Ayah saya panik melihat gejala saya akan menjadi mahasiswa abadi. Maka ia mengajak saya ke orang tua, semacam dukun...," tulis seorang gadis manis asal Ngawi, mahasiswa Sastra Inggris yang tampak sebel dengan banyak hal di keluarga juga di lingkungannya.
Mungkin saya sendiri yang bersalah. Hati saya terlalu menampung siapa saja. Antara lain yang berhubungan dengan perdukunan dan lain sebagainya, yang kemudian pernah saya tuliskan di media massa dengan judul Kasekten dan Kagunan.
Kalau di Yogya atau di beberapa tempat lain ada orang mau bikin apa-apa, nama saya suka dipakai untuk dijadikan stabilo kultural. Ada seminar kasekten, diskusi paranormal, pendirian badan pengobatan klasik non-medis: lho kok saya yang disuruh ngasih pengantar atau tampil di pers conference. Seolah-olah lantas menjadi sah kalau saya sudah bilang "Okay!"
Padahal dalam banyak urusan semacam itu saya dukung karena berkaitan dengan perluasan lapangan kerja.
Prestasi pembangunan kontemporer kita antara lain adalah menambah jumlah pengangguran, menugasi sarjana menjadi satpam atau penyiksa ratusan ribu pencari kerja dengan menyuruh mereka beli map dan kertas lamaran kerja sebanyak-banyaknya. Maka segala upaya penciptaan lapangan kerja, sepanjang tidak bermusuhan dengan Tuhan, ya saya dukung sepenuhnya, meskipun untuk itu resikonya saya disalahpahami atau difitnah oleh orang banyak. yang tak mernahami persoalannya.
Maka adik dari Ngawi ini terperangah. Wong Cak Nun kok ngurusi dan seolah-olah meng-OK-kan soal-soal mistik begitu. Tatanan pikiran dan satu dua keyakinannya menjadi terbongkar.
"Saya lahir dan tumbuh di lingkungan Islam KTP alias Islam abangan," katanya, "Ayah saya tidak pernah salat dan hampir semua keluarga saya tidak pernah memperhatikan nilai-nilai agama. Sebenarnya saya ingin hidup di lingkungan keluarga yang Islami. Saya ingin beribadah secara teratur...."
"Bila ada rnasalah atau ingin naik pangkat, ayah saya selalu lari ke orang tua atau orang pintar. Di sana ayah akan dibekali gembolan berisi batu dupa, beras, atau ketan yang dibungkus. Ayah saya orangnya ambisius.
Anak-anaknya menjadi alat kendaraan dari cita-citanya, dia yang menjadi sopir. Makii ketika skripsi saya tidak jadi-jadi karena otak susah diajak kreatif, ia mengajak saya ke orang pintar tersebut. Saya buta masalah-masalah begitu dan sangat takut terjebak syirik. Saya menolak. Saya sempat depressed sebentar karena bingung, takut, cemas, dan kasihan melihat ayah Saya panik. Saya harus mendapatkan jawaban apa hubungan antara syirik dengan dunia kasekten dan pedukunan...."
Sungguh ini pemandangan jamak.
Kisah akan sangat panjang apabila harus kita uraikan.kenyataan tentang dunia pedukunan hakikat realitasnya, juga fungsi kultural dan politisnya. Tetapi untuk saat ini, putri Ngawi kita tak usah membuang-buang energi untuk mengurusi Gunung Kawi, persenggamaari massal Kemukus, dupa, Mbah Karto atau Mbah Karmo. Kelak saja untuk bahan tesis doktor, atau lupakan sama sekali, sebab soal-soal macam itu tak berhak atas ruang dan waktu yang tersedia dalam dirinya.
Yang pertama mesti dilakukan oleh mahasiswa kita ini adalah mensyukuri hidayah Allah bahwa di tengah lingkungan yang sekuler-abangan-kienik, malah lahir dalam dirinya dambaan-dambaan serius untuk mengIslamkan darah daging jiwa raganya.
Selanjutnya ambil jarak dari diri sendiri: engkau seorang yang dianugerahi kecerdasan pikiran, juga kejernihan hati. Skripsimu tak jadi-jadi hanya karena sukmamu belum bisa antisipatif, sumeleh dan tenteram terhadap banyak hal di dunia yang tak direlakan oleh naturnya. Hidupmu masih gugup dan gamang karena gairah untuk melawan ketidakberesan belum mendapatkan mitra kemampuan dan pengalaman yang seimbang.
Kalau engkau harus ikut bertemu ke rumah Mbah Dukun, datang saja, namun dengan niat bukan untuk merdukun (berdukun) melainkan untuk menyenangkan hati ayah--sementara engkau belum sanggup rnengubah kebiasaannya yang penuh penyakit. Soal syirik itu salah caramu memusingkan. Syirik tidak terletak di kuburan, dupa dukun, gembolan atau keris-keris, melainkan bersemayam di dalam gagasan-gagasanmu sendiri. Silakan tidur di kuburan asal sekadar untuk mengambil jarak dari keramaian. Silakan simpan keris seperti halnya engkau menyimpan sepatu dan boneka. Silakan bawa gembolan ke mana-mana
sebagaimana engkau bawa handy talky atau walk-man. Syirik bukan karena bendanya, tapi karena anggapanrnu terhadap benda itu. Jangankan menyembah keris dan dukun, sedangkan menyembah masjid, menyembah salat, menyembah Nabi Muharnmad saja pun syirik namanya.
Selebihnya segera selesaikan skripsi dengan matek aji, niat ingsun, bismillah dan istiqamah --- demi membahagiakan kedua orangtua dan demi supaya lebih gampang dapat pekeraan. Jangan terlalu membebani sekolahan, kampus, dosen-dosen. dan skripsi atau keseluruhan dunia ilrnu pengetahuan dengan kekecewaan-kekecewaan. Jangan minta terlalu banyak kepada semua itu. Kalau mencari ilmu, kearifan dan kemuliaan hidup, jangan andalkan itu semua. Lebih baik berharap kepada bagaimana caramu sendiri melihat dan memperlakukan matahari setiap pagi, dedaunan, tetangga, pasar atau impian-impian aneh setiap malam. Mintalah ilmu kepada Pemiliknya, petiklah anugerah-Nya di setiap butiran udara.
Adapun cara membuat skripsi sama dengan cara menanak nasi. Ialah tidak memakai asap dupa atau doa.
Menanak nasi sediakan kompor dan panci. Membuat skripsi ya menjalani segala metodologi rasional ilmiah yang diperlukan oleh hakikat kosmos suatu skripsi ilmiah.
Doa baru berhak engkau ucapkan hanya sesudah upaya rasional empirik dimaksimalkan.
Harian SURYA, Senin 28 Desember 1992
(Emha Ainun Nadjib/"Gelandangan Di Kamping Sendiri"/ Pustaka Pelajar/1995/PadhangmBulanNetDok)
Emas dan Tanah
6 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar