Minggu, 27 September 2009

BAU DEMOKRASI

Bau yang keluar dari mulut saya ini, kata-kata yang terungkap dari bibir saya ini, ungkapan yang nongol dari cocor saya ini, terkadang busuk terkadang wangi. Itu karena yang keluar memang asli busuk atau asli wangi. Atau terkadang tergantung kondisi mulut saya sendiri. Mungkin kata-kata saya busuk, tapi karena mulut saya wangi, maka keluarnya wangi. Atau kata-kata saya wangi, namun karena mulut saya busuk, maka produknya busuk juga.

Nah, tolong jangan lupa di saat lain wangi busuknya segala yang keluar dari mulut saya tergantung pada situasi hidung Anda. Mungkin yang ungkapkan busuk, tapi karena lubang hidung Anda ada parfumnya, maka terasa wangi. Atau sebaliknya, yang saya ungkapkan wangi, tapi karena hidung Anda ketempelan bau busuk -- misalnya karena Anda selalu sibuk mengurusi ayam-ayam di kandang --
maka kata-kata saya menjadi terasa busuk pula.

Tapi itulah resiko demokrasi. Itulah kemungkinan-kemungkinan bau demokrasi.

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (189)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 16 September 2009

YANG MANA YANG JANTAN

Saya dipercayai oleh kumpulan koperasi orang sedesa untuk memutar atau meniagakan uang yang mereka kumpulkan, agar menghasilkan laba yang bisa menambah daya ekonomi para warga koperasi dan seluruh penduduk desa. Tapi setelah sekian lama managemennya saya pegang, ternyata akhirnya bangkrut, sehingga kami semua dililit hutang dan terpaksa mengemis-ngemis lagi cari utangan yang baru. Saya ingin bersikap jantan, tapi saya bingung yang bagaimana yang disebut jantan.

Apakah saya harus berkata: "Para anggota koperasi dan warga desa sekalian, kalau saya melepaskan hak atas managemen ini gara-gara bangkrut, berarti saya tinggal gelanggang colong playu, alias saya lari dari tanggung jawab". Ataukah saya harus berkata: "Saudara-saudara sekalian, sebagai bentuk tanggung jawab saya atas kebangkrutan kita, maka dengan ini saya mengundurkan diri, mengembalikan hak yang saudara-saudara amanatkan, dan sekarang saya pasrah mau diapakan saja oleh saudara-saudara..."

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (188)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 15 September 2009

PAHLAWAN SEJATI

Kepada seorang Ibu sederhana di sebuah dusun, yang pekerjaannya mencintai dan menemani wong cilik di desanya sepanjang hidup, saya mengajukan pertanyaan yang agak muluk: "Bu, siapakah pahlawan sejati?"

Ia menjawab: "Pahlawan sejati ialah orang yang berani omong tentang perjuangan sosial dan membela rakyat hanya sesudah ia sendiri sanggup bertanggung jawab secara mandiri atas perutnya sendiri. Pahlawan sejati ialah orang yang membela rakyat dengan kekuatan dan uang pribadinya, bukan dengan dana dari luar yang apalagi ia sendiri diupah untuk apa yang diperjuangkannya. Tapi yang terpenting adalah bahwa pahlawan sejati tidak pernah sempat menganggap dirinya pahlawan bahkan tidak punya waktu untuk mengingat kata pahlawan".

Saya bereaksi: "Waduh, Bu, kok berat dan muluk sekali syarat untuk menjadi pahlawan sejati?" Ibu itu menjawab lagi: "Memang berat dan muluk. Maka tidak akan berminat. Maka tidak populer dan tidak dipakai. Kalau ada yang memakainya, mungkin malah dikutuk, dirasani dan difitnah di mana-mana..."

(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (187)/PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 13 September 2009

RW KESEDIHAN RT KEBUNTUAN

Kalau kita sudah berada di pinggir sungai, atau apalagi sudah terlanjur memasukkan kaki ke tepiannya, kayaknya harus kita perjelas apa niat kita yang sebenarnya. Apakah kita memang akan menyeberangi sungai, ataukah sekedar mau bermain-main air di tepian sungai. Kalau mau menyeberangi sungai, sebaiknya kita pilih apakah akan kita gunakan perahu, jembatan, gethek, ataukah kita akan melompat untuk sampai ke seberang sungai. Kita juga harus perhitungkan berapa lebar dan berapa dalam sungai, apa kendala dan tantangan ketika menyeberangi sungai, dan seterusnya.

Kalau ketentuan dan pilihan itu tidak kita lakukan, sebaiknya kita niati saja bermain-main air, sekedar untuk belajar berenang dan mengendalikan perahu. Jangan sampai orang-orang di sekitar sungai menyangka kita akan benar-benar menyeberang dan menanti-nanti kapan kita benar-benar tiba di seberang sungai. Orang-orang itu bertempat tinggal di kampung kekecewaan, di RW kesedihan, dan mungkin juga di RT kebuntuan. Kalau bisa jangan lagi kita tambahi KTP mereka dengan Rumah Keputusasaan.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (185)/1999/PadhangmBulanNetDok)

METODA KEPAHLAWANAN

Ada tiga metoda dasar untuk menjadi pahlawan. Pertama, ungkapkan sesuatu yang kritis namun tidak sampai ke tingkat berbahaya, sehingga bisa dimuat di koran. Kedua, kurangi kadar kesaktianmu di dalam melakukan gerakan-gerakan sosial, sehingga engkau bisa ditangkap atau ditabrak oleh kekuasaan. Ketiga, dekatkan dirimu kepada jaringan hero maker, alias lembaga pencipta pahlawan.

Kalau kau omong apa adanya, media tidak akan memuatnya, sehingga semua orang menganggapmu tidak berani omong apa-apa. Kalau gerakan sosialmu tidak tersentuh, engkau tidak akan terdaftar sebagai orang yang ditindas, sehingga tidak akan dibela oleh siapapun.

Tetapi yang alhamdulillah adalah kalau engkau tidak ingin menjadi pahlawan dan eksistensimu tidak bergantung pada apapun. Harkat kemanusiaan dan harga dirimu hanya ditentukan oleh tingkat manfaat kemanusiaanmu, baik diketahui oleh manusia ataupun tidak, baik diungkapkan atau tersembunyi.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (186)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Rabu, 09 September 2009

GUGUR GUNUNG

Gugur gunung itu artinya bersama-sama orang sekampung bekerja bareng-bareng untuk memperbaiki segala yang perlu diperbaiki di kampung. Dari merapikan pagar sampai menata kembali parit-parit saluran air dan lain sebagainya.

Hari-hari ini kampung saya sedang mbembet, saluran air mampet-mampet, distribusi kesejahteraan nggak karu-karuan, lumbung kami kosong, kebun-kebun kami terbakar, sawah-sawah kami terbengkalai, lumbung kami kosong mlompong, hutang kami numpuk menyaingi tingginya gunung.

Ada pemimpin idola kami yang mencoba mengatasi itu semua, namun anehnya beliau tidak keliling kampung untuk mengajak sebanyak mungkin penduduk kampung untuk memperbaikinya. Beliau hanya menyapa beberapa penduduk yang tergolong terhormat dan priyayi.

Kami-kami yang kurang terhormat dan bukan priyayi tidak diajak memperbaiki saluran parit, padahal tangan kami sudah pegal-pegal untuk ikut memperbaiki kampung.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (184)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Minggu, 06 September 2009

MENCIUM TANGAN IBU

Tidak ada kebahagiaan dan kekayaan yang melebihi saat-saat kita mencium tangan Ibunda kita dan menangis tersengguk-sengguk di pangkuan beliau.

Mudik adalah juga peristiwa tangis gembira di pangkuan Ibunda sejarah hidup kita, yakni kampung halaman dan sanak keluarga.

Kemudian kampung dan keluarga paling dini dan sejati dari kehidupan kita adalah hakekat dan kehendak penciptaan Allah atas seluruh alam, atas kita semua makhluk hidup, serta atas firman-firmanNya. Maka kalau puasa Ramadhan memang telah kita lalui sebagai perjalanan badan, perjalanan batin, perjalanan mental dan moral vertikal -- insyaallah kehadiran kita pada hari idul fitri adalah peristiwa menguakkan pintu rohani di dinding rumah Allah itu sendiri.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (181)/PadhangmBulanNetDok)

PEKERJAAN AGAMA

Saya bersama teman-teman menyimpulkan bahwa yang dimaksud pekerjaan Agama bukan hanya sembahyang, puasa, zakat dan haji, melainkan juga mandi, makan yang tepat , berangkat ke tempat kerja mencari nafkah untuk anak istri, menolong siapa saja yang perlu ditolong, bikin koperasi partikelir, menghimpun tukang-tukang ojek dan pedagang kakilima, dan seterusnya.

Itu semua adalah pekerjaan Agama, alias menjalankan perintah Tuhan. Termasuk juga menyelenggarakan perkumpulan bulanan bersama puluhan ribu sahabat-sahabat sebangsa untuk saling mensinergikan kemampuan ekonomi, mencerahkan hati, menata pikiran, memperluas wawasan nasional, serta mengungkapkan apa adanya apa kandungan hati kami tentang kepemimpinan nasional yang berjasa menciptakan kegelisahan-kegelisahan. Itu semua adalah pekerjaan Agama.

Dan karena pekerjaan Agama, maka teman-teman saya yang lain, yaitu para pejuang sosial modern di kota-kota, menganggapnya tidak progresif, tidak kritis, tidak ada hubungannya dengan demokrasi. Maka hanya kami sendiri yang menikmati manfaatnya, padahal kehidupan kami tidaklah untuk kami sendiri, melainkan untuk saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (182)/1999/PadhangmBulanNetDok)

BIKIN BATU - BATA

Hampir tiap hari saya pergi dari desa ke desa, dari kota ke kota, dari lapangan ke lapangan, dari orang sedikit ke orang banyak, dari orang banyak ke orang sangat banyak, dari orang kota ke orang dusun, dari wong cilik ke wong tidak gedhe, pokoknya ke mana saja semampu-mampu saya, dari Tinambung ke Grobogan, dari Lowokwaru ke Sidayu, dari masyarakat cliwik ke masyarakat santri. Kami selalu saling bertanya dan saling mengungkap secara terang-terangan di tempat terbuka apa keresahan kami, apa pendapat kami tentang presiden, menteri, ekonomi dan politik nasional, pokoknya tentang apa saja tanpa tedheng aling-aling.

Namun itu semua baru memberi barokah bagi pendidikan politik kami sendiri, itu semua baru menciptakan manfaat bagi pencerahan hati dan perjuangan sosial kami sendiri -- dan belum bermanfaat secara lebih luas bagi masyarakat Indonesia. Sebab batu-bata dan gergajian kayu-kayu yang kami bikin dan persiapkan untuk pembangunan rumah baru nasional itu dinilai kurang bermutu oleh para arsitek dan pemimpin alternatif yang sekarang mulai memimpin sejarah kita bersama.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (183)/1999/PadhangmBulanNetDok)

Selasa, 01 September 2009

MUDIK DUNIA AKHIRAT

Kerinduan untuk pulang ke kampung halaman dan bersilaturahmi dengan sanak famili, sesungguhnya adalah episode awal dari teater kebutuhan batin manusia untuk kembali ke asal usulnya.

Mudik Lebaran itu episode pulang secara geografis dan kultural. Dari alam nasional, global, universal dan liar, manusia beramai-ramai balik ke lingkungan primordial.

Kampung halaman adalah tanah air konkret. Tanah dan air sejarah kelahiran mereka. Sehingga mudik episode kedua adalah kesadaran atau ikrar kembali bahwa diri manusia berasal dari tanah dan air yang akan kembali ke tanah dan air.

Episode mudik yang ketiga adalah kesadaran tentang Ibu Pertiwi dalam pengertian yang lebih batiniah. Yakni kekhusyukan menginsafi kasih sayang Ibunda, kandungan dan rahim Ibunda.

Betapa di puncak kepusingan hidup ini kita terkadang ingin kembali masuk ke gua garba Ibunda. Episode mudik berikutnya adalah kembalinya kita semua ke pencipta tanah air, ke sumber dan asal usul. Jadi, senantiasa siap kembali kepada Allah adalah puncak mudik, adalah mudik sejati.
(Emha Ainun Nadjib/Seri PadangBulan (180)/1999/PadhangmBulanNetDok)