Senin, 26 Oktober 2009

Tarekat Terjun Bebas dan Jamu Air Gamping

Waktu yang diminta oleh Saridin untuk mempersiapkan diri telah dipenuhi. Dan kini ia harus membuktikan diri. Semua santri, tentu saja juga Sunan Kudus, berkumpul di halaman masjid.
Dalam hati para santri sebenarnya Saridin setengah diremehkan. Tapi setengah yang lain memendam kekhawatiran dan rasa penasaran jangan-jangan Saridin ternyata memang hebat.
Sebenarnya soalnya di sekitar suara, kefasihan dan kemampuan berlagu. Kaum santri berlomba-lomba melaksankan anjuran Allah Zayyinul Qur’ana bi ashwatikum---hiasilah quran dengan suaramu. Membaca syahadat pun mestiseindah mungkin.
Di pesantren Sunan Kudus hal ini termasuk diprioritaskan. Soalnya, ini manusia Jawa Tengah : lidah mereka Jawa medhok dan susah di bongkar. Kalau orang Jawa timur lebih luwes. Terutama orang Madura atau Bugis, kalau menyesuaikan diri dengan Qur’an, lidah mereka lincah banget.
Lha, siapa tahu Saridin ini malah melagukan syahadat dengan laras slendro atau pelog jawa.
Tapi semuanya kemudian ternyata berlangsung di luar dugaan semua yang hadir, Tentu saja kecuali Sunan Kudus, yang menyaksikan semua kejadian dengan senyum-senyum ditahan.
Ketika tiba saatnya Saridin harus menjalani tes baca syahadat, ia berdiri tegap. Berkonsentrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. Matanya menatap ke depan. Ia menarik nafas sangat panjang beberapa kali. Bibirnya umik-umik [komat-kamit] entah membaca aji-aji apa, atau itu mungkin latihan terakhir baca syahadat.
Kemudian semua santri terhenyak. Saridin melepas kedua tangannya. Mendadak ia berlari kencang. Menuju salah satu pohon kelapa, dan dipilih yang paling tinggi. Ia meloncat. Memanjat keatas dengan cepat, dengan kedua tangan dan kedua kakinya, tanpa perut atau dadanya menyentuh batang kelapa.
Para santri masih terkesima sampai ketika akhirnya Saridin tiba di bawah blarak-blarak [daun-daun kelapa kering] di puncak batang kelapa. Ia menyibak lebih naik lagi. Melewati gerumbulan bebuahan. Ia terus naik dan menginjakkan kaki ke tempat teratas. Kemudian tak disangka-sangka Saridin berteriakdan melompat tinggi melampaui pucuk kelapa , kemudian badannya terjatuh sangat cepat ke bumi.
Semua yang hadir berteriak. Banyak diantara mereka yang memalingkan muka, atau setidaknya menutupi wajah mereka dengan kedua telapak tangan.
Badan Saridin menimpa bumi. Ia terkapar. Tapi anehnya tidak ada bunyi gemuruduk sebagai seharusnya benda padat sebesar itu menimpa tanah. Sebagian santri spontan berlari menghampiri badan Saridin yang tergeletak. Mencoba menolongnya. Tapi ternyata itu tidak perlu.
Saridin membuka matanya. Wajahnya tetap kosong seperti tidak apa-apa. Dan akhirnya ia bangkit berdiri. Berjalan pelan-pelan ke arah Sunan Kudus. Membungkuk di hadapan beliau. Tak lazim mengucapkan sami’na wa atha’na---aku telah mendengarkan, dan aku telah mematuhi.
Gemparlah seluruh pesantren. Bahkan para penduduk disekitar datang berduyun-duyun. Berkumpul dalam ketidakmengertian dan kekaguman. Mereka saling bertanya dan bergumam satu sama lain, namun tidak menghasilkan pengertian apapun.
Akhirnya Sunan Kudus masuk masjid dan mengumpulkan seluruh santri, termasuk para penduduk yang datang, untuk berkumpul. Saridin didudukan di sisi Sunan. Saridin tidak menunjukkan gelagat apa-apa. Ia datar-datar aja.
“Apakah sukar bagi kalian memahami hal ini?” Sunan Kudus membuka pembicaraan sambil tetap tersenyum. “Saridin telah bersyahadat. Ia bukan membaca syahadat, melainkan bersyahadat. Kalau membaca syahadat, bisa dilakukan oleh bayi umur satu setengah tahun. Tapi bersyahadat hanya bisa dilakukan oleh manusia dewasa yang matang dan siap menjdai pejuang dari nilai-nilai yang diikrarkannya.”
Para santri mulai sedikit ngeh, tapi belum sadar benar.
“Membaca syahadat adalah mengatur dan mengendalikan lidah untuk mengeluarkan suara dan sejumlah kata-kata. Bersyahadat adalah keberanian membuktikan bahwa ia benar-benar meyakini apa yang disyahadatkan. Dan Saridin memilih salah satu jenis keberanian untuk mati demi menunjukkan keyakinannya, yaitu menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa.”
Di hadapan para santri, Sunan Kudus kemudian mewawancarai Saridin: “Katamu tidak takut badanmu hancur, sakit parah atau mati karena perbuatanmu itu?”
“Takut sekali, Sunan.”
“Kenapa kamu melakukannya?”
“Karena syahadat adalah mempersembahkan seluruh diri dan hidupku.”
“Kamu tidak menggunkan otakmu bahwa dengan menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa itu kamu bisa cacat atau meninggal?”
“Aku tahu persis itu, Sunan.”
“Kenapa kau langgar akal sehatmu?”
“Karena aku patuh kepada akal sehat yang lebih tinggi. Yakni bahwa aku mati atau tetap hidup itu semata-mata karena Allah menghendaki demikian, bukan karena aku jatuh dari pohon kelapa atau karena aku sedang tidur. Kalau Allah menghendaki aku mati, sekarang inipun tanpa sebab apa-apa yang nalar, aku bisa mendadak mati.”
“Bagaimana kalau sekarang aku beri kau minum jamu air gamping yang panas dan membakar tenggorokan dan perutmu?”
“Aku akan meminumnya demi kepatuhanku kepada guru yang aku percaya. Tapi kalau kemudian aku mati, itu bukan karena air gamping, melainkan karena Allah memang menghendaki aku mati.”
Sunan Kudus melanjutkan: Bagaimana kalau aku mengatakan bahwa tindakan yang kau pilih itu memang tidak membahayakan dirimu, insya Allah, tetapi bisa membahayakan orang lain?”
“Maksud Sunan?”
“Bagaimana kalau karena kagum kepadamu lantas kelak banyak santri menirumu dengan melakukan tarekat terjun bebas semacam yang kau lakukan?”
Kalau itu terjadi, yang membahaya-kan bukanlah aku, Sunan, melainkan kebodohan para peniru itu sendiri, “jawab Saridin, “setiap manusia memiliki latar belakang, sejarah, kondisi, situasi, irama dan metabolismenya sendiri-sendiri. Maka Tuhan melarang taqlid, peniruan yang buta. Setiap orang harus mandiri untuk memperhitungkan kalkulasi antara kondisi badannya dengan mentalnnya, dengan keyakinannya, dengan tempat ia berpijak, serta berbagai kemungkinan sunnatullah atau hukum alam permanen. Kadal jangan meniru kodok, gajah jangan memperkembangkan diri seperti ular, dan ikan tak usah ikut balapan kuda.”
“Orang memang tak akan menyebut-mu kadal, kuda atau kodok, melainkan bunglon. Apa katamu?”
“Kalau syarat untuk terhindar dari mati atau kelaparan bagi mereka adalah dengan menyebutku bunglon, aku mengikhlaskannya. Bahkan kalau Allah memang memerintahkanku agar menjadi bunglon, aku rela. Sebab diriku bukanlah bunglon, diriku adalah kepatuhanku kepada-Nya.
(Emha Ainun Nadjib/"Folklore Madura"/Progress/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar