Beragam tema dalam sedikit banyak tulisan saya seringkali merupakan `tangan panjang' dari sesambatan [pengaduan, keluh kesah] banyak orang yang disampaikan melalui saya. Baik yang datang langsung menemui saya maupun yang menumpahkannya secara tertulis di dalam surat-surat yang `pilu'. Keluhan dari—kebanyakan—wong cilik. Yang menderita karena nasib-nasib personalnya maupun karena `musibah' strukturalnya.
Tapi saya memperkirakan bahwa sisa usia saya di dunia ini akan lebih banyak diisi oleh kesedihan dibanding kegembiraan. Karena kebanyakan problem yang sampai pada saya itu tidak mampu saya carikan penyelesaiannya. Sebab saya sendiri juga tidak lebih dari wong cilik [rakyat kecil] juga, yang lemah dan tidak berdaya.
Saya selalu sangat sedih karena betapa banyak saudara-saudara saya yang saya tidak sanggup menolongnya, tidak mampu mengeluarkannya dari problem yang menimpa mereka. Jadi, kesedihan hati saya ini kesedihan sosial, bukan kesedihan pribadi. Kalau pribadi, saya sudah terlanjur mengusahakan diri untuk tidak sedih dan tidak gembira. Biasa-biasa saja. Meskipun saya diperlakukan seperti seorang pencopet yang diawasi setiap gerak-gerik saya. meskipun saya (pernah) diisukan pindah Agama, dituduh mengacau oleh para pengacau, meskipun ada selebaran gelap menyebut saya iblis atau dajjal, bahkan dengan begitu saya memperoleh tawaran kemuliaan, yakni dengan mendoakan ampunan Tuhan bagi mereka.
Dan saya jamin di dalam seluruh tabung kesedihan dan kegembiraan itu hanya saya muatkan rasa syukur yang mutlak kepada Tuhan. Ada juga sih rasa jengkel, mengkel [marah], gedeg, dan lain sebagainya, tapi selalu saya upayakan untuk saya tepis. Yakni pasti, harus tidak ada amarah atau rasa dendam, meskipun kepada orang yang menikam punggung saya ataupun menusuk hati saya.
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/PadhangmBulanNetDok)
Emas dan Tanah
6 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar