Tujuh Wali Kekasih Tuhan, yang terdiri dari Empat Wali materi dan Tiga Wali Rohani, memutuskan untuk minggat selama-lamanya dari permukaan bumi
Mereka melarikan diri dengan tujuan hendak langsung menemui Tuhan di pesanggrahan-Nya, untuk mengadakan semacam unjuk rasa dan melontarkan sejumlah protes keras
Mereka adalah Wali Penjaga Tanah, Wali Penggembala Api, Wali Pemelihara Air, Wali Penunggu Logam, Wali Penabur Cahaya, Wali Penegak Akal, serta Wali Pembersih Nurani
Oleh ketujuh Kekasih Allah itu disepakati tiga alasan pokok yang menyebabkan mereka minggat
Pertama, di wilayah tugas mereka jumlah dusta alias kebohongan sudah hampir tak terhingga, sampai tak tertampung kapasitas komputer dengan mega-harddisk berukuran 1,3 trilyun giga byte
Kedua, para pemimpin dan anggota kelompok-kelompok yang memotori proyek-proyek ketidakadilan, yang mempercanggih manipulasi-manipulasi atas undang-undang, yang mensistematisasi birokrasi pemiskinan merasa sangat yakin bahwa justru merekalah calon-calon utama penghuni surga
Dan ketiga, problem-problem yang ditanam sebagai pohon yang terlalu dalam akarnya di wilayah itu, sudah tak mungkin ditumbangkan oleh kerjasama Lembaga-Lembaga Bantuan Perjuangan, oleh Pusat-Pusat Penelitian dan Pengembangan Keselamatan, oleh Komite Nasional Hak Makhluk Hidup, serta oleh Yayasan-Yayasan Penunda Hari Kiamat
Juga tak bisa dijamin akan bisa diatasi jikapun mereka dibantu oleh Badan-Badan Strategi Pengobatan Penyakit Zaman, oleh Forum Impian Nirwana, oleh Front Pemberantasan Rasa Takut, oleh Organisasi Penyadaran dari Situasi Pingsan Struktural, oleh Nahdlatul Bingung, maupun oleh Pementasan Aktor-Aktor Pengigau dan Sinetron-Sinetron Perajut Mimpi
Persoalan-persoalan itu, pada tingkat yang sungguh-sungguh, bahkan sudah tidak bisa disembuhkan oleh pihak-pihak yang menciptakannya itu sendiri. Bahkan tidak oleh kekuasaan tak terbatas yang berada di genggaman tangan Bapak Stagnasi Nasional, meskipun kalau beliau batuk pada suatu pagi, ratusan gunung bisa terguncang-guncang
Jika diibaratkan, persoalan-persoalan itu bagaikan sebuah kota besar, yang meskipun teguh beriman namun terlalu riuh rendah dan penuh gemerlap sementara jalanan-jalanannya selalu macet dan yang bisa dilakukan oleh kumpulan semua kekuatan sejarah itu paling jauh hanyalah memasang papan-papan pengumuman di sepanjang jalan dan di setiap perempatan yang berbunyi: "Dilarang Macet!"
Tujuh Walu Tuhan itu pergi secara diam-diam tanpa pamit atau minta izin kepada saya
Tetapi itu tidak mengagetkan karena saya memang tidak memiliki hak untuk mereka mintai izin, sebab yang menggaji mereka bukan saya, melainkan Tuhan sendiri
Sedangkan makhluk-makhluk lain yang makan minum dan kesejahteraannya berasal dari pajak saya saja pun tidak pernah berunding dengan saya ketika menelurkan setiap keputusan
Malah saya yang diperbolehkan ada hanya kalau memiliki Sertifikat Kelakuan Baik, yang dirilis oleh kelompok yang tidak dijamin berkelakuan baik
Malah saya yang setiap kali hendak bersin harus terlebih dulu meminta izin, karena saya adalah warga negeri asing yang harus dihadapi dengan praduga bersalah
Akan tetapi ketika Tujuh Wali itu tiba di gerbang Arasy, malaikat Syakhlatusy-Syams mencegat mereka dan langsung menuding mereka dengan kata-kata paling purba:
"Kalian tidak akan tiba di pesanggrahan Tuhan, melainkan akan terpeleset ke negeri setan. Karena siapa pun yang berputus asa mitra politiknya, koalisi kulturalnya serta mazhab teologisnya adalah setan
Kalian membuntuti jejak Yunus yang meratap dan bingung. Kalian akan kalah dalam undian dekade-dekade maupun kuis era-era. Kalian akan dipojokkan olehsejarah untuk terpaksa terjun ke laut, kemudian disongsongdan dijadikan makanan oleh seekor ikan raksasa abad XXI
Kalian sudah tahu bagaimana cara membuat perut ikan abad XXI itu menjadi panas, sehingga kalian dimuntahkan kembali dan terdampar di pantai masa depan untuk memulai sebuah orde yang baru. Tetapi melihat wajah dan sorot mata kalian, tampaknya kalian sudah sangat kecapekan untuk sanggup bertarung sampai ke ronde sejarah yang sejauh itu"
Tujuh Wali itu terhenti perjalanannya, tidak mampu menembus tembok telapak tangan malaikat Syakhlatusy-Syams, karena makhluk pengendali matahari ini memiliki kekuatan yang tak terkirakan dan belum mampu dihitung oleh seribu laboratorium ikatan cendekiawan
Yang terjadi kemudian adalah sebuah interogasi dan hampir sebuah perdebatan. Syakhlatusy-Syams bertanya kepada tujuh Wali Tuhan ini satu per satu, tentang landasan pemikiran mereka, studi fisibilitasnya, aksi lokal dan wawasan globalnya, target jangka pendek dan jangka panjangnya, bahkan diselidiki juga berapa milyar per tahun mereka memperoleh pendanaan dari negeri-negeri tetangga
Wali Penjaga Tanah menjawab: "Telah berlangsung perampokan ganda atas tanah-tanah di dunia. Terlalu banyak tanah yang dicerabut begitu saja dari tangan para pemilik tradisionalnya tanpa sopan santun dan tawar menawar yang mencerminkan bahwa mereka adalah makhluk yang bernama manusia. Tetapi terdapat juga perampokan yang selama ini tersembunyi: Tuhan hanya memberikan kepada manusia "hak pakai" bukan "hak milik" atas tanah yang Ia ciptakan ini, tetapi manusia menciptakan hukum yang tidak masuk akal dan merampk otoritas Tuhan, dengan menciptakan sertifikat hak milik atas tanah-tanah itu. Padahal terbukti mereka tidak pernah menciptakan tanah, tidak pernah memproduksi tanah, melainkan tiba-tiba saja menemukan tanah di bawah kakinya. Manusia adalah peminjam paksa, manusia adalah fakir miskin yang tak tahu diri, manusia adalah Columbus-Columbus sakit saraf yang merasa yakin bahwa mereka menemukan sebuah pulau dan memilikinya, seolah-olah tanah itu nongol
begitu saja dari jidatnya. Manusia adalah raja-raja yang mengkhianati logika historisitas. Manusia adalah makhluk sakit otak yang mencuri hak Tuhan secara semena-mena
Untunglah Tuhan bukan pendendam dan cenderung bersikap santai. Sehingga meskipun tiap saat milik-Nya diklaim oleh makhluk-makhluk-Nya, tetap saja Ia setia menerbitkan matahari, memelihara fasilitas alam dan mengedarkan rezeki-rezeki misterius di antara manusia
Akan tetapi, terus terang saja, kesantunan Tuhan yang berlebihan itulah yang aku tidak mengerti!"
Wali Penegak Akal tiba-tiba saja nyelonong meneruskan laporan WaliPenjaga Tanah:
"Manusia-manusia itu antre di pom bensin tidak dengan membawa konsep tanggung jawab bahkan sekadar terhadap setetes minyak bakar. Mereka mengucurkan begitu saja sebanyak-banyaknya benda cair yang langka itu dalam tangki mobil dan motornya masing-masing, tanpa laporan pertanggungan jawab kepada produser bensin apa ia sungguh-sungguh memerlukan bensin sebanyak itu, akan digunakan untuk ke mana dan untuk apa ia berkendaraan. Seolah-olah mereka pernah punya ilmu dan teknologi untuk memperoduksi minyak sendiri. Seolah-olah minyak adalah hasil produksi sejarah mereka
Kemudian mereka bahkan menciptakan kecurangan-kecurangan politik internasional demi pencurian minyak, menyelenggarakan dusta-dusta sejarah di seantero bumi yang disusun di kantor polisi dunia demi memonopoli minyak
Akui tidak bisa tahan lagi. Wahai Syakhlatusy-Syams! Aku ingin Tuhan mulai bersikap agak sedikit radikal! Aku yakin Tuhan bukan anggota Musytasyar dari sebuah Nahdlah besar yang terlalu sabar karena takut dituduh makar, sehingga akhirnya jenggotnya sendiri pada terbakar!"
Wali Penggembala Api menyahut dengan suara yang berat besar:
"Aku menyaksikan api dicuri dari rumahnya dan ditaburkan ke pasar-pasar!"
Syakhlatusy-Syams bertanya: "Kau menyalahi asas praduga tak bersalah. Apa mencipratnya api itu bukan karena tingkat kemarau yang kurang ajar?"
Wali Penggembala Api menjawab: "Tuan boleh ucapkan itu kepada punggawa-punggawa lembaga bantuan hukum, tapi jangan kepada murid Ibrahim dan Khidlir. Apakah Tuan akan menangkap Ibrahim dan memasukkannya ke dalam sel tahanan dengan tuduhan bahwa ia telah melakukan usaha percobaan pembunuhan atas Ismail putranya sendiri? Ditambah dakwaan bahwa Ismail membuat berita acara kerelaan untuk disembelih itu karena paksaan Bapaknya?
Apakah Tuan akan meyeret Khidlir ke pengadilan dengan tuduhan bahwa ia melakukan tindak kriminal katika mencekik seorang anak di tengah jalan, membocorkan dinding kapal serta ikut campur terhadap kondisi pagar seseorang di sebuah kampung?"
Syakhlatus-Syams tersenyum: "Jadi rupanya Khidlirlah backing kalian?"
Wali Penggembala Api menjawab: "Terserah pasal berapa yang Tuan kenakan atasku, tetapi terhadap semua ini aku memutuskan untuk angkat tangan dan menyerah. Kasrena api telah membakar dunia dan peradaban manusia. Kekuasaan dan politik telah mendayagunakan api di laras-laras senapan untuk menghanguskan hak-hak masyarakat manusia. Industri dan modal telah memompakan api konsumtivisme massal sebagai satu-satunya kenyataan hidup di abad ini tanpa peluang untuk kemungkinan yang lain. Para pejuan yang mengasah kapak-kapak itu dalam proposal dan praksis perjuangan mereka karena sebagai Ibrahim-Ibrahim abad XX, mereka tak memiliki kekuatan dan ketahanan untuk melawan bara api Fir'aun yang siap membakar mereka setiap saat sesudah upaya penghancuran berhala!"
Syakhlatusy-Syams tertawa kecil: "Kamu terlalu tegang. Belajarlah kepada Tuhan bagaimana bermain dalam kesungguhan dan bersungguh-sungguh dalam permainan. Mintalah petunjuk kepada Tuhan bagaimana bersenda gurau yang serius dalam menggembalakan dunia dan alam semesta"
Wali Penggembala Api memotong: "Justru itu yang kami protes! Manusia terlalu menganggap serius terhadap dunia ini. Manusia terlalu bersungguh-sungguh terhadap materi. Sehingga bumi mereka gali sumber dayanya dan diboroskan habis-habisan. Sehingga hutan-hutan mereka patok dan mereka tebangi. Sehingga tanah mereka pagari tanpa moral jual beli, dan mereka dirikan gedung-gedung yang tidak jelas hubungannya dengan kesejahteraan manusia yang hakiki
Manusia terlalu tegang kepada benda-benda dan uang, sehingga mereka perebutkan dengan segala cara. Mereka menyangka materi adalah jalan menuju rohani, dan menjelang ajal baru mereka mengerti bahwa mereka sesungguhnya adalah makhluk rohani. Sekarang kami sudah tidak diperlukan lagi di muka bumi, karena tidak ada suara yang bisa berguna bagi telinga yang tuli!"
Kemudian berturut-turut terdengar suara Wali Pemelihara Air dan Wali Penunggu Logam:
"Jangankan suara kami para Wali petugas alam yang hina dina, sedangkan suara Tuhan sendiri pun sudah jarang didengar oleh hampir semua telinga!
Tuhan bukan lagi subyek utama kehidupan ini. Sejauh-jauh posisi Tuhan hanyalah pihak keempat: pihak pertama adalah pemilik modal dan kekuasaan, pihak kedua adalah sumber daya alam, pihak ketiga adalah massa pasar dan Tuhan adalah pihak keempat yang sesekali disebut untuk tiga macam keperluan. Pertama untuk legitimasi proyek. Kedua untuk keabsahan keputusan kekuasaan. Dan ketiga untuk mengeluh bagi mereka-mereka yang kepepet
Kami tidak lagi bermimpi bahwa telinga para penggusur bisa mendengarkan suara tangis orang-orang yang rumah dan tanahnya digusur, sedangkan deru mesin buldozer yang sebegitu bergemuruh saja pun tidak sanggup menyentuh gendang telinga mereka. Mereka hanya mampu mendengarkan suara mereka sendiri di Karaoke!
Air telah sirna dari sungai-sungai. Yang tinggal adalah kotoran yang bercampur sedikit air. Kebersihan telah dicerabut dari air, karena proses pembersihan air adalah pasar-pasar perusahaan yang memaksa harga setetes air lebih mahal dibanding setetes minyak!
Manusia-manusia yang cerdik pandai itu berlagak tidak tahu bahwa hanya beberapa puluh tahun ke depan Pulau Madura, Sulawesi Selatan dan Jakartaakan mendapat giliran pertama untuk tenggelam di bawah permukaan laut!
Para cendekiawan yang mewah itu tidak memberitahukan kepada saudara-saudaranya berapa tingkat kenaikan suhu udara per tahun, sehingga anak cucu mereka akan menegakkan dendam sejarah di masa depan
Para kaum terpelajar itutidak melaporkan kepada rakyatnya tingkat penyempitan pulau Jawa setiap tahun.Juga tidak dikemukakan jaminan bahwa bangsa mereka pada saatnya akan sanggup membayar hutang yang tanpa kendali!"
"Kami telah memutuskan untuk pergi tanpa pamit dari dunia perjalanan dusta semacam itu," berkata Wali Penegak Akal yang kemudian disusul oleh Wali Penabur Cahaya dan Wali Pembersih Nurani:
"Akalku sendiri minta ampun. Aku menyaksikan Rahwana-Rahwana yang berwajah sepuluh bukan hanya merebut kata-kata yang semestinya diucapkan oleh Rama dan Hanuman, tetapi bahkan Rahwana-Rahwana itu merasa yakin seyakin-yakinnya bahwa mereka adalah Rama yang suci, adalah Hanuman yang tulus, adalah Lesmana yang waskita. Dan mereka membawa keyakinan diri yang tidak masuk akal itu ke dalam sujud-sujud mereka yang khusyu', bahkan sampai ke tanah suci!
Betapa gampang menghadapi pendusta yang memang pendusta dan mengerti bahwa ia pendusta. Tetapi betapa mustahil dan ruwetnya melayani pendusta yang merasa dirinya paling mulia justru di antara orang-orang yang tidak berdusta. Betapa pening akalku menyaksikan para pendusta melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang seharusnya diucapkan oleh alim ulama"
"Sebagai Wali Penabur Cahaya terus terang aku bingung karena hampir tidak ada satu kata pun yang terang. Tidak lagi bisa dibedakan antara kata penerangan dan penggelapan, atau antara keterangan dan kegelapan sehingga para petugas penerangan sebelum melangkah selalu memohon petunjuk, baik petunjuk teknik maupun petunjuk pelaksanaan
Akalku sudah terpingsan-pingsan penyaksikan tidak jelasnya perbedaan antara gelap dengan terang. Karena setiap kali ada mulut yang mengusahakan pembebasan manusia dari kegelapan, yang diterima oleh mulut itu adalah pemberedelan, dan pemberedelan itu dilakukan oleh tangan yang merasa sangat bahwa yang ia lakukan adalah penerangan"
"Sebagai Wali Pembersih Nurani terus terang juga aku merasa sudah tidak punya lagi tugas dan kewajiban, terutama karena nurani adalah barang rongsokan yang sudah dibuang, dan seandainya ada yang mengambilnya sebagai barang antik ia tidak akan lolos untuk didaftarkan ke lembaga pelelangan
Hanya orang dungu yang membayangkan akan bisa menjumpai kata nurani terdaftar di lembaran-lembaran buku ekonomi, perusahaan, supermarket dan konglomerasi. Hanya pemimpi yang over-optimistik yang memimpikan bahwa nurani merupakan asas utama sebuah kekuasaan..."
Tiba-tiba terdengar petir menggelegar. Terompet melengking-lengking. Seluruh penghuni langit meraung-raung, melolong-lolong. Seribu gunung terbatuk-batuk, air tujuh samudera meluap, seribu gelombang menggelegak. Tapi sesaat kemudian mendadak seluruhnya itu seperti tidak pernah terjadi. Alam sunyi. Alam senyap
Tujuh Wali Tuhan itu merasakan tatkala mereka menyadari dirinya, tiba-tiba mereka sudah terjerembab kembali berada di tempat tugasnya semula. Di hadapan mata mereka kembali terhampar dunia yang setiap pagi dan setiap menjelang tidur menggoda mereka untuk berputus asa
Karena gejolak perasaan di dalam dada para Wali itu, rasanya mereka hendak memekik, tapi kemudian terdengar suara entah suara Jibril atau suara Tuhan sendiri: "hi hi hi ..."
1994
(Emha Ainun Nadjib/"Doa Mohon Kutukan"/Risalah Gusti/1995/PadhangmBulanNetDok)