Selasa, 10 Februari 2009

Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (3)

Dalam khasanah tasauf, Adam disebut sebagai melambangkan kesehatan. Kesehatan ialah angka pertama dari pekerjaan dan pencapaian apapun yang dimungkinkan oleh kehidupan manusia. "Rumah yang melindungi, baju yang menutup auratnya, sepotong roti serta air" begitu kata Muhammad (Rasul si potret segala yang mungkin dipuncaki oleh prestasi baik manusia), merupakan rukun awal dari kehidupan. Hanya dengan tubuh sehat manusia mampu dan jernih mengucapkan syahadat, mengerjakan sholat, mendidik anak, menjadi pedagang, memimpin kaum, atau menulis syair. Dengan kesehatan itu pula manusia menyadari posisi ahsani taqwimnya, mencapai dimensi yang dilambangkan oleh sang Nuh si derajat, kemudian menggagas dan mengalami keilahian bagi Ibrahim yang memilihNya dan dipilihNya. Demikian seterusnya sampai ia terbanting bagai Ismail, kembali belajar merumuskan antum a'lamu bi-umuuri dunyaakum - bagai Musa, lantas menemukan inti ruh bagai Isa dan menggenggam cahaya puncak
kemakhlukan dan kekhalikan bagai Muhammad kekasih Allah.

Demikianlah jangka gelombang Adam hingga Muhammad adalah gambaran plot kehidupan individu manusia maupun kelompok masyarakat.

Akan tetapi Iblis yang berusaha keras membuktikan kebenaran peringatannya kepada Allah tentang ide penciptaan manusia si pengucur darah (tubuh dan jiwa), cukup sukses dengan program-programnya. Para mujahid bercerita kini ada sekitar 100 juta manusia hidup di jaman pra-Adam; tak memperoleh hak kesehatan dasar, sementara sisanya tak cukup punya iktikad untuk mencapai Muhammad.

Di depan rumah berarsitektur istana berpagar tinggi berkawat duri, dari balik jeruji pintu, kita menawar harga belanga dari Rp 250,00 menjadi Rp 100,00. Cita-cita kita ialah ikut memenuhi jalan-jalan raya dengan mobil-mobil pribadi, sehingga hak jutaan orang yang berjejal-jejal antri di Bus atas jalan raya tidak sungguh-sungguh menjadi hak. Kita menyembah manipulasi dan akumulasi, kita menumpahkan tenaga dengan musik rock atau segala macam kebudayaan penghisap daya rohani yang sesungguhnya bisa kita pakai untuk urun memperbaiki dunia; sementara nyanyian Ummi Kaltsurn yang menghimpun energi terasa amat ikut 'penerbang' elite intelektual. Dan dengan bekal kedewasaannya itu mereka telah secara serius mengerjakan banyak hal yang mereka sangka sebagai menolong dan mendidik orang-orang tertindas. 'Blunder'nya terletak pada dua faktor; pertama kualitas manusia mujahidnya, kedua pada jarak antara pengetahuan dengan realitas.

Itu memprihatinkan, dan kita butuh menyadarinya sebagai keprihatinan, karena kita. sungguh-sungguh ingin berbuat sesuatu untuk persoalan mendasar itu. Pada saat yang sama keadaan itu patut disyukuri: semua gejala itu jujur secara sejarah. Itulah anak jaman kita apa adanya. Dajjalisme dan dajjalisasi sudah sedemikian menjadi dan mobil kebingungan di tengah-tengahnya adalah situ model langkah yang sama sekali tidak aneh.

Di dalam perspektif jaman dajjal anak-anak muda merasa diri berada dalam kurungan imperium raksasa di mana 'atas' menginjak 'bawah', di mana 'utara' menguasai 'selatan', di mana 'barat' mengalahkan 'timur' - meskipun yang terakhir mulai cenderung pupus karena lewat kebudayaan orang lebih mampu antisipatif dibanding kalau mereka menghadapi kerajaan politik atau dominasi ekonomi.

Di dalam struktur pokok itu mereka menjumpai dan langsung menghadapi penerjemahan-penerjemahannya ke dalam skala-skala yang lebih kecil dengan berbagai variabel yang saling silang dan sering amat membingungkan daya terminologis mereka. Aku sendiri amat terlibat dalam kebingungan itu. Sejarah ialah sungai pasir berwarna-warni dengan arus yang membuat jumlah pasir tak terhitung itu menjadi kait-mengkait. Aku tidak tahu bagaimana meletakkan rakyat Amerika dalam tubuh imanku. Aku tidak mampu menjelaskan immanensi dunia politik yang anti manusia itu kepada hati nuraniku. Aku tidak paham uang Saudi Arabia itu dipakai untuk apa. Aku tak sanggup menerangkan kepada diriku sendiri tentang konperensi perdamaian yang dibiayai oleh sebagaian hasil penjualan senjata. Aku tidak selalu bisa memelihara ingatan yang menyuruh aku melihat tali yang menghubungkan antara tetanggaku yang selalu terlambat membayar uang bulanan TK anaknya sebesar Rp 7.500,- dengan Bank Dunia.
Ternyata aku ketahuan tidak memiliki cukup tenaga untuk terus menerus mengejar munculnya modifikasi barn struktur kekuasaan kota-desa, negara-rakyat, atau bahkan ulama-ummat dalam konteks kaitan tertentu antara kepemimpinan religius dengan kekuasaan politik; apalagi untuk senantiasa mendzikirkan keprihatinan yang menciptakan jarak antara sesisir pisang di gendongan seorang Ibu dari Nglipar Wonosari dengan sebiji pisang di restoran Cina . Jiwaku terkoyak-koyak ketika setiap kali harus dipanggang oleh jarak yang terlalu jauh antara kenyataan masyarakat dengan segala sesuatu yang setiap hari disuarakan oleh dunia informasi.
Pada saat-saat tertentu amat terasa dunia ini adalah ketidakmenentuan, kegaduhan yang kosong, kemegahan yang hampa, pegangan-pegangan yang tidak bisa dipegang namun selalu dipaksakan untuk dipegang.

Dan tidak ada yang lebih menyiksa dalam hidup ini kecuali bermusuhan melawan ketidakmenentuan. Maka sebagaian anak-anak muda ingin secepatnya menemukan sosok yang dianggapnya paling jelas mewakili sumber ketidakmenentuan itu, dan segera pula menabrakkan kepalanya ke dinding karang sosok tersebut. Hal semacam ini sama sekali tidak aneh, karena sang anak ketidakmenentuan akan melahirkan juga ketidakmenentuan.
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar