Selasa, 01 Desember 2009

OPLET BUNTUNG, THE HERO

Untuk mencapai dusun itu kita musti naik oplet dari Balerejo ke Kaliangkrik.
Dan oplet itu, alangkah indahnya! Buntung, buruk, coreng-moreng, tanpa nomer, menggeram sepanjang jalan-jalan rnendaki yang curam dan memanjang. Orang bertumpuk berjejal bahkan berkeleweren di ekornya. Ibu-ibu bakul, Bapak-bapak, anak-anak, orang-orang perkasa yang bekerja amat keras dan punya nyali besar untuk menghadapi kesengsaraan hidup.
Alangkah besar jasa oplet buntung ini. Itu rahmat yang bukan main besar dan megah dibanding teknologi transportasi di zaman Majapahit atau Mataram. Dan itu amat membantu kemudahan hidup mereka.
Kemudian baru kita naik ojek, untuk menaki jalanan berbatu-batu yang Iebih curam lagi dan berkelok-kelok.
Pembangunan amat sukar untuk mampir di daerah-daarah seperti itu, kecuali bila di dusun-dusun itu terdapat sumber tambang emas. Yang amat gampang dijumpai adalah pembangunan: Dua anak cukup, B3B, bebas tiga buta, tertulis di pintu-pintu rumah.
Tetapi ada satu dua hal yang insya Allah membuat Anda bersyukur. Manusia-manusia di sini masih amat manusia dibanding manusia manusia kota modern yang terkadang menjadi mesin, terkadang menjadi binatang dan terkadang menjadi setan. Air muka mereka, hubungan sosial mereka, cara mereka menyapa dan memperlakukan kita: semuanya menunjukkan bahwa mereka amat dekat dengan kita sebagai marusia dan sungguh-sungguh merupakan manusia yang memperlakukan kita sebagai manusia,
Dengan siapa saja Anda ketemu, orang-orang tua, para pemuda maupun anak-anak kecil, selalu menyapa kita dengan dakwah yang mulia: "Pinarak! Pinarak! Saestu pinarak!" -- dan begitu Anda rnemasuki rumah, apa pun saja yang mampu mereka suguhkan pasti mereka suguhkan.
Di desa seperti itu tidak mungkin ada gelandangan. Kalau Anda inendapat kesulitan, semua orang yang mengetahui akan terlibat mengusahakan pertolongan untuk Anda.
Tapi kita sudah telanjur berpendapat bahwa mereka itu golongan manusia yang terbelakang. Under developed. Karena mereka tidak produktif seperti mesin, tidak haus dan kejam seperti binatang, dan tidak licik seperti setan.
(Emha Ainun Nadjib/"Secangkir Kopi Jon Pakir"/Mizan/1996/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar