Selasa, 31 Maret 2009

DEVOLUSI PERANGKAT VITAL

Selalu ada waktu untuk melakukan pekerjaan yang "benar" dan "baik".
Selalu tersedia waktu untuk melakukan "pekerjaan benar" dan "baik"
dengan cara yang benar dan baik pula.
Dan selalu disediakan kesempatan untuk membuat "kebijakan" bagi "kebajikan" untuk sesama makhluk dunia.

Kebijakan yang tidak membuahkan kebajikan adalah proses "disfungsi perangkat organik" dari "harkat kemuliaan" manusia.
Harkat adalah derajad sedang kemuliaan adalah potensi.
Potensi yang ditaburkan Tuhan ke dalam `hati´ manusia.
Manusia bukanlah `sosok makhluk mulia´, namun ia diberikan potensi kemuliaan. Ia akan menjadi makhluk mulia ketika potensi kemuliaannya difungsikan, sebaliknya ia dapat menjadi makhluk yang hina ketika potensi kemuliaannya diabaikan.

Hati adalah "perangkat -vital" organ kemanusiaan-manusia, dimana terdapat potensi kemuliaan yang tersimpan di dalamnya. Di dalam potensi kemuliaan terdapat kemampuan untuk berlaku `bijak (wise)´. Dan ketika perlakuan bijak dilaksanakan, maka `bajik (goodness)´ dapat dirasakan oleh orang-orang yang tersentuh oleh taburan kebijakan yang dibuatnya.

Kebijakan bukanlah policy, karena kebijakan dilaksanakan oleh perangkat vital manusia yang bernama hati, dimana ketulusan dan keikhlasan bersemayam. Policy adalah produk dari serangkaian olah pikir yang digerakkan oleh energi `ambisi´ dan dikemas dalam bentuk strategi.
Seperti yang pernah diajarkan, bahwa dalam kemasan "strategi (strategy)" terdapat siasat, yang di dalamnya juga ada kandungan "taktik (tactic)" dan di dalam taktik terkandung elemen "trik (trick)" atau bahasa awamnya pengelabuan.

Stategy orang yang berusaha tulus dan ikhlas adalah "Strategi untuk tidak berstrategi", karena dalam vibrasi keikhlasan tidak terkontaminasi oleh nada sumbang pengelabuan (tricky). Bagi pendidik yang ikhlas tidak perlu ada `strategi pendidikan´, karena mendidik adalah pekerjaan mulia yang memerlukan kelapangan dada. Bagi pemimpin yang ikhlas tidak perlu ada `strategi pembangunan´, kerena mensejahterakan rakyat adalah konsekwensi tanggung-jawab pengabdian diri sang pemimpin kepada TuhanNya.

Devolusi (devolution) adalah serangkaian proses degenerasi yang berlaku secara massal yang diawali oleh perubahan `kebiasaan mata (what I see)´, `kebiasaan mulut (what I say, what I eat and what I drink)´ dan `penerimaan telinga (what I hear)´ yang matang menjadi `persepsi (perception)´ hingga mampu merubah `perilaku (behavior)´ yang menyimpang dari hakekat, maksud dan fungsi penciptaan dirinya.

Jika burung beo, mampu mengucapkan selamat pagi atau good morning sebagaimana yang diajarkan tuannya itu namanya Evolusi..
Perilakunya berubah ketika menyapa siapa saja yang ada dihadapannya. Ketika masyarakat harimau tidak berebut daging yang diberikan tuannya dan tidak berebut wilayah serta bertarung untuk memperebutkan siapa yang berhak menjadi raja rimba, maka ia mampu berlaku `mirip´ sebagaimana hakekat penciptaan manusia. Kedua binatang ini lebih beradab daripada generasi sebelumnya.

Ketika dalam masyarakat manusia, ada tatanan yang mengatur perebutan kekuasaan dan kekuatan maka fenomena ini disebut devolusi. Hakekat peradaban masyarakat manusia bukanlah siapa yang berhak menjadi penguasa, melainkan siapa yang "layak" menjadi "pemimpin (leader)". Dalam tata nilai masyarakat manusia beradab, seseorang tidaklah perlu mengikuti ukuran siapa yang "kuat (powerful)", melainkan siapa yang mampu memberikan "manfaat (usefulness)"

Devolusi menghasilkan generasi yang derajatnya lebih rendah (down-grade generation) dari induknya. Devolution is not only biological fallacy, but is the process of the tenancy of humanimalization! Demikian kata Gregory R. Mendoza

Bijak, bajik, tulus, ikhlas, pemimpin dan manfaat atau policy, strategi, kekuasaan dan kekuatan serta ambisi semuanya benar. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang perlu disalahkan. Bukan saya benar, anda salah atau anda benar dan saya salah. Urusannya bukan terletak pada kecerdasan manusia atau kreatifitas dalam berbuat, melainkan pada tingkat kepekaan hati untuk merasakan koordinat posisi diri dan memahami ke-arah mana ia sedang menempuh jalan.

Tak layak melarang se-ekor katak untuk berhenti meloncat, karena sesungguhnya ia sedang berjalan. Tak layak melarang ayam untuk berkokok, karena sesungguhnya ia sedang menyapa dunia. Namun anda boleh tertawa ketika ada se-ekor Monyet yang sudah menggenggam pisang lalu dibuang karena menginginkan `banana´ yang dimakan se-ekor Monkey.

"Laku lampah tumapak ing sadengahing titah. Sitinggil tan keno rinekodoyo (perjalanan selalu berlaku pada setiap makhluk. Harkat-martabat tak dapat di rekayasa)"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar