Minggu, 15 Februari 2009

Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (6)

Dalam skema 'segitiga terpotong' ala rasionalisme dan etos kerja peradaban Barat (dimana titik puncak A adalah manusia, A ke B adalah penelusuran ilmu pengetahuan dan B ke C adalah penerjemahan teknologinya serta B ke A adalah pemfungsian teknologi bagi cita-cita manusia), anak-anak muda Muslimin kini mulai melihat bahwa kebuntuan garis B ke A (kembali) ala Barat adalah karena tidak dikawinkannya teknologi dengan etos keimanan. Bahwa bagi aspirasi Islam, A bukanlah manusia melainkan Allah: dan ini yang menyebabkan kehampaan modernitas abad-20. Maka kini anak-anak muda Muslimin tergerak untuk ikut berpacu mematangkan perjalanan ilmu pengetahuan ke B dan berfastabiqul khoirat mencapai C, tetapi kemudian mengaplikasi garis C ke A dengan Iman, Islam, lhsan. Artinya, tidak lagi terjebak untuk anti ilmu pengetahuan dan fobi teknologi, sebab persoalannya 'tangan bagaimana' yang menggenggam ilmu pengetahuan dan teknologi.

Itulah thariqat modem. Itulah thariqat islami, yang historis, realists, tidak melarikan diri.

Bagiku sendiri menjadi kelas beda antara tasauf nabiy dan tasauf rasuli. Kejelasan itu memberi petunjuk bahwa aku-aku atau engkau-engkau para mujahid yang sebagian tergolong dalam mujahid-nabiy, sebagian lain mujahid rasuli.
Pertama tetap kupegang kesadaran tentang kepemimpinan rohani tasauf atas perjalanan hidup manusia. Tasauf memelihara kedalaman, menjaga kemesraan pergaulan dengan Allah, dan selalu mengingatkan kita untuk mempedomaniNya. Dimensi tasauf yang ini sama sekali tidak bisa digugat.
Pedoman pada kepemimpinan spiritual tasauf yaitu suatu pekerjaan thariqat yang realitas dalam urusan-urusan kehidupan manusia dan masyarakat.

Kita senantiasa sudah memahami posisi kekhalifahan muslim, bahkan semua manusia di muka bumi. Tinggal dibedakan antara kekhalifahan tipe rasul dengan tipe nabi. Seorang Rasul dibebani kewajiban untuk menjadi penggembala ummat secara langsung: ia harus menguasai semua persoalan masyarakat, ia mungkin seorang negarawan, seorang pemimpin politik, bahkan seorang panglima perang, seorang sosiolog, budayawan, serta segala sesuatu yang memiliki kualitas kaffah sebagai manusia. Sedangkan seorang Nabi tidak dituntut sejauh itu, meskipun dalam beberapa segi barangkali ia lebih kental dan mumpuni dibanding manusia Rasul.

Masing-masing tipe ini membawa serta tanggung jawab yang berbeda, perilaku dan strategi yang berbeda, godaan-godaan yang berbeda, kemudahan-kemudahan dan kesulitan yang berbeda.

Seorang sufi yang memiliki sifat kenabian (nabiy) mewujudkan kekhalifahannya dalam bentukan-bentukan sosial budaya yang mungkin eksklusif dan terbatas skala effektivitasnya. Ia mungkin menuliskan doa-doa puisi seperti Rabi'ah Al-Adawiyah: selebihnya ia menjalankan perilaku kehidupan yang seolah sengaja tidak diintegrasikan kepada bahasa kebudayaan orang banyak, sehingga ia sangat 'strategis' untuk disalahpahami atau bahkan dihukum gantung.

Akan tetapi seorang sufi-rasuli tidak boleh mengingkari alam hidup ummat, bahasa-bahasa dan idiom-idiomnya. Segala karya tasaufnya harus diterjemahkan ke dalam bahasa ummat, dengan resiko ia bisa menjadi tidak kental sebagai individu karena pada hakekatnya yang ia lakukan ialah melebur diri ke dalam hatinuraninya dan tubuh ummat. Karya tasaufnya tidak diwujudkan dalam sistem format subyektif individual, melainkan integral dengan keperluan-keperluan Islami sebuah masyarakat.

Muhammad adalah sufi teragung yang pemah ada di muka bumi. Ucapan-ucapan beliau amat puitis dan mengandung keindahan yang kaffah bersama kebaikan dan kebenaran. Namun yang lebih penting yaitu bahwa beliau tidak hanya berhenti merenung di gua Hira dan berasyik-asyik sebagai sufi-nabiy yang "masuk sorga tanpa mengajak orang lain". Muhammad keluar dan gua, tampil membebaskan masyarakatnya dari belenggu jahiliyah. Ia menjadidangkan seorang Nabi tidak dituntut sejauh itu, meskipun dalam beberapa segi barangkali ia lebih kental dan mumpuni dibanding manusia Rasul.

Masing-masing tipe ini membawa serta tanggung jawab yang berbeda, perilaku dan strategi yang berbeda, godaan-godaan yang berbeda, kemudahan-kemudahan dan kesulitan yang berbeda.

Seorang sufi yang memiliki sifat kenabian (nabiy) mewujudkan kekhalifahannya dalam bentukan-bentukan sosial budaya yang mungkin eksklusif dan terbatas skala effektivitasnya. Ia mungkin menuliskan doa-doa puisi seperti Rabi'ah Al-Adawiyah: selebihnya ia menjalankan perilaku kehidupan yang seolah sengaja tidak diintegrasikan kepada bahasa kebudayaan orang banyak, sehingga ia sangat 'strategis' untuk disalahpahami atau bahkan dihukum gantung.

Akan tetapi seorang sufi-rasuli tidak boleh mengingkari alam hidup ummat, bahasa-bahasa dan idiom-idiomnya. Segala karya tasaufnya harus diterjemahkan ke dalam bahasa ummat, dengan resiko ia bisa menjadi tidak kental sebagai individu karena pada hakekatnya yang ia lakukan ialah melebur diri ke dalam hatinuraninya dan tubuh ummat. Karya tasaufnya tidak diwujudkan dalam sistem format subyektif individual, melainkan integral dengan keperluan-keperluan Islami sebuah masyarakat.
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar