Anak kita, seorang pelajar SIvIA yang tinggal di Jalan. P. Sentik, Tanah Grogot, Kalimantan Timur, berkirim surat meminta sebuah mesin ketik. "Itu sangat berarti bagi saya, untuk mengembangkan bidang tulis menulis untuk dimuat di media massa," katanya.
Ini salah satu contoh dari banyak anak-anak kita yang bersurat ke rubrik ini, yang memandang kehidupan ini sedemikian sederhana dan penuh jalan pintas. Bekerja sebagai penulis sedemikian gampangnya: ada mesin ketik, menulis, lantas dimuat di media massa. Padahal jarak antara mesin ketik dengan menulis itu bukan main lebar dan ruwetnya. Apalagi jarak antara tulisan dengan pemuatan di media massa.
Tentu saja akan sangat mengharukan kalau lantas ada yang bermurah hati mengiriminya mesin ketik. Tetapi harus kita ingatkan bahwa itu belum tentu merupakan 'jalan keluar' bagi sukses menjadi seorang penulis.
Juga pastilah siapa saja yang beritikad untuk menolong, ia berhak dan memang lebih afdhal apabila terlebih dahulu bersilaturahmi, berkorespondensi atau syukur berdialog langsung dengan orang yang ingin ditolongnya demi agar ia memperoleh pengetahuan dan kepercayaan yang lebih pasti tentang yang akan ditolongnya.
Saya sendiri belajar menulis di Yogya awal era 1970-an dengan banyak teman. Kami tidak pernah berpikir teknis: ada kertas atau tidak, ada mesin ketik atau tidak. Itu soal gampang. Bisa nunut sesekali, atau ditulis tangan. Sebab yang 'bergemuruh' dalam diri seseorang yang berjuang belajar menulis adalah soal-soal yang kualitatif: bagaimana menghayati kehidupan merenungi masalah-masalah, peka terhadap nilai-nilai, kerja keras dengan otak, akal budi, perasaan dan hatinurani.
Soal kertas dan mesin ketik, itu masalah teknis yang amat gampang diatasi. Bisa numpang tetangga, atau di Kantor Kelurahan, dan Insya Allah tanpa harus menyodorkan Sertiikat Lulus Penataran P-4. Tetangga dan Pak Lurah pasti senang ada warganya yang belajar kreatif, sebab mereka mestinya bukan orang sakit jiwa.
Pesan pribadi saya kepada para calon penulis atau patriot pemburu masa depan: berapa jam kerjamu dalam sehari-hari? Saya sudah tua, dan justru karena itu saya tidur setelah subuh, kemudian pukul 08.00 pagi sudah siap 'perang' lagi. Seandainya saya ini boleh diangap penulis yang sudah 'jadi', modal saya ada tiga:
- Pertama, anugerah Allah.
- Kedua, belajar dan bekerja keras.
- Ketiga, keikhlasan doa Ibu saya dan Anda semua.
Apa yang harus kita perjuangkan terutama qdalah etos kerja, kesediaan untuk bekerja keras dan 'kejam' kepada diri sendiri. Bukan memimpikan fasilitas. Salah satu wujud kreatiitas adalah 'kesanggupan bekerja maksimal dalam kondisi dan fasilitas yang minimal.'
Tapi anak-anak sekarang baru mau bekerja kalau jelas gajinya. baru mau melakukan sesuatu kalau lengkap fasilitasnya dan ada jaminan hasil. Mereka tidak bisa menjadi pejuang bahkan bagi dirinya sendiri, sebab tidak ada perjuangan yang titik tujuan atau hasilnya bisa dipastikan.
Kalau mereka disuruh masuk hutan, mereka memastikan dulu apakah di dalamnya ada buah yang dicarinya, ada macan atau ular yang rnengancam atau tidak. Bahkan mungkin mereka riset dulu berapa luas hutan, jenis tanahnya, atau ada warung atau tidak, ada pentas dangdut dan metal atau tidak. Kalau sudah jelas semuanya, baru mereka melangkahkan kaki masuk hutan.
(Harian SURYA, Senin 15 Maret 1993)
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)
Emas dan Tanah
6 tahun yang lalu
Waduh kayak'e emang bener kita yg muda2 ini udah lupa gima cara berjuang
BalasHapus