Kamis, 26 Maret 2009

Persoalan-persoalan Kebudayaan Konkret Sekaligus Abstrak (i)

Alangkah `kekal' persoalan kebudayaan! Alangkah kongkret ia: menguras cinta, harga diri, tapi juga kecemasan. Dan, pada saat yang sama, alangkah abstrak! Teramat luas dan rumit pengertiannya, dengan ratusan definisi dan ribuan pemahaman.Tiap hari kita menggunakan kata kebudayaan, seolah-olah ia sedemikian jelas. Tiap hari pula kita memperdebatkannya, seolah-olah tak satu kalipun pernah kita genggam kejelasannya. Bagai sungai deras airnya, mengalir dan bergerak. Kita terpesona atau cemas. Kita ciduk segelas air darinya: air itu tetap air sungai itu, tapi juga sudah bukan air sungai itu, melainkan air gelas. Keduanya sangat berbeda. Seolah-olah kita harus menciduk bukan saja airnya, tapi juga geraknya, alirannya!
Kita bisa membedakan antara dua skala pengertian: seni-budaya dan kebudayaan. Seni-budaya itu sempit saja artinya. Yakni ekspresi estetis. Terserah apakah yang diekspresikan itu bersumber dari keseluruhan dimensi kehidupan manusia, ataukah bagian tertentu saja. Terserah apakah ia dibagi menjadi yang tradisional dan yang modern, ataukah dibagi berdasar pendekatan lain yang bermacam-macam. Juga terserah apakah ekspresi itu dirahimi oleh semangat estetika saja ataukah dibayitabungkan oleh ideologi, politik dan agama. Yang penting batasnya sebagai ekspresi estetika.

Adapun kebudayaan itu sedemikian luasnya sehingga mungkin saja tak pernah sungguh-sungguh bisa dimengerti. Disebut bahwa segala kecenderungan yang terjadi dalam politik, ekonomi, hukum, birokrasi atau ritus, adalah cermin dari bagaimana kebudayaan manusia mengolah sejarahnya. Agama, yang `tercampak' dari langit, di-'budaya'-kan oleh manusia. Dalam jumlah rentang waktu tertentu dari proses kreatif sejarah, kebudayaan disebut peradaban. Tetapi tradisi kebudayaan tertentu yang terjumpai secara `mikro' lewat perilaku-kecil seorang dusun, juga disebut peradaban. Yang jelas sikap dan gaya manusia dalam menghadapi kehidupan, persoalan, lombok, logam, cinta, langit, Tuhan dan gejala-gejala alam, mencerminkan apa yang disebut kebudayaan.

Misalnya Anda mungkin terlibat organisasi yang mengelola dan menyantuni kepentingan beberapa pihak: buruh, petani, nelayan, wanita, dan seniman-budayawan. Seni-budaya adalah bagian seperti wanita adalah juga bagian. Tapi kebudayaan, ialah inisiatif, landasan, iman atau apapun yang mendasar bagi kemanusiaan yang `mengilhami' dan memberi ruh kepada semua segi tersebut. Kalau kata `ruh' segera kita konotasikan kepada Agama, maka yang dimaksud tentulah Agama yang telah di-kebudayaan-kan.

Tetapi apakah sesungguhnya yang paling kebudayaan dari seluruh pengertian di atas?

Apa tanda-tanda yang dipersyaratkan bagi sebuah kebudayaan suatu kelompok masyarakat? Dengan logika bahwa jika tanda-tanda itu lenyap berarti lenyap pula kebudayaan masyarakat tersebut? Atau kebudayaan bukanlah tanda-tanda yang tampil, melainkan `rohani' di belakang tanda apapun?

Kalau orang Aceh nanti mengganti Randai dengan teater modern dan orang Jawa memproses Ketoprak menjadi bukan lagi ketoprak, apakah Aceh dan Jawa kehilangan kebudayaannya? Kalau anak Obahorok tak lagi pakai koteka, cucu Kromoembuh tak lagi pakai blangkon, apakah mereka meninggalkan kebudayaannya? Kalau Mukini dari Sumenep tak lagi memandang bahwa pohon di sudut desa itu angker, kalau penduduk Sulawesi Selatan menjadi anti-sirik, apakah mereka berubah kebudayaan? Kalau Jaka Kendhil kini tak lagi berklenik-klenik dan mengubah namanya menjadi Jack Kendall sambil suka memegang-megang jidatnya tanda sudah menjadi intelektual canggih, apakah ia Malin Kundang dari Ibu kebudayaannya? Kalau lingkungan yang semula penuh dupa menyan kini bersajadah, yang dulu pecandu tahayul berat kini rasional, dulu primitif kini pascaprimitif, dulu khusuk mengabdi ke atas kini kenal demokrasi—telah meninggalkan kebudayaannya?

Adakah modernisasi berjalan bertentangan dengan apa yang kita maksud dengan kebudayaan? Bagaimana menjelaskan bahwa sesungguhnya kita sedang mengkerjasamakan inisiatif modernisasi dengan pemeliharaan orisinalitas kebudayaan?

Alhasil, pada lapis dimensi mana tanda-tanda kebudayaan itu kita temukan? Perilaku sosial? Kecenderungan umum? Sikap kealamsemestaan? Warna sejarah? Karya seni? Ketakwaan dan kepercayaan? Cara memasak sayur? Gaya hidup? Atribut identitas material? Bahasa?

Secara khusus kita juga bertanya bagaimana bisa sekaligus kita berbincang tentang kebudayaan Indonesia yang belum jelas, `baru dicari' dan `belum ketemu', dengan tentang `kebudayaan Indonesia yang dikhawatirkan akan punah'? Apa saja yang sebenarnya kita khawatirkan akan punah?

(bersambung)------>
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar