Kamis, 04 Februari 2010

Manusia Pasca Ibrahim (selesai)

Saya kira untuk tahap ini marilah berangkat seperti Ibrahim, menuntaskan disiplin penghayatan yang mandiri buku-buku simpan dulu di tas, sewaktu-waktu saja kita butuhkan untuk komparasi, legitimasi, atau ishlah.
Juga menyangkut buku-buku sastra. Saya belum melihat bahwa ia sudah pantas diandalkan untuk segala macam tujuan luhur itu. Secara teoritis sastra adalah kartu penting untuk merangsang dialektika penghayatan Ibrahim. Namun sayangnya basil karya sastra kita sampai saat ni, terutama sastra modem Indonesia termasuk karya-karya Emha masih dekaden dibanding karya para leluhur kita beberapa abad silam. Karya sastra modem kita masih berada pada tingkat 'boleh tidak ada'. Taraf kwalitasnya masih 'mubah', belum pada tingkat sunnah apalagi wajib. Kita hanya mengembangkan dan memang sanggup menggapai kecanggihan estetik; tapi muatan isinya, makri-fat keilmuannya serta kearifan yang ditawarkannya - terus terang kita masih kanak-kanak atau paling jauh masih dibanding maqam Syeh Madekur, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga dan lain-lain. Dalam soal-soal yang menyangkut ilmu diri kemanusiaan, kita telah sukses untuk maju kebelakang.
Namun sebaiknya kita jangan percaya kepada asumsi-asumsi tersebut.
Kita adalah Ibrahim yang bertanya-tanya.

=SELESAI=

Yogya 8 Februari 1989
(Emha Ainun Nadjib/ "Nasionalisme Muhammad" - Islam Menyongsong Masa Depan / Sipress / 1995 / PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar