Kamis, 28 Mei 2009

Kang Karto dan Daeng Kahar

Bagaimana seandainya tanggal 19 Mei 1998 pagi itu Jakarta menjadi jamur api raksasa? Umpamanya di 16 pom bensin di titik-titik strategis Jakarta dipasangi bom yang akan diledakkan atau tidak tergantung kepada gejala perilaku Pak Harto di Istana, yang sedang berunding dengan sembilan orang, antara lain Nurkhalis Madjid, Yusril, Gus Dur dan tokoh-tokoh lain yang diminta Pak Harto untuk hadir atas kesepakatan dengan Cak Nur.
Bagaimana kalau berbagai titik tertentu pada posisi jalan tol juga sudah dipasangi bom. Belum lagi umpamanya gedung Graha Purna Yudha yang peletakan bomnya diperhitungkan sedemikian rupa sehingga begitu ia roboh maka jalan Gatot Subroto akan terpotong dan mungkin gedung Polda Metro Jaya tertimpa. Bagaimana kalau umpamanya sekitar 6 kg supersalatin dijadikan bahan dasar untuk penyebaran sumber api dan ledakan itu, umpamanya?
Seandainya pagi hari 19 Mei 1998 pukul 10.00 pagi itu terjadi komposisi ledakan di Jakarta, tentu kasihan banyak orang yang menjadi korban, semua simpul kekuatan ibukota - politik, ekonomi, apa saja - menjadi lumpuh. Dan satu-satunya yang memiliki kekuatan dan maintenance untuk berkuasa adalah organisasi tentara.
Mungkin hari ini Republik Indonesia tidak berwajah seperti yang sekarang kita alami bersama. Reformasi pasti gagal dan kita tentu tidak bisa sebahagia seperti ketika alhamduluillah kita lantas dipresideni oleh Habibie, tidak bisa senikmat ketika dipresideni oleh Gus Dur, serta tidak semakmur dan seadil sebagaimana ketika sekarang kita dipresideni oleh Mbak Mega.
Saking senangnya saya pada kepemimpinan reformasi ini sehingga seandainya dulu saya dimintai oleh Gus Dur duit 6 trulyun dann sekarang oleh Mbak Mega uang sebesar 30 trilyunpun - untuk memungkinkan beliau tetap berkuasa - tentu saya akan usahakan meskipun pasti saya tidak mampu.

***
Kita kembali ke 19 Mei 1998. Jendral Hartono sekilas ikut menemui sembilan orang itu. Wiranto berwajah sangat tegang. Prabowo mondar-mandir tak menentu - menurut saya - tapi mungkin san gat tertentu menurut Prabowo sendiri.
Bagi siapapun dan bagi pihak manapun, sipil atau militer - tidak jelas apa yang mungkin terjadi sesudah pertemuan Pak Harto untuk merundingkan kelengserannya itu. Apakah akan ada ledakan lagi seperti tanggl 12, 13, 14 dan 15 Mei sebelumnya? Kekuasaan Pak Harto itu mutlak dan tidak seorangpun manusia Indonesia, termasuk jendral-jendral, yang waktu itu sanggup memikirkan atau membayangkan bahwa Indonesia ini akan berlangsung kehidupannya tanpa Pak Harto.
Jadi tema lengsernya Suharto adalah awan gelap, shock sangat berat bagi semua yang ikut berkuasa. Dan seandainya Anda adalah Panglima Angkatan Bersenjata, Anda harus berpikir keras untuk mengantisipasi segala kemungkinan. Bukan hanya memikirkan, tapi juga saat juga mewujudkan. Negara tidak boleh ada vacuum kepemimpinan satu detikpun. Lyndon B. Johnson dilantik di pesawat hanya beberapa menit sesudah John F Kennedy ditembak. Maka apapun yang terjadi dengan Pak Hartro pagi itu, Anda sebagai senopati kekuatan militer negara - harus menyiapkan segala sesuatunya untuk memastikan kekuasaan negara tetap tergenggam di tangan. Atau kalau organisasi militer Anda terpecah menjadi faksi-faksi, makna semua kelompok itu mau tidak mau pasti juga menyiapkan hal yang sama meski dalam bentukm yang berbeda.
Bagaimana seandainya berpuluh kamera sudah siap menyorot segala sudut tempat yang dipakai pertemuan Pak Harto dengan 9 orang serta sekitarnya. Bagaimana seandainya pandangan seluruh kamera itu dimonitor dari dalam sebuah Tank, yang misalnya di dalamnya ada seorang perwira komando dan seorang operator yang memegang remooth sebaran bom-bom yan saya sebut di atas.
Bagaimana seandainya perwira komando itu terus berkoordinasi dengan pimpinan yang juga ada di Istana untuk siap kapan saja meledakkan bom atau membatalkan ledakan. Kalau Pak Harto mengalami ketegangan psikologis karena dituntut turun dari kursi kepresidenannya sehingga beliau gagap atau membisu, kalau lebih dari dua menit kegagapan atau kebisuan itu berlangsung - dan itu be rarti otoritas puncak kekuasaan negara menjadi relatif dan bias disambar oleh kekuatan-kekuatan tertentu - maka remooth harus segera dipencet untuk menjamur-apikan Jakarta terutama wilayah yang mengelilingi Istana.
Kalau Pak Harto pingsan, tentu remote harus lebih cepat lagi dipencet. Apalagi kalau Pak Harto sendiri mengindikasikan perintah atau kode untuk meledakkan・Bagaimana seandainya itu semua benar-benar terjadi? Atau kapan-kapan dibikin benar-benar terjadi?
Siapa tidak tegang. Jangan-jangan Pak Harto ngamuk dalam pertemuan itu. Cak Nur dan teman-teman sudah merundingkan dengan Pak Amin Rais dan sepakat Pak Amin tidak ikut menemui Pak Harto. Sebab Pak Amin hebat dan sering tegas keras, ibarat macan yang sakti. Kalau macan sakti menemui Pak Harto, dikawatirkan Pak Harto yang mulai jadi manusia itu malah berubah menjadi macannya macan.
Tapi ternyata pertemuan Pak Harto dengan 9 orang itu tidak ada tegang-tegangnya sama sekali. Makin lama makin cair, penuh senyum dan akhirnya bahkan penuh gelak tawa・.Seandainya Anda adalah perwira komando atau operator bom yang dari dalam monitor tank menyaksikan situasi rileks di istana itu - pasti Anda jengkel dan sekaligus gembira. Jengkel karena situasi siaga puncak ternyata dihapus oleh gelak tawa. Gembira karena Jakarta tidak harus menjadi jamur api.
Ah, itu semua hanya seandainya.
Apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa reformasi 1998 itu belum terungkap secara jujur dan memang tidak ada kecenderungan dari pihak manapun untuk meneliti secara obyektif fakta-fakta yang sesungguhnya. Bahkan kaum intelektual di universitas-universitas juga tidak menunjukkan gejala bahwa mereka merasa perlu meneliti kenyataan sejarah itu.
Dulu Nambi dan Ronggolawe marah dan memisahkan diri dari kekuasaan Raden Wijaya di Majapahit karena setelah kekuasaan ditegakkan - pelaku perjuangan yang sesungguhnya justru dikhianati. Demikianlah juga lahirnya Kartosuwiryo atau Kahar Muzakkar yang naik gunung masuk hutan karena dikhianati - meskipun kita tidak sepakat pada metoda pemberontakan yang Daeng Kahar dan Kang Karto pilih.
Tapi memang 'manusiawi' kalau pejuang-pejuang sejati disingkirkan oleh teman-temannya sendiri yang di jaman penjajahan sebenarnya bersikap hipokrit. Maka reformasi sekarang sebenarnya juga sudah melahirkan Karto dan Kahar・.***
(Emha Ainun Nadjib/2002/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar