Kamis, 26 Maret 2009

Persoalan-persoalan Kebudayaan Konkret Sekaligus Abstrak(ii)

Lubuk Sikap Budaya Kemanusiaan

Dengan ringan sering kita kemukakan Pancasila adalah endapan rumusan asli kebudayaan bangsa Indonesia—meskipun yang diambil ialah lapis filsafatnya. Kalau itu kita sepakati, berarti kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan kemanusiaan seluruh penduduk di muka bumi.
Pancasila bersifat universal dan kita bisa jumpai Pancasila di alam fikir dan alam rasa masyarakat manapun di dunia—termasuk kalangan masyarakat yang mungkin merasa tidak ber-'Ketuhanan Yang Maha Esa'. Sebab apa yang disebut keadilan sosial, demokrasi, kebijaksanaan atau peradaban, sesungguhnya tak lain dari dimensi ketuhanan.

Seluruh penduduk bumi berkeberatan Pancasila dihilangkan. Tapi Pancasila bukan kebudayaan melainkan sebagian butir ayat Tuhan yang ditemukan oleh kreativitas manusia. Dengan keterbukaan Pancasila terhadap berbagai kemungkinan penerjemahan makna dan sistemisasi nilai-nilainya, kita bukan saja tidak akan memusnahkan `kebudayaan Indonesia', melainkan justru sedang mencarinya. Ini lepas dari kemungkinan bahwa Pancasila dimanipulir, diredusir atau dimonopoli oleh salah sebuah kekuasaan politik dan pemikiran—sehingga menjadi ekslusif dan menjadi alat kekuasaan.

Dengan demikian Pancasila tidak menyediakan jawaban bagi pertanyaan kebudayaan Indonesia. Ia justru menunggu jawaban itu: ia adalah ruh yang menunggu badannya tiba. Bahkan dengan jujur bisa kita kemukakan bahwa dari sejarah pra-Indonesia kita hampir tidak memiliki—substansial dan sistemik—pengalaman yang terkandung di dalamnya, seperti, kerakyatan, keadilan sosial, hikmat kebijaksanaan dan musyawarah dalam arti sebenar-benarnya. Kita lebih banyak punya kerajaan, kesepakatan semu, atau kebijaksanaan yang diungkapkan mewakili realitas yang bermakna sebaliknya.

Dengan fenomena Pancasila yang berposisi mirip `roh terbengkalai' kita justru dengan sadar sedang membuangi banyak hal yang selama ini kita kenali sebagai kebudayaan bangsa Indonesia. Dengan Pancasila seolah kita sedang berusaha berdoa semoga terjadi kehilangan-kehilangan tertentu dalam yang kita sebut kebudayaan Indonesia.

Ambil `perilaku sosial' umpamanya. Feodalisme adalah realitas kenegaraan dan kemasyarakatan yang—pasti—termasuk di antara yang kita maksudkan sebagai kebudayaan asli Indonesia. Feodalisme, pada masyarakat kita, sudah tidak harus langsung berkaitan dengan penguasaan tanah atau pola kekuatan lain: ia sudah bisa terjadi sebagai kebiasaan yang seolah tanpa `sebab'. Ia sudah suatu keniscayaan soial budaya. Semoga hilang, kan?

Kalau Camat makin cenderung menjadi Raja kecil, kalau seorang dosen makin malas dan gengsi untuk membawa tasnya sehingga menyuruh pegawai kantor fakultas untuk mengambilnya di mobil, kalau rumah-rumah menjadi potret kecil kerajaan kerucut-feodal, kalau sebuah perusahaan stagnan `profesionalisme'-nya berdasar hirarki usia sehingga untuk bisa maju musti nunggu Boss `modar mampus', kalau dosen-dosen agen modernitas berperilaku seperti Ibu-ibu kampung cari kutu sambil ngrasani dan nggosipkan urusan pribadi orang lain, kalau duren itu enak apa tidak terserah keputusan Bapak, kalau pelajar dan mahasiswa harus mengemis dan melayani para pegawai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kalau sang mahasiswi musti bersedia dipacari oleh Pak Dosen supaya lulus, kalau pemimpin agama dan tokoh partai boleh pesan cepat dapat ijazah sarjana dengan hanya kuliah setahun dua kali di universitas petualang, kalau dan kalau—maka tentulah semoga kebudayaan macam itu segera musnah.

Kalau hal-hal macam itu yang kita sebut kebudayaan Indonesia, maka benarlah kita yang terus berfikir untuk menemukan `kebudayaan lain.

Atau identitas materiil? Kita bisa melihat soal yang sederhana: mungkin kita bermaksud tidak mengganti batik dengan jeans atau bertahan pada tikar pandan dan menolak tikar plastik. Di mana kita berdiri? Lebih pada memandang pengusaha batik sebagai produser identitas budaya pribumi, atau pengusaha batik sebagai kelas ekonomi yang makin lemah? Memandang industriawan kecil tikar pandan sebagai pengabdi kebudayaan nasional atau sebagai teri yang ditindih oleh modal besar? Apakah kita akan berkata: "Biar saja dimelaratkan asal entah bagaimana bertahan pada pola budaya tradisi," ataukah: "Yang penting ialah meningkatkan daya negosiasi ekonomi, dan bukan mempertahankan sentimen budaya yang toh akan punah tergusur." Sesungguhnya pilihan aksentuasi perhatian kita berangkat dari lubuk sikap budaya kemanusiaan kita. Lubuk sikap itu lebih merupakan indikator kebudayaan dibanding apa yang telah muncul sebagai `fisik kebudayaan'.

Akan tetapi pandangan terakhir ini terelativisir apabila kita mengejarnya lebih dalam. Lubuk sikap budaya kemanusiaan itu disumberi mungkin oleh naluri nurani, mungkin juga oleh prinsip-prinsip agama. Sehingga di sini indikator identitas kebudayaan itu gugur.

(selesai)
(Emha Ainun Nadjib/"Jogja Indonesia Pulang Pergi"/Zaituna/1999/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar