Teman kita satu ini sering kami juluki sebagai Umar bin Khattob. Bukan saja karena perangainya yang keras dan sikapnya yang tegas dalam menggenggam nilai kebenaran dan keadilan. Tapi terutama karena ia 'membuang' hampir 75% kekayaannya untuk orang banyak yang membutuhkan, sebagaimana Sayyidina Umar.
Macam-macam cara dia `beramal'. Misalnya ia menjadi "Bank Tanpa Bunga", meskipun omset kecil-kecilan, untuk para tetangga yang betul-betul membutuhkan. Terserah para tetangga sendiri mau janji gimana, mau nyicil per-berapa dan berapa bulan sekali. Sebenarnya sih uang itu mau dia kasihkan saja, tapi kalau metodenya demikian, akan tidak menguntungkan bagi pendidikan dan etos tanggungjawab bagi para peminjam.
Macam-macam pula orang datang kepadanya untuk minta bantuan. Uang untuk mengurangi keterjeratan dari rentenir. Uang untuk membeli tiket menemui Ibu jauh di seberang pulau. Uang untuk kepanitiaan ini itu. Uang untuk lara-lapa [bersusah payah, berusaha] mengembara mencari ilmu. Uang untuk menggali tokoh tersembunyi di daerah sana untuk diwawancari dan dijadikan buku. Uang untuk biaya rumah sakit. Uang untuk bikin master rekaman musik. Uang untuk tambahan biaya mau jadi sarjana utama. Uang untuk baca puisi keliling. Dan lain sebagainya.
Dan Umar kita ini tidak bisa tahu sebenarnya siapa saja yang datang kepadanya. Dia tidak mungkin ngetes [menguji] apakah ia jujur. Uang yang diterimanya nanti akan digunakan untuk apa. Juga dia tidak menyelidiki apakah orang yang minta bantuan itu sungguh-sungguh kepepet ataukah ngarang [merekayasa, fiktif] saja.
Sebab bagaimana akan tahu? Betapa tersiksanya untuk tidak percaya kepada sesama manusia? Untuk menanyakan punya KTP atau tidak, untuk menguji apakah benar ia sedang menderita. Begitu banyak orang yang datang, dan ia hanya bisa melakukan satu hal: mempercayai mereka dan mengungkapkan kasih sayang sosial sejauh yang ia mampu.
Suatu hari sesudah seorang Ibu datang kepadanya nangis-nangis menceritakan penderitaan hidupnya, lantas ia kasih uang—kawan-kawannya berkomentar, "He! Kau ditipu. Orang itu acting saja. Biasa modus operandi macam itu!"
Umar kita menjawab, "Kayaknya sejak awal saya sudah tahu bahwa Ibu itu menipu. Tapi keadaannya memang kongkret memerlukan bantuan. Bahwa untuk mendapatkan bantuan ia menggunakan cara menipu, itu urusan dia. Saya tidak punya posisi untuk menuding atau membuktikan bahwa ia menipu, tapi saya juga tidak bisa sekedar menganggapnya menipu sehingga tidak saya kasih bantuan. Jadi, biarlah dia menipu, biarlah dia puas bahwa saya seakan-akan percaya pada tangisnya. Kalau tidak salah, Tuhan sendiri tahu persis bahwa sangat banyak hamba-hamba-Nya menipu-Nya tiap hari. Mengingkari janji untuk patuh kepada-Nya, padahal ngapusi [bohong/dusta]. Tapi apakah dengan itu lantas Tuhan menghentikan terbitnya matahari, gara-gara Dia mangkel [sakit hati] ditipu manusia?"
Namun akhir-akhir ini si Umar tidak bisa lagi gemagah [merasa paling gagah] dan mbagusi [merasa paling bagus] dengan memamerkan kebesaran jiwa seperti itu. Karena perlahan-lahan muncul isyu dan bahkan selebaran gelap yang mendiskreditkan namanya. Misalnya, dikatakan bahwa amal-amal yang dilakukan itu sebenarnya sekedar untuk menutupi kenyataan bahwa ia mendapatkan biaya besar dari suatu pihak yang rahasia untuk menciptakan gerakan-gerakan subversif. Selebaran dan telepon-telepon gelap lainnya menyatakan bahwa ia membiayai X dan Y untuk pergi ke suatu tempat membeli sejumlah bahan peledak.
Ketika saya konfirmasikan kepadanya ia menjawab, "Saya hanya didatangi macam-macam orang yang minta tolong kepada saya. Kalau saya tidak ngasih, nanti mereka marah. Kalau saya kasih, mungkin saja pemberian saya itu mereka pakai untuk sesuatu yang tidak saya tahu.
Sekarang saya jadi ingat, terkadang satu dua orang datang mengatasnamakan kelompok yang memerlukan dana: sesudah saya kasih tahu bahwa tidak semua yang saya berikan itu disampaikan kepada kelompok. Diunthit [dikorupsi] sebagian untuk pribadi mereka..."
"Lantas bagaimana?" tanya saya lebih lanjut.
"Saya jusru ingin minta bantuan nasihat kepada Ente," katanya, "Mungkin kalau orang datang minta sesuatu kepada saya, hanya saya kasih bantuan kalau ia membawa surat dari pihak yang berwajib yang melegitimasikan permainannya itu. Juga dalam serah terima bantuan itu harus melalui surat hitam di atas putih yang jelas. Lucu ya?"
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)
Emas dan Tanah
6 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar