Kepada siapakah engkau mengeluh?
Kepangkuan siapa engkau menumpahkan airmata?
Pintu rumah siapa yang engkau ketuk untuk meminta tolong?
Kalau hari janji telah tiba untuk membayar utang, padahal beras di dapur pun sudah menipis.
Apakah engkau akan mengetuk rumah para artis dan bintang film yang uangnya berlebih dan credit card-nya bertumpuk-tumpuk?
Kalau untuk memperoleh pekerjaan dua hari lagi engkau harus menyediakan ratusan ribu atau sekian juta rupiah uang terobosan: Apakah engkau akan bertamu ke rumah-rumah para eksekutif yang tinggal sekampung denganmu?
Kalau istrimu hendak melahirkan, apakah engkau bisa meminjam kendaraan tetanggamu yang rumahnya berpagar tinggi itu, atau bisakah engkau mencegat kendaraan-kendaaan pribadi yang kosong yang lalu-lalang di jalan umum?
Kalau nasibmu ditimpa gludug "rasionaliasi" alias di-PHK-kan, bisakah engkau lapor kepada Pak RT, Pak RW, Pak KAdus, Pak Kades atau para pamong lainnya yang merupakan pengayorn masyarakat?
Kalau dalam suatu kasus atau konflik di kantor engkau tercampakkan karena engkau tak memiliki kekuasaan, backing dan relasi akankah engkau menumpahkan airmata di kantor Polsek atau Koramil?
Kalau tanah-rumahmu dan tanah rumah teman-temanmu sekampung atau sekecamatn digusur tanpa ganti rugi yang memadai setidaknya karena disunat oleh oknum-oknum pelaksananya: ke manakah engkau akan lari?
Apakah ke Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah?
Kantor Cabang NU?
Atau kantor Orwil ICMI Atau ke rumah KH. Zainuddin MZ?
Kalau rasa cemburu memanggang dada-mu karena melihat tetangga begitu gampang berganti-ganti mode mobil. Kalau rasa jengkel menampar-nampar perasaanmu karena meiyaksikan jumlah kendaraan pribadi memenuhi lebih dari lima puluh persen jalan-jalan di kotamu. Kalau rasa perih, sakit dendam, menikam jantung ruhanimu, karena rnenghayati perbedaan-perbedaan tingkat hidup yang mencolok, menghayati ketimpangan, kesenangan dan ketidakseimbangan.
Siapakah yang bersedia mendengarkan keluhanmu?
Pak Pendeta?
Pak Cendekiawan?
Pak Seniman?
Pak Ulama?
Pak Khatib di rumah ibadah yang kata-katanya justru harus engkau dengarkan?
Kalau hatimu bingung oleh kesumpegan ekonomi. Kalau perasaanmu gundah oleh pusingan-pusingan hidup yang bak lingkaran setan. Kalau jiwamu serasa akan berputus asa karena sedemikian sukarnya menempuh hidup yang benar. Kalau sukmamu rasanya mau copot karena himpitan-himpitan nasib yang tak tertahankan.
Ke mana dan kepada siapakah engkau rebahkan keletihamu?
Kepada rninuman. keras, ganja, arak dan joget dangdut, mengasyiki ramalan angka-angka, menghirup rasa aman yang praktis melalui pengajian-pengajian akbar?
Adakah peluang, dan tidakkah dilarang, untuk mengemukakan isi hati kita seadanya dan sejujur-jujurnya kepada Pak Lurah, Pak Polisi, Pak Kiai, Pak Menteri, Pak Ilmuwan, Pak Wakil rakyat, Pak Profesional dan lain-lain?
Kalau mernang mungkin kapan dan di mana?
Bolehkah mendambakan bahwa Pak-pak itu pernah sesekali bertanya kepadamu tentang apakah hatimu sedang bersedih, apakah ada kesulitan dan problem yang tak bisa diatasi?
Kalau tidak, lantas kepada siapa engkau nengeluh? Siapa yang bersedia menjamin bahwa engkau dan anak istrimu tidak kelaparan? Siapa yang menemanimu membanting tulang menghabiskan waktu untuk sekadar mempertahankan penghidupan?
Siapa sahabatmu di dunia ini?
Siapa pemimpin yang santun dan memberimu rasa aman?
Allah menuntun mulut kita agar mengucapkan: "Innama asykubastsi wa huzni illalah."
Aku keluhkan derita dan kesedihanku kepada Allah. Tetapi bukankah Ia telah mewakilkan diri-Nya dan tugas-tugas itu kepada kita?
Akankah kita perintahkan Allah agar mengurusi soal kenaikan harga?
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)
Emas dan Tanah
6 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar