numpang makan dan minta biaya sekolah kepada orang tua yang pendidikannya rendah dan melarat. Mosok ujung tombak era
industrialisasi dan globalisasi kok nyusu pada orang agraris-tradisional.
Banyak macam usaha ia tempuh. Makelaran, dagang kecil-kecilan, namun masih belum sumbut untuk keperluan sehari-hari dan biaya kuliah yang merupakan idaman orang tua. Pernah juga ngenger ke sejumlah orang kaya, tapi belum saling ada kecocokan.
Apa yang ia idamkan adalah seandainya ada yang bersedia meminjami modal, dengan perjanjian dan prosedur yang dirundingkan secara fair. "Syukur kalau tanaman anggrek kaya jenis Douglas & Katlya bisa segera laku," tambahnya.
Pemaparan ini tidak hanya mengimbau Kepada Anda-Anda yang bersedia merogoh saku. Ini berlaku juga siapa saja yang tahu manfaat tambah teman dan ilmu pergaulan.
***
Lain lagi Ibunda atau Mbakyu kita berikut ini. Ia bentrok terus dengan suaminya masalah Keyakinan agama dan kini dalam proses meresmikan perpisahan.
Hmmm... yang namanya perpisahan atau perceraian, memang unik. Itu sebuah kemungKinan sunnatullah.

Mungkin karena darurat, mungkin karena memang harus demikian diaektikanya. Bahkan perpisahan bisa merupakan saiah satu bentuk persatuan. Burung 'Dali' di udara terus, burung Gemek/Gemak di daratan dan semak-semak pohon terus: Itu perpisahan fisik, sekaligus persatuan hakiki dalam menjalankan ekosistem kehidupan.
"Lek idek mambu taek, lek adoh mambu kembang." Mbakyu kita ini melihat dan yakin, sebagai mantan suami mantan istri. mereka masing-masing justru bisa berbuat lebih baik di tempatnya sendiri-sendiri yang baru.
Ia sendiri mencoba menemukan diri yang terbaiknya. Output dari segala kompleksitas problem dan kegagalan rumah tangganya, tidak berupa sikap nekad atau kompensasi-kompensasi negatif. Yang menjadi tekadnya kini ialah memusatkan sisa hidupnya untuk "menyeru manusia kepada Tuhan", semacam muballighat, sambil bekerja untuk mencari sandang pangan ala kadarnya sebagaimana orang-orang lumrah lainnya.
Dari Semarang, eks domisilinya, ia telah melakukan perjalanan ke Yogyakarta, Ponorogo (Jawa Timur) dan lain-lain untuk angon nasib, mempelajari agarna secara mendalam dan mencari kemungkinan-kemungkinan.

Ia kiri tinggal di Jember (Jawa Timur); di rumah seorang ibu yang juga aktivis acara-acara keagamaan. Namun ia tidak bersedia menjadi `benalu'.
Apa yang ia perlukan adalah kesediaan suatu institusi keagamaan, lembaga pendidikan, padepokan santri atau apa saja, di mana ia bisa belajar serius narnun juga bersedia bekerja sekasar apa pun, agar ia 'sah' menjadi manusia hidup.

(Harian SURYA, Senin 22 Pebruari 1993)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar