Minggu, 15 Februari 2009

Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (5)

Itu semua semacam thariqat.

Kegagapan sejarah semacam itu juga dialami oleh anak-anak muda berbagai sejarah dan tempat, namun anak-anak muda Muslimin kini boleh menjalinnya dengan kesadaran dan sikap nilai yang baru. Bahkan untuk memperoleh pengalaman-pengalaman keilahian yang lebih suci dan dewasa sebagai anak-anak muda itu kini secara naluriah mengambil jarak dari Tuhannya. Kita barangkali mencemaskan mereka karena sudah lama tak sembahyang, bahkan Allah seperti dibencinya dan bahkan dianggapnya tidak ada. Kita tinggal terus mengawani mereka dengan kadar cinta kasih yang lebih tebal, serta dengan menerjemahkan serinci mungkin kesadaran tharigat itu ke dalam kemungkinan-kemungkinan sistem nilai manusia dan masyarakat sehingga mereka 'berpapasan' kembali dengan Allah yang sejati.
Sadar atau tidak sadar kini telah dirintis suatu terobosan pemahaman dan pengalaman keislaman. Anak-anak muda Muslimin telah lama tidak puas dengan polo-pola thariqat para pejalan agama tradisional: dzikir-dzikir verbal, gerak-gerak menuju mabuk, dengan beratus ribu orang lain yang terorganisir, yang akhirnya terjebak untuk sekedar melarikan diri dari dunia yang tidak mampu dirumuskan dan diatasinya. Eskapisme tasauf 'budhistik' ini akhirya menjadi kartus-minus bagi keperluan riil sejarah ummat manusia. Di saat lain kecenderungan ini bahkan menjadi semacam legalisasi kemunafikan, ingatlah umpamanya suatu model teologi timbangan (mizan) di mana pada siang hari orang-orang itu suntuk mengerjakan berbagai kemungkaran yang hampir selengkap malima (maling, madat, minum, madon dan main), sementara malam harinya mereka bersama-sama berdzikir verbal, bersujud kepada Allah dan menangis sejadi-jadinya.

Anak-anak muda Muslimin sudah terlanjur diajari mengerjakan penalaran dan akal sehat, meskipun dengan banyak ironi-ironi sebagai sertaan pendidikan tersebut. Namun akal sehat mereka membawa kesadaran untuk tidak menerima sebagian perilaku thariqat tradisional tersebut.

Pada mulanya mereka mengalihkan kepercayaan kepada simbol-simbol dunia modern: rasionalisme, beragama dengan akal sehat, menolak taqlid buta maupun tak buta. Namun orientasi pokok modernitas yang ternyata sama parsialnya dengan kejumudan perilaku tradisional, membikin mereka tidak menemukan kebenaran yang dikangeni oleh kedalaman jiwa mereka.

Mereka lantas kembali menengok tradisi, namun sudah dilandasi dengan paradigma sikap, wawasan dan kedewasaan ijtihad yang baru. Mereka menggagas dan melayani alam tradisi dan alam modern mulai dengan suatu cara bergaul yang kaaffah. Mereka tidak lagi meninggalkan tradisi tanpa sisa, melainkan melihat bahwa apa yang terjadi hanyalah mandegnya kreativitas thariqat tradisional. Alam modern juga tidak dilihatnya sebagai sebuah dunia lain sama sekali, melainkan sebagai sejarah kreativitas kemanusiaan baru yang sesungguhnya memberi arti dan fenomena baru bagi thariqat lama yang beku dan kekanak-kanakan.

Anak-anak muda Muslimin bahkan mulai tahu bahwa thariqat-thariqat verbal itu bukan tak mereka butuhkan. Itu tetap merupakan tehnik penyucian dan pembongkaran rokhaniah yang praktis. Namun diketahui oleh mereka juga bahwa bentuk-bentuk thariqat kini sangat berkembang ragam karena tantangan-tantangan persoalan manusia pun sudah sangat berbeda. Tinggal persoalannya bagaimana memperlakukan sekolah, buku-buku sekuler, terminologi-terminologi peradaban buntu, segala pemahaman dan perlawanan terhadap gejala jahiliyah dengan suatu sikap tharikat yang sadar dan selalu dibersihkan. Sepanjang mereka berwudlu pada setiap pengalaman kesejarahan, yang kecil maupun besar, maka makna thariqat itu akan insya Allah mereka peroleh sebagai nuur Allah.

Mereka akan mema'rifati kehidupan, mema'rifati problem-problem secara tepat, mema'rifati kebenaran yang sejati, serta mema'rifati cara yang penuh hikmah untuk mengatasinya.

Itu semua merupakan rintisan perwujudan giliran Islam untuk memimpin sejarah dunia.

Syari'at adalah alam. Hakikat adalah realitas sosial. Thariqat merupakan semacam kata kerja dialektis yang berada di antara syari'at dan hakikat serta sekaligus mentrandensi atau mengatasinya. Hanya dengan kekhusyukan thariqat maka ma'rifat akan dicapai.
Islam sangat lengkap dengan petunjuk. Agama ini sedemikian bercahaya. Anak-anak muda Muslimin kini makin menyadari bahwa Al-Qur'an adalah kepustakaan utama. Mereka kini merasuki kitab sucinya dengan pola pendekatan modem yang mereka peroleh dari keilmuan Barat. Pada suatu hari mereka akan menemukan bahwa Al-Qur'an itu sendiri adalah sebuah pendekatan, adalah sebuah metodologi, adalah gambaran dasar dari cara pandang dan terminologi hadiah Allah untuk melihat dan mengolah dunia, manusia dan proses kembali ke sumbernya.

Alyauma akmaltu lakum diinakum hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu segala sesuatu yang dimungkinkan oleh jatah kodrat manusia telah dipuncaki oleh Muhammad dan Al-Qur'an. Kalimat ini kita ucapkan tidak sebagai kamuflase dari kekalahan kesejarahan Ummat Islam atau sebagai hiburan-hiburan jumud sehabis kita tak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan abad ini secara islami. Kalimat ini kita ucapkan dengan landasan keyakinan dan iman, dibangun di atasnya rintisan-rintisan pengislaman diri dan dunia dengan membanting tulang dan memeras keringat dalam thariqat.

Muhammad telah menjadi pamungkas segala Nabi dan sesudah beliau tidak ada lagi wahyu diturunkan. Mendengar berita kesempumaan itu lantas anak-anak muda Muslimin lantas kecewa, dengan rasa pilu seolah-olah mereka hidup amat jauh dari Muhammad dan wahyu. Seolala-olah sejarah pencahayaan dan Allah telah berhenti 14 abad yang lalu, dan kini mereka hanya menerima pantulan-pantulan dari cahaya dari tangan yang entah keberapa ribu.

Kini mereka merasakan Muhammad hanya terkubur tulang dagingnya, namun Muhammad sangat mengendap di hati mereka dengan terprogram amat kuat di jaringan komputer pikiran mereka. Kesempurnaan kenabian Muhammad adalah informasi Allah bahwa uswatun hasanah agung itu merupakan cakrawala akhir dari segala yang mungkin dicapai oleh peradaban manusia. Wahyu selesai pada beliau berarti segala puncak prestasi pemikiran dan segala kreativitas manusia telah disediakan sumbernya oleh Al-Qur'an dan terakomodir oleh sistem nilai Islam jika hal tersebut sungguh-sungguh dithariqati. Wahyu tidak berhenti pada abad ke-8, namun puncak kualitas petunjuk Allah artinya yang Ia jatahkan bagi manusia telah terjadi di abad itu atas Muhammad.
Kita sudah lama bagai tidak percaya kepada wahyu, bahkan kepada karomah atau ilham. Kita menjadi inferior dan bergantung kepada informasi-informasi keilmuan dari kaum superior. Ini tidak berarti melihat bahwa wahyu itu sebuah kutub dan informasi 'non-Islam' itu sebuah kutub yang lain. Para kaum superior itu telah mengerjakan, apa yang tidak dikerjakan dari bagian Al-Qur'an, meskipun tak dilandaskan pada etos keimanan dan ikhsan islami. Kini anak-anak muda Muslimin mulai mengerti betapa penting menyerap informasi-informasi itu, namun musti secara islami.
(bersambung)
(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar