Saya jadi teringat sebuah diskusi serius di Yogyakarta beberapa waktu yang lalu. Soal-soal politik, pembangunan, kebudayaan, sistem-sistem rekayasa kesejarahan, serta berbagai hal 'maha' besar lainnya - diringkas dalam suatu kecamuk perbincangan yang penuh semangat, penuh protes dan intelectual acrobat maupun political erection. Serta kemudian rasa letih.
Segala sesuatunya bermuara pada kesimpulan yang pe-nuh keyakinan bahwa sistem yang mengatur segala sesuatu di negeri ini musti dirombak. Kesimpulan itu akhimya diburnbui dengan semacam fatwa kepada masyarakat umum yang dianggap suka berpikir irrasional
dan bersikap konservatif dalam banyak hal. Fatwa itu sederhana namun mendasar. Yakni, "Saudara-saudara! Ingin saga tegaskan bahwa yang disebut nasib itu sesungguhnya tidak ada. Yang ada ialah sistem, yang merancang dan mengatur jalannya roda kehidupan,
yang membikin tetangga Anda naik mobil dan Anda sendiri naik bus kota ...."
Forum lantas menggeremang bagaikan tawon modal (lebah yang tengah keluar dari sarangnya). Para tawon pulang ke rumah masing-masing membawa keremangannya masing-masing.
Sudah tentu : "sistem harus dirombak" adalah sesuatu hal dan "nasib itu tak ada" adalah sesuatu hal yang lain.
Seseorang bersikap santai :Terserah nasib itu ada atau tak ada, yang penting sistem harus dirombak.
Yang lain keberatan : kepercayaan masyarakat bahwa nasib itu ada merupakan faktor tidak kecil yang menjadi kendala bagi proses-proses ke arah perombakan sistem.
Ada yang menamhahkan : sikap terhadap ada tidaknya nasib itu sangat mendasar bukan karena menghambat atau mendorong proses perombakan sistem, melainkan karena akan menentukan arah dan model dad sistem yang kelak dikandidatkan untuk mengganti yang
sekarang berlaku.
Namun di antara semua itu ada satu hal yang klise : tak pernah dicari orang jawabannya tentang bagairnana sebaiknya perombakan itu dimulai, apa skala prioritasnya, bagian-bagian mana dari tubuh sejarah yang pertama musti digoyang, bagaimana proses politiknya, apa mungkin dilakukan rintisan garis-balik sosial ekonomi untuk menempuh hal itu sebelum sistem globalnya dibikin ambrol sedemikian rupa. Juga tidak seorangpun merasa bertanggungjawab menjawab siapa saja yang musti memulai, apa yang harus diberikan dan dilepaskan oleh manusia ini kelompok sosial itu ; atau juga dalam mengarsiteki suatu gelombang baru, apa saja yang wajib, apa yang sunnah, yang mubah, yang makruh dan yang haram. Dan akhimya kepada siapa atau apa terletak kunci tanggungjawab utama suatu usaha perubahan. Soalnya : setiap orang menyalahkan orang lain dan menganjurkan orang lain.
Jadi mengapa masalah-masalah ini relevan terhadap soal tuyul atau spiritual?
Karena tidak jelasnya letak kunci tanggungjawab itu mencerminkan kebiasaan kita bahwa dalam membicarakan perubahan-perubahan keadaan : kita kurang mempersoalkan tanggungjawab manusia. Kurang memperdulikan moral individual atau kelompok kecuali kita sebut-sebut sebagai akibat dari mekanisme sistem. Kurang memperhatikan, bahkan kurang mempercayai bahwa hakekat manusia pada mulanya adalah subyek dari moralitas sendiri.
Dengan kata lain kita tidak mengandalkan kualitas manusia. Mentalitas manusia. Spiritual manusia.
Saya kira pada titik inilah Islam tidak bisa tidak beranjak lebih kreatif dari 'sekedar' pandangan-pandangan yang melihat manusia tak lebih sebagai 'kambing-kambing gembalaan sistem pengendali sejarah'. Tentu saja ada beribu-ribu bukti nyata betapa manusia dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan sistemik yang mengatasinya. Tetapi manusia yang ta fa kka ruu 'anil khalq - demi kian Islam setahu saya mengajarkan - tidak bakalan memberontak terhadap kendali-kendali itu untuk menyerahkan din kepada ideal-ideal lain, yang tampak manis, tapi juga telah bersiap dengan kendali-kendali baru serta dengan ketidakpercayaan terhadap hakekat manusia.
(bersambung)=====>>>>
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad - Islam Menyongsong Masa Depan"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)
Emas dan Tanah
6 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar