Rabu, 30 Desember 2009

Teokrasi Islam Sebagai Persoalan Ilmu dan Sebagai Persoalan Politik

Pemikiran tentang pemisahan antara Negara dengan Agama selalu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana menentukan batas-batas otoritas antara keduanya, serta bagaimana memproporsikan kontekstualitasnya balk pada level kehidupan pribadi dan budaya masyarakat, maupun pada level institusi dan birokrasi di mana muatan nilai-nilai itu dilegalisasikan.
Pada kenyataan kesejarahannya, setidaknya di Indonesia, kabumya konsepsi tentang batas-batas tersebut, cepat atau lambat potensial untuk menjadi kontroversi, bias, atau bahkan konflik yang sama sekali tidak bisa dianggap tidak serius. Sejauh ini, dalam realitas kenegaraan dan kemasyarakatan, kekaburan itu telah "menginventariskan" ketumpang-tindihan batas otoritas, bahkan keberlebihan klaim otoritas Negara di satu pihak dan semacam keagamaan pihak Agama di lain pihak.
Ketika KH Abdurahman Wahid melontarkan hasil persepsinya bahwa "di dalam Islam tidak ada konsep negara", pertanyaan keilmuannya adalah: Bagaimana memahami pernyataan itu dalam kerangka konsep Islam mengenai politik yang memuat fenomena seperti khilafah, daulah, juga formula-formula seperti qaryah, thayyibah atau baldah thayyibah.
Adapun pertanyaan politiknya adalah: Mengapa dari input "dalam Islam tidak ada konsep tentang negara", output yang diambil oleh Gus Dur adalah "maka kita tidak akan nendirikan negara Islam", dan bukan misalnya "maka kenapa kita menerima dan hidup dalam Negara", atau "maka pada saatnya nanti kita akan menolak Negara".
Apakah penyelenggaraan Negara Islam seperti di Iran atau yang sekarang sedang "ditawar-menawarkan" secara berdarah oleh Aijazair ("Teokrasi Islam, Republic of Allah, Kingdom of God") berada pada level (merupakan) ajaran langsung) Islam itu sendiri ataukah terletak pada tataran pemahaman, tafsir/interpretasi atas ajaran Islam. Apakah formula Negara Islam merupakan keniscayaan nilai Islam itu sendiri, ataukah merupakan salah satu kemungkinan hasil ijtihad, di sisi lain kemungkinan-kemungkinan yang telah termanifestasikan dalam sejarah maupun yang masih sebagai gagasan..
Dengan kata lain, segala realitas penyelenggaraan Negara Islam, apakah pertanggungjawabannya terletak pada Islam itu sendiri, ataukah pada penafsir, mujtahid atau interpretatornya.

(bersambung)======>>>

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 /PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar