Jumat, 03 Juli 2009

Sepak Bola Tekno-Birokratik

Sepakbola, sebagai olahraga utama rakyat Indonesia, tergolong komponen garda depan pembangunan yang – mestinya – merupakan pelopor globalisasi. Saya tidak main-main. Sepakbola melibatkan uang milyaran rupiah, jutaan konsumen, fasilitas teknologi tinggi, halaman-halaman khusus media massa, lapangan kerja, pola kreasi dan rekreasi khas masyarakat industrial, bahkan inherent dengan faktor-faktor industrial lainnya seperti transportasi stage and lighting system, dokter dan psikolog, hizib para kiai, jopa-japi para dukun, dan seribu satu faktor lagi yang tidak bisa disebut satu per satu.

Kalau anda bicara globalisasi berarti memperbincangkan peralihan budaya masyarakat dari pola budaya tradisional–agraris menuju pola modern–industrial. Itulah substansi utama globalisasi. Apakah anda menemukan perbedaan antara sepakbola agraris dengan sepakbola industrial?
Kita selalu menyebut bahwa sepakbola adalah olahraga rakyat. Itu artinya bahwa sepakbola adalah bagian integral dari kebudayaan masyarakat. Dalam sepakbola tradisional–agraris, para pemain mengandalkan bakat alam, intuisi, instink dalam dimensinya yang paling natural. Cara pengelolaan persepakbolaan juga lebih berupa paguyuban, kurang mengenal managemen keorganisasian modern–profesional, tak ada division of labour yang ketat, belum bussiness oriented. Target-target persepakbolaannya juga tidak nomer satu prestasi, melainkan fungsi partisipatorisnya dalam kehidupan masyarakat: persahabatan, keakraban, meskipun terkadang diungkapkan dalam bentuk tawuran.
Kita sebut saja ia sepakbola cultural. Seolah-olah “kesenian hidup” yang diasyiki seperti ludruk, ketoprak, terbangan, hadrah, dan – pada sebagian masyarakat – juga teplek dan dadu.

Kemudian Anda tidak bisa mempertahankan pola itu ketika secara serentak kita bersepakat untuk berangkat modern. Tatanan masyarakat telah berubah. Perhatian manusia juga lebih ekonomistik. Ketrampilan kaki seorang pemain bola adalah faktor produtif dan dunia sepakbola itu sendiri adalah pasar dan lahan konglomerasi. Jutaan pecandu sepakbola harus juga menyadari – dan membeli tiket – bahwa sepakbola itu posisi industrialnya paralel dengan musik rock dan dangdut atau bentuk showbiz yang lain.
Dengan kata lain, pada masyarakat tradisional–agraris substansi persepakbolaan adalah nilai budaya. Sedangkan pada masyarakat modern–industrial substansinya adalah nilai ekonomi.
Akan tetapi masyarakat kontemporer Indonesia adalah masyarakat transisional. Masyarakat yang sedang beralih: sebelah kakinya mulai berpijak di “masa kini” sementara kakinya yang lain masih mengasyiki “masa silam”. Dan berhubung proses transformasi persepakbolaan kita tampaknya tidak sungguh-sungguh disadari, maka konsep berpijaknya juga masih rancu. Overlap disana-sini.
Modernisasi dan profesionalisasi sepakbola Indonesia tidak sejak semula diberangkatkan dari konsepsi yang ilmiah dan matang. Itu menyangkut faktor internal dari kegamangan ilmu persepakbolaannya itu sendiri, managemen dan organisasi globalnya, sampai puritanisme dan ketertutupan kita dari – misalnya – tansfer pemain asing. Itu, sebenarnya, tindakan anti-globalisasi.
Juga faktor eksternalnya. Anda tahu Galatama, pola persepakbolaan profesional-industrial sudah lama berlangsung. Tetapi secara kualitatif ia tak mampu menunjukkan kelebihan kualitatifnya dibanding perserikatan. Bukankah perserikatan sesungguhnya puncak bentuk dari sepakbola paguyuban atau sepakbola kultural, yang sangat mengandalkan primordialisme kedaerahan? Bahkan kita mengalami bersama bahwa landasan eksistensi klub-klub Galatama masih juga berkutat pada unsur emosi kultural. ‘Mobilisasi massa’ yang dilakukan untuk mendukung klub Galatama selama ini masih sangat mengandalkan faktor-faktor primordialisme yang sebenarnya bukan merupakan ciri-ciri mekanisme industrial.
Coba anda potret lebih close-up: industrialisasi di Indonesia secara resmi digerakkan oleh kekuatan-kekuatan politik negara. Kepemimpinan kultural yang terdapat pada masyarakat tradisional digantikan oleh kepemimpinan institusional dan birokratik. Faktor “negara” ini menggenggam dan merasuk ke dalam hampir seluruh urusan masyarakat, termasuk sepakbola. Indikator utamanya: pimpinan tertinggi organisasi olahraga adalah para menteri atau setidaknya tokoh dari lingkaran birokrasi.
Indikator lainnya terdapat pada makin merambahnya gejala deswastanisasi atau dekulturalisasi mekanisme berolahraga. Olahraga mungkin masih ‘milik masyarakat’, tapi sudah sangat diurus oleh kepentingan ekonomi dan oleh tangan birokrasi. Sekarang ini mungkin Anda tidak gampang lagi menyelenggarakan kompetisi sepakbola antar-dusun: panitia Anda harus anggota PSSI, harus minta ijin aparat keamanan, harus ini harus itu.
Kultur sepakbola pada kehidupan rakyat makin menipis karena dua hal. Pertama, rakyat makin terserap oleh hiburan yang diproduk oleh ‘pusat-pusat globalisasi’. Kedua, setiap aktivitas rakyat, juga sepakbola, didekati oleh birokrasi dengan security approach, pendekatan keamanan. Sepakbola kita, dalam kehidupan rakyat umum, berjalan hanya sejauh memenuhi konsep tekno-birokratik.

Dengan kata lain sepakbola makin tidak lagi merupakan olahraga rakyat. Di desa saya anak-nak muda hampir sama sekali berhenti mempergaulkan sepakbola dengan desa-desa lain karena kesulitan birokratis. Tidak bisa lagi dengan santai mengundang teman-teman dari desa lain untuk memperebutkan kambing cup, karena jika terpeleset ke lorong birokrasi bisa membuat kita tiba-tiba dapat gelar ‘merongrong keamanan’.
Apalagi Jombang, daerah saya, dewasa ini tampaknya dianggap bukan lahan bibit sepakbola yang subur, melainkan tenis. Lapangan tenis dibangun di banyak tempat. Stadion sepakbola kabupatenpun kini dibagi dua sehingga fungsinya untuk sepakbola berkurang. “Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat”, untuk Jombang, agaknya diaksentuasikan ke cabang tenis – entah ada hubungannya dengan sukses Yayuk Basuki atau tidak. Kami di desa-desa sedang menunggu keputusan Pak Bupati untuk mendirikan lapangan tenis di setiap desa. Tenis, untuk Jombang, sudah dan akan tidak merupakan olahraga mahal: semua rakyat bisa menikmatinya. Jadi kalau untuk sepakbola, kami dari Jombang mohon maaf tidak merintis infra-struktur teknokratis untuk menyumbangkan pemain-pemain nasional yang andal.

Sebenarnya di negara-negara industri maju seperti Jerman dan Belandapun sepakbola bukan lagi olahraga rakyat. Sepakbola adalah urusan sejumlah pekerja bola yang menjalankan urusan sepakbola dalam konteks profesional: ia sebuah perusahaan. Hanya saja bedanya, pengolahan sepakbolanya ilmiah dan profesionalisme mereka prima, sementara yang kita jalani masih tanggung. Kepemimpinan nasional sepakbola kita seringkali masih belum berpikir modern, ilmiah, obyektif dan dengan sasaran-sasaran profesional-industrial yang akurat. Mereka bahkan masih kental dengan kecenderungan ‘kulturalistik’ dan agraris.

Pada tingkat lokal, regional dan apalagi nasional, sungguh kita memerlukan perundingan menyeluruh tentang rasionalisasi dunia persepakbolaan. Kita butuh menterjemahkan konteks globalisasi, pengilmiahan, industrialisasi dan profesionalisasi sepakbola. Kita sudah terlanjur meninggalkan fase ‘sepakbola kultural’. Kalau tak kita capai fase ‘sepakbola industrial’ secara ilmiah dan mendasar, mungkin keadaan kita akan seperti ‘melepas ayam di tangan, tak tergapai burung di angkasa’.****

(Emha Ainun Nadjib/2004/PadhangmbulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar