Seseorang yang beberapa hari lagi hendak dilantik sebagai Walikota, pada suatu malam berkunjung ke rumah kakaknya yang bekerja sebagai penjual barang kelontong di sebuah toko kecil. Maksud kedatangannya adalah untuk meminta semacam petuah-petuah yang mudah-mudahan berguna bagi tugas-tugasnya sebagai pemimpin tertinggi masyarakat kotanya. Itu bukan hanya karena yang ia datangi adalah kakak kandungnya. Tetapi juga karena lelaki itu adalah calon rakyatnya.
Maka setelah bersilaturrahmi, dikemukakanlah maksudnya yang mulia itu. Dan kakaknya langsung menjawab: “Pokoknya saya sebagai kakakmu ingin mengemukakan satu nasehat saja”.
“Ya Kak”, jawab sang calon Walikota.
“Kalau kamu nanti bertugas sebagai Walikota, saya minta jangan sekali-sekali kamu menyuruh rakyatmu untuk berpartisipasi dalam pembangunan!”
Bagai disambar geledek di siang bolong. Tentu saja. Sang calon Walikota kaget berat. Tidak boleh menyuruh rakyat berpartisipasi dalam pembangunan? Nasehat cap apa ini! Dari mana kakaknya mendapatkan pikiran subversif dan anti-pembangunan macam itu! Partisipasi adalah pasal pertama dalam prinsip operasionalisasi pembangunan. Siapa saja yang menjadi pejabat, dari presiden sampai lurah, setiap hari selalu mengucapkan itu dalam pidato-pidatonya. Bahkan sering diucapkan juga dalam acara-acara pembangunan. Bahkanpun dalam khotbah di rumah-rumah ibadat. Dan lagi prinsip partisipasi rakyat dalam pembangunan itu dilahirkan, dikembangkan dan dibenarkan oleh semua ahli, pakar, teknokrat, birokrat, filosof, negarawan, politisi, seniman, pedagang, serta siapapun saja yang punya semangat dan iktikad membangun bangsa dan negaranya. Setan iblis mana yang merasuki otak kakaknya sehingga ia punya pendapat demikian?
Calon Walikota kita pening kepalanya. Ini ancaman bagi pembangunan. Ini tantangan yang harus diantisipasi dan diwaspadai sejak sekarang. Dan yang paling menyedihkannya, tak lain, adalah karena ancaman pembangunan itu berasal dari kakak kandungnya sendiri.
Namun demikian, sebagai adik yang baik, ia berusaha tidak menampakkan gejolak perasaannya. Dengan tetap sopan dan ramah ia bertanya: “Terima kasih, Mas. Tetapi terus terang saya belum paham benar apa yang Mas maksudkan…”
“Begini!”, jawab kakaknya dengan suara tegas dan keras seperti semula, “kamu pikir walikota itu siapa dan rakyat itu siapa sehingga seorang walikota menyuruh rakyatnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan?”
“Bukan menyuruh, Mas, tapi sekedar meminta atau menghimbau…’
“Apapun istilahnya! Pokoknya kamu jangan memiliki sikap dan pandangan yang meletakkan rakyat sebagai partisipator pembangunan!”
“Maksud Mas?”
“Kamu pikir rakyat itu siapa? Rakyat itu Bosmu. Rakyat itu juragan dan pemilik negara ini. Kamu sebagai walikota hanya berposisi sebagai kontraktor pembangunan yang diupah oleh rakyat. Walikota itu buruhnya masyarakat. Walikota dan semua pejabat itu hamba sahaya. Walikota dan keluarganya bisa makan karena dibayar oleh rakyat. Yang punya negara itu rakyat. Yang punya segala kekayaan bumi negeri ini rakyat. Yang punya uang pajak dan semua devisa negera ini rakyat. Pokoknya kalian para pejabat itu jongosnya rakyat. Tapi jangan kuatir, rakyat itu juragan yang baik. Tidak pernah ada rakyat yang memperbudak jongos-jongosnya. Malahan yang banyak adalah jongos-jongos yang memperbudak rakyat, padahal rakyat sesungguhnya adalah juragan mereka!”
Tubuh calon walikota kita itu menjadi dingin panas. Semakin ia tahu bahwa kakaknya bersungguh-sungguh dan memiliki landasan dan argumentasi dalam mengemukakan pandapatnya. Wajahnya menunduk dalam-dalam.
“Sebagai kakakmu”, lanjut kakaknya, “saya harus berterus terang bahwa banyak sekali, bahkan rata-rata, para pejabat pendahulumu yang salah sangka terhadap rakyat dan terhadap dirinya sendiri. Mereka menyangka bahwa mereka adalah atasan rakyat, sementara rakyat mereka kira adalah bawahan mereka. Di hati dan pikiran, mereka merasa besar dan menganggap rakyat itu kecil. Mereka merasa tinggi dan rakyat itu rendah. Maka mereka merasa sah dan merasa tidak berdosa kalau mereka memaksakan kehendak mereka atas rakyat. Mereka membuat peraturan untuk mengatur rakyat, karena mereka merasa bahwa merekalah yang berhak membuat peraturan dan rakyat hanya punya kewajiban untuk mentaatinya. Di mana ada cerita bahwa hamba sahaya membuat peraturan yang diberlakukan untuk juragannya? Memang betul bahwa pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat telah diberi mandat untuk membuat peraturan-peraturan. Tetapi hak atas segala tatanan dan aturan tetaplah di tangan rakyat. Maka segala sesuatunya harus didasarkan pada kepentingan rakyat. Kalau rakyat tidak setuju, itu berarti Bos tidak setuju. Hamba sahaya harus punya telinga yang selebar mungkin untuk mendengarkan apa kata juragannya. Jangan suruh rakyat berpartisipasi dalam pembangunan, sebab merekalah pemilik pembangunan, sehingga dengan sendirinya mereka adalah subyek utama pembangunan. Jangan kok kalau juragan menegur, memprotes, berunjuk rasa, lantas si hamba sahaya malah menuduh juragannya sebagai pengacau keamanan, melawan pembangunan, pemberontak, subversi, atau segala macam tuduhan yang aneh-aneh itu.
Ingat ya! Ingat, kamu ini sebagai walikota adalah hamba sahaya….”
Calon walikota kita itu akhirnya sungguh-sungguh menggigil tubuhnya dan nerembes airmatanya. ***
Emha Ainun Nadjib
(Harian SURYA/2004/PadhangmBulanNet)
Emas dan Tanah
6 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar