Jumat, 29 Januari 2010

Syair Mahasiswa Menjambret

Sebab tergoda oleh betapa seru berita di koran serta oleh pengujian para tetangga, bertanyalah aku kepada penyairku, “Akir-akhir ini orang makin ribut tentang pelajaran dan mahasiswa kriminal. Aku bertanya benarkah puisimu tak membutuhkan tema semacam itu, atau tidakkah soal-soal seperti itu memerlukan puisi?”

“Aku tak paham apa yang aneh”, berkata penyairku, “Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret, kalau pelajar sudah berani mencuri odol, dan sikat gigi, kalau para calon pemimpin bangsa telah memiliki nyali untuk mencopet jam tangan dan mengutil sepatu: tak kumengerti apa yang perlu diherankan?”

Bukan. Bukan soal heran dan tak heran. Kami orang-orang awam terlalu sering dikagetkan oleh perkawinan antara dua hal yang semestinya jangan pernah bersentuhan.
Antara dunia penjambretan dengan dunia dunia keterpelajaran terbentang jarak yang bukan saja amat jauh, tapi juga bersungguh-sungguh. Kalau ada dua nilai yang saling bertentangan, namun berhasil dikawinkan secara damai oleh sejarah dan perilaku manusia: hanya penyair tuli yang tak tergoda untuk menuangkannya.

“Demi apa sehingga engkau menganjurkan puisi bergaul dengan hal-hal picisan?”, penyairku tertawa, “Para kaum terpelajar yang baru belajar menapakkan kaki, yang keterampilannya tanggung ? menggeledah tas teman kostnya, melarikan motor tetangganya, merencanakan penodongan,
perampokan, pembunuhan ? belum pantas dipuisikan.
Dunia kepenyairan tidak sedemikian rendah derajatnya.

Jagat kesenian memerlukan soal-soal besar, umpamanya kesepian hati atau kembang dan kupu-kupu di pagi hari.
Tapi baiklah. Kalau kaum terpelajar bersedia tak sedemikian tergesa-gesa. Kalau para pioneer sejarah
sanggup menahan emosi dan sedikit bersabar. Kalau para pemilik utama masa depan mau belajar baik-baik dan tunggu momentum yang tepat untuk kelak menjadi penjambret yang canggih tersenbunyi, tanpa orang tahu bahwa mereka adalah penjambret ? puisiku masih akan membukakan
pintunya untuk suatu tawar-menawar.”

Apa yang sesungguhnya hendak engkau ucapkan, penyairku?
Penyair amat berbakat merusak kehidupan karena begitu gampang menemukan kata-kata, bahkan pun untuk keadaan yang samar-samar baginya.

Malah mengeras tertawanya, “Samar-samar, katamu?”, ia mendongak, “Kalau mahasiswa mulai sanggup bertindak kriminal, apakah ia diajari oleh dirinya sendiri?
Ataukah ia dituntun oleh para pejambret yang mampu Melakukan penjambretan sedemikain rupa sehingga beribu-ribu orang tak merasa bahwa isi kantong kehidupan mereka terus dijambret dari hari ke hari?”

Kupikir itu bukan hanya sombong dan tergesa-gesa. Namun juga berangkat dari sangka buruk. Adakah kemampuan yang dahsyat dalam memotret sesuatu yang dimiliki penyair membuatnya tak membiasakan diri untuk bersabar, menyaring atau mengendapkan?

“Dengarlah”, ia mendongak lebih tinggi, “Kalau para kaum terpelajar mulai belajar mengerjakan kejahatan-kejahatan yang wantah, adakah engkau menyangka Tuhan memang mentakdirkan mereka demikian? Ataukah itu hasil godogan dari tata hubungan kehidupan yang menyediakan amat banyak lintah-lintah?
Dengarlah air mengalir tidak tiba-tiba sampai di muara.
Dan jika matamu memandang awan berarak, hendaklah engkau tatap juga samudera yang menghampar dan panas matahari yang memanggangnya. Mendung tidaklah mengepulkan dirinya sendiri dan kemudian hadir menyaput hari-harimu sebagai hantu yang tanpa asal-usul?”

“Kalau mahasiswa mulai sanggup menjambret di muka orang banyak,” ia tak memberiku kesempatan untuk menang-gapi, “Siapakah gurunya? Tangan siapakah yang melontarkan mata tombak kejahatan? Petani manakah yang menanamkan benihnya dan merabuki kesuburan tetumbuhan-nya? Kalau kaum terpelajar mulai sanggup melakukan tingkat kejahatan yang paling dangkal dan remeh,
Apakah karena mereka memang orang jahat?”

“Kebaikan dan keluhuran tidak diterjemahkan ke dalam buku-buku pelajaran. Gedung-gedun sekolah menyediakan laboratorium bagi anak-anak untuk menjadi pandai, dan tidak terutama untuk menjadi baik.
Mendaftarlah ke antrian kesempatan sekolah, tinggalkan anak-anak lain yang tolol dan tak punya biaya. Reguklah Tujuh samudera pengetahuan. Tapi untuk soal-soal bagaimana membangun kebajikan, sepenuhnya diserahkan kepadamu masing-masing ? apakah akan mencarinya di
balik tikar-tikar kumuh robek rumah-rumah ibadah, atau di pinggiran kaki lima-kaki lima kehidupan?”

“Kalau anakmu berangkat sekolah di pagi hari, mulutnya menganga untuk disuapi pengetahuan tentang kepandaian dan kemenangan, bukan kebijakan dan kebersamaan.
Anak-anakmu diajari berlari maju, melampaui dan meninggalkan anak-anak lain yang bersemayam di kesempitan-kesempitan hidup.
Anak-anakmu diajari untuk terampil memanjat melewati pundak teman-teman bermain mereka, beribu-ribu, berjuta-juta teman bermain mereka yang perjalanan hidupnya tercengkal.
Meninggalkan mereka semua yang mandeg di masa silam.
Pergi berlari, meniti daerah impian, menapaki tangga-tangga kehidupan yang lebih tinggi dan menjanjikan kemewahan.

Anak-anakmu diajari untuk mengalahkan yang lain.
Untuk melampaui dan meninggalkan sumber-sumber kesejarahan mereka sendiri, untuk meraih apa yang disebut derajat, kamukten dan kemenangan.
Anak-anakmu berbaris di halaman sekolah, berjajar di bangku-bangku kelas, punggung mereka dicambuk untuk berlatih menang ? dan jika kemenangan amat sukar diperoleh secara wajar ? sebab peluang untuk itu menjadi semakin sempit dan semakin sempit ? maka wajarlah jika mereka lantas menjegal siapa saja di sekitar mereka yang bisa dijegal: mencopet, menjambret, merampok,
di kampung, dijalanan”

“Adapun hal-hal yang menyangkut nasib orang lain, tenggang hati terhadap sesama, kesadaran utnuk meruwat keadilan dan kemuliaan ? tidak merupakan urusan utama di dalam butir-butir pelajaran dan baris-baris pengetahuan.

Adapun soal-soal yang berkenaan dengan tubuh besar kemanusiaan, keinsafan untuk nggemateni nilai dan keilahian ? hanyalah unsur pinggiran bagi pusat-pusat mimpi dan perjuangan untuk berlomba menang, kontes kemakmuran dan rekor-rekor kesejahteraan serta kemegahan”

“Anak-anakmu diajari untuk tidak mengerti apa-apa kecuali kepentingan diri sendiri. Tangan dan kaki anak-anakmu dilatih tidak untuk apa-apa kecuali untuk beringas memompa perut dan gengsinya sendiri.
Naluri anak-anak dididik untuk menindak dan memakan orang lain untuk cita-cita pribadi. Anak-anakmu dipacu untuk berpikir sebagai ego, di mana segala sesuatu di luar itu hanyalah amat bagi ego-ego.

Anak-anakmu dibikin tak paham kebersamaan. Anak-anakmu dididik untuk menjadi segumpal keasingan, tidak untuk menjadi seseorang di tengah berbagai orang.
Anak-anakmu dididik untuk menjadi pusat-pusat penghisap”

“Anak-anakmu diletakkan di dalam proses salah kaprah untuk berkembang menjadi penjambret-penjambret yang halus dan sophisticated Maka apabila ada di antara mereka yang kebelet melakukan
ketololan dengan menjambret di jalanan, itu hanyalah pertanda bahwa daerah-daerah untuk proyek penjambretan-penjambretan canggih sudah semakin menciut.
Anak-anakmu tidak terlalu siap untuk ragu-ragu terhadap kesempatan, untuk terlampau berjudi dengan hari depan yang samara-samar; sehingga hari ini juga mereka merasa harus memperoleh sesuatu, mendapatkan benda-benda, gengsi dan kenkmatan seperti yang dipunyai orang-orang lain”

“Gerbong-gerbong sekolah dengan sendirinya mengangkut mereka ke hari depan penjambretan struktural meskipun guru-guru mereka tak mengetahui hal itu.
Guru-guru mereka ? yang toh manusia sehingga tetap tersisa kemanusiaannya ? di luar paparan kurikulum, memberi nasihat bahwa penjambretan itu tidak baik. Tapi hendaklah kita catat bahwa di dalam negara dan perusahaan sekolah: penjambretan diajarkan, sedangkan kejujuran dan kebajikan hanya dianjurkan sesekali”

“Dan di manakah sejarah ini memiliki tempat bagi anak-anakmu dalam kehidupan?
Jika anak-anakmu berdiri memandang tanah menghampar, mereka membayangkan akan mendirikan rumah, garasi dan kolam renang. Jika di depan matanya tegak sebatang pohon, mereka berpikir untuk menebangnya. Anak-anakmu tidak dididik untuk menanam dan menumbuhkan, melainkan untuk
menguasai dan duduk di singgasana”

“Anak-anakmu bertengger di bawah batang timbangan yang timpang antara modal dan daya tawar menawar yang rendah dengan iming-iming hidup enak yang meneror mereka dari hari ke hari
Anak-anakmu dikepung oleh gegap gempita orang berebut kejayaan. Orang jegal-menjegal. Orang menyerimpung dan diserimpung. Anak-anakmu dikepung oleh uang dan kekuasaan yang menjadi bahasa utama dari yang mereka sangka kemajuan. Oleh pasal-pasal hokum yang diperjual belikan. Oleh ayat-ayat agama yang dijual eceran. Oleh tradisi penafsiran yang sepihak. Oleh pemaksaan yang damai, kemunafikan yang harmonis, manipulasi yang berwajah ramah, kepalsuan yang cerah dan penghisapan yang nikmat. Anak-anakmu makin tidak menemukan tempat untuk meneladani kejujuran. Anak-anakmu digiring memasuki komune tempat perzinaan missal dari sejarah yang
auratnya telanjang tapi wajahnya bertopeng”

Kutinggalkan penyairku. Tampaknya aku mulai memahami kepenyairan bukanlah sejenis bakat di mana kata-kata amat gampang ia temukan dan pilih. Kepenyairan adalah - hampir - ketidakmampuan menemukan kata. Sebab kata lebih sanggup mengaburkan kenyataan dibanding mewakilinya.
Dan penyairku, dengan ratusan kata-katanya itu, kukira telah berbuat curang terhadap realitas.

Tapi ia justru tertawa keras dan berkepanjangan ketika melepasku pergi, “Bagaimana engkau bias menjadi sedemikian tolol untuk menyangka bahwa urusan utama para penyair adalah kata-kata? Dengan kata-kataku itu aku tidaklah berkata-kata. Ini kehidupan”

1988.
(Emha Ainun Nadjib/"Sesobek Buku Harian Indonesia"/1993/Bentang Intervisi Utama/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar