Rabu, 11 Februari 2009

Ikut Tidak Menambah Jumlah Orang Lemah (4)

Anak-anak muda yang lain, di atas kapal sejarah yang oleh mereka, mencari pegangan apa saja, pokoknya pegangan: sesuatu yang bisa menolong mereka untuk merasa ada dan berdiri, atau hilang sama sekali. Partai-partai oposan? Kalau menggunakan lensa pandang jangka pendek sesungguhnya mereka hanya terlibat dalam partai apusan. Organisasi-organissasi sosial yang sejauh ini ada cenderung hanya siap menjadi perangkat dari mekanisme yang mereka tidak setujui. Bahkan Tuhan, yang seolah diam abadi, sangat mengecewakan mereka. Dan pada kejadian krisis semacam itu: ternyata din mereka sendiri tidaklah bisa mereka pegang.

Maka anak-anak berlari ke narkotika kebudayaan, tenggelam ke dasar dangdut dan musik rock, sentimentalitas mabuk dunia pop, menulikan telinganya dengan olahraga dan histeria tinju, mengintensifkan eskapisme mistik, atau membikin koloni-koloni kecil di mana mereka menyembah sujud di hadapan arca kepahlawanan Karl Marx atau fundarnentalisme Khomeiny.

Pada momen-momen pertama pegangan-pegangan tersebut mereka genggam dengan tegangan tinggi, sedemikian rupa sehingga dunia tuyul pun bisa dipercayai untuk digenggam. Mereka mencari kemutlakan, kepastian, karena kemutlakan dan kepastian adalah lawan kata dari ketidakmenentuan. Maka mata dan telinga kemutlakan yang juga selalu mereka pakai untuk melihat dan mendengarkan apapun; sebab kalau sesaat saja mereka kehilangan rasa mutlak, berarti terjerumus kembali ke dunia ketidakmenentuan.

Ongkos dari mobilitas kemutlakan ini antara lain ialah keterjebakau untuk mengulang beberapa kegagalan sejarah di masa silam, di Indonesia dan di dunia. Aku merasa tidak perlu mengungkapkan hal ini dengan bahasa jelas karena aku meyakini sepenuhnya bahwa apa ini adalah proses menuju kematangan yang sesungguhnya. Aku merasakan semuanya itu tetaplah ungkapan kemarahan suci, gairah qudus akan sesuatu yang lebih baik sedemikian suci dan kudusnya sehingga sering tidak tepat untuk (perubahan) dunia yang sudah penuh dengan lendir.
Mereka sangat mengasihi kaum dhu'afa, dan sekujur tubuh dan jiwanya terasa gatal untuk segera memperjuangkan nasibnya. Tetapi semua orang mengerti bahwa mencintai itu amatlah tidak gampang: ia harus sangat memberi, namun pada saat yang sama ia sangat egoistis. Misalnya egoistis dengan pegangan ideologinya.

Sahabat saya pernah menulis dengan amat erosional dan aku menyetujui emosi yang memang syah itu. Inilah hasil dari rezim yang terlalu kuat, tetapi ini juga kebiasaan sejarah. Mayoritas anak-anak muda dijadikan dan menjadi bebek-bebek, ternak-ternak, angka-angka, barisan robot mesin politik perusahaan negara. Sementara tumbuh minoritas yang fanatik, puritan, kolot, absolut, penuh 'garis partai', maunya radikal namun untungnya mereka masih kurang tahan dengan gigitan nyamuk.

Anak-anak muda itu membuat kelompok-kelompok kecil, berkeping-keping, tak saling kenal dan belajar bergaul di antara kelompok-kelompok tersebut. Pandangan mereka parsial, watak mereka stereotip, pengetahuan mereka linier, cekcok satu sama lain sehingga kurang sempat benar-benar memahami ilmu-ilmu perubahan. Pada tingkat wawasan intelektual, pada umumnya mereka masih terbengkelai. Namun pada saat yang sama mereka seolah-olah harus menyelenggarakan pekerjaan politik, yang juga masih dimuallafinya.

Untuk hadir di tengah-tengah mereka para 'oposan bikirtari konteksnya tentu saja 'dialektika kekuasaan'. Anak-anak suci tersebut digosok sampai nikmat, dikasih kacamata kuda, dikasih sabun untuk onani politik, dipacu, dijaring, diwuwu, dibikin merasa berjuang, merasa pahlawan, merasa secara intelektual mereka yang paling tahu dibanding seluruh penduduk seluruh dunia dan secara politis mereka akan memimpin perubahan sejarah. Namun pada saat yang sama mereka dibodohkan, dijadikan seperti ular yang berkulit terlalu lembut dengan kepala mendongak terbuka untuk pada suatu hari dipukul dengan popor senapan. Setidaknya akan datang para pekerja publisitas yang memotreti pekerjaan mereka, dan situasi itu memang memuaskan, karena tidak sedikit dari mereka meletakkan diri tidak pada aksentuasi kepentingan perubahan melainkan pada ekshibisi bahwa merekalah perubah-perubah. Artinya, yang mereka artikulir dan mereka perjuangkan, bukanlah kaum lemah yang selalu
disebut-sebut oleh teriakkan mereka, melainkan supremasi model baru kelas mereka sendiri.

Kawan itu mengeluh juga soal kesenian. Di satu pihak kesenian asyik onani sendiri dengan apa yang disebut seni tinggi, lainnya sibuk mengelontongkan ludah indah di pasar persekutuan kapitalis, lainnya lagi di'partai'kan secara plat sehingga kehilangan kesenian, kehilangan kebudayaan, dan akhirnya kehilangan manusia.
Ia seolah-olah, ketika itu, berputus asa: sesungguhnya, ia berkata, di hadapan rakyat miskin, kita bukanlah pemrakarsa perubahan dalam arti yang obyektif historis, melainkan tidak lebih sebagai pejuang dari pamrih-pamrih ideologis
kita sendiri. Kita ingin memperkosa rakyat dengan fanatisme cara pandang kita, dengan mimpi-mimpi Eropa atau Iran kita, dengan azas tunggal kebenaran kita...
Namun aku yakin begitulah memang proses mencari kebenaran. Pada suatu hari ia akan mengendap, dan apa yang perlu diorganisir, akan siap untuk itu.

Aku melihat perubahan memang ada alamnya sendiri. Apalagi dunia anak-anak muda. Mengapa kita harus menolak gejala-gejala itu. Ada belajar, ada diskusi, ada percekcokan, ada pertentangan, pendapat nasional diantara para calon pemimpin, ada bendera yang terlalu cepat dikibarkan, ada penyakit jiwa, ada kelahiran prematur, ada kcbengongan sejarah. Ada cinta kasih kerakyatan, ada ketololan perjuangan, ada kesadaran baru, ada karbit, ada kesetengahmatangan, ada muallaf, ada putus asa, ada harapan, ada belajar, terus ada belajar

(bersambung) =====>>

(Emha Ainun Nadjib/"Nasionalisme Muhammad"/Sipress/1995/PadhangmBulanNetDok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar