Selasa, 09 Februari 2010

Santri dan Modernisasi (selesai)

Di tengah keprihatinan tentang 'terlibatnya' kaum santri dalam proses - yang di atas saya sebut - mencaimya substansi kesantrian maupun permissifisme integritas mereka daam mekanisme sistem-sistem sejarah saya memandang dengan optimis, salah satunya adalah Pesantren Gontor.
Pesantren Gontor, sebagai suatu sistem, watak dan nuan;a, tampak sadar untuk menumbuhkan pertahanan terhalap berbagai 'ancaman' tersebut. Ia tampak bukan saja semakin mengintensifkan dan bangga akan kualitas etos santri mereka, namun juga makin jelas memiliki sikap dan independensi yang tertata di tengah gejala-gejala makro peingkufuran budaya, politik, moral serta keseluruhan peradaban sejarah tempat bersemayam mereka.
Mereka secara cukup gamblang mencoba manjawab berbagai tantangan di era modernisasi demokratisasi kehidupan, redistribusi rizqullah, defeodalisasi kebudayaan, pemerdekaan (Islamisasi) segala bidang dalam pagar iradatullah, bahkan jawaban-jawaban empiris terhadap teknologisasi dan industrialisasi peradaban.
Jika mereka sanggup mengakarkannya ke wilayah yang lebih luas, maka mereka akan sanggup menciptakan infrastruktur dan pola antisipasi terhadap apa yang disebut 'agama", yaitu agama industrialisasi yang sejauh ini justru banyak membelenggu manusia dalam modus-modus modem dari berhala-berhala dan sihir-sihir Fir'aun.
Saya sungguh mendambakan bahwa Pesantren Darussalarn Gontor Ponorogo akan, bahkan sudah dan sedang mengolah suatu generasi baru yang muthahhar, yang tercerahkan (Islamic Renaissance) secara intelektual, mental, moral dan spiritual. Yakni suatu kaum yang karena muthahhar maka dimungkinkan, diperkenankan dan diridloi oleh Allah untuk "menyentuh AlQur'an". Artinya, merupakan "antena" dengan sensitivitas dan kepekaan yang prima untuk memperoleh "siaran" ilmu, kesejahteraan, hikmah, kesembuhan dan keselamatan dari AIQur'an. Dan al-ufuq al-' adhim.
Yang tidak muthahhar tidak hanya memperoleh kekosongan dan AlQur'an. Yang tidak bertaqwa tidak memperoleh petunjuk dari AlQur'an (hudan lil-rnuttaqin)
Dalam konteks Indonesia, merekalah murid-murid Khidlir, penghayat politik, budaya dan peradaban bahari, mental egaliter pesisiran, yang tidak mengulangi penyesalan Musa ketika ikan rnati itu tiba-tiba meloncat keluar menuju "pertemuan antara dua arus air samudra" : ikan yang menjelma dari kematian ke kehidupan
Apakah gerangan dua arus air samudera itu, wahai kaum. santri ?

===(selesai)===

Yogya, 14 Jull 1991

(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar