Aku melihatmu berdiri di tepi jalan raya
Tapi aku tahu sebenarnya engkau tak berdiri, engkau
adalah sehelai daun tua yang melayang-lauang
oleh hembusan angin besar
Engkau tercampak dari sudut ke sudut, dari parit
ke parit, dari kegalauan ke ketidakmenentuan
Caramu berdiri gamang, kerut merut wajahmu tak kuasa
menahan desakan-desakan jiwa tersembunyi, dan
sorot matamu memandang tak ke mana-mana selain
ke balik rahasia sajak dukamu sendiri
Dimanakah engkau bisa temukan hamparan tanah untuk
mendirikan rumah buat hati puisimu yang lunglai?
Pembangunan tak mendukung manusia, kantor dan toko-
toko tak menghendakinya, kendaran di jalanan
tak menghampirinya
Kekuasaan di tengkukmu tidak menyangga janji-janjinya
sendiri, kertas-kertas birokrasi memeras alam dan
darah berjuta saudara-saudarimu, untuk secara
sejarah menyelenggarakan bunuh diri
Aku melihatmu berdiri di tempat yang tak menghendakimu
berdiri, aku melihatmu berdiri di tempat yang
akan mengusirmu pergi
Aku melihatmu berdiri di tepi jalan raya, tetapi siapakah
engkau dan apakah jalan raya, lajur-
lajur, highway, derap pembangunan, mobilitas,
dan gegap gempita?
Adakah trotoar buat manusia, angkring kakilima untuk
puisi dan suara jiwa yang sejati?
Sajakmu tak kunjung lahir, sebab penggusuran kemanusiaan
tidaklah ke pulau seberang, melainkah jauh
ke ruang hampa batin rakyat yang kebingungan
18 Mei 1991
(Emha Ainun Najib/1991/PadhangmBulaNetDok)
Emas dan Tanah
6 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar